13

1725 Words
Perjalanan menuju Vue Bandung berjalan tanpa suara yang berarti. Di dalam mobil hitam yang melaju melewati pepohonan dan gedung-gedung tinggi kota, Nayara duduk di sebelah Adiraja dengan napas tertahan. Tumitnya terasa perih luar biasa, seperti terbakar. Saat para staf pabrik berjalan santai, Nayara justru harus mengatur langkahnya agar tetap terlihat profesional, walau nyeri di kakinya semakin menjadi. Begitu mobil memasuki area parkir restoran, Nayara langsung menunduk dan membuka hak tinggi berwarna nude itu. Tumit kanannya memerah dan pecah, sedikit berdarah. Ia menggigit bibirnya, menahan nyeri sekaligus rasa sebal pada dirinya sendiri. “Sial...” gumamnya lirih. “Harusnya aku bawa sepatu flat aja.” Baru saja ia berniat membuka tas untuk mencari tisu, Adiraja mencondongkan tubuhnya ke depan, membuka laci mobil, dan menarik satu kotak putih dengan tulisan ‘P3K’ yang sudah nyaris tak terbaca. “Angkat kakimu,” ucapnya pendek, tak menatap Nayara. Nayara tertegun. “Pak?” Adiraja menoleh perlahan, sorot matanya tetap tajam namun ada sesuatu di baliknya—entah empati, atau sekadar… perhatian yang tersamar. “Kau pikir luka begitu dibiarkan saja? Atau menunggu saya suruh dua kali?” Nadanya masih sama: otoriter, datar, dingin. Tapi tangannya—mengeluarkan cairan antiseptik dan plester—bergerak cekatan, seolah sudah terbiasa. Nayara mendengus pelan. “Bapak kan bukan dokter.” “Dan kamu bukan anak kecil, tapi tetap saja ceroboh,” sahutnya. Rizal, yang duduk di kursi depan, hanya bisa melirik ke spion tengah. Matanya melebar sedikit. Pria itu bukan hanya terkejut, tapi mulai merasa ada sesuatu yang jauh dari kebiasaan. Adiraja Mahadipa? Menunduk untuk plesterin kaki sekretarisnya? Rasanya ingin ia foto diam-diam, tapi nyawanya pasti dipertaruhkan. Nayara mengalihkan wajahnya keluar jendela. Tapi dalam diamnya, wajahnya memanas. “Terima kasih...” lirihnya, lebih seperti bisikan daripada ucapan. Adiraja hanya mengangguk tipis, lalu menghela napas. “Lain kali pakai sepatu yang waras. Kamu bukan model catwalk.” “Catatan untuk hari ini: jangan berharap pujian dari Pak Adiraja,” gumam Nayara dengan sarkasme pelan. Namun Adiraja sepertinya mendengar. “Kenapa harus kupuji kalau memang kau belum pintar memilih sepatu?” Ah. Bodoh. Nayara merasa ingin melempar plesternya barusan ke wajah pria itu. Vue Bandung menyambut mereka dengan interior mewah berbalut nuansa modern-minimalis. Sudut ruangan privat yang sudah dipesan sejak semalam menyajikan panorama kota dari balik kaca lebar, dengan alunan musik jazz lembut di latar belakang. Investor yang mereka temui—Pak Albert, pria paruh baya berdasi merah marun—terlihat sangat menghormati kehadiran Adiraja. Tapi matanya sesekali melirik Nayara. Bukan secara terang-terangan, namun cukup membuat Nayara merasa tidak nyaman. Dan Adiraja tahu itu. Lagi-lagi seperti ini. Memang apa yang menarik dari sekretarisnya ini? Saat sesi obrolan berlangsung dan pelayan datang untuk mencatat pesanan, Nayara sempat bingung memilih menu karena fokusnya terpecah. Adiraja menutup menu di tangan Nayara pelan. “Dia pesan salmon grilled dan infused water. Sama seperti saya.” Nayara menoleh, sempat ingin protes, tapi saat menatap mata Adiraja… ia membatalkannya. Lagi-lagi, pria itu terlihat begitu dominan—tapi dengan cara yang membuat jantungnya tak bisa bersikap netral. Percakapan antara Adiraja dan Albert berjalan profesional namun akrab. Nayara mencatat beberapa poin penting, tapi di sela-sela itu, matanya bertemu dengan sorot tajam Adiraja—lebih dari sekali. Setelah Pak Albert izin ke kamar kecil, Nayara mendekatkan kursinya sedikit. “Kenapa harus atur-atur makanan saya juga?” bisiknya. “Saya bisa pilih sendiri, Pak.” “Kau sibuk melirik jam karena kaki sakit. Tak ada waktu untuk kamu meneliti menu yang bisa kamu kunyah. Fokusmu lebih penting,” jawab Adiraja tanpa menoleh. Nayara menggertakkan gigi. “Jadi perhatianmu cuma soal efisiensi, ya?” Adiraja akhirnya menoleh. Tatapannya menghujam—ada kemarahan kecil, tapi juga… ketertarikan yang ia redam habis-habisan. “Kalau saya mulai peduli lebih dari efisiensi, kamu akan lari, Nayara.” Diam. Napas Nayara tercekat. Seketika atmosfer di antara mereka bergeser. Tak ada lagi suara sendok dan garpu, tak ada lagi tatapan profesional. Hanya sisa kalimat itu, menggantung. Seolah jawaban atas sesuatu yang bahkan belum pernah ditanyakan. Dan untuk pertama kalinya, Nayara merasa... dirinya bukan hanya sekretaris biasa. Suasana privat di ruang makan Vue Bandung terasa hangat dengan sentuhan formal yang masih terasa sopan. Percakapan antara Pak Albert dan Adiraja berjalan seperti perjamuan antar dua pria elit bisnis—dengan Nayara sebagai pendengar setia, mencatat hal-hal penting dalam hati sambil tetap menjaga senyum profesional. “Saya selalu salut dengan cara Mahadipa bergerak. Konsisten dan presisi. Termasuk cabang Bandung ini,” puji Pak Albert sambil menyentuh gelas anggurnya yang bahkan belum disentuh bibirnya. Adiraja hanya mengangguk ringan, bahunya santai namun tetap menjaga postur. “Kami mencoba tidak hanya konsisten di kertas, tapi juga di lapangan. Sistem audit internal terus ditingkatkan. Laporan yang tak sesuai, pasti kami koreksi langsung.” Nayara bisa merasakan sorotan tipis ke arahnya. Ia tak menyahut, tapi mengangguk kecil—menandakan bahwa apa yang dikatakan Adiraja barusan memang hasil dari kerja sama mereka pagi tadi. “Bagus, bagus…” gumam Pak Albert. “Bisa jadi standar baru untuk rekanan saya di luar negeri nanti. Dan kau ini, Raja, semakin mirip ayahmu. Tegas dan dingin.” Nada kalimat terakhir diucapkan sambil tertawa kecil. Tapi Nayara bisa merasakan bahwa di balik tawa itu, ada rasa penasaran, bahkan mungkin kekaguman yang agak berlebihan. Adiraja menanggapi dengan senyum tipis. Tak suka, tapi tak bisa menolak. “Yah, meski saya rasa kau masih kalah satu hal dibanding ayahmu,” lanjut Albert dengan mata menyipit, seolah ingin menggoda. “Beliau lebih sabar menghadapi orang macam—” Ia berhenti sebentar, membiarkan jeda itu menggantung seperti umpan. “—Rakendra Mahadipa.” Sekelebat rasa dingin menyusup di antara ruang yang tadinya hangat. Nayara sontak menegang. Jemarinya yang tadi santai di atas pangkuan tiba-tiba mengatup. Detak jantungnya berpacu tak karuan, seakan tubuhnya menolak hanya dari sekadar mendengar nama itu. Nama pria itu. Pria yang menghancurkan keluarganya. Adiraja tak langsung menanggapi. Rahangnya menegang sesaat. Matanya—yang biasanya setajam bilah silet—mendadak tampak gelap. “Dia di mana sekarang ya?” Albert bertanya seperti basa-basi. “Terakhir saya dengar, katanya mau ekspansi proyek properti di daerah selatan. Tapi tidak pernah benar-benar terdengar gaungnya lagi. Masih bagian dari Mahadipa, kan?” Adiraja tersenyum. Tipis. Palsu. Dan penuh kehati-hatian. “Kakak saya... memilih jalannya sendiri sekarang.” “Oh begitu. Saya kira kalian masih sama-sama... berjuang di kapal yang sama.” “Kapal yang sama hanya akan stabil kalau tak ada kebocoran, Pak Albert.” Albert tertawa, seolah menganggap kalimat itu sebagai lelucon. “Wah, filosofi bisnisnya makin tajam aja kau ini, Raja.” Tapi Nayara tak ikut tertawa. Ia hanya menunduk, menyembunyikan wajahnya dari tatapan. Keringat dingin perlahan mengalir di pelipis, meski suhu ruangan cukup sejuk. Rakendra Mahadipa. Pria yang pernah menjanjikan investasi kepada ayahnya, hanya untuk menyeret keluarga Nayara ke dalam pusaran hutang dan penyitaan. Membawanya pada kasus korupsi yang tentu saja hanya jebakan. Pria yang membungkus kebohongan dengan kepercayaan, menebar ilusi tentang kerja sama, lalu menghilang setelah menyulut kehancuran. Semua rekayasa itu dibungkam rapat, dan hanya meninggalkan luka yang belum sembuh. Dan kini, Nayara duduk satu meja dengan adik dari pria itu. Adiraja, dari samping, mengernyit pelan. Ia bisa membaca perubahan Nayara. Bahu gadis itu tampak lebih kaku, jemarinya sedikit gemetar, bahkan saat ia hanya meraih gelas air putih. Ia menggeser badannya sedikit mendekat. Tak mencolok. Tapi cukup untuk membisikkan lewat sorot mata: "Ada apa?" Nayara tak berani membalas tatapannya. Ia hanya menggeleng pelan, cepat, dan menunduk lebih dalam. Tidak. Belum saatnya. Dia tidak bisa menyuarakan ini sekarang. Bukan saat Adiraja masih menyebut pria itu sebagai kakaknya. Bukan saat dia sendiri belum yakin... apakah Adiraja benar-benar tak tahu apa yang dilakukan Rakendra pada keluarganya dulu. Adiraja memalingkan wajah kembali ke arah Pak Albert. Namun pikirannya masih tertinggal pada Nayara. Dan batinnya berputar cepat. Nama Rakendra saja sudah cukup mengaburkan suasana. Dan kini... Nayara pun bereaksi. Ada yang tak beres. ‘Kau sembunyikan apa dariku, Nayara?’ pikir Adiraja dalam diam. Tapi ia menahannya. Belum sekarang. Ia harus bermain halus. ❤❤❤ Langit Bandung menggantung abu-abu ketika mereka meninggalkan Vue, seolah ikut meresapi suasana batin yang tak jernih. Jalanan dipenuhi mobil berlalu-lalang, tapi keheningan justru terasa lebih padat di dalam mobil Mahadipa yang kini kembali melaju perlahan menuju pusat kota. Nayara duduk diam di kursi penumpang belakang. Tatapannya kosong ke arah jendela, padahal pemandangan luar sama sekali tak ia cerna. Kata-kata Pak Albert tadi masih terngiang di kepala, menyayat perlahan seperti serpihan kaca yang menghunjam dalam. Rakendra Mahadipa. Nama itu seharusnya hanya jadi masa lalu yang ia kubur dalam. Tapi kenapa justru terasa semakin dekat? "Nayara," suara Adiraja memecah keheningan. Nada suaranya datar, nyaris seperti biasa. Tapi dari nada itu, Rizal yang duduk di kursi depan bisa mendengar, ada sedikit tekanan. Bukan marah. Lebih mirip... resah yang dibungkus dingin. Nayara menoleh perlahan. “Iya, Pak?” “Kau akan langsung ke kantor untuk presentasi sore?” Nayara ragu sejenak. Ia menghela napas. “Saya... minta izin untuk kembali ke hotel lebih dulu. Kepala saya agak berat.” Ia tidak berbohong. Tapi juga tak menyebut bahwa hatinya lebih sakit daripada tubuhnya saat ini. Rizal menoleh dari spion tengah, ikut prihatin. “Kalau begitu, biar saya antar Nayara ke hotel dulu, Pak. Presentasi dengan Pak Roni bisa saya handle.” Tapi bahkan sebelum Rizal menyelesaikan kalimatnya, Adiraja sudah bersuara. “Tidak usah. Saya ikut.” Rizal mengerjap. “Tapi, Pak...” “Saya bilang saya ikut,” ulang Adiraja, masih dengan nada tenang. Tapi tajam. Akhir dari kalimat itu seperti mengunci segalanya. Nayara menoleh pelan ke arah Adiraja, sedikit terkejut. “Tapi presentasi—” “Tidak akan rusak hanya karena saya tak duduk di ruangannya,” potong Adiraja dingin. “Dan kau, Nayara, terlalu sering memaksakan diri belakangan ini.” Lagi-lagi Rizal hanya bisa menghela napas dalam hati. Apa yang sebenarnya terjadi? Sejak kapan Adiraja Mahadipa yang dikenal keras kepala dan anti-intervensi ini, tiba-tiba bersikap seperti... penjaga pribadi? Mobil kembali melaju. Sepanjang perjalanan, tak ada percakapan berarti. Hanya suara hujan kecil yang mulai turun, menampar lembut kaca mobil. Nayara memeluk tasnya erat-erat. Ia tak tahu harus merasa apa. Marah? Terharu? Atau justru takut akan apa yang mungkin terjadi jika dirinya dan Adiraja terus bersinggungan di antara luka lama yang belum sembuh? Tapi satu hal yang pasti, Nayara tahu. Adiraja memang dingin dan otoriter. Tapi di balik itu, ada bagian dari pria itu yang sedang berusaha—dengan caranya sendiri—untuk mengawasi. Melindungi. Meski ia tak pernah mengucapkan niatnya dengan gamblang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD