12

1090 Words
Mobil sedan hitam itu berhenti tepat di depan gedung utama Mahadipa Textile, cabang Bandung. Udara pagi yang sudah mulai menghangat disambut dengan semerbak aroma kain mentah dan cat tekstil. Bangunan tua yang masih kokoh itu tetap sibuk seperti biasa—lori keluar masuk, karyawan berlalu-lalang, dan suara mesin berputar dari kejauhan menjadi irama khas kawasan industri ini. Begitu pintu mobil dibuka, Adiraja melangkah keluar lebih dulu. Tegap, rapi, berwibawa. Sementara Nayara turun menyusul dengan map di tangan, berusaha tetap profesional meski langkahnya sedikit ragu karena sepatu haknya nyangkut di celah paving. “Selamat pagi Pak Adiraja! Wah… surprise besar nih dikunjungi langsung sama pusat!” Seorang wanita berambut keriting rebonding dengan riasan menor langsung menyambut dengan suara cemprengnya. Namanya Bu Lintang, manajer administrasi pabrik. Mengenakan blazer pink menyala dan rok ketat dengan belahan yang tidak cocok untuk lingkungan kerja. Di belakangnya, seorang pria paruh baya dengan senyum lebar mendekat. Pak Sudrajat, pimpinan cabang—dikenal banyak bicara dan… hobi memuji lawan jenis secara berlebihan. Matanya langsung terpaku ke arah Nayara tanpa basa-basi. “Waduh, ini asistennya Pak Adiraja ya? Muda, cantik, dan seger banget kayak jus alpukat!” Komentarnya membuat Nayara meringis kaku. Belum semenit turun dari mobil, sudah ingin kembali naik saja rasanya. Adiraja melirik Pak Sudrajat, hanya satu detik—cukup untuk membuat pria itu batuk-batuk canggung. Nayara hampir tersenyum karena melihat perubahan sikap itu. Tapi belum selesai dia merasa lega, Bu Lintang ikut menyenggol lengan Adiraja pelan sambil tertawa centil. “Pak Adi ini, makin ke sini makin… ganteng aja, ya. Serius banget sih, senyumnya ditahan buat siapa?” Nayara otomatis menoleh. Wajahnya nyaris menunjukkan ekspresi jijik kalau tidak sadar dia sedang kerja. “Bu Lintang,” suara Adiraja tenang namun penuh peringatan, “sebaiknya kita langsung ke ruang produksi.” “Oh iya dong, iya dong! Mari-mari, sini Pak Adi… eh, Pak Adiraja,” Bu Lintang cepat meralat, tapi tetap saja senyumannya berlebihan. Saat mereka berjalan ke arah bangunan produksi, Nayara tertinggal sedikit di belakang. Pak Sudrajat entah bagaimana sudah berada di sampingnya, bicara terlalu dekat. “Nayara ya namanya? Aduh, cocok jadi bintang iklan sabun cuci, seputih ini kulitnya…” Nayara hanya tersenyum kaku. Tapi langkahnya semakin cepat. Namun, tanpa aba-aba, tangan Adiraja terulur ke belakang. Ringan tapi jelas—menyentuh lengan Nayara, menariknya untuk berjalan lebih dekat di sampingnya. “Saya butuh kamu catat poin penting nanti,” katanya datar, seolah itu alasan utama kenapa ia ingin Nayara berada tepat di sebelahnya. Namun Nayara tahu… itu act of service. Gaya protektif yang tidak diumumkan, tapi nyata. Dan untuk pertama kalinya sejak tiba, Nayara bisa bernapas sedikit lebih lega. Sepanjang kunjungan, Adiraja bicara sedikit, lebih banyak mengamati. Tapi tiap kali Bu Lintang terlalu dekat, atau Pak Sudrajat mulai menggoda, Nayara tak pernah benar-benar dibiarkan sendirian. Ada saja caranya—menyuruh Nayara mencatat, menyodorkan map, atau bahkan hanya memanggil namanya untuk berpindah posisi. Dan itu… cukup. Cukup untuk membuat Nayara bertahan sepanjang tur pabrik, meskipun harus mendengar Bu Lintang tertawa melengking setiap dua menit sekali dan Pak Sudrajat yang seperti punya radar khusus untuk menempel ke arah yang salah. Ketika mereka akhirnya duduk di ruang rapat kecil untuk menyelesaikan administrasi, Nayara sudah setengah mengeluh dalam hati. Tapi saat Adiraja menyerahkan satu botol air mineral dingin padanya, tanpa banyak kata. Ruang rapat pabrik Mahadipa Textile dipenuhi oleh berkas, botol air mineral, dan aroma kopi instan yang samar. Suasana terasa cukup tegang—bukan karena tekanan dari Adiraja, tapi dari sikap diam dan tajam matanya yang hanya mengamati, menilai tanpa harus bersuara. Nayara duduk dengan posisi tegap, jari-jarinya menelusuri lembar demi lembar laporan produksi dan distribusi triwulan terakhir. Matanya berhenti di salah satu halaman. Dahi perempuan itu berkerut samar. “Maaf, Bu Lintang.” Suara Nayara terdengar tenang, namun tegas. Semua mata langsung mengarah padanya. Bahkan Pak Sudrajat yang sedari tadi sibuk menatap layar ponselnya ikut menoleh. “Di sini tertulis jumlah output produksi benang pada bulan Maret mencapai 4.500 roll, dengan catatan jam lembur hanya 8 jam total per minggu. Tapi jika kita bandingkan dengan bulan sebelumnya—Februari—produksi hanya 3.200 roll padahal jam lembur mencapai 12 jam. Ada penurunan jam lembur, tapi kenaikan output yang cukup signifikan. Boleh saya tahu bagaimana sistem efisiensinya dilakukan? Atau apakah ada data pendukung yang bisa saya lihat?” Bu Lintang sempat tercekat. Senyumnya yang dari tadi tak pernah padam kini memudar separuh. Matanya berkedip beberapa kali, seperti sedang mencari jawaban tercepat yang bisa disusun. “Oh… itu… mungkin karena perbaikan mesin, ya, Mbak Nayara. Jadi kerja lebih cepat!” “Mungkin?” Nayara mengulang dengan alis naik sedikit. “Apakah perbaikannya tertulis dalam laporan peralatan dan maintenance bulanan?” Rizal, yang duduk di pojok sambil memperhatikan, mengalihkan pandangannya ke Adiraja. Mereka saling bertukar pandang. Tak satu kata pun keluar, namun jelas keduanya cukup… terkesan. Bu Lintang mulai gelagapan. Tangannya mengambil satu bundel dokumen. “Sebentar ya, saya cari dulu, ini… kemarin sempat dibahas, kok. Saya inget betul.” “Ambil waktunya, Bu. Saya ingin tahu seberapa cepat Ibu merespons masalah data produksi, bukan hanya merespons kedatangan atasan,” ucap Nayara, masih dengan nada tenang, bahkan tersenyum kecil. Pak Sudrajat tertawa kikuk, mencoba mencairkan suasana. “Hahaha… tajam juga ya, Mbak Nayara. Saya suka, saya suka! Punya mata jeli.” “Kalau Bapak suka, tolong bantu kami jawab juga. Karena dalam laporan distribusi wilayah, ada ketidaksesuaian angka antara data gudang dan catatan keluar-masuk. Jumlah stok benang jenis B di laporan akhir Maret menunjukkan sisa 800 roll, tapi di sistem keluar-masuk hanya tercatat 730. Jadi 70 roll ini… ngilang ke mana?” Pak Sudrajat menelan ludah. Ruang rapat mendadak sangat hening. Adiraja masih belum berkata apa pun, tapi dagunya terangkat sedikit. Tangannya yang bersilang di d**a terulur ke gelas air, dan dari balik kilau matanya, Nayara tahu… pria itu sedang mengamati. Menakar. Bu Lintang akhirnya berdiri dan meminta waktu lima menit untuk mengambil dokumen tambahan dari ruang administrasi. Begitu pintu tertutup, Rizal menyenggol lengan Adiraja pelan dan berbisik sambil tersenyum singkat. “Kalau semua sekretaris kayak gini, kita tinggal duduk nonton, Pak.” Adiraja tak menoleh. Tatapannya masih pada Nayara. Kali ini, tidak sekadar memperhatikan. Tapi mengingat. Diam-diam, Adiraja menyimpan satu pemikiran: Gadis ini bukan cuma tangguh di lisan, tapi juga tajam di kepala. Sialnya… itu membuatnya makin sulit untuk tidak diperhatikan. Dan Nayara? Dia hanya merapikan lembar-lembar laporan di depannya. Ekspresinya datar. Tapi ada sedikit rasa puas di dalam dadanya. Setidaknya, hari ini bukan dia yang ditegur karena kelalaian. Lumayan, pagi ini bukan cuma dandan cantik, tapi juga berhasil bikin beberapa orang berkeringat. Not bad, Nayara. ❤❤❤
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD