Kehebohan Tara

1419 Words
Tepat pukul satu dini hari, ponselku berbunyi. Sebuah pesan dari Bu Sania masuk, besok aku diminta ikut perjalanan bisnis ke Bandung dan menginap semalam. Ternyata asisten pribadinya, Vidya, mendadak harus dirawat di rumah sakit dan menjalani operasi usus buntu. Masalahnya, aku belum menyiapkan keperluan pribadi, apalagi materi meeting yang seharusnya dikerjakan oleh Vidya. Terpaksa aku harus menyiapkannya dengan cepat dan mengirimkannya kepada Bu Sania sebelum subuh. Agar tidak mengantuk, aku memutuskan untuk bekerja di meja bar sambil menyeruput kopi. Kalau dikerjakan di kamar, aku pasti tergoda untuk rebahan dan pekerjaan bisa terbengkalai. “Astaga! Aku kira hantu!” teriak Dirga sambil mengucek mata dengan rambut berantakan. “Mana ada hantu secantik aku?” balasku ketus, kesal karena kaget. Dia terkekeh pelan, lalu berjalan santai ke arah lemari es. Setelah membuka pintunya, dia menuang air dingin ke gelas yang dibawanya dari kamar. “Hantu juga banyak yang cantik,” katanya sambil menutup lemari es. “Cuma mereka nggak punya make-up, makanya kelihatan pucat.” Aku mendelik. “Pinter banget kalau disuruh ngejawab!” Dirga malah nyengir lebar dan berjalan mendekat, lalu duduk di sebelahku. “Jangan ganggu!” seruku sambil memeluk laptop. “Orang aku diam aja,” balasnya. “Nafas kamu aja ganggu konsentrasiku.” Dia pura-pura terkejut. “Lah, malah nyalahin nafas pemberian Tuhan.” Dia menaruh gelas di atas meja perlahan, seolah takut menggangguku. “Jam berapa ini kamu masih kerja?” “Aku baru bangun. Dan sebenarnya pekerjaan ini bukan tugasku, tapi temanku yang harusnya ngerjain lagi sakit.” “Siapa?” “Asisten pribadi Bu Sania. Namanya Vidya.” Dirga mengangkat alis. “Sakit apa dia sampai melalaikan tugasnya? Koma? Hampir meninggal? Atau jangan-jangan sudah meninggal?” PLAK! Aku memukul lengannya. “Bicara yang bener, ah! Dia cuma operasi usus buntu.” Dirga meringis. “Ya ampun, kamu ini emosian banget sih.” “Oh iya, besok aku harus ke Bandung dan menginap semalam,” ujarku sambil terus mengetik. “Kamu jaga apartemen, jangan diberantakin.” Dirga mengernyit. “Kenapa harus menginap?” “Ya karena kerjaan biasanya selesai malam. Bu Sania pasti capek, jadi harus istirahat dulu sebelum pulang,” jelasku tanpa menoleh. Dirga menyandarkan punggung di kursi. “Menurutku temanmu yang namanya Vidya itu nggak sakit. Dia cuma malas ngerjain pekerjaannya. Lagipula, kalau besok ada perjalanan bisnis, seharusnya materi meeting sudah siap dari kemarin.” Aku berhenti mengetik dan meliriknya. “Kalau soal itu, aku nggak tahu. Meskipun kami sama-sama membantu pekerjaan Bu Sania, hubungan kami nggak terlalu dekat.” “Coba kamu ajak dia video call. Pasti dia nggak akan mau angkat.” Aku menatapnya dengan mata menyipit. “Ya jelas dia nggak bisa angkat, kan dia lagi dioperasi! Kamu ini gimana sih?!” Dirga memiringkan badan, lalu menopang pipi dengan satu tangan dan meletakkan sikunya di atas meja bar. Refleks aku menjauhkan tubuhku. “Bukan karena lagi operasi, tapi karena dia lagi tidur nyenyak di kosannya,” ujarnya. Aku mendengkus kesal. “Kamu suka suudzon sama orang, ih.” Dirga menyeringai. “Dan kamu terlalu polos, makanya gampang ditipu rekan kerja.” Aku menyilangkan tangan di d**a, berusaha menahan diri agar tidak terpancing. “Dirga, aku percaya sama apa yang Bu Sania bilang. Kalau beliau bilang Vidya sakit, ya berarti dia memang sakit.” Dia hanya mengangkat bahu santai. “Percaya boleh, tapi jangan berlebihan. Dunia kerja itu keras, Tara.” Dirga mengangguk singkat, lalu menarik laptopku mendekat. Matanya menyipit fokus meneliti layar. Laporan yang sedang aku kerjakan benar-benar bikin pusing—isinya penuh angka, sementara datanya cuma laporan penjualan dari dua bulan terakhir. “Ada beberapa yang keliru. Kamu kurang teliti,” komentarnya sambil menunjuk salah satu sel di layar. Aku menghela napas panjang. “Pusing banget. Sudah aku kerjakan berulang kali, tapi hasilnya tetap saja nggak balance.” Tanpa banyak bicara, Dirga langsung mulai mengetik. Wajah jahilnya lenyap, berganti dengan ekspresi serius. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, seolah sudah hafal apa yang harus dilakukan. Aku menatapnya takjub, setengah tak percaya. Siapa sangka, seorang sopir yang baru saja kehilangan pekerjaan dan bahkan belum punya tempat tinggal bisa menyelesaikan pekerjaanku secepat itu. Hanya dalam waktu setengah jam, Dirga sudah selesai dan langsung menekan tombol “send” untuk mengirim materi meeting ke email Bu Sania. “Kirim,” ucapnya singkat, lalu memutar layar laptop ke arahku. “Selesai.” Aku melongo. “Secepat itu?” Dirga menyandarkan punggung dan tersenyum miring. “Ya iyalah. Hitungan kayak gini sih gampang.” “Makasih— kamu penyelamatku malam ini.” Bukannya ikut senang setelah aku berterima kasih, Dirga malah mengetuk pelan keningku dengan jarinya. Aku mengerjap bingung. Rasanya tadi tidak melakukan kesalahan apa pun. “Kenapa?” tanyaku sambil mengelus kening. “Lain kali, bilang dulu sama aku sebelum kamu mau terima tugas yang seharusnya dikerjakan temanmu itu,” jawabnya. Aku mengernyit. “Memangnya kenapa? Kan ini tugas urgent.” Dirga menghela nafas pelan, lalu menatapku lekat. “Tara, temanmu itu sengaja ngerjain kamu. Laporan penjualan yang dia kirim nggak lengkap, makanya dari tadi kamu nggak bisa menyelesaikannya dengan benar.” Aku terdiam, berusaha mencerna ucapannya. “Maksudmu, dia sengaja bikin aku kelihatan salah di depan Bu Sania?” “Hm,” jawabnya. “Untung aku kebangun. Kalau nggak, kamu bisa begadang sampai subuh dan tetap nggak akan dapat hasil yang benar.” Aku mendecak kesal, rasa lelah mendadak berubah jadi jengkel. “Astaga, keterlaluan banget sih!” Dirga hanya tersenyum tipis, seolah sudah menduga reaksiku. “Makanya lain kali jangan terlalu polos. Dunia kerja itu keras, ingat?” Aku mengerucutkan bibir sambil mengangguk pelan. Dirga lalu mematikan laptop, menutupnya, dan memasukkannya ke dalam tasku. Setelah itu, dia mengambil gelasnya dan bangkit dari tempat duduk. “Tidurlah. Masih ada beberapa jam lagi, lumayan buat isi tenaga,” ucapnya. Aku menguap sambil merenggangkan badan. “Kalau aku belum bangun, tolong bangunin aku sebelum subuh, ya. Soalnya kadang aku nggak denger alarm kalau lagi capek banget.” “Iya,” jawabnya singkat, lalu berjalan menuju kamarnya sambil meneguk sisa air di gelasnya. Aku memandangi punggungnya yang semakin menjauh, kemudian menarik napas panjang. Baru kali ini aku merasa lega sekaligus kesal dalam waktu yang bersamaan. Begitu pintu kamar Dirga tertutup, aku mematikan lampu dapur dan kembali ke kamar, berharap bisa tidur sebelum subuh tiba. *** “Taraaa! Bangun!” suara Dirga terdengar dari luar kamar, diikuti ketukan pelan di pintu. Aku mengerang, baru sadar kalau alarm ponselku entah sudah mati atau memang tidak kudengar sama sekali. Jam sudah menunjukkan pukul 04.30. Aku melompat turun dari tempat tidur. “Ya ampun! Aku telat!” seruku panik sambil berlari ke arah kamar mandi. Lima belas menit kemudian, aku keluar sambil mengenakan dress kerja dan rambut masih basah setengah. “Kaos kaki— kaos kaki di mana?!” Dirga berdiri di depan pintu kamar dengan menyilang tangan di d**a. “Makanya kalau tidur jangan kayak orang pingsan. Tuh, kaos kaki kamu ada di bawah ranjang. Kamu tidur atau berantem sama hantu semalam?” Aku langsung jongkok dan meraih kaos kakiku yang sudah kusiapkan sejak semalam. “Jangan cerewet, aku lagi panik!” Dirga mendekati koperku yang masih terbuka lalu mulai menata pakaian yang berserakan. “Astaga, ini koper atau kapal karam? Anak gadis kok begini kelakuannya.” “Aku buru-buru!” protesku. Dirga mendengkus, tapi tetap melipat kemeja dan merapikan pouch kecilku. Saat dia menarik satu sisi koper untuk menutup, matanya menangkap tali warna pink yang menjuntai keluar. “Ini apa?” gumamnya sambil menariknya keluar. Aku baru sadar apa yang dia pegang. BRA! “DIRGAAA!!!” teriakku kencang sambil berlari menghampiri. Dirga langsung refleks menjatuhkannya ke lantai seperti baru memegang benda panas. “Astaga! Aku kira ini tali masker!” Wajahku memanas seketika. “ITU BUKAN MASKER! Jangan asal pegang barang pribadiku!” Dirga melangkah mundur dengan kedua tangan terangkat, nyaris tertawa. “Salah kamu sendiri taruh barang kayak jebakan!” Aku memungut bra itu dengan cepat lalu melemparkannya ke dalam koper dan menutupnya rapat-rapat. “Keluar! Gak usah bantuin lagi.” Dirga terbahak, sampai harus bersandar di pintu sambil memegangi perut. “Haha! Sumpah ini pagi paling seru setelah aku jadi pengangguran!” “DIRGAAA!!!” teriakku kesal, melempar kaos kaki yang belum kupakai seperti ninja melempar shuriken. Dirga menangkap kaos kaki itu dengan cepat lalu melemparkannya ke atas koper. “Cepetan pakai! Kalau telat terus Bu Sania marah, jangan salahin aku!” serunya sambil melangkah keluar. Aku menjatuhkan diri di tepi ranjang, pipiku panas seperti direbus. “Mamaaa! Harga diriku baru saja dicabik-cabik sama Dirga!!!” teriakku, lalu menutup wajah dengan kedua tangan sambil meringis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD