“Nikahin saja, Rin,” ujar Mama pada Bunda Rini. “Iya, Bun, nikahin aja,” tambah Kak Damar membuat aku melototinya. Saat ini, aku, Kak Damar, dan Bunda Rini duduk di kursi dekat meja kitchen island, sedangkan Mama tengah membuat minuman. Sebelumnya, aku ingin membantu, tapi Mama menolak. Katanya aku harus diadili terlebih dahulu setelah adegan pelukan tadi. “Itu, sih, memang maunya, kamu,” ujar Bunda. “Kak Damar yang tiba-tiba datang terus peluk Jingga, Bunda,” lirihku. Mendengar pembelaanku, Kak Damar menatapku tak percaya. “Kamu yang paling menikmati pelukanku.” Oh, ya ampun Kak Damar. Aku mengedipkan mataku berkali-kali mengisyaratkan padanya untuk diam. “Damar, kamu ini.” “Sebentar, Bunda, kenapa Damar yang dimarah? Harusnya Damar yang marah ini karena dibohongi.” Kak Damar mem

