Nyaris Ketahuan

1443 Words
“Aku tuh sungkan loh kalau ketemu Pak Satpam apartemen,” kataku begitu turun dari motor. Dirga dengan cekatan membantu melepaskan helmku. “Tadi pagi kita bahkan nggak ketemu satpam. Lagian kamu tinggal di unit apartemen milik sendiri, bukan numpang tidur di lobi,” balasnya santai. Aku mencebikkan bibir. Sambil menenteng bungkusan lauk yang kubeli di kantin kantor saat menunggu jemputan darinya. “Aku tuh numpang di apartemen Mbak Ayla.” “Ya nggak usah diperjelas juga kali,” Dirga terkekeh. “Aku yakin temanmu itu nggak akan keberatan kalau kamu tinggal selamanya di unitnya. Keluarga Wirasatya kan sangat kaya dan dermawan.” Aku menunduk, menggigit bibir. “Aku belum cerita sama Mbak Ayla soal pertengkaran kemarin malam. Dia lagi hamil muda, aku takut bikin dia shock.” Dirga menatapku sebentar, lalu tersenyum miring. “Menurutku, dia nggak bakal kaget. Malah mungkin senang, karena kamu akhirnya punya bodyguard pribadi.” Kami pun berjalan menuju lift, masih saja membicarakan masalah semalam. “Apa kata orang kalau aku tinggal dengan seorang pria. Yang bahkan nggak ada hubungan keluarga sama sekali denganku?” tanyaku setengah berbisik. “Orang siapa?” Dirga menoleh heran. “Ya Pak Satpam, resepsionis, sama penghuni apartemen lainnya.” Dirga mendengkus pendek. “Mereka nggak bakal peduli sama kehidupanmu, Tara. Jangan samakan Jakarta dengan kampung halamanmu. Di sini semua orang sibuk ngurus diri sendiri.” Aku menyipitkan mata. “Benarkah? Kita nggak bakal digerebek massa, kan?” Dirga terbahak. Tawanya pecah sampai memegangi perut. “Ya ampun, Tara! Digerebek massa? Kamu kebanyakan nonton sinetron ikan terbang, ya?” Aku menghela napas panjang, jengkel setengah mati. ‘Astaga, pria ini sungguh menyebalkan sekali. Rasanya pengen banget aku ketok jidatnya!’ Lift pun berhenti di lantai yang kami tuju. Dirga keluar lebih dulu dengan langkah lebar, sementara aku mengikuti dari belakang, masih merutuki tawanya barusan. “Jadi, kamu tuh sebenarnya sungkan sama Pak Satpam itu? Takut dikira yang aneh-aneh?” tanyanya tanpa menoleh. “Hmmmm,” gumamku sebagai jawaban. Dirga menoleh sedikit, bibirnya menyunggingkan senyum seakan sudah tahu isi kepalaku. “Tara, apartemen ini milik keluarga Wirasatya. Dan unit yang kamu tempati itu milik Ayla. Coba bayangin—mana ada yang berani nyebarin gosip jelek tentang kamu?” Aku langsung menyipitkan mata. “Kenapa nggak berani?” “Karena mereka pasti sayang sama pekerjaannya,” jawab Dirga. “Kerjaan nyaman, gaji besar, tunjangan tiap tahun melimpah. Dan kamu tahu kan? Keluarga Wirasatya paling anti sama karyawan bermasalah. Kalau ada yang menyebar gosip, bisa-bisa besok langsung dikasih surat peringatan.” Aku terdiam, kembali menghela napas panjang. Sebagian diriku ingin membantah, tapi sebagian lagi— ya, masuk akal juga. Mau tidak mau, aku mencoba percaya pada semua kata-kata yang baru saja diucapkan Dirga. Sambil melangkah di belakangnya, aku bergumam lirih, “Tapi tetap aja— rasanya aneh.” Dirga yang mendengar langsung menoleh dengan ekspresi jahil. “Aneh kenapa? Karena kamu tinggal serumah sama pria tampan dan rajin kayak aku?” Aku langsung melotot. “Dirga!!!” Dirga pun sigap membuka pintu ketika aku hampir saja melempar tas ke arahnya. Rasa lelah setelah seharian bekerja agak terobati karena tingkah menyebalkan pria itu. Begitu aku melangkah ke dapur, niat awal cuma mau ambil air minum. Tapi mataku langsung tertuju pada meja bar yang sudah tersaji segelas jus jeruk dingin dan kue putu ayu yang masih hangat. Aku menoleh cepat ke arahnya. “Kamu hari ini nggak jadi cari kerja?” “Jadi dong,” jawabnya sambil mencomot satu kue. “Aku sudah melamar di sepuluh perusahaan untuk posisi supir.” Aku mengangkat alis, lalu menunjuk ke arah meja. “Terus, siapa yang bikinin jus jeruk sama kue ini?” “Ya jelas aku, lah,” Dirga menyeringai. “Abis nganter kamu tadi pagi, aku langsung cari kerja. Tapi karena panasnya kebangetan, aku mutusin balik ke apartemen. Besok lanjut lagi.” Aku mendengkus sambil melipat tangan di d**a. “Luar biasa sekali. Seorang pengangguran ternyata bukan takut kelaparan atau nggak punya tempat tinggal, tapi lebih takut sama sinar matahari.” Dirga menegakkan tubuh, memasang wajah serius. “Tara, kamu nggak lihat cuaca hari ini? Teriknya benar-benar menyengat. Kulitku yang putih kemerahan ini, sangat sensitif.” Aku mendelik, hampir tersedak oleh ucapan Dirga. “Putih kemerahan?” “Iya. Kayak bule yang nyasar ke iklim tropis,” jawabnya enteng, sambil merapikan rambutnya. Aku menepuk jidatku. “Astaga, Dirga. Kamu tuh anehnya level dewa.” Karena tenagaku hampir habis untuk meladeni keabsurdan Dirga, akhirnya aku mencicipi kue tradisional yang katanya buatan tangannya sendiri. Rasanya enak, sama seperti masakannya tadi pagi. Kuakui, selain jago bersih-bersih rumah, Dirga juga cukup pandai memasak. Untung saja di apartemen ini bahan makanan dan kue selalu lengkap, meskipun aku jarang menyentuh dapur. “Gimana rasanya?” tanyanya dengan tatapan penuh percaya diri. Belum sempat aku menjawab, ponselku tiba-tiba berdering. Aku melirik layar dan ternyata Mama yang menelpon. “Jangan berisik! Aku mau angkat telepon,” ujarku cepat. “Dari siapa?” tanya Dirga penasaran. Aku menunjukkan layar ponsel ke arahnya, dan begitu melihat siapa yang menelpon, dia hanya mengangguk pelan, langsung paham situasinya. Aku tersenyum, lalu menggeser tombol hijau di layar. Tak lama kemudian wajah cantik Mama memenuhi layar ponselku. Di seberang sana, Mama tampak sibuk mengaduk adonan kue. Pesanan pelanggan yang nanti akan dijual di Pasar Gede, Surakarta. “Sayang, apa kabar?” sapa Mama lembut sambil tetap bergerak lincah di dapur. “Alhamdulillah baik, Ma. Mama sendiri gimana kabarnya?” tanyaku penuh rindu. “Alhamdulillah, Mama juga baik,” jawabnya sambil tersenyum hangat. Aku menggigit bibir, suaraku melembut. “Jangan kecapekan, Ma. Sekarang Tara udah kerja. Nanti aku kirim uang setelah gajian, ya.” “Justru Mama harus menyibukkan diri setelah kamu pindah ke Jakarta, Nak. Rumah jadi sepi sekali, nggak ada suara kamu yang biasanya cerewet tiap pagi.” Dadaku terasa sesak mendengar itu. “Maaf ya, Ma. Tara janji nanti kalau tabungan sudah cukup, aku bakal balik ke Solo buat lanjutin S2.” Mama langsung menggeleng pelan. “Kok malah minta maaf? Mama bangga sama kamu, Nak. Bisa kerja di butik terkenal di Jakarta, jadi sekretaris pula. Itu sudah luar biasa buat Mama.” Kami pun mengobrol tentang aktivitas hari ini. Dengan lancar aku menceritakan kesibukanku di kantor dan betapa baiknya Bu Sania sebagai atasan. Seperti biasa, Mama menjadi pendengar terbaik. Beliau tak pernah menyela, hanya sesekali mengangguk atau tersenyum, lalu menunggu aku selesai bercerita sebelum memberi tanggapan. Rasanya nyaman sekali bisa melepas penat dengan berbagi cerita pada Mama. Di tengah obrolan hangat itu, tiba-tiba terdengar suara bersin keras dari arah belakang. Saking kencangnya, sampai-sampai aku yakin suara itu ikut terdengar jelas di seberang telepon. Refleks aku langsung melotot galak ke arah Dirga. Pria itu buru-buru mengangkat dua jarinya, memberi isyarat minta maaf dengan wajah penuh penyesalan— sekaligus menahan tawa jahil. “Suara siapa itu, Nak?” tanya Mama curiga. Aku tersenyum kaku, otakku berputar mencari alasan. “Ah, itu— teko air, Ma. Lagi mendidih.” Mama tampak mengernyit. “Teko? Tapi kok mirip suara pria bersin, ya?” Aku menepuk kening, lalu buru-buru menyahut. “Oh, iya! Aku lupa kasih tahu Mama, barang-barang di apartemen Mbak Ayla tuh unik-unik. Jadi kalau teko mendidih, suaranya aneh—kayak orang bersin.” Di belakang, Dirga hampir meledak menahan tawa, wajahnya sampai merah padam. “Ma, udah dulu ya. Aku mau mandi. Gerah banget rasanya,” pamitku buru-buru, masih melirik tajam ke arah Dirga. “Iya, Sayang. Jangan lupa makan malam, ya. I love you, Sayang,” jawab Mama lembut sambil melambaikan tangan. Aku tersenyum hangat. “Love you too, Ma.” Sambungan telepon pun berakhir. Begitu layar ponsel berubah gelap, aku langsung menoleh ke arah Dirga dengan tatapan maut. “Kamu sengaja, ya?” Dirga memasang wajah polos, menahan senyum tapi gagal total. “Aku gak bisa ngatur kapan mau bersin.” Aku menghela napas berat, lalu menaruh ponsel di meja. “Tapi, kan, bersinmu keras banget! Aku nyaris ketahuan menyelundupkan seorang pria di apartemen ini.” Dirga malah nyengir, mencomot kue putu ayu terakhir di piring. “Kalau Mama kamu sampai tahu aku tinggal di sini, beliau pasti lega. Karena ada pria gagah perkasa yang siap jagain anak gadisnya.” “Jagain? Lebih tepatnya menambah bebanku!” Dirga terkekeh puas. “Ya ampun, Tara. Kamu tuh lucu banget kalau lagi panik. Sampai ngarang alasan teko bisa bunyi kayak orang bersin. Itu adanya di drama china genre kolosal.” “Aku harap Mama percaya dengan jawabanku tadi.” “Tenang aja,” Dirga mengangkat bahu santai. “Aku kan jago akting. Kalau nanti Mama kamu beneran tanya, bilang aja aku— apa, ya? Asisten apartemen? Atau tukang service AC panggilan?” Aku mendelik. “Dirga!!! Jangan bikin masalah baru!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD