Fantasi Alice

2020 Words
Alice melangkah mantap, memasuki kantin yang ramai. Baris-baris meja terisi penuh, keriuhan terdengar oleh obrolan-obrolan di setiap meja. Pemandangan yang lazim ditemukan di kantin, gerombolan-gerombolan yang saling membentuk persekutuan di tiap kalangan. Ini bukan kali pertama Alice melangkahkan kaki memasuki kantin sendirian. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di universitas Graha Mulya Persada, salah satu universitas swasta nomor satu di ibu kota, Alice memang selalu sendirian ke mana-mana. Harusnya ia baik-baik saja ketika sekarang memasuki kantin sendirian. Tapi semenjak skandalnya dengan Ragas mencuat dan tersebar luas ke seantero kampus, hal biasa pun berubah jadi tak biasa. Seperti sekarang, hampir semua mata melirik kepadanya, mengintai setiap langkah kakinya. Risih? Sudah pasti. Itu kenapa Alice nekat menghampiri bangku paling pojok, di mana bangku itu dipenuhi oleh perkumpulan cowok-cowok nakal. Ia bertekad untuk mengakhiri penderitaannya, mengembalikan ketenangannya seperti semula, sebelum ia berurusan dengan Ragas. Ya, Alice terlalu nekat, saking nekatnya semua mata kini secara terang-terangan melihat ke arahnya yang dengan gagah berani berhenti di meja perkumpulan cowok-cowok nakal di kampus. "Mau apa dia nyamperin Galvatron?" "Wah, si cupu kayaknya mulai mau beraksi? Dasar emang cewek caper, haus perhatian!" "Kegatelan banget njir!" Alice bisa mendengar jelas komentar-komentar sinis yang membicarakan dirinya. Mereka semua mengatai Alice dengan sebutan-sebutan yang kurang pantas didengar. Bahkan mereka juga sampai menyebut Alice sebagai cabe-cabean kegatelan. Bukankah cewek-cewek itu sudah sangat keterlaluan? Harusnya Alice marah, tapi sayangnya semua kemarahannya sudah direbut semua oleh Ragas. Ya, cowok rese itu sudah berhasil membuat ubun-ubun Alice mendadak ngebul, ketika ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Ragas yang tengah senyum-senyum membaca buku diarinya. Ragas sialan! Minta disantet dia! "Ssuuut!" Sehan yang duduk di sebelah Ragas pun menyikut lengan cowok itu, memberitahu soal kehadiran Alice. "Cewek lo dateng," bisiknya, tapi terdengar jelas sampai ke telinga Alice. Alice mengepalkan kedua tangannya, semakin marah saat mendengar teman Ragas menyebutnya sebagai ceweknya Ragas. Hello! Sejak kapan mereka pacaran? Alice tak pernah merasa jadian sama Ragas, meski berkali-kali Ragas mengklaim sepihak dirinya sebagai pacar. Ia tidak sudi disebut sebagai pacar Ragas! "Cari siapa?" Arnold lebih dulu berbasa-basi ketika Ragas baru saja medongakkan kepala untuk melihat siapa yang dimaksud oleh Sehan. "Cari ayang beb-lah, gimana sih lo, nggak peka banget." Kai menyahut dengan nada tengilnya. "Oh, kirain mau nyari gue. Kan secara gue lebih populer dari pada si Ragas." Arnold terkekeh, dengan bangga menyanjung diri sendiri. Memang benar, Arnold lebih populer di kalangan cewek-cewek. Karena pamor keluarganya yang konglomerat dan juga track record-nya sebagai playboy kelas kakap. Bahkan Alice yang cupu saja tahu soal desas-desus Arnold yang suka gonta-ganti teman bobo. "Nggak usah kepedean lo, dia nggak suka cowok modelan kayak lo, dia sukanya yang kayak gue." Ragas bangkit dari duduknya, menghampiri Alice. "Iya kan sayang." Bahkan dengan gila meraih pinggang Alice dan mengecup pipinya. "Wowo!" "Emang si kucing garong, paling nggak bisa lihat ikan asin nganggur! "Minggat lo, Gas! Mata suci gue ternodai!" "Sialan emang si Ragas, bikin jiwa jomlo gue bergetar." Teman-temannya saling mengomentari tindakan Ragas barusan. Tapi sang empu terlihat santai dan biasa saja, seolah ia malah bangga memamerkannya pada teman-temannya yang memang jomlo. Meski setiap malam mereka selalu ganti-ganti pasangan, yang memang diperuntukkan hanya untuk sesaat. Mungkin cuma Ragas yang tak berminat mengikuti rutinitas sesat mereka semua. "Bisa kita bicara?" Mati-matian Alice menahan diri untuk tidak mengamuk. Tangannya sudah gatal ingin meninju wajah Ragas, meski yang terjadi ia hanya berhasil menepis kasar tangan Ragas dari pinggangnya. Tapi sorot mata dan aura membunuh begitu kental menguar dari ekspresinya. "Mau ngomong apa sih sayang, ngomong aja di sini. Gue dengerin kok." Ragas masih belum menyadari kalau nyawanya tengah terancam, karena sewaktu-waktu bisa saja Alice merealisasikan pemikiran sesatnya untuk memutilasi Ragas. Ia malah terus menggoda Alice, menaik turunkan kedua alisnya dan memberikan kerlingan genit. Najis! Alice mau muntah melihatnya. Ragas memang tidak tahu diri dan tak punya urat malu. Bisa-bisanya ia berlagak sok mesra di saat tatapan bengis Alice layaknya anak panah yang siap menancap matanya. "Nggak di sini!" tukas Alice, kekesalannya makin menjadi-jadi. "Sekarang, ikut aku." "Mau ke mana sih sayang?" Ragas masih saja bersikap sok manja, ketika Alice menyeretnya pergi menuju pintu keluar kantin. Gadis itu mengabaikan sorakan berisik teman-teman Ragas dan tatapan penasaran dari seluruh mahasiswa yang ada di kantin. "Mau ngajakin mojok ya?" Ragas mendengkus geli setelah mengatakannya. Sementara Alice menahan amarahnya agar tidak meledak saat ini juga. Keinginan untuk memutilasi Ragas kian besar, membuatnya tak segan menyeret Ragas ke belakang kampus di mana tempat itu lumayan sepi. Tujuan Alice cuma satu, ia tidak mau pembicaraannya dengan Ragas jadi pusat perhatian ataupun didengar oleh siapa pun. Tapi sepertinya Ragas berpikiran lain. "Tuh kan, gue bilang juga apa, pasti mau ngajakin mojok. Bilang kek, nggak usah nyeret-nyeret segala, gue dengan senang hati bakal mau kalau diajakin mojok sama lo." Ragas terkekeh, seolah ucapannya lucu. Sedangkan tak ada yang berubah dari ekspresi Alice, malah bertambah garang dan menatapnya penuh kebencian. "Balikin buku diari aku!" Alice meminta paksa buku diarinya. Tapi memangnya Ragas akan memberikannya? Sekalipun Alice berteriak lantang pun laki-laki itu tidak akan memberikannya secara cuma-cuma. "Kamu nggak seharusnya menahan barang yang bukan menjadi milik kamu. Jadi sebaiknya kamu kembalikan kecuali ...." "Kecuali apa?" Ragas sama sekali tidak takut, malah menantang balik Alice yang seperti ingin memakannya hidup-hidup. "Aku bakal laporin kamu ke rektor, biar kamu dihukum karena berani mencuri barang milik aku!" Alice tidak main-main dengan ucapannya, meski terdengar sangat konyol. Tapi walaupun ia bersungguh-sungguh akan melaporkan Ragas ke rektor, nyatanya cowok itu sama sekali tidak mengindahkan ancamannya. Ragas malah semakin berani menantangnya. "Silakan. Lagian gue nggak nyuri, tapi minjem." "Hah? Minjem kamu bilang? Jelas-jelas kamu ngambil tanpa persetujuan aku, itu namanya nyuri!" "Nyuri itu kalau gue ngambil tanpa sepengetahuan lo. Tapi kan lo lihat dan lo juga nggak keberatan 'kan waktu gue ambil bukunya?" Ragas menyeringai, menunjukkan kalau dirinya berhasil menang telak. Bahkan ia sengaja memamerkan buku diari Alice yang ada di tangannya. "Ngomong-ngomong gue udah baca setengahnya, nggak nyangka ya ternyata fantasi lo liar juga," komentar Ragas tentang apa yang telah ia baca dari buku diari Alice. Alice melotot horor. Ini nih yang Alice takutkan soal buku diarinya ada di tangan Ragas. Cowok itu pasti akan lancang membaca isinya, di mana isi diari Alice bukan hanya berisikan keluh kesahnya atau curahan hati saja, tapi juga berisi deretan fantasi gila yang dengan bodohnya Alice tulis di buku diarinya. Ini semua gara-gara novel dewasa yang sering ia baca, sampai akhirnya Alice tidak tahu harus mencurahkan reaksinya ke mana selain berandai-andai dan menuliskannya di buku diari. Siapa kira jika hal tersebut malah jadi kebiasaan dan sekarang jadi aib yang tidak seharusnya diketahui oleh siapa pun. Tapi sialnya Ragas sudah terlanjur tahu dan malah menjadikan hal itu untuk mengancam balik Alice. "Kira-kira gimana ya kalau rektor tahu, salah satu murid berprestasinya ternyata punya pikiran mes————" Alice spontan membekap mulut Ragas, seraya melototinya. Meminta lewat sorot mata agar Ragas tidak berkata apa-apa, sepertinya Alice sangat panik dan ketakutan jika ada yang mendengar ucapan Ragas barusan dan Ragas memanfaatkan momen itu. Ragas menyingkirkan tangan Alice dari mulutnya, terkekeh pelan sambil menyeringai penuh arti. "Lo takut?" Pertanyaan bersifat mengejek. Alice mengumpat dalam hati, tapi ia tak bisa berkutik. "Mau kamu apa sih? Kenapa kamu tiba-tiba ngerecokin kehidupan aku? Bisa nggak kita balik kayak sebelum-sebelumnya, saling tidak mengenal!" "Enggak." Ragas menggeleng dramatis. "Sayangnya gue nggak bisa kayak dulu. Sayang banget kan kalau punya tetangga cantik, polos, gemesin, tapi dianggurin." Kayaknya Ragas emang minta banget disantet. Habis sudah kesabaran Alice menghadapi tingkah lakunya yang menyebalkan. "Balikin diari aku!" "Enggak mau!" "Balikin Ragas!" "Enggak mau sayang, aku belum baca semuanya. Nanti aku balikin kalau udah kelar baca." "Ragas!" Alice terus melompat, berusaha menggapai buku diarinya yang dijunjung tinggi oleh Ragas. "Balikin buku diari aku, Ragas!" Dan seperti biasa, ia gagal menggapainya dan malah jatuh dipeluk Ragas. Untungnya posisi mereka masih berdiri, bukan seperti terakhir kali waktu di kampus. Dan yang lebih amannya lagi tak ada seorang pun di sekeliling mereka. Alice patut mensyukurinya, walau tidak dengan posisinya yang dipeluk Ragas. "Lo mau gue balikin buku diarinya?" Suara Ragas terdengar serak, sorot matanya menatap lekat Alice yang mendongak. Mengingat tinggi badan gadis itu hanya sedadanya. "Iya, jadi cepetan balikin sekarang juga!" Alice memaksa. "Oke, tapi dengan syarat." "Syarat?" Alice menaikkan sebelah alisnya. Ragas mengangguk. "Gue minta lo penuhi tujuh permintaan gue." "What?" Alice terbelalak, tak habis pikir. Itu kan diarinya, kenapa harus seribet ini untuk mendapatkannya kembali? "Kalau lo mau buku diari lo balik, kecuali lo lebih suka buku diari lo mejeng di mading?" Ancaman Ragas berhasil membuat Alice tak mampu berkata-kata. Alice bisa membayangkan kutukan macam apa yang akan menimpanya, jika buku diarinya mejeng di mading. Tentunya itu bukan hal baik, malahan sangat-sangat buruk dan Alice tak boleh membiarkan hal itu sampai terjadi. Never! "Mau kamu apa sih, Ragas? Bisa nggak bikin hidup orang lain tenang? Kenapa kamu kayaknya hobi banget bikin kacau orang lain!" cecar Alice, muak. Ragas menaikkan satu alisnya, menyeringai lebih ngeri. "Jadi lo merasa kacau karena gue? Atau karena takut fantasi liar lo dibaca sama anak-anak?" "HEH!!!" Alice sudah bersiap akan menyemprot Ragas dengan berbagai kalimat mutiara, tapi cowok itu berhasil membuat Alice terdiam kaku. "Cuma tujuh permintaan dan hidup lo bakal damai sentosa. Bukan hal yang sulit 'kan?" Ragas menaik turunkan kedua alisnya, menunggu respon Alice. Alice mengembuskan napas kasar, merasa tersudut. Ia tidak tahu harus bagaimana, maju kena mundur kena, membuatnya bimbang menentukan pilihan. Yang pasti menantang Ragas tidak akan membuat kondisinya membaik, yang ada cowok itu malah bisa nekat dan membuatnya jadi bulian seluruh penghuni kampus. Bahkan bisa-bisa malah ia yang dipanggil rektor dan lebih parahnya bakal disidang karena berkelakuan buruk gara-gara curhatan fantasinya yang tersebar. Tentu Alice nggak mau hal itu terjadi. Alhasil ia dengan terpaksa menerima penawaran Ragas. "Oke, aku bakal penuhi tujuh permintaan kamu. Tapi kembalikan buku diari aku, sekarang." Ragas tersenyum puas mendengar jawaban Alice. "Bakal gue balikin setelah lo penuhi permintaan pertama gue." "Apa?" Alice mengernyit, harap-harap cemas. Ia berharap kalau Ragas tidak akan meminta sesuatu yang aneh. Meski melihat seringai mencurigakan Ragas membuat bulu kuduknya merinding. "Jadi pacar gue." "Hah?" Alice nggak salah dengar 'kan? "Nggak kok, lo nggak salah dengar. Jadi pacar gue. Gimana, deal?" Ragas mengulurkan tangannya, meminta Alice menjabat tangannya sebagai tanda setuju. Tapi Alice bingung, perasaannya gamang. Bagaimana bisa ia jadi pacar Ragas, mengingat dirinya sangat membenci cowok itu. Berteman saja Alice pikir-pikir, apalagi ini minta jadi pacar. Ragas benar-benar sinting! Tapi Alice juga tidak punya pilihan lain. Menolak permintaan Ragas sama halnya dengan bunuh diri, cowok itu pasti akan murka dan tidak segan memajang buku diarinya di mading. Ragas kan memang suka nekat. "Deal?" Ragas mengedikkan sorot matanya, menunggu Alice menjabat uluran tangannya sebagai persetujuan. "Lama." Tapi Alice yang tidak kunjung melakukannya membuat Ragas tidak sabar dan berdecak kesal. "Nggak mau? Yaudah, gue bakal pajang————" "Eee-eeeh, jangan!" Suara Alice menginterupsi, buru-buru menjabat tangan Ragas dengan setengah hati dan sangat terpaksa. "Deal kok, deal. Aku mau jadi pacar kamu, sekarang balikin buku aku———" Alice tercekat, ketika Ragas tiba-tiba menarik tangannya. Matanya seketika membola saat sesuatu yang kenyal menabrak bibirnya. s**t! Alice ingin menarik diri, tapi Ragas berhasil menekan tengkuknya sampai tidak bisa bergerak ke mana-mana. Detak jantungnya berpacu saat bibir Ragas menyentuhnya dengan sangat lembut, sebelum akhirnya menuntut tergesa-gesa. Bukankah harusnya Alice marah? Ataupun kabur? Tapi yang terjadi Alice hanya diam seperti patung, terlalu mendadak sampai ia merasa bukan hanya bibirnya yang direnggut paksa tapi juga nyawanya. Hingga Ragas akhirnya berhenti dan menarik wajahnya kembali, meski posisi mereka masih cukup intim. Cowok itu menyeka bibir Alice, menarik atensi sepenuhnya dengan sisa-sisa kesadaran. "Yang barusan buat bukti kesepakatan kita, mulai sekarang lo resmi jadi pacar gue," ucap Ragas, memberikan buku diari Alice. "Dan hal pertama yang harus lo ingat, lo cuma milik gue. Nggak ada satu orang pun yang boleh deketin lo, ngerti!" Alice bergeming, masih syok. Nyawanya belum berkumpul, bahkan ia diam saja saat Ragas mengecup pipinya dan pamit pergi. "Sampai ketemu nanti, baby." Setelah beberapa saat kepergian Ragas, barulah Alice tersadar sepenuhnya. Ia mendengkus sinis, memandangi buku diari di tangannya. Alice memegang erat buku itu, seolah menyalurkan semua kekesalannya yang sejak tadi tertahan. "Ragas sialan!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD