Karena hujan tak kunjung reda dan angin kencang membuat air masuk sampai ke dalam halte, pakaian kami mulai basah kuyup. Akhirnya, aku dan Dirga sepakat untuk tetap melanjutkan perjalanan pulang ke apartemen dengan jas hujan.
Masalahnya, jas hujanku model atasan-bawahan dan cuma ada satu.
“Kamu saja yang pakai. Kan aku duduk di belakang,” ujarku sambil menyerahkan jas hujan.
Dirga menggeleng. “Aku sudah biasa kehujanan. Kamu saja yang pakai, biar nggak masuk angin.”
“Buruan dipakai, biar kita cepat sampai apartemen. Aku makin ngeri sama cuaca malam ini. Kilat, angin, hujan—kompak semua bikin suasana horor,” kataku setengah mendorong Dirga agar cepat bergerak.
Akhirnya, dia menurut. Dirga langsung mengenakan jas hujan itu—dan aku hampir ngakak melihatnya. Jas hujan yang biasa pas di badanku terlihat terlalu kecil di tubuhnya.
“Hehe, ukurannya L. Pas sama tinggi dan badanku,” jelasku sambil menahan tawa.
Dirga menatapku tak terima. “Aku berasa kayak ketupat lebaran.”
Aku langsung mengernyit. “Maksudmu lepet?”
Dia mendecak. “Nah, itu! Lepet atau apalah. Pokoknya jangan salahkan aku kalau bagian bawah jas hujanmu robek.”
Aku sempat bingung sampai dia menunjuk bagian yang dimaksud. Begitu mataku ikut menoleh, aku langsung sadar apa maksudnya—dan pipiku seketika memanas.
“Ya ampun!” seruku sambil buru-buru membuang wajah, menepuk-nepuk kedua pipi agar rasa panas segera hilang.
Dirga terkekeh puas melihat reaksiku. “Udah, ayo jalan sebelum hujannya makin deras.”
Aku cepat-cepat naik ke atas motor, menempelkan tubuhku di belakang Dirga. Rasanya lumayan hangat dan terlindungi dari terpaan angin.
Saat aku sedang mencoba menenangkan diri, tiba-tiba tanganku diarahkan oleh Dirga, melingkar di pinggangnya.
Aku hendak melepaskan, tapi dia menegur. “Peluk erat! Jangan sampai jatuh!” ujarnya tegas.
“Maaf,” gumamku pelan, masih berusaha menenangkan diri.
Tak lama kemudian motor melaju pelan di antara guyuran hujan. Untungnya, apartemen sudah dekat.
Tak butuh waktu lama—kami sudah berada di basement apartemen. Seperti biasa, area parkir dipenuhi mobil mewah para penghuni. Hanya ada satu motor yang terparkir: motorku.
“Ayo naik ke atas,” ajak Dirga sambil melepas jas hujannya.
Aku yang mulai menggigil kedinginan pun pasrah ketika dia menarik tanganku. Benar-benar tidak ada lembut-lembutnya jadi pria dewasa.
Begitu pintu lift tertutup, Dirga membalikkan badan. Tangannya meraih tanganku dan mulai menggosoknya dengan lembut.
“Masih dingin?” tanyanya sambil terus menggosok.
“Lumayan hangat,” jawabku, bibirku bergetar.
“Cuaca sedang tidak menentu. Mulai besok, bawa jaket tebal supaya aman kalau turun hujan pas jam pulang kerja,” sarannya.
“Iya,” balasku.
Rasanya aku sedang dilindungi oleh seorang kakak. Perhatian Dirga seketika membuat tubuhku menghangat. Andai saja aku memiliki saudara—mungkin hidupku tak akan sesepi ini.
Denting lift pun berbunyi, lalu pintu terbuka. Dirga membawaku menuju unitku.
“Eh, tunggu dulu—” ujarku sambil menghentikan langkah.
“Apalagi?” tanya Dirga. “Kamu sudah menggigil begini, masih ada selera berdebat?”
Melihat wajah datar dan tatapannya yang tajam, aku menciut. Akhirnya, aku hanya menggeleng, dan kami melanjutkan langkah masuk ke unitku.
Setelah masuk ke dalam unit, dengan cekatan Dirga menuju kamarku, menyiapkan air hangat dan memintaku segera membersihkan badan.
Saat aku berada di kamar mandi, dia memanggil dan berkata telah menyiapkan pakaian untukku.
Semua terjadi begitu cepat hingga aku sulit mencerna.
Setengah jam kemudian, aku sudah memakai piyama dan jaket tebal. Tubuhku terasa hangat namun ada sisa dingin yang belum menghilang sepenuhnya.
Aku pun keluar dari kamar, mencari keberadaan Dirga. Dan ternyata dia berada di dapur, tengah menyiapkan minuman jahe hangat dan mie kuah sayur.
“Kamu bisa masak?” tanyaku begitu duduk di meja makan.
Dirga menoleh sebentar, lalu mengangkat bahunya santai. “Nggak sehebat chef, tapi lumayanlah buat bikin perut kenyang.”
Aku tersenyum samar, menatap punggungnya yang tegap saat dia sibuk menuang air panas ke dalam gelas. Ada sesuatu yang berbeda—entah karena suasana malam ini, atau karena perhatian kecil yang terus dia berikan.
Tak lama, semangkuk mie kuah hangat sudah terhidang di depanku. Aromanya langsung membuat perutku keroncongan, dan tanpa sadar aku menelan ludah.
“Cicip dulu. Kalau kurang asin bilang, jangan diam-diam buang ke tong sampah,” ucapnya sambil menyodorkan sendok.
"Aku tidak suka membuang-buang makanan," jawabku setelah menerima sendok. Lalu, aku mencicipi kuah mie itu. "Hm, enak," gumamku sambil mengangguk kecil.
Dirga tampak lega, bahkan ada senyum tipis yang muncul di wajahnya. "Syukurlah. Aku kira kamu bakal komplain soal rasanya."
"Nggak semua perempuan jago masak, tapi bukan berarti semua perempuan nggak bisa menghargai makanan."
"Jadi kamu ngaku nggak jago masak?" godanya sambil menatapku sekilas, matanya berkilat usil.
Aku langsung memelototinya. "Hei, aku bisa masak! Cuma— ya, jangan berharap level resto bintang lima."
Dirga tersenyum, lalu ikut duduk di kursi seberangku. Dia membuka bungkus sumpit kayu dan mulai mengaduk mie miliknya sendiri. "Baguslah. Setidaknya kalau suatu hari aku kelaparan di sini, aku masih bisa berharap kamu bikin sesuatu."
“Maksudnya?” tanyaku pelan, masih menatapnya sambil mengernyit.
Dirga buru-buru meneguk kuahnya lalu berdeham. “Aku hanya berkata asal. Cepat habiskan mie-mu, keburu dingin.”
Aku masih belum puas dengan jawabannya. Tatapanku menelusuri wajahnya, mencoba mencari celah kebohongan. “Kamu—”
“Tara, makan dulu,” potongnya cepat, suaranya terdengar setengah menegur namun tetap lembut. “Aku akan menjelaskan setelah makan malam selesai.”
Aku terdiam, menatapnya lama. Suasana meja makan hening, hanya terdengar hujan deras di luar dan bunyi sendok beradu dengan mangkuk.
Dirga tetap sibuk mengaduk mie, seolah percakapan tadi tak pernah ada. Justru sikap itu makin membuatku penasaran.
Begitu makan malam usai, aku meletakkan sendok di mangkuk. Perutku terasa kenyang sekaligus hangat, tapi pikiranku masih terpaku pada ucapan Dirga yang tadi dia potong.
Belum sempat aku bicara lagi, suara gaduh terdengar dari luar—teriakan bercampur langkah tergesa di lorong apartemen. Refleks aku menoleh ke pintu, jantungku berdebar kencang.
Aku terkejut, sebab apartemen Mbak Ayla biasanya selalu tenang. Belum pernah ada keributan sampai terdengar ke dalam unit.
“Biar aku yang lihat,” ujar Dirga sambil bangkit cepat dari kursinya.
Aku hanya bisa mengangguk, menatap kepergiannya yang tergesa. Bayangan punggungnya menghilang begitu pintu unit terbuka.
Teriakan orang di luar semakin kencang, terdengar jelas sampai ke dalam. Seakan-akan ada perselisihan hebat di koridor. Aku menggenggam erat jaketku, rasa penasaran dan cemas bercampur jadi satu.
Saat Dirga tak kunjung kembali, aku akhirnya memberanikan diri melangkah keluar—dan seketika tubuhku menegang.
Dirga berlutut dengan darah menetes di sudut bibirnya, dipukuli tanpa ampun oleh dua pria berbadan besar. Sementara itu, tak jauh darinya, seorang pria berjas rapi mencengkeram lengan seorang wanita yang terus menangis ketakutan.
“Apa yang kalian lakukan?!” teriakku, suara gemetar bercampur amarah.
Tatapan Dirga langsung mengarah padaku. “Masuk ke dalam, Tara! Jangan keluar!” suaranya keras, penuh tekanan.
Aku menggeleng cepat. “Aku nggak bisa ninggalin kamu!” ucapku, mencoba mendekat.
Namun, dua pria berbadan besar itu segera mendorongku kasar hingga aku hampir terjatuh. Nafasku tersengal, tapi aku cepat bangkit lagi, mencoba melawan meski tubuhku gemetar.
“Jangan sentuh dia!” bentak Dirga dengan suara parau, matanya menyala penuh amarah.
Pria berjas itu malah terkekeh sinis, memandangiku dari ujung kepala hingga kaki. “Oh, jadi ini mainan barumu?” ujarnya dengan nada meremehkan.
Wanita yang digenggamnya semakin terisak. “Apa?! Tidak mungkin— Dirga tidak akan mau dengan gadis ingusan sepertinya!”
“Kamu pikir Dirga akan menikahi wanita mvrahan sepertimu, hah? Jangan mimpi. Kamu cuma—mainannya,” ujar pria berjas itu.
“Bugh! Bugh! Bugh!”
Tubuh Dirga tersungkur di lantai, menerima pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Darah menetes, membasahi lantai dingin di bawahnya.
“Tolong hentikan!” aku berteriak histeris, suaraku pecah karena panik. “Hentikan sekarang juga!”
Namun pria berjas itu justru tertawa semakin kencang, sementara kedua pengawalnya tak berhenti melayangkan pukulan.
“Tara pergi dari sini,” pinta Dirga, memaksakan diri menoleh ke arahku.
Aku menggeleng, air mata mengaburkan pandangan. “Nggak mau! Aku nggak akan ninggalin kamu!”
Ting—
Pintu lift terbuka di tengah kegaduhan. Dadaku sedikit lega saat melihat pihak keamanan apartemen datang.
“Pak! Tolong—” suaraku tercekat.
Salah satu satpam langsung menodongkan tongkat pengamanan, sementara yang lain berbicara keras, “Hei! Berhenti sekarang juga, atau kami akan bertindak tegas!”
Pria berjas itu menoleh dengan malas, senyumnya dingin. “Hentikan. Cukup untuk malam ini,” ucapnya tanpa sedikit pun menunjukkan rasa takut.
Kedua pria berbadan besar itu segera melepaskan Dirga yang sudah tersungkur di lantai, lalu berbalik mengikuti perintah.
“Bawa jalang itu!” titah pria berjas dengan suara tajam.
Salah satu dari mereka meraih paksa lengan wanita yang sejak tadi menangis, menyeretnya tanpa ampun. Wanita itu berteriak histeris dan meronta, tapi genggaman kasar itu terlalu kuat.
Aku segera membantu Dirga bangkit, dibantu seorang satpam yang menahannya agar tidak terjatuh lagi. Sementara satpam lain sibuk mengawal pria berjas bersama dua anak buahnya yang masih menyeret paksa wanita itu.
“Kejam sekali,” gumamku lirih, lalu beralih menatap Dirga yang masih limbung. “Kuat jalan?” tanyaku cemas.
Dia mengangguk pelan, meski darah masih menetes di sudut bibirnya.
“Bukankah unit Pak Dirga di sebelah sana?” tanya salah satu satpam saat aku memapah Dirga ke arah unitku.
Aku menoleh, terkejut. “Kamu tinggal di sini juga?” tanyaku kepada Dirga.
“Mana mungkin aku mampu beli atau sewa apartemen semewah ini? Pak Satpam pasti salah orang,” jawabnya.
Aku menatap satpam itu dengan kening berkerut. “Bapak salah mengenali orang?” tanyaku lagi, masih ragu.
Satpam itu tampak kikuk, menggaruk tengkuknya sambil menunduk. “Sepertinya iya, Mbak. Mohon maaf.”
“Tara, kapan kita masuk? Aku sudah mau pingsan,” ucap Dirga lirih.
Aku tersentak, buru-buru mengencangkan pegangan di lengannya. “Astaga! Maaf, aku malah bengong!” seruku panik.