14

1574 Words
Mobil Mahadipa melaju perlahan menyusuri jalanan Bandung yang mulai diguyur hujan tipis. Tetes air mengalun pelan di kaca jendela, menciptakan irama ritmis yang justru menambah beban sunyi di dalam kabin. Setelah perdebatan pendek itu, tak satu pun dari mereka kembali membuka suara. Nayara menyandarkan kepalanya di sisi jendela. Matanya menerawang, menatap kabur bayangan lampu-lampu kota yang terpantul oleh genangan. Suhu dingin dari AC berpadu dengan udara hujan yang menyusup masuk lewat celah ventilasi, membuat tubuhnya menggigil pelan. Tapi yang lebih menggigil adalah pikirannya—akan nama yang kembali menghantui: Rakendra Mahadipa. Sementara di sisi lain, Adiraja bersandar ke kursinya, merilekskan tubuhnya sebisa mungkin. Tangannya memijit pangkal hidung dengan perlahan, sesuatu yang selalu ia lakukan saat kepalanya mulai dipenuhi pikiran. Sorot matanya tajam, tapi ada awan mendung di dalamnya—bukan hanya karena cuaca di luar, tapi karena kabut yang mulai menyelimuti pikirannya. Jelas ada yang salah. Nayara terlalu berubah hanya karena satu nama. Rakendra. Nama itu tak asing. Bukan hanya karena ia kakaknya, tapi karena... Adiraja tahu betul, pria itu bukan sekadar ambisius. Rakendra licik. Dan selama ini ia membiarkannya karena satu alasan: darah. Tapi... sampai kapan? Jari-jari Adiraja bergerak tanpa sadar, mengelus bibir bawahnya. Kebiasaan lama yang muncul ketika pikirannya berputar terlalu dalam. Bahkan sekarang, ia bertanya—apa hubungan Nayara dan Rakendra? Kenapa Nayara begitu terpukul? Dan seolah semesta ingin memperkeruh segalanya, ponsel Adiraja yang tergeletak di pangkuannya tiba-tiba bergetar. Rakendra Mahadipa Pesan singkat muncul di layar. Sampai jumpa besok malam di pesta jamuan. Adiraja menatap layar itu cukup lama. Rahangnya mengeras. Hujan di luar kini mulai deras, memukul kaca mobil dengan ritme yang lebih kasar. Tapi dentuman di dalam dadanya jauh lebih gaduh. Rakendra tak pernah benar-benar pergi. Dia tak meninggalkan Mahadipa. Dia hanya menepi—mengambil alih cabang Jakarta dengan senyap, menyusun langkah sambil menunggu celah. Dan Adiraja tahu, celah itu mungkin bukan lagi soal kekuasaan, tapi... Nayara. “Apa maksudmu dengan semua ini, Rakendra?” gumam Adiraja lirih, nyaris seperti berbicara pada bayangan hujan yang memburamkan jendela. Rizal melirik dari spion tengah. Ia bisa melihat ekspresi tuannya yang mengeras, tapi tetap tenang. Seolah badai itu tetap harus dikurung dalam d**a. Nayara di sisi lain masih menunduk, menggenggam tasnya erat-erat. Ia tidak melihat pesan itu. Tapi hatinya menjerit seolah tahu—bahwa badai berikutnya akan lebih besar. Dan malam jamuan esok… bisa jadi bukan sekadar pesta. Tapi panggung pertarungan. Dengan senyum tipis yang dipaksakan, Nayara membungkukkan badan sopan di hadapan Adiraja saat mereka tiba di lobby hotel. Hujan yang turun tadi masih menyisakan jejak basah di trotoar depan, dan hawa dingin dari luar seolah ikut meresap ke dalam tubuhnya. “Maaf, Pak. Saya izin kembali ke kamar terlebih dahulu,” ucapnya lirih, hampir tak terdengar. Adiraja hanya menatapnya dalam diam. Tak ada anggukan, tak ada balasan. Sorot matanya tajam, penuh tanya, seakan ingin menembus lapisan kulit terluar Nayara, menyibak setiap hal yang berusaha gadis itu sembunyikan. Langkah kaki Nayara terdengar pelan menjauh, memudar di balik pintu lobby kaca. Suasana di dalam mobil kembali senyap. Tapi tidak bagi Adiraja. Kepalanya justru semakin gaduh. Pandangannya tetap terarah ke depan, tapi pikirannya berkelana jauh—menelusuri fragmen-fragmen dari perubahan sikap Nayara. Gadis itu berbeda. Tidak hanya hari ini. Tapi sejak kemarin. Sejak makan malam. Dan sekarang, setelah nama Rakendra disebut, Nayara bahkan nyaris membeku. “Apa yang kau sembunyikan dariku, Nayara...” desisnya, lebih kepada diri sendiri. Beberapa detik kemudian, suara baritonnya memecah keheningan. “Rizal.” Sopir yang duduk di kursi depan segera menoleh. “Iya, Pak?” “Bisa cari sesuatu untukku?” “Apa, Pak? Saya akan—” “Cari tahu siapa Nayara,” potong Adiraja, matanya masih tertuju ke arah pintu hotel. “Dan masa lalunya.” Rizal yang sudah bekerja dengannya cukup lama, bahkan sebelum Nayara datang, hanya bisa mengerjap. “Maaf, Pak. Ada masalah dengan Bu Nayara?” tanyanya hati-hati. Adiraja menoleh, sorot matanya kembali tajam. “Turuti saja perintahku. Jangan banyak tanya.” Seketika Rizal mengangguk cepat. “Baik, Pak.” Adiraja membuka pintu mobil dengan gerakan tegas. Sebelum keluar, ia menambahkan, “Pertemuan sore ini. Kamu yang datang. Aku ingin beristirahat.” Rizal bahkan tak sempat menjawab. Yang bisa ia lakukan hanyalah menatap punggung tuannya yang tegap berjalan memasuki lobby menyusul sekretarisnya—dengan ekspresi yang tak terbaca. Namun satu hal yang pasti: Adiraja Mahadipa jarang membatalkan pertemuan penting, apalagi menyerahkannya pada orang lain. Dan kini, Nayara berhasil membuatnya melakukannya. Tidak karena lelah. Tapi karena pikirannya butuh ruang. Untuk berpikir. Untuk menggali. Tentang Nayara. Dan tentang benang merah tak kasatmata yang entah mengapa, selalu mengarah pada satu nama yang sama—Rakendra Mahadipa. 💔💔💔 Tanpa sepengetahuan Nayara, Adiraja memilih kembali ke penthouse mereka. Dia tak langsung masuk ke ruang utama, hanya berdiri dalam diam di ambang ruangan, di balik tirai kaca yang menyambung ke balkon. Langit Bandung mulai gelap. Hujan masih menyisakan gerimis kecil di luar sana. Di balkon, Nayara sudah berganti pakaian. Lebih kasual, lebih sederhana, dan entah kenapa—justru itu yang membuat Adiraja tak bisa memalingkan pandangannya. Rambutnya diikat asal, kaus longgar dan celana santai menggantikan blouse dan rok pensil yang biasa ia pakai saat kerja. Gadis itu bersandar di pagar balkon, menatap kosong ke arah langit mendung yang menutup kota. Entah apa yang sedang ia pikirkan, tapi tubuhnya tampak letih. Bukan karena pekerjaan, tapi karena sesuatu yang lebih dalam. Adiraja tidak bergerak, tidak memanggil. Ia hanya menatap dari jauh, membiarkan Nayara bergelut dengan pikirannya sendiri. Ada sesuatu yang mengganjal dalam diri wanita itu. Dan sialnya, Adiraja benar-benar ingin tahu apa itu. Bibirnya terangkat miring, gemas. “Kau bahkan tak sadar aku di sini, hm?” batinnya. Tapi ia memilih diam. Untuk saat ini. Adiraja menegakkan tubuhnya. Rahangnya mengeras. “Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Nayara?” Flashback: Surabaya, Lima Tahun Lalu Langit sore Surabaya saat itu mendung, tapi hati Nayara justru terang-benderang. Ia berlari kecil menyusuri gang sempit menuju rumah, seragam putih-abu-nya sedikit kusut, dan selembar kertas hasil pengumuman kelulusan tergenggam erat di tangan. Dia lulus. Dan nilainya cukup untuk mendaftar ke universitas impiannya. “Ibu! Ayah! Naya lulus!” serunya riang sambil membuka pagar besi rumah kecil mereka. Namun begitu pintu terbuka, keceriaannya seketika pudar. Suasana rumah sepi. Terlalu sepi. Tapi ada sepatu-sepatu asing di depan pintu. Sepatu hitam mengkilap, tak lazim ada di rumah itu. “Bu?” panggilnya pelan. Langkahnya tertahan begitu ia melihat dua pria berseragam polisi berdiri di ruang tamu. Di sebelah mereka, duduk ayahnya, Pak Seno, dengan tangan yang diborgol. Wajahnya lusuh. Kusut. Mulutnya bergetar seperti hendak menjelaskan sesuatu, tapi tak bisa. Di sudut ruangan, Ibu duduk memeluk tas dan menangis dalam diam. “Ayah?” suara Nayara tercekat. “Apa ini…? Ada apa?” Salah satu polisi menoleh dan bicara tegas. “Saudara Seno Rajasa, ditangkap atas dugaan keterlibatan dalam kasus korupsi pengadaan bahan baku tekstil untuk perusahaan mitra pemerintah. Lokasi penahanan: Polres Surabaya.” “Apa?!” Nayara melangkah maju dengan wajah yang memucat. “Tidak! Ayah saya bukan koruptor! Ayah saya cuma pengusaha kecil! Dia kerja sendiri, ngangkut sendiri, jual sendiri! Nggak mungkin—!” “Sudah ada cukup bukti, Dik,” jawab seorang polisi lain dengan nada datar, seperti robot yang kehilangan empati. “Jika merasa tidak bersalah, silakan ajukan pembelaan melalui jalur hukum.” Nayara merasa seluruh tubuhnya limbung. Ayahnya—yang biasanya gagah, penuh semangat, penuh peluh demi keluarganya—hari itu hanya berdiri lemas dengan borgol di tangan dan wajah pasrah. Tapi lebih dari itu, ada air mata yang menggantung di pelupuk matanya. “Maaf, Nak. Maaf…” “I-ini salah… ini salah!” suara Nayara pecah, memohon dan berteriak bersamaan. Namun saat mobil polisi bersirine itu menyala dan pintu belakang ditutup, tubuh ayahnya sudah tidak bisa ia jangkau lagi. Itu adalah hari paling menyakitkan dalam hidup Nayara. Hari di mana semua impian remajanya—yang bahkan baru ia genggam pagi itu dengan selembar surat kelulusan SMA di tangannya—runtuh begitu saja. “Paak! Jangan bawa dia! Ayah saya bukan penjahat!” teriak Nayara meraung. Dia meronta saat sang ibu berusaha menariknya masuk. Namun sang ibu justru ikut jatuh bersimpuh di tanah. Suaranya melengking putus asa. “Bapaaaak! Ya Allah! Ya Allah, jangan begini… jangan begini…” Tangan Nayara memeluk ibunya, tapi tubuhnya pun tak kalah gemetar. Para tetangga berkerumun. Ada yang hanya berdiri membeku, tapi banyak pula yang mulai berbisik-bisik pelan. “Katanya sih ada uang proyek yang nggak jelas…” “Wah, koruptor juga toh ujungnya…” “Padahal kelihatannya lugu-lugu aja…” Bisikan-bisikan itu menampar Nayara lebih keras dari apa pun. Pandangan matanya kabur karena air mata, tapi telinganya masih bisa menangkap semua itu—dan menyimpannya di dalam hati hingga hari ini. Tiba-tiba, dari kejauhan, seseorang berlari melawan arah arus. “Naya?!” Virendra Satya. Dengan jaket motor yang masih melekat di badannya dan senyum yang semula cerah karena ingin memberi selamat atas kelulusan Nayara, wajahnya berubah drastis saat melihat kekacauan di depan rumah sahabatnya itu. “Naya, hei, hei—sini, lihat aku dulu,” katanya sambil meraih bahu Nayara yang masih memeluk ibunya. “Ayahku dibawa, Ren…” bisik Nayara dengan suara nyaris tak terdengar. “Ayahku nggak salah…” Virendra menatap wajahnya, lalu memandang ke arah para tetangga yang masih memperhatikan. Sorot matanya berubah tajam. “Masuk dulu, ayo… aku bantu,” katanya tegas. Dia membantu Nayara menopang ibunya untuk berdiri. Perlahan, ia tuntun dua wanita yang hancur itu kembali masuk ke dalam rumah. Meninggalkan suara sirine yang makin menjauh, dan meninggalkan luka yang tak pernah benar-benar sembuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD