Part 8

1773 Words
Deza melangkah gontai di sepanjang koridor. Semangat kuliahnya yang memang sejak awal tak pernah membara sekarang menurun drastis seiring dengan segala kesedihan yang terus mengakar hingga detik ini. Apa yang lebih menyedihkan? Selain terperangkap di jasad yang masih bernyawa, tapi kau merasa sudah mati sebelum napasmu habis. Pertama kali gadis tomboy itu jatuh cinta dan pertama kali pula ia merasakan patah hati. Sakit, benar-benar sakit. Andai saja bisa lari, ia kan memilih lari. Namun dia tak bisa lepas tanggungjawab dari kewajibannya menuntut ilmu demi membanggakan kedua orangtuanya suatu saat nanti. Semalam ia menangis diantara rinai gerimis dan tak ada seorangpun yang tahu. Bahkan kedua orangtuanya terlalu bersemangat merencanakan segala sesuatu yang berkaitan dengan pernikahan kakaknya hingga tak sadar mata putrinya pagi ini terlihat sembab dan bengkak karena terlalu banyak menitikkan air mata. Bagaimana ia tidak menangis? Semalam Alfa datang bersama keluarganya untuk membicarakan pernikahannya dan Khansa. Tanggal sudah ditentukan. Kedua orangtuanya sudah menghubungi designer gaun muslimah terkenal yang bernama Andriana Putri untuk merancang gaun pernikahan kakaknya. Design kartu undangan bahkan dirancang sendiri oleh Gharal, ayah Alfa. Ia tahu, semalam Alfa tak sedikitpun mengulas senyum. Ia mencuri pandang padanya berkali-kali dengan luka yang terbenam di ekspresi wajahnya. Luka yang sangat pedih. Ia mengerti, Alfa pun sakit sepertinya. Berulang kali ia mengirim pesan w******p, meminta izin untuk jujur pada semua, tapi gadis tomboy itu selalu mencegahnya. Ia sangat takut jika kakak dan kedua orangtuanya kecewa. Ia tak mau ada hati lain yang terluka selain dirinya. Cukup dia yang menanggung rasa sakit. Deza memasuki kelas dengan wajah mendung. “Deza kamu kenapa? Kamu kelihatan pucat?” Alice yang sedang mencoba memperbaiki hubungannya dengan Deza menatap gadis tomboy itu penuh selidik. ‘Nggak apa-apa, cuma kurang tidur aja,” balas Deza mengulas senyum. Ia pernah begitu marah pada Alice karena pernah membocorkan isi curhatnya. Namun kini ia mencoba mengubur amarahnya. Ia tak ingin menyimpan dendam ataupun kebencian. Kendati hubungan persahabatan mereka tak bisa lagi kembali sehangat dulu karena kepercayaan yang sudah terkoyak sulit untuk direkatkan lagi, tapi Deza berusaha untuk menjaga hubungan baik dengan Alice. Alice sangat menyesal pernah mengkhianati kepercayaan Deza. Setelah kehilangan sahabatnya itu, barulah ia menyadari bahwa gadis tomboy ini benar-benar tulus dalam berteman. Mau mencari sampai ujung dunia sekalipun, belum tentu ia bisa menemukan sahabat sebaik dan setulus Deza. Ketika mereka masih dekat, Deza begitu perhatian padanya. Bahkan ia kerap membawakan sekotak nasi dan lauk untuknya sarapan karena ia paham benar, Alice sering kali tak sempat membeli sarapan pagi. Alice bersedih setiap mengingat kesalahannya. “Deza, aku minta maaf untuk kesekian kali atas semua kesalahanku. Please maafkan aku dan kasih aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya.” Alice menatap Deza dengan pendar harapan yang berkaca di matanya. Deza mengerlingkan senyumnya, “Aku sudah memaafkanmu.” “Ya, tapi kita tidak seakrab dulu. Kita tidak bisa lagi seperti dulu. Aku kangen masa-masa dulu Dez.” Suara Alice terdengar parau. Wajahnya tertunduk. Deza tak tega juga melihat Alice termenung dengan sejuta pilu memancar dari wajahnya. Bahkan bulir bening yang tertahan di kedua sudut matanya akhirnya menetes pelan. Deza meraih tangan sahabatnya erat. “Kita bisa akrab lagi kayak dulu Alice. Aku juga kangen sama suasana dulu. Allah saja Maha Pengampun, masa kita begitu angkuh tak mau memaafkan orang lain?” Alice tersenyum bahagia. Ia memeluk sahabatnya. “Makasih banyak Deza. Sumpah aku bahagia banget.” Senyum tak lepas dari kedua sudut bibir Alice. “Aku juga bahagia banget.” Deza mengulas senyum sekali lagi. Dua sahabat itu saling menggenggam. Mereka sangat bersyukur untuk persahabatan yang kembali terjalin dengan bersumpah untuk tak ada lagi pengkhianatan. “Teman-teman Pak Dosen hari ini tidak hadir karena ada kepentingan. Kita dikasih tugas merangkum modul halaman 117 sampai 130.” Mahasiswa bernama Aldo membaca pesan WA dari sang dosen di depan kelas. “Huhhhh tugas lagi...” gerutu salah seorang teman sekelas Deza. Deza dan Alice berjalan beriringan menuju kantin. Saat melewati salah satu koridor, mereka berpapasan dengan Alfa dan Farez. Debaran kembali menguasai hati Deza. Setiap melihat Alfa, dadanya bergemuruh hebat. Ia tak berani memandang Alfa lebih lama. “Deza, nanti berangkat latihan ya. Minggu depan kita bertanding. Pak Halim bakal masang kamu untuk ikut main. Pak Halim sudah meminta izin pada panitia untuk turut memainkanmu. Panitia setuju.” Farez melayangkan senyumnya pada gadis tomboy nan cantik itu. Deza tak jadi keluar dari tim karena Pak Halim tidak mengizinkannya dan membujuknya untuk tetap berlatih. Tentu kabar ini begitu membahagiakan untuk Deza. Andai saja saat ini perasaannya sedang baik, dia mungkin akan meloncat-loncat kegirangan. Bertanding bola di lapangan adalah impian terbesarnya sejak pertama kali bergabung di tim bola kampus. “Iya insya Allah nanti aku berangkat,” jawab Deza tanpa menoleh pada Alfa. Alfa menyadari benar Deza berusaha menghindarinya. Padahal ia ingin sekali berbicara hal penting dengan gadis tomboy itu. Setiap kali Alfa mengajaknya bicara, Deza selalu menghindar. Pesan WA-nya jarang dibalas, begitu juga teleponnya, hampir tak pernah diangkat. Deza berjalan kembali bersama Alice, meninggalkan Alfa yang masih menatap kepergian gadis manis itu dengan perasaan rindu yang begitu membuncah. Gadis itu benar-benar membuatnya uring-uringan tak karuan. ****** Latihan bola kali ini Pak Halim mengajarkan teknik khusus mengeksekusi tendangan bebas, sudut dan penalty. Pak Halim menitikberatkan pada teknik tendangan bebas dan penalty yang berakhir dengan goal serta tendangan corner yang bisa tepat sasaran tertangkap oleh pemain yang berjaga di depan gawang untuk diteruskan ke arah gawang dan berbuah goal baik melalui tendangan kaki maupun sundulan. Latihan diakhiri dengan membagi tim menjadi dua kubu lalu mereka bertanding. Pak Halim mengamati teknik dan skill para pemain dari tepi lapangan. Deza yang tengah serius mengikuti latihan tak menyadari smartphonenya berulang kali berbunyi karena ada pesan WA dan beberapa panggilan dari ibunya. Selia ingin menjemput Deza di kampus untuk diajak ke tempat Andriana Putri, designer yang merancang gaun pengantin Khansa. Deza belum diukur badannya karena dia pun akan dibuatkan gaun agar kompak dengan anggota keluarga yang lain. Deza selalu saja mengelak setiap diajak ke tempat sang designer. Seusai latihan, seperti biasa Deza menunggu pemain-pemain lain selesai berganti baju dan membersihkan badan di ruang ganti. Jarang sekali ada pemain laki-laki yang mandi dulu sebelum berganti baju kecuali Alfa. Sepanjang latihan tadi, Deza selalu menghindari kontak mata dengan Alfa meski kegugupan dan desiran itu selalu saja membuat hatinya terbakar, terbakar jilatan cinta yang tak sanggup ia tolak. Ya, dia selalu saja bahagia melihat laki-laki yang begitu ia cintai meski dalam hati ada hujan yang mengalir deras. Bahagia dan menangis di saat yang bersamaan. Toilet stadion kampus sedang diperbaiki dan belum selesai. Hari ini para tukang yang memperbaiki toilet libur karena itu stadion tampak lebih sepi dari biasanya. Deza melihat semua pemain sudah keluar dari ruang ganti termasuk Alfa. Deza masuk ke dalam ruang. Seperti biasa, ia mandi di kamar mandi yang ada di dalam ruang ganti. Selepas mandi, ia berganti pakaian. Ia melangkah menuju pintu dengan tas ransel bersandar di pundaknya. Saat Deza membuka pintu, betapa kaget dirinya melihat Alfa berdiri di hadapannya. Tanpa Deza antisipasi, Alfa memaksa masuk dan menutup pintu. Ia mendorong tubuh Deza hingga menghimpit dinding, membuat jantung gadis itu berdegup berkali lipat lebih cepat. Mata mereka beradu dan deru napas terdengar sengal. “Al please, aku mau keluar.” “Nggak, sebelum aku selesai bicara sama kamu,” tegas Alfa dengan tatapan mata begitu tajam dan Deza berusaha memalingkan wajahnya, tak ingin menatap mata Alfa, karena itu bisa menjadi kelemahannya. Tatapan Alfa dapat melumpuhkan dan meruntuhkan keangkuhannya. “Kenapa harus di sini? Kita bisa bicara di luar.” Deza hendak melangkahkan kaki ke depan, tapi Alfa menahannya hingga tas Deza yang diselempangkan di bahunya jatuh terjerembab ke lantai. Dicengkeramnya kedua tangan Deza. Alfa mengunci kedua tangannya di dinding, menekannya kuat-kuat, membuat Deza kesulitan menggerakkan kedua tangannya. “Aku kehabisan cara gimana agar bisa bicara sama kamu Dez. Aku sengaja nungguin kamu di depan pintu, karena aku pikir, dengan cara begini kamu tak bisa lagi lari dariku.” Deza menatap Alfa dengan segala rasa gugup dan deg-degan yang berkecamuk, mengacaukan hati dan pikirannya. “Apa lagi yang perlu dibicarakan?” tanya Deza. “Aku nggak bisa maju Dez. Aku nggak bisa. Aku akan mengatakannya yang sebenarnya.” Alfa berusaha mengontrol volume suaranya agar tak terdengar sampai luar. “Jangan gila Al. Semua sedang dipersiapkan. Kak Khansa sudah mengukur gaun pengantinnya. Ayah dan ibu juga sudah mencari informasi gedung dan catering. Ayahmu juga sudah membuat undanganya kan?” Deza menajamkan penglihatannya. “Masa bodo dengan semua itu. Kamu bisa nggak sih ngerti sedikit perasaanku? Aku benar-benar tersiksa Dez. Aku cinta kamu. Aku nggak bisa jalani pernikahan dengan orang lain.” Mata Alfa terlihat berkaca. Deza tercekat. Dia menunduk, tak berani lagi menatap mata Alfa yang sudah berair meski belum turun. “Kamu cinta sama aku kan? Kenapa kamu nggak mau berjuang untuk cinta kita?” suara Alfa melemah. Setitik air mata jatuh. Deza tak sanggup menjawab. Hanya isak tangis yang meluncur dari bibirnya. “Please Deza. Aku nggak menginginkan pernikahanku dan Khansa. Aku cinta kamu Dez.” Alfa mengusap pipi Deza dan mengangkat dagunya agar gadis itu menatapnya. Tangis Deza semakin menderas. Sungguh ia sangat mencintai Alfa... sangat... Dan ia tak mau kehilangannya. Alfa mendekatkan wajahnya. Entah, perasaannya begitu emosional hingga ia kembali melanggar batasan yang ada. Alfa mengecup bibir Deza. Gadis itu membeku. Ada deru emosional yang juga bergemuruh di dalam sana. Alfa mengarahkan gadis itu untuk membuka bibirnya perlahan. Alfa mencium bibir Deza lebih dalam. Suara kecapan mendominasi ruang. Dua insan yang tengah kasmaran saling mencumbu dengan saling menyesap. Mata keduanya terpejam seakan begitu menikmati moment ini. Mereka tak ingat lagi akan dosa, perasaan Khansa maupun keluarga masing-masing. Tak ingat lagi sebagian undangan sudah tercetak dan mereka lupa sejenak pada serangkaian rencana pernikahan yang sudah disepakati kedua pihak keluarga. Alfa melepaskan jaket Deza tanpa melepas ciumannya. Di saat yang sama Deza membuka satu per satu kancing yang bertengger di kemeja Alfa, melepasnya dan melemparkan serampangan hingga laki-laki itu bertelanjang d**a. Entah insting, naluri atau nafsu membutakan keduanya, Alfa mulai menyusupkan tangannya ke dalam kaos Deza, meremas sesuatu di dalam sana. Mereka melepaskan ciuman sejenak untuk menstabilkan napas. Mata itu kembali beradu dengan napas terengah-engah. Alfa kembali mencium bibir Deza dengan lebih brutal. Deza mengalungkan tangannya pada leher laki-laki itu sedang Alfa memeluk erat tubuh Deza dan mengusap-usap punggungnya. Braakkkk.... Deza dan Alfa terperanjat. Mereka menoleh ke arah pintu yang terbuka. Betapa terkejutnya dua insan itu saat melihat Selia dan Pak Halim membulatkan matanya melihat pemandangan panas dan liar di depan mata. Deza melihat sorot mata ibunya yang memancarkan kemarahan yang teramat dahsyat. Deza menyadari kesalahan fatal yang baru saja ia lakukan dengan Alfa. Deza menyesal dan tangisnya pun mencekat bahkan sebelum Selia berkata-kata karena begitu shock melihat kelakuan b***t putri dan calon menantunya. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD