Negosiasi Sekosan

1243 Words
"Awww, pelan-pelan, Tara," rengek Dirga saat aku mengobati luka di wajahnya. "Padahal aku nggak neken lukamu, loh," balasku. "Tapi tetap sakit—" Aku menatapnya sejenak, lalu menggerutu, "Udah tahu sakit, masih aja cari gara-gara." "Aku cuma ingin menolong wanita tadi," jelasnya. Aku memilih diam, lebih fokus merawat lukanya. Dia ikut terdiam, hanya sesekali meringis saat aku mengoleskan salep pada lukanya. Begitu selesai, aku membereskan kotak P3K dan meletakkannya di atas meja. Ada sesuatu yang penting ingin ku bicarakan dengannya. Sejak pertemuan kami tadi, terlalu banyak hal aneh yang membuatku penasaran. "Kenapa gitu lihatnya?" tanya Dirga, menatapku heran. "Aku pengen tanya sama kamu. Tolong jawab dengan jujur," balasku serius. Dia menghela napas, lalu mencondongkan tubuh ke arahku. "Katakan saja. Aku akan menjawabnya." "Pertama, kenapa kamu tahu kamarku ada di sebelah sana? Kedua, bagaimana kamu tahu letak pakaianku di lemari? Ketiga, dari mana asal pakaian bersih yang kamu pakai sekarang? Dan keempat—" aku menahan napas sejenak sebelum melanjutkan, "apa kamu mengenal pria dan wanita tadi?" Sebelum menjawab, Dirga membenarkan duduknya, lalu menghela napas panjang. Aku ikut membenarkan dudukku, menunggu penjelasannya dengan serius. "Aku cuma menebak soal kamarmu," katanya akhirnya. "Biasanya master bedroom selalu dipakai pemilik unit. Soal pakaianmu juga gampang ditebak—walk-in closet-mu kan pintunya kaca, jadi aku bisa langsung lihat isinya. Makanya mudah mencari baju." Dia menatapku sebentar, lalu melanjutkan dengan nada lebih tenang, "Jadi bukan karena aku tahu lebih dulu atau sering masuk ke sini, kalau itu yang kamu pikir." Oke, alasannya masih bisa aku terima. Lagi pula, Dirga memang terlihat seperti pria yang cerdas. "Untuk pertanyaan ketiga," lanjutnya, menunjuk pakaian yang dipakainya sekarang, "ini milik bosku. Kebetulan, dia tinggal di unit sebelahmu." "Maksudnya, pria galak dan jahat tadi bosmu?" tanyaku ragu. Dirga mengangguk pelan. "Sebelum keributan tadi, memang dia bosku. Tapi sekarang— aku sudah dipecat." Aku mengerling, curiga. "Karena kamu rebut pacarnya?" "Bisa-bisanya kamu memfitnahku," protesnya cepat, wajahnya berubah masam. "Tapi tadi dia bilang kamu menjadikan wanita itu sebagai mainan," ujarku pelan, menimbang-nimbang. "Ah, jangan-jangan kamu selingkuhannya?" Tak! Dirga menjitak keningku cukup keras hingga aku meringis. "Jangan mikir yang aneh-aneh!" serunya kesal. "Aku cuma ingin menolong wanita itu. Bosku memang kejam—dia selalu menganggap semua wanita yang diinginkannya harus tunduk padanya." "Kamu kerja jadi apa?" tanyaku lagi, masih penasaran. "Supir pribadi," jawabnya singkat. "Tinggal di mana?" "Kos, tapi sepertinya barang-barangku sudah dibuang, bahkan mungkin dibakar oleh mereka tadi." Aku terbelalak. "Terus gimana dong?" Dirga mengangkat bahu santai. "Ya aku cuma punya pakaian yang kupakai sekarang." Aku memandangnya tak percaya. "Kok kamu nggak sedih sih? Kamu baru aja kehilangan pekerjaan, tempat tinggal, bahkan pakaian pun nggak punya." Dia tersenyum tipis. "Buat apa sedih? Aku percaya setiap musibah pasti ada hikmahnya." Aneh banget pria di depanku ini. "Pasti tabunganmu banyak, makanya bisa santai walau dipecat," godaku. Dia malah menggeleng. "Ponsel aja aku nggak punya, apalagi tabungan." Aku mengernyit. "Eh, tadi aku lihat kamu pakai ponsel mahal." "Dirampas bosku— lalu dihancurkan," jelasnya. Aku sontak memekik, "Astaga! Ponsel semahal itu dihancurkan juga?" Aku memandangnya penuh rasa iba. Bahkan aku sempat membayangkan betapa beratnya berada di posisinya—tinggal di kota besar tanpa pekerjaan, tanpa uang, bahkan tanpa tempat tinggal. “Jangan kasihan sama aku,” ucapnya tiba-tiba, seolah bisa membaca pikiranku. “Aku akan tinggal di sini untuk sementara waktu.” Refleks aku mengangguk. “Ya, mau gimana lagi—” aku berhenti mendadak, mataku melebar. “Eh? Kamu barusan bilang apa?” Dirga tersenyum seenaknya. “Aku akan menumpang di apartemenmu. Ukurannya cukup luas, ada tiga kamar. Daripada kamu sendirian, aku bisa menemani.” Aku langsung melongo. "Aku akan membayar biaya sewa," ujar Dirga tiba-tiba. "Pakai apa?" tanyaku cepat. "Kamu aja nggak punya pekerjaan." Dia malah tersenyum, seolah sudah menyiapkan jawabannya. "Untuk sementara, aku bisa jadi supir sekaligus ART-mu." Aku mendengkus tak percaya. "Kamu pikir aku orang kaya?" "Setahuku," balasnya santai, "hanya orang berduit yang bisa tinggal di tempat seperti ini." Aku langsung menyilangkan tangan di d**a. "Kamu nggak lihat tadi di basement? Hanya aku yang bawa motor." Dirga malah mencondongkan tubuh, bibirnya tersenyum penuh arti. "Banyak kok orang kaya low profile, nggak suka pamer kekayaannya." Aku menggeleng, menatapnya kesal. "Tebakanmu salah. Aku ini cuma numpang. Apartemen ini punya Mbak Ayla." Dia mengangkat alis. "Siapa itu Ayla?" "Seorang wanita cantik yang sangat baik. Dia minta aku tinggal di sini supaya apartemennya nggak kosong," jelasku. Dirga tersenyum makin lebar. "Bagus kalau begitu. Aku juga bakal meramaikan apartemen ini." Aku sampai ternganga lagi. ‘Astaga, cowok ini bener-bener nggak ada malunya!’ Aku menghela napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Kucoba ulangi beberapa kali, semata-mata demi menjaga kewarasan dan kesabaran yang sudah di ambang batas. Sementara itu, Dirga masih saja tersenyum ke arahku. Senyum yang menyebalkan itu seolah berkata bahwa semua keputusannya barusan adalah hal paling wajar di dunia. “Kita bahkan belum kenal,” omelku akhirnya, nada suaraku terdengar jengkel. “Oh, baiklah. Kita ulang perkenalan,” sahutnya. Dia mengulurkan tangan dengan percaya diri. “Dirga Arrazka. Profesi: mantan supir. Status: menganggur dan butuh tumpangan tempat tinggal.” Aku menatap tangannya, tak habis pikir ada orang setenang dan sepercaya diri itu. “Kamu nggak boleh tinggal di sini!” tegasku. “Kenapa?” tanyanya polos. “Karena kita bukan muhrim,” jawabku cepat. “Memang,” balasnya enteng, “karena kamu bukan adikku.” Aku menatapnya tajam. “Makanya kamu tidak boleh tinggal di sini.” Dirga malah terkekeh pelan. “Tapi beda cerita kalau aku kerja sama kamu. Bisa dipertimbangkan lagi tinggal bersama—ah, maksudku, berbagi apartemen.” “Aku nggak punya banyak uang buat gaji kamu,” sahutku cepat. “Lagian, aku bisa bersihin apartemen sendiri dan berangkat kerja juga bisa sendiri.” Dirga malah menyandarkan tubuh ke sofa. “Aku cuma minta bayaran berupa tempat tinggal dan makan tiga kali sehari. Kalau bisa, sekalian dicarikan pekerjaan.” Aku ternganga mendengarnya. “Kamu kira ini yayasan amal apa?” Dia terkekeh, seolah sama sekali nggak merasa bersalah. “Kan aku juga bisa bantu. Aku bisa nyuci, nyapu, masak—ya, masaknya mungkin seadanya, tapi bisa dipelajari. Terus kalau kamu butuh diantar kerja atau belanja, aku bisa jadi supir lagi.” Aku mendesah panjang, setengah frustasi. “Dengar ya, aku nggak pernah bilang butuh supir. Dan soal ART, aku juga nggak butuh.” “Tapi kamu butuh teman, kan?” balasnya cepat, matanya menatapku penuh keyakinan. Aku langsung salah tingkah. “E-eh, siapa bilang?” Dirga menyeringai. “Ngaku aja Tara. Aku nggak akan bilang ke siapa pun.” Astaga, pria ini membuat kepalaku rasanya mau meledak! Aku benar-benar kehabisan kata-kata untuk berdebat dengan Dirga. Dia terlalu lihai menjawab setiap ucapanku—seolah semua argumenku sudah dia siapkan bantahannya. Tanpa rasa bersalah sedikit pun, dia bangkit dari sofa. Dengan langkah santai, Dirga menunjuk ke arah koridor. “Aku akan tinggal di kamar tamu sebelah sana. Tenang, aku bisa menyiapkan sprei sendiri. Aku sudah terbiasa hidup mandiri.” Aku sampai berdiri saking kesalnya. “Hei! Siapa yang kasih izin?” Dirga malah berbalik menatapku dengan wajah serius yang sok bijak. “Tara, kamu pernah belajar mata pelajaran PKn?” Refleks aku mengangguk, walau sebenarnya nggak ngerti dia mau ke mana arah pembicaraannya. “Nah,” lanjutnya tenang, “toleransi antar manusia itu penting. Dan, banyak pahala yang akan didapat kalau kita menolong sesama.” Aku terbelalak. “Kamu serius bawa-bawa pelajaran PKn buat melegalkan numpang tinggal?!” Dia tersenyum penuh kemenangan. “Ilmu itu harus dipakai dalam kehidupan sehari-hari, Tara.” Astaga. Aku bisa gila kalau terus-terusan menghadapi pria ini!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD