Di balkon, Nayara berdiri mematung sambil memeluk dadanya. Kepalanya sedikit menengadah, menatap kosong langit mendung yang terhampar di depan matanya. Dari lantai paling tinggi Naraya bisa merasakan hembusan angin dengan debara detak jantungnya sendiri yang berpacu cepat. Napasnya terasa berat. Matanya mulai panas. Tubuhnya bergetar halus—nyaris tak kentara, namun cukup untuk membuat dirinya sadar, bahwa luka itu belum pernah benar-benar sembuh. Bahkan bekasnya masih terasa seperti bara yang membakar perlahan, menusuk dari dalam ke luar. Padahal ini bukan pertama kalinya ia mendengar nama itu. Nayara masih ingat jelas: di hari pertamanya bekerja, Rakendra Mahadipa sempat melakukan kunjungan mendadak ke Mahadipa pusat Surabaya. Saat itu, Nayara mampu berdiri tenang, berbicara sewajarnya,

