11

1933 Words
Adiraja baru saja menutup kulkas ketika matanya tanpa sengaja menangkap sesuatu yang seharusnya tidak ia perhatikan—seharusnya. Bukan. Dia bukan tipe pria usil. Tapi sudut matanya, naluri alaminya sebagai lelaki, sempat menangkap detail itu. Celana pendek. Sangat pendek. Dan longgar. Kaki jenjang Nayara tampak kontras dengan hoodie besar yang menutupi tubuh bagian atasnya. Kontras yang mencolok. Untuk sepersekian detik, Adiraja menahan napas. Ada gelombang kecil dalam dadanya—sesuatu yang sangat ia benci karena muncul di saat yang tidak tepat. Sial. Ini tidak seharusnya terjadi. Dia mengalihkan tatapan dengan cepat, rahangnya mengeras. “Apa yang kamu kenakan?” tanyanya datar, nyaris terdengar seperti teguran. Suara dalam itu memotong udara dapur seperti pisau dingin. Nayara masih sibuk menyiapkan topping mi, mencampurkan daun bawang dan minyak wijen. Ia bahkan tidak menoleh. “Baju, Pak. Masak karung?” jawabnya enteng, nada acuhnya begitu kentara. Adiraja mendekat satu langkah. “Kamu keluar dengan penampilan seperti itu?” Kali ini nadanya sedikit lebih tinggi. Tak bisa disembunyikan bahwa ia terganggu—meski ia sendiri tak mau mengakui alasan sebenarnya. Barulah Nayara menghentikan kegiatannya. Ia melirik ke bawah, menilai penampilannya. Hoodie kebesaran warna abu-abu dan celana pendek yang nyaris tak terlihat jika dilihat dari depan. Ia mengangkat bahu santai. “Iya, Pak. Salah?” Tatapannya tenang, bahkan sedikit menantang. “Kamu sadar kan kamu di sini tidak sendiri?” balas Adiraja tajam. “Sadar kok,” jawab Nayara cepat. “Dan sangat sadar kalau atasan saya nggak nafsu sama saya.” Seketika udara di antara mereka terasa membeku. Adiraja menyipitkan mata. Apa barusan dia dengar benar? “Begitu kah menurutmu?” tanyanya dingin, langkahnya maju satu lagi hingga hanya terpisah oleh meja dapur. “Iya kan?” Nayara membalas tatapan itu. Bibirnya menyunggingkan senyum samar yang berani. “Kan Bapak sendiri yang bilang tadi. Atau… jangan-jangan Pak Adi nggak selera bukan sama saya saja?” Kepala Nayara sedikit miring. Matanya menyapu dari atas sampai bawah sosok pria di depannya—kaos polo warna navy, celana chinos krem, jam tangan hitam yang selalu tersemat di tangan kiri. Rambutnya tersisir rapi dengan belahan samping seperti biasa. Rapi. Tegas. Terlalu formal untuk waktu santai malam seperti ini. Tapi... tetap saja tampan. Sayangnya menyebalkan. “Apa maksudmu?” suara Adiraja terdengar dalam dan perlahan, namun tekanannya tak main-main. Nayara menaikkan satu alis, senyumnya berubah sinis. “Bapak normal kan?” Adiraja membeku. Matanya membelalak sedikit, lalu menyipit tajam. “Berengsek,” gumamnya. “Kamu mau saya pecat?!” Nada suaranya meninggi, dan gaungnya menggema di dapur yang sunyi. Namun Nayara tak gentar. Ia tahu batasnya. Tapi... ia juga tahu lelaki ini bukan tipe yang mudah marah hanya karena ucapan sembrono. Dan ia yakin, ada sesuatu dalam pertanyaan barusan yang membuat pria itu bereaksi lebih keras dari biasanya. “Ya ampun, tenang, Pak. Bercanda doang, kok.” Nayara menahan senyum, tapi matanya tetap berbinar. Adiraja memijit pelipisnya. Ia mendekat ke meja, lalu duduk di stool tinggi dapur, menghela napas dalam-dalam. “Saya baru saja menyelesaikan urusan kantor dengan laporan nyaris meledak di depan mata. Kakak saya bikin ulah. Reputasi Mahadipa bisa hancur kalau saya lengah. Dan kamu... kamu malah ngajak debat soal selera pribadi saya?” Nada itu sarkastik, tapi lelah. Ada kejujuran samar di sana. Nayara menatapnya sesaat, lalu tersenyum kecil. “Maaf,” katanya pelan. “Saya... cuma nggak mau suasana makin tegang. Saya tahu Bapak banyak tekanan. Saya cuma... pengin bikin suasana agak cair.” Adiraja menatapnya diam-diam. Seketika amarahnya mereda. Ia menatap ke arah kompor, melihat dua mangkuk mi rebus dengan telur setengah matang dan taburan ayam suwir. “Apa itu?” tanyanya. “Makan malam. Saya lapar. Tapi saya bikin dua porsi. Ya... siapa tahu Bapak juga belum makan.” Adiraja diam. Tapi kemudian tangannya bergerak pelan, menarik salah satu mangkuk. Nayara ikut duduk di sebelahnya. Beberapa menit mereka makan dalam diam. Tak ada konfrontasi, tak ada debat. Hanya sendok dan sumpit yang bersuara. Dan dua manusia yang terjebak dalam dinamika ganjil—atasan dan bawahan, penjaga dan yang dijaga, lelaki dingin dan perempuan yang perlahan mencairkan lapisan-lapisan itu. “Rasanya... nggak buruk,” komentar Adiraja pelan, tanpa menatap. “Itu pujian?” Nayara menyeringai. Adiraja tak menjawab. Tapi sudut bibirnya tertarik sedikit. Sekilas. Dan Nayara menangkapnya. Malam itu, di dapur penthouse yang biasanya sunyi, tak ada musik, tak ada angin, tak ada lampu remang seperti di restoran mahal. Tapi ada interaksi kecil, yang entah bagaimana... terasa lebih berarti. Dan Adiraja, untuk pertama kalinya malam itu, tak merasa sendirian. 💔💔💔 Pagi itu, mentari belum naik sempurna ketika Nayara sudah bergerak cepat di dalam kamar hotel yang digunakan sebagai base operasional mereka di Bandung. Matanya masih sedikit bengkak karena tidur hanya tiga jam semalam. Setelah makan bersama Adiraja—yang anehnya berlangsung damai—dia sempat berpikir segalanya akan membaik. Ternyata tidak. Pagi ini, Adiraja kembali seperti semula. Lebih dingin dari AC kamar yang menyala sepanjang malam. Lebih otoriter dari CEO mana pun yang pernah Nayara hadapi dalam dunia kerja. Tidak ada sisa senyum tipis, tidak ada percakapan ringan seperti semalam. Bahkan ketika mereka berpapasan saat sarapan, satu-satunya kata yang keluar dari mulut Adiraja hanyalah: “Persiapkan semua untuk Vue dan kunjungan pagi ini. Jangan sampai ada yang tertinggal.” Nayara hanya menjawab dengan anggukan cepat. Meski dalam hati ingin melempar centong nasi ke wajah tampannya yang menyebalkan itu. Kini ia duduk di kursi depan, bersama tumpukan dokumen. Rizal, orang kepercayaan Adiraja sekaligus sopir sekaligus bodyguard, duduk di depan dengan ekspresi datar seperti biasa. Tujuan pertama mereka adalah kunjungan ke pabrik Mahadipa Textile. Sesudah itu makan siang dengan salah satu investor di Vue, lalu presentasi sore bersama kepala cabang Mahadipa Bandung. Tiga agenda padat. Dan semua bahan disiapkan sendiri oleh Nayara sejak subuh. Bahkan satu file presentasi harus ia susun ulang karena file kiriman pusat Surabaya kacau luar biasa. Satu kesalahan kecil saja—dan ia bisa ditegur di depan klien. Atau lebih parah, kehilangan pekerjaan. Tapi Adiraja... pria itu tak mengeluh sedikit pun. Ia duduk di kursi belakang dengan tubuh tegap dan ekspresi serius, mengenakan jas abu gelap dengan kemeja putih bersih. Wajahnya tenang, tapi tatapannya tajam dan menghitung setiap detail. Dan di tengah tekanan itu, anehnya, Adiraja sempat melihat beberapa kali. Melihat Nayara. Hari ini, sekretarisnya itu tampil dengan setelan rok span hitam selutut dan blus putih lengan panjang yang terselip rapi. Rambutnya disanggul simpel ke atas, menyisakan beberapa helaian tipis yang terlepas dan membingkai wajahnya. Profesional. Bersih. Elegan tanpa usaha berlebihan. Adiraja memperhatikan tanpa menunjukkan reaksi apa pun, tapi di dalam hati, dia mengakui satu hal: wanita itu tahu caranya tampil tepat. Tidak berlebihan, tidak kekanak-kanakan. Dan tetap... menarik. Dalam versi yang berbeda dari semalam. Mobil mulai bergerak, dan Rizal menyalakan GPS. Nayara duduk tenang, membuka laptop di pangkuannya untuk melakukan koreksi akhir presentasi. Tapi baru lima menit mobil berjalan, suara berat itu memecah keheningan. “Rizal, berhenti sebentar.” Rizal langsung menepi. “Pindah ke belakang,” ujar Adiraja, kali ini menatap Nayara. Gadis itu mengangkat alis. “Pak?” “Kamu duduk di depan seperti asisten rumah tangga. Duduk di sini. Kita perlu review dokumen bersama.” Nada itu... dingin. Otoriter. Tak memberi ruang penolakan. Dengan gerakan cepat, Nayara membereskan laptop dan berpindah ke sebelah Adiraja. Jarak mereka hanya dipisahkan oleh lengan tangan dan sekat udara dingin dari pendingin mobil. Nayara mencoba fokus membuka dokumen. Tapi tatapan Adiraja begitu tajam, seperti menilai lebih dari sekadar angka dan grafik. “File yang dari Surabaya, kamu yang revisi ulang?” tanyanya. “Iya, Pak. Mulai dari jam empat subuh. Itu versi terbaru.” Nayara menjawab datar, menyembunyikan kelelahan. Adiraja menatap file sebentar, lalu mengangguk pelan. “Rapih. Tapi bagian cost breakdown masih terlalu kaku. Flow-nya kurang smooth saat dijelaskan langsung.” Nayara mengetik cepat, mencatat. Mereka berbicara beberapa kalimat lagi, semuanya formal, profesional, tajam. Tapi dalam setiap percakapan itu, Nayara bisa merasakan satu hal: Adiraja sedang menahan sesuatu. Ia bukan tidak memperhatikan. Ia bukan tidak peduli. Hanya terlalu keras menjaga jarak. Seolah kedekatan semalam adalah kesalahan. Dan pagi ini adalah penebusannya. Tapi Nayara bukan gadis yang mudah goyah. Ia tahu, akan ada celah lagi. Dan saat itu datang... ia akan siap membacanya lebih dalam. Mobil kembali melaju. Jalan menuju pabrik mulai padat. Tapi di kursi belakang, dua manusia dengan dinding emosi yang tebal sedang duduk bersebelahan, membaca file yang sama, namun menyimpan rasa yang sama sekali berbeda. Bunyi getar ponsel menginterupsi keheningan di dalam mobil. Nayara menoleh sejenak ke layar ponsel yang menyala di pangkuannya. Nama itu lagi. Viren💛 Dengan simbol hati kecil yang dulu ia tambahkan tanpa berpikir panjang. Entah kini harus disesali atau tidak. Ia menahan napas. Tak berani langsung mengangkat. Apalagi dengan Adiraja duduk di sampingnya, diam dan menatap layar dokumen. Tapi meski tak menoleh, pria itu tahu. Seperti biasa, Adiraja selalu tahu lebih dari yang ia tunjukkan. “A-Aku… angkat sebentar ya, Pak?” tanya Nayara pelan, setengah berbisik. Suaranya penuh rasa bersalah. Namun Adiraja malah menoleh perlahan. Tatapannya tajam, menusuk, seolah mengupas isi kepala Nayara. “Angkat,” ujarnya singkat. Suaranya pelan, namun dingin. Tak memberi pilihan. Seolah menantang. Nayara menelan ludah, lalu menekan tombol hijau. Ia menautkan ponsel ke telinganya sambil menoleh sedikit ke arah jendela, mencoba menjaga suara tetap rendah. “Halo, Ren?” suaranya nyaris berbisik. “Nayara, kamu di mana?” suara Viren langsung terdengar dari seberang. Lirih, khawatir. “Aku ke apartemenmu semalam, kamu nggak ada. Aku nunggu sampai jam sebelas. Kamu nggak kabarin sama sekali.” Nayara terdiam sejenak. Hatinya mencubit. “Maaf… aku—aku ketiduran. Banyak kerjaan… terus langsung capek banget. Maaf, ya?” ucapnya lirih, tapi matanya melirik ke arah Adiraja, takut kalau pria itu bisa mendengar semuanya. Namun Adiraja tetap diam, hanya mengetik ringan di laptop, seolah tak peduli. Tapi dari gerakan jarinya yang makin cepat, Nayara tahu pria itu mendengar. Dan memperhatikan. “Suaramu kenapa?” tanya Viren pelan, penuh curiga. “Kamu nggak sendiri ya?” Nayara menatap layar ponsel dengan rasa tak nyaman. “Iya, aku lagi di mobil. Sama… atasan aku. Lagi mau ke lokasi kunjungan di Bandung.” Hening sejenak. “Oh,” sahut Viren akhirnya. Nada suaranya mendadak berubah. Dingin. Jauh dari kekhawatiran sebelumnya. “Dia? Adiraja Mahadipa?” tanyanya pelan, hampir tak terdengar. Nayara menggigit bibirnya. “Iya.” Dan setelah itu, tak ada lagi nada hangat dari Viren. Tidak ada tanya ‘jaga diri baik-baik’ atau ‘nanti kabarin ya’. Hanya, “Oke. Hati-hati,” lalu sambungan langsung terputus begitu saja. Nayara memejamkan mata sebentar. Menyimpan ponselnya perlahan ke dalam tas. Tapi belum sempat mengatur napas, suara berat itu datang dari sampingnya. “Pria itu lagi?” tanya Adiraja. Pelan. Tapi dingin. Lebih menusuk daripada semua email kritik yang pernah ia terima. “Iya, teman lama,” jawab Nayara hati-hati. “Teman? Yang pakai hati di belakang namanya?” lanjut Adiraja, masih dengan nada yang sama, tak menoleh sedikit pun. Nayara menghela napas. “Memangnya salah?” Adiraja tak langsung menjawab. Tapi ketegangan di rahangnya, tangan yang mengepal ringan di paha, semua itu cukup sebagai jawaban. Dan Nayara sadar—dia sedang duduk di antara dua pria rumit. Satu terlalu peduli tapi berpura-pura tidak. Satunya lagi peduli dalam diam tapi selalu membentengi diri. “Kenapa hidupku harus diapit dua lelaki rumit dalam satu minggu yang sama…” gumam Nayara nyaris tak terdengar. Namun Adiraja mendengarnya. Ia menoleh. “Apa?” “Enggak, Pak. Saya cuma bilang, agenda hari ini… rumit,” jawab Nayara cepat, memutar otak mencari alasan. Adiraja mendengus. Tapi tak berkata apa-apa lagi. Dan mobil pun melaju kembali, membawa mereka menuju pabrik Mahadipa, sementara di kursi belakang, dua orang dengan jarak yang nyaris tak ada—masih sama-sama menjaga temboknya masing-masing.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD