Bicara Dengan Berani

1822 Words
Setelah seharian meeting dan meninjau beberapa cabang butik, akhirnya Bu Sania mengajak kami beristirahat di hotel. Namun, belum sempat masuk kamar, beliau sudah lebih dulu meminta sesuatu yang membuat jantungku hampir copot. “Tara, malam ini Ibu butuh data penjualan enam bulan terakhir. Tolong siapkan, ya,” ucap beliau tenang, sambil melepas scarf dari lehernya. Aku mengangguk cepat, meski dalam hati panik bukan main. “Baik, Bu.” Begitu beliau masuk kamar, aku segera meraih ponsel dan membuka chat. Jemariku bergetar saat menulis pesan ke Vidya. 📤Tara: “Vid, tolong, kirim semua data penjualan enam bulan terakhir. Aku butuh sekarang juga, urgent banget.” Pesan terkirim. Centang dua. Tapi biru tak kunjung muncul. Aku mencoba menelpon— tersambung, tak juga diangkat. Sekali. Dua kali. Lima kali. Nihil. Aku menggigit bibir, d**a terasa sesak. Air mata mulai menggenang, tapi ku tahan mati-matian. Aku mencoba menghubungi manajer cabang, berharap masih ada backup file. Tapi alih-alih solusi, yang ku dapat justru omelan. “Tara! Kamu ini teledor sekali! Data itu kan seharusnya sudah kamu pegang sebelum berangkat. Masak baru cari sekarang?!” suara manajer cabang meledak di telingaku. “Saya kira Vidya sudah menyiapkan semuanya, Pak,” jawabku pelan, nyaris berbisik. “Jangan salahkan orang lain! Kalau sampai Bu Sania kecewa, tanggung sendiri akibatnya!” telepon langsung ditutup tanpa basa-basi. Aku menyandar lemas pada dinding, ponsel masih kugenggam erat. Rasanya dunia runtuh menimpa pundakku. Tanpa sadar, air mata akhirnya lolos membasahi pipiku. Aku buru-buru menyekanya, takut ada orang lain melihat. Dengan langkah gontai, aku mencari Dirga. Ternyata dia duduk santai di depan hotel, secangkir kopi mengepul di tangannya. Aku berdiri di depannya, nyaris terisak. “Dirga… aku nggak bisa nemuin data yang diminta Bu Sania. Vidya nggak jawab chat, nggak angkat telepon. Terus manajer cabang malah marahin aku. Aku harus gimana?” Suara serakku pecah, air mata sudah tak terbendung lagi. Dirga mendongak, menatapku lama dengan alis terangkat. “Mau peluk?” tanyanya asal, setelah cukup lama terdiam. Aku menghentakkan kaki ke lantai, kesal setengah mati. “Di saat genting begini, kamu masih sempat-sempatnya godain aku!” Alih-alih minta maaf, dia justru terkekeh pelan. Lantas tanpa banyak bicara, Dirga menarik tanganku, membuatku terduduk di kursi sebelahnya. “Aku serius, Tara. Kalau kamu panik, masalahnya nggak bakal selesai. Duduk sini, tenang dulu,” ucapnya. Aku terdiam, menunduk. Hanya suara seruputan kopi panas dari Dirga yang terdengar sesekali, sementara aku masih berusaha menahan sesenggukan. “Sekarang, kasih ponsel kamu ke aku. Biar aku yang urus,” tambahnya, menengadahkan telapak tangannya padaku. Aku menatapnya ragu, tapi akhirnya menyerahkan ponsel itu juga. “Bagus. Nah, pelajaran kedua dariku— kalau kamu lagi buntu, jangan hadapi sendirian. Kamu punya aku, ingat?” Dirga menoleh sekilas sambil tersenyum miring. Aku menggigit bibir, entah kenapa d**a terasa sedikit lebih lega. Dirga melambaikan tangan ke penjual kopi keliling yang masih mangkal di depan hotel. “Bang, bikin satu teh hangat, ya.” Tak butuh waktu lama, secangkir teh hangat dalam cup plastik sudah berada di tanganku. Uapnya mengepul, menghangatkan telapak tangan yang tadi sempat dingin karena panik. Sementara aku menyeruput teh perlahan, Dirga sibuk mengotak-atik ponselku. Jemarinya lincah, entah apa yang sedang dia lakukan. Aku hanya bisa memperhatikannya dengan cemas, sesekali meneguk teh untuk menenangkan diri. Tak lama, dia menyerahkan ponsel itu kembali padaku. “Simpan dulu. Sekarang biar aku yang urus,” katanya singkat. Aku menatapnya bingung, tapi menurut saja. Dirga kemudian berganti sibuk dengan ponselnya sendiri, kedua alisnya berkerut. Aku hanya bisa menunggu dengan sabar, sambil menikmati hangatnya teh dalam cup plastik itu. Perlahan, rasa sesak di dadaku sedikit mereda, meski hatiku masih diliputi tanda tanya besar tentang apa yang sebenarnya sedang Dirga lakukan. Setengah jam kemudian, Dirga akhirnya menurunkan ponselnya dan menatapku. “Cek emailmu sekarang. Laporan penjualan enam bulan terakhir sudah aku kirim.” Aku terpaku, otakku seolah berhenti memproses kata-katanya. Saking kagetnya, aku sampai terdiam kaku beberapa detik, seperti komputer yang nge-freeze. Dirga mendengkus geli, lalu menjulurkan tangannya dan menarik pipiku gemas. “Halo, Tara? Masih hidup, kan? Jangan bilang kamu nge-hang beneran di depan aku.” Aku tak bisa menahan diri lagi. Air mata yang tadi tertahan akhirnya tumpah deras, membasahi bahuku saat aku memeluk Dirga erat. “Terima kasih banyak, Dirga,” suaraku tercekat di antara isakan. Dirga terpaku sejenak, matanya membulat kaget. Dia tampak nge-freeze, bahkan sampai lupa bernapas seketika karena pelukanku yang tiba-tiba itu. Aku menarik napas panjang, masih memeluknya, lalu berbisik, “Meskipun kamu nyebelin, tapi kamu serba bisa dan selalu menyelesaikan masalahku dengan cepat.” Dirga akhirnya mengerjap, lalu tersenyum tipis sambil membalas pelukanku. “Dasar gadis polos! Baru kali ini aku nge-freeze karena sebuah pelukan,” ucapnya geli. Aku melepaskan pelukan perlahan, tetap duduk di kursi. Sementara Dirga dengan lembut mengusap air mataku menggunakan ibu jarinya, aku membuka ponsel untuk memeriksa email yang baru saja dikirimnya. Senyumku merekah saat membaca isi email itu. Laporan penjualan yang aku butuhkan ternyata lengkap—bukan hanya enam bulan terakhir, tapi juga mencakup laporan audit internal butik. Namun, dadaku langsung berdebar kaget ketika menyadari isinya— manajer cabang ternyata melakukan manipulasi data, mengubah laporan sebelum dikirimkan ke Vidya di kantor pusat. Rasa lega bercampur keterkejutan membuatku nyaris terdiam. Semua kekacauan yang baru saja kualami—panik, cemas, hingga air mata—ternyata bisa mereda berkat Dirga. Aku menatapnya dengan mata yang berbinar penuh syukur. “Dirga kamu benar-benar menyelamatkanku,” suaraku bergetar, tak mampu menyembunyikan rasa terima kasihku. Dirga hanya tersenyum tipis, menatapku penuh arti. “Tara, aku sudah sering bilang, jangan pernah menghadapi semuanya sendirian. Masalah sebesar apa pun, biarkan aku yang menyelesaikannya.” *** Ruang rapat siang ini terasa panas meski pendingin ruangan menyala. Lima manajer cabang sudah duduk di kursi masing-masing, wajah mereka tegang karena dipanggil mendadak oleh Bu Sania. Aku sendiri duduk di sisi kanan beliau, mencoba menenangkan detak jantungku yang tak henti berpacu. Tanpa banyak bicara, Bu Sania melempar setumpuk print out ke atas meja. Suara benturannya cukup keras hingga membuat semua orang menoleh. “Silakan kalian semua lihat sendiri,” suara Bu Sania dingin, menusuk seperti pisau. “Ini laporan penjualan yang setiap bulan kalian kirim ke kantor pusat. Dan ini,” beliau mengangkat print out lain, “hasil audit internal yang baru saya terima.” Beliau menyebarkan lembaran-lembaran itu di meja. Terlihat angka-angka yang tidak sinkron, dengan selisih terlalu besar untuk disebut sekadar salah input. "Bagaimana mungkin laporan penjualan bulanan menunjukkan tren naik, sementara hasil audit justru mencatat penurunan tajam?" tanya Bu Sania sambil menatap tajam ke arah para manajer. Seisi ruangan hening. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar. “Saya ingin mendengar penjelasan kalian. Sekarang!” suara beliau meninggi. Kelima manajer itu saling pandang, gelisah. Akhirnya, salah satu dari mereka—Pak Surya, manajer cabang yang kemarin sempat memarahiku—berdehem pelan. “Bu Sania, saya rasa ini hanya salah komunikasi. Laporan bulanan kan biasanya sudah disaring oleh staf admin sebelum sampai ke pusat. Bisa jadi ada ketidaktepatan input—” “Ketidaktepatan input?” potong Bu Sania cepat, alisnya terangkat keatas. “Pak Surya, Anda tahu berapa kali angka ini berbeda? Hampir setiap bulan! Dan kebetulan sekali, perbedaan itu selalu menguntungkan pihak cabang. Apa itu juga kebetulan?” Pak Surya terdiam. Wajahnya pucat, keringat menetes dari pelipisnya. “Tidak hanya itu,” lanjut Bu Sania sambil menepuk-nepuk kertas dengan telapak tangannya, “laporan audit bahkan menemukan ada transaksi fiktif yang dimasukkan untuk menutupi penurunan penjualan. Bagaimana Anda menjelaskannya?” Aku menahan napas. Suasana ruangan makin menegangkan. Beberapa manajer lain mulai berbisik lirih, jelas tak nyaman dengan situasi ini. Pak Surya mencoba tersenyum kaku. “I-itu— mungkin ada kesalahan dari staf, Bu. Saya akan—” “Cukup, Pak Surya!” suara Bu Sania terdengar lantang, membuatku ikut tersentak. “Jangan salahkan staf. Sebagai manajer cabang, semua laporan ini ada di bawah tanggung jawab Anda. Saya tidak butuh alasan, saya butuh kejujuran.” Pak Surya menunduk, kedua tangannya terkepal di pangkuan. Dia tidak lagi berani menyahut. Bu Sania menyapu pandang ke seluruh manajer yang hadir. “Saya ingin memperingatkan kalian semua. Saya tidak akan mentolerir manipulasi data sekecil apa pun. Jika ada yang mencoba bermain-main dengan laporan penjualan, bersiaplah untuk menerima konsekuensi terburuk. Saya akan langsung melakukan pemecatan.” Sunyi. Tak ada satu pun yang berani angkat bicara. Aku bisa merasakan tekanan kuat dari Bu Sania. Beliau memang dikenal disiplin, tapi kali ini tatapannya jauh lebih dingin, tajam, dan sama sekali tidak memberi celah. “Mulai bulan ini, semua laporan penjualan akan saya pantau langsung. Dan saya sudah menunjuk Tara untuk menjadi penghubung baru kantor pusat dengan cabang,” tambah Bu Sania. Aku terperangah, mataku melebar tak percaya. Jantungku langsung berdegup lebih kencang lagi. Sementara itu, beberapa manajer tampak terkejut, bahkan ada yang melirik ke arahku dengan ekspresi tak senang. “Rapat selesai. Silakan keluar,” tutup Bu Sania tegas. Satu per satu para manajer bangkit dan keluar dari ruangan, wajah mereka suram. Hanya Pak Surya yang sempat menoleh ke arahku sebentar, tatapannya tajam, seolah menyimpan dendam. Pintu ruang rapat menutup dengan suara berderak. Suasana hening langsung menyelimuti ruangan, hanya tersisa aku dan Bu Sania. Nafasku masih terasa berat, jantungku belum juga kembali normal setelah ketegangan barusan. Bu Sania menoleh ke arahku, kali ini dengan ekspresi yang jauh lebih lembut. Beliau menarik napas panjang, lalu berkata, “Tara, terima kasih. Berkat kamu, Ibu akhirnya tahu apa yang sebenarnya terjadi selama ini.” Aku menunduk, bingung harus berkata apa. “Ini hanya kebetulan, Bu. Dirga yang menemukan file audit dan memberikannya pada saya.” Beliau tersenyum tipis. “Bisa saja kamu diam, pura-pura tidak tahu. Tapi kamu memilih untuk menyampaikan semuanya dengan jujur, dan itu butuh keberanian. Jangan lupa, kalau bukan karena laporan audit yang kamu serahkan tadi malam, mungkin Ibu masih akan terus dibohongi entah sampai kapan.” “Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik, Bu.” “Tepat sekali,” ujar Bu Sania sambil mengangguk. “Kecurangan seperti ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Kalau tidak segera dihentikan, dampaknya bisa sangat besar bagi perusahaan. Kamu memang baru di sini, Tara, tapi kamu sudah memberikan perubahan besar.” Aku terdiam, menatap beliau dengan mata yang nyaris berkaca-kaca. Rasanya tak percaya, semua rasa panik, takut, bahkan marah yang kualami kemarin justru berujung pada kalimat pujian seperti ini. Bu Sania lalu meraih kertas yang masih berserakan di meja, lalu merapikannya. “Mulai sekarang, Ibu ingin kamu menjaga posisi ini. Kamu akan banyak menghadapi tekanan, mungkin juga ada pihak yang tidak suka dengan keputusan Ibu menunjukmu. Tapi Ibu percaya kamu bisa.” Aku mengangguk, kali ini dengan keyakinan yang lebih kuat. “Saya akan berusaha sebaik mungkin, Bu.” Senyum tipis terlukis di wajah Bu Sania sebelum beliau berdiri. “Itu yang ingin Ibu dengar. Sekarang mari kita kembali ke hotel untuk beristirahat sebelum pulang ke Jakarta.” Aku ikut berdiri, menunduk hormat. “Terima kasih, Bu.” Saat beliau berjalan keluar ruangan, ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Vidya muncul di layar. 📩Vidya: “Tara, maaf semalam aku tidak sempat membalas pesanmu. Aku butuh bicara denganmu, bisa sekarang?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD