Bayi Besar

1895 Words
Seumur hidup Alice, ia belum pernah membenci seseorang sampai mendarah daging. Namun sekarang, ia sangat membenci seseorang sampai berhasrat untuk membunuhnya. Bahkan kebisingan dalam kepalanya tengah mendiskusikan bagaimana cara menghabisi orang tersebut dan akan memutilasi bagian tubuhnya serta melemparkannya ke kandang buaya. Oke, itu terlalu ekstrim dan lama kelamaan pikiran Alice berubah seperti psikopat berdarah dingin. Sialan! "Aaak." Suara dari sebelah menyadarkan Alice dari lamunan. Pandangannya yang sempat kosong sekarang terisi penuh dengan wajah menyebalkan. "Aaak." Sekali lagi wajah itu membuat Alice muak, terlebih ketika mulutnya membuka lebar seperti kudanil yang tengah menguap. "Lama banget si lo!" decak si pemilik wajah menarik penuh kesadaran Alice. Alice mengembuskan napas kesal, menyendokkan sesuap nasi goreng dan menyodorkan suapan itu ke depan mulut orang yang duduk di sebelahnya. Enggan, tapi harus. Seperti itulah yang dilakukan Alice sejak beberapa saat yang lalu. Siapa kira tetangganya yang super rese itu membawanya ke kantin hanya untuk menyuruhnya menyuapi cowok itu makan. Padahal kedua tangannya masih ada dan berfungsi dengan normal, tapi seakan dirinya itu bayi besar, Ragas meminta agar ia menyuapinya makan siang. Lebih tepatnya memaksa. "Aak lagi." Suara Ragas kembali menginterupsi. Alice mengembuskan napas kasar, mau tidak mau kembali menyendokkan suapan nasi goreng ke depan mulut Ragas. Namun, kali ini ia tidak diam, sedikit mengeluarkan unek-unek yang ditahannya sejak tadi. "Apa kamu nggak bisa makan sendiri? Kamu bukan anak kecil lagi dan kedua tanganmu masih berfungsi dengan baik. Lantas, kenapa kamu minta disuapin seperti bayi besar!" Ragas yang sedang mengunyah makanannya seketika berhenti, menatap sebentar Alice yang tengah memandang sebal terhadap dirinya. Lalu ia kembali mengunyah sembari mengalihkan fokusnya pada game di ponsel yang sedang ia mainkan. "Lo nggak lihat, tangan gue sedang apa?" Mata Alice berkedut mendengar jawaban Ragas. "Tahu. Tapi kamu bisa berhenti main sebentar dan makan makananmu sendiri tanpa harus merepotkan aku." "Tapi sayangnya gue nggak mau. Kalau ada lo yang bisa nyuapin gue, kenapa juga gue harus repot-repot makan sendiri." Ragas menyeringai, mengedipkan sebelah matanya pada Alice. "Lagian, sebagai pacar yang baik, sudah jadi kewajiban lo buat melayani gue." What the hell! Ingin sekali Alice memukul mulut Ragas dengan piring atau mencabik-cabiknya dengan gunting. Ia yang sudah terlanjur emosi, semakin murka mendengar penuturan Ragas barusan. Apa dia bilang? Melayani? Seriously? Memangnya dipikir ia baby sitter-nya apa? Andai Alice punya tongkat sakti milik Harry Potter, maka ia akan mengutuk Ragas menjadi buaya buntung. Alice yang kesal lantas membanting sendok ke piring yang masih tersisa sedikit nasi goreng. Ia meluruskan pandangannya menghadap Ragas. "Dengar ya, Ragas Aldebaran, tetanggaku yang laknat. Aku tegaskan sekali lagi, aku," Alice menunjuk dirinya sendiri. "Alice Olivia Hansen, bukan pacar kamu!" Alice mengucapkannya penuh penekanan. Ragas menaikkan sebelah alisnya, lalu terkekeh geli. Seakan ucapan Alice barusan sebuah lelucon konyol yang begitu lucu di matanya. "Heh!" Alice yang geram spontan menggebrakkan tangannya ke atas meja, menimbulkan suara keras yang sukses menarik semua pasang mata tertuju ke arahnya. Padahal tanpa Alice melakukan hal tersebut saja, semua orang diam-diam menatap ke arah dirinya. Lalu sekarang, mereka semua malah secara terang-terangan memusatkan pandangan kepadanya. Good, Alice. Kamu baru saja menjadikan dirimu sendiri sebagai tontonan semua anak. Namun, sepertinya Alice tidak mempedulikan semua itu, karena fokusnya tengah tertuju sepenuhnya pada Ragas. Target yang ingin sekali Alice binasakan dari muka bumi. "Ngapain kamu ketawa? Ada yang lucu gitu?" hardik Alice, matanya molotot, nyaris keluar dari tempatnya. Ragas tak kuasa menahan tawa, ia mengangguk dan dengan santainya menjawab, "Ada." "Apa?" Alice semakin melebarkan mata, mengepalkan tangannya di atas meja. "Muka lo, lucu banget kalau lagi marah. Lo mau tahu kaya apa?" Ragas terkekeh geli. "Kaya angry bird." Lalu tawanya pecah, menertawakan muka Alice habis-habisan. Alice sangat emosi mendengarnya, tangannya semakin mengepal erat seakan bersiap melayangkan bogem mentah untuk membungkam mulut Ragas yang tengah tertawa terpingkal-pingkal. Alice menghela napas kasar, tak tahan lagi berada di dekat cowok itu. Jika dibiarkan lebih lama, bisa-bisa Alice akan darah tinggi, kena serangan jantung dan mati mendadak. Mengerikan! "Udah puas ketawanya?" sinis Alice, ekspresinya begitu datar. Sontak Ragas meredam tawanya, meski ia masih terlihat tersenyum geli memandang Alice. "Belum sih, abis muka lo kocak banget. Bener-bener mirip angry bird." Alice berdecak dan menyahut kasar. "Dan lo babinya." "Bukan." Ragas menggeleng, membuat Alice heran. "Gue bukan babi, tapi buayanya." Ragas tertawa puas melihat wajah Alice yang semakin memerah, menahan emosi yang berkumpul di ubun-ubun. Alice mengembuskan napasnya sejenak, meredam emosinya. Tak ada gunanya ia meladeni Ragas, tapi mulut cowok itu membuatnya begitu geregetan. Ingin rasanya Alice meremas dan mencabik-cabik mulut Ragas sampai tak berbentuk. "Ya, ya, ya. Lo emang cocok jadi buayanya. Buaya Kampret!" Alice yang sudah malas dengan Ragas, bergegas beranjak dari duduknya. Namun, ketika Alice akan pergi, tiba-tiba saja Ragas menahan pergelangan tangannya. "Mau ke mana lo?" "Ke mana kek, bukan urusan kamu!" tukas Alice, menyingkirkan tangan Ragas dari lengannya. Tapi dengan cepat tangan itu kembali menahannya. Alice berdecak, sebal. "Lepasin!" Ia meminta Ragas melepaskan cengkraman pada pergelangan tangannya. Alih-alih melepaskan, Ragas malah menarik tangan Alice, memaksa gadis itu kembali duduk. Sontak Alice menggeram kesal, bersiap mengomeli Ragas. Tapi cowok itu lebih dulu berkata, "Gue haus, mau minum." "Ya terus?" Alice mendekus kasar, membuang muka. "Ambilin," suruh Ragas, memerintah. "Ogah!" Alice menolak mentah-mentah. "Alice, ambilin." "Enggak mau!" "Alice sayang." Alice terkesiap ketika Ragas mencondongkan diri ke hadapannya. "Heh, mau apa kamu?" Alice gugup, matanya bergerak liar. Menyadari semua orang masih menatap ke arahnya. "Ragas, jangan macam-macam ya?" Panik, Alice takut Ragas akan berbuat macam-macam kepadanya. Kilas kejadian semalam berputar-putar dalam ingatannya, membuat tubuh Alice menegang saat teringat bagaimana Ragas mencium bibirnya semalam. Ragas mempersingkat jarak antara wajahnya dengan wajah Alice, menyeringai ketika menangkap sorot mata gadis itu. "Jangan membantah, kecuali lo lebih suka gue mencium bibir lo seperti semalam." Alice seketika melotot, mulutnya setengah terbuka bersiap mencaci maki Ragas. Tapi sekali lagi, ucapan cowok itu lebih dulu membungkamnya tak berdaya. "Bibir lo manis dan gue suka. Kayanya gue ketagihan, gimana kalau gue lakuin lagi? Atau gue nggak perlu minta persetujuan dari lo." Kata-kata Ragas bagaikan cambuk yang membuat Alice menjerit kesal dalam hati. Ragas sialan! ----- Suara gemericik air memenuhi toilet yang sepi. Alice berkali-kali membasuh muka, merasakan pipinya memanas serasa terbakar. Ia mendesah berat, jemari tangannya mencengkram kuat tepian wastafel. Alice memandang pantulan dirinya di cermin, memperhatikan sekilas wajahnya. Hingga pandangannya jatuh menatap bibir mungil bewarna pink. "Bibir lo manis dan gue suka. Kayaknya gue ketagihan, gimana kalau gue lakuin lagi? Atau gue nggak perlu minta persetujuan dari lo." Mengingat kembali ucapan Ragas tadi membuat Alice mual, buru-buru ia membasuh bibirnya dengan air berkali-kali. Menggosoknya sedikit kasar, berharap tak ada lagi sisa-sisa bekas ciuman Ragas semalam. Jika teringat kejadian itu, rasanya Alice ingin mengamuk sejadi-jadinya. Ia sangat marah, merasa dilecehkan, tapi tak punya daya untuk melawan. Entah kenapa ia merasa jadi gadis lemah di hadapan Ragas, seolah tak bisa mengelak dari setiap ancaman cowok itu. Alice bodoh! Berkali-kali Alice mengutuk diri sendiri, menyalahkan dirinya yang terlalu cupu untuk melawan. Seharusnya ia bisa lebih garang lagi untuk melawan Ragas, supaya cowok itu tidak semena-mena terus. Tapi sekali lagi ia terlalu cemen dan tak punya nyali untuk melawan kebiadaban Ragas Aldebaran, tetangga laknat titisan kucing garong. "Ragas sialan!" "Ragas nyebelin!" "Manusia laknat!" Alice hanya bisa melampiaskan kekesalannya dengan mencengkram pinggiran wastafel. Ia terus memaki nama Ragas, menyumpah serapah dengan berbagai kata-kata mutiara. Hingga suara derap langkah kaki menginterupsi Alice, bersamaan dengan suara berisik memasuki toilet. Alice pun menghentikan ocehannya, bersikap biasa seolah tidak ada yang terjadi sebelumnya. "Ya ampun Mon, kalau lo tadi lihat, bener-bener gila si Ragas. Gue sampai sesak napas lihatnya. Bisa-bisanya dia mau nyium si———" Suara cempreng seorang cewek yang baru saja memasuki kamar mandi itu seketika tercekat saat melihat keberadaan Alice di dalam toilet. Cewek berambut pirang itu memberikan lirikan seperti mengkode teman-temannya. "Ini?" sahut salah seorang yang tadi diajak bicara dan dibalas anggukan kepala oleh cewek itu. Sontak keempat cewek itu menatap secara teran-terangan kepada Alice yang sedang mencuci tangannya. Alice yang sadar tengah ditatap pun merasa risih, tapi berusaha untuk tidak peduli. Mengabaikan berbagai tatapan cewek-cewek yang berdiri di belakangnya. "Oh, gue kira bakal yang wow banget atau paling nggak secantik Monna lah, nggak tahunya ...." Cewek dengan setelan rok pendek dan kaus berlengan pendek itu menggantungkan ucapannya sembari melirik Alice. Sorot matanya seakan tengah menilai penampilan Alice dari ujung kaki sampai ujung rambutnya. Lalu tersenyum sinis. "Nggak tahunya masih cakepan gue ke mana-mana." Dan dengan bangganya menyanjung diri sendiri. Alice yang mendengar perkataan cewek itu hanya diam, meski matanya melirik sekilas cewek berambut sebahu itu lewat pantulan pada cermin di depannya. Alice berpura-pura tidak peduli, meski ia sadar betul jika yang sedang dibicarakan oleh cewek-cewek itu ialah dirinya dan hal tersebut akibat ulah Ragas tadi di kantin. Sialan memang Ragas! "Tenang aja Mon, masih cakepan lo ke mana-mana kok. Yang bentukannya begini, paling cuma jadi pelampiasannya doang." Cewek berambut pirang tadi kembali berbicara. Sementara cewek bernama Monna hanya tersenyum simpul, tidak menanggapi. Ia malah melangkah ke samping Alice, menyalakan keran dan membasuh tangannya. Teman-temannya saling berpandangan, sorot mata mereka seakan tengah bergosip dengan senyuman licik menghias wajah masing-masing. Seakan tahu jika perseteruan sebentar lagi akan jadi tontonan mereka bertiga. "Jadi gosip itu bener, lo pacaran sama Ragas?" Monna membuka suara, tapi pandangannya tertuju ke cermin. Memperhatikan Alice lewat pantulan pada cermin. Alice menoleh, menatap Monna. Sejenak ia memperhatikan penampilan Monna yang modis dan cukup terbuka dengan dress sabrina membalut tubuhnya. Bentuk tubuh yang ideal membuat penampilan Monna sangat menarik, dipadu wajah cantik dengan riasan make up on dan rambut panjang bergelombang yang dibiarkan tergerai bebas. "Kamu ngomong sama aku?" Alice kemudian bertanya. Mendengar aksen yang digunakan Alice, seketika gelak tawa ketiga teman Monna pecah. Mereka tertawa geli, lalu mencemooh Alice. "Wow, manusia purba dari mana nih?" ucap Cassie, cewek berambut pirang. "Aku kamu? Iuh, sok kalem banget," sahut Laura, cewek berambut sebahu yang tadi meremehkan penampilan Alice. Sementara celetukan Gressya sukses membuat ketiganya kembali tertawa terbahak-bahak. "Selera Ragas, cupu? Iuh, enggak banget." Alice melirik ketiga cewek itu lewat pantulan di cermin. Kesal? Jelas. Tapi Alice sudah terbiasa mendapatkan respon semacam itu, jadi ia tak berminat untuk menanggapi cemoohan kakak tingkatnya itu. Monna mengangkat tangannya, menginterupsi teman-temannya agar berhenti tertawa dan ketiga temannya langsung menghentikan tawa mereka. Setelah itu barulah Monna kembali berucap pada Alice. "Gue nggak peduli lo pacaran beneran atau nggak sama Ragas. Tapi yang perlu lo tahu, kalau Ragas punya gue dan cuma gue yang boleh miliki Ragas. Jadi tahu diri dikit jadi cewek, jangan murahan dengan nempel-nempel sama Ragas!" Alice menghela napas, jadi semua ini karena Ragas? Memang cowok itu selalu membawa masalah untuk dirinya, pikir Alice. Berhubung Alice tidak suka mencari keributan, ia sama sekali tak menanggapi ucapan Monna yang penuh dengan peringatan itu. Bahkan ia beranjak untuk pergi, tapi Monna menahan bahunya. "Mau ke mana lo? Gue belum selesai!" tukas Monna, menatap tajam Alice. "Jiah, mau kabur dia, dasar penakut," cibir Cassie. Alice melirik Cassie dan langsung disemprot cewek itu. "Apa lo lihat-lihat?" Cassie terlihat kesal ketika Alice mengabaikannya dan menatap Monna kembali. Alice menyingkirkan tangan Monna dari bahunya. "Enggak perlu khawatir, tanpa diminta pun aku nggak bakal sudi dekat-dekat sama Ragas!" Setelah mengatakan itu, Alice langsung melenggang pergi. Menulikan pendengaran ketika makian Cassie terdengar mengumpati dirinya. Dasar cewek bar-bar! Alice mengepalkan tangan, wajahnya terlihat sangat kesal. Ia tidak bisa membiarkan hari-harinya berubah kacau, maka dengan tekad bulat, Alice akan menemui Ragas dan mengambil buku diarinya. Setelahnya ia akan menjaga jarak dari cowok sialan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD