Kami duduk di ruang tamu yang luas dan megah. Sofa krem empuk tersusun setengah lingkaran, karpet tebal bermotif klasik terhampar di bawahnya, dan di atas meja kaca besar ada vas berisi bunga segar. Aku refleks menunduk, pandanganku cuma tertuju ke lantai marmer yang mengkilap. Rasanya canggung— lebih mirip masuk istana daripada ke rumah orang.
“Kenapa nunduk aja, sih?” bisik Dirga sambil menyikut lenganku pelan. “Kamu kayak murid ketahuan bolos terus disuruh ngadep kepala sekolah.”
Aku mendesah pelan, menempelkan kedua tanganku di pangkuan. “Aku nggak berani lihat-lihat. Nggak sopan, tahu.”
Dirga melirikku sambil menahan tawa. “Tara, melihat sekeliling tuh bukan nggak sopan, tapi wajar. Namanya juga kagum. Kalau rumah segede gini nggak bikin kamu kepo, justru itu aneh.”
Aku sempat melotot sebentar— lalu menunduk lagi. “Ya kan aku tamu, sungkan kalau jelalatan kayak lagi room tour.”
“Ya emang kenapa kalau jelalatan?” Dirga mendekatkan wajahnya, suaranya mengejek. “Nanti kalau ditanya Bu Sania, tinggal jawab aja, ‘Saya cuma ngecek kalo-kalo ada harta karun yang jatuh di karpet, Bu.’”
“Ih, nggak lucu!” desisku, mencubit lengan bajunya dengan gemas.
Dirga malah terkekeh pelan, bersandar santai di sofa seolah ruang tamu megah ini ruang tunggunya sendiri. “Santai aja, Tara. Kamu terlalu kaku. Tenang, nggak ada CCTV yang akan merekam wajahmu lagi ‘nunduk marathon’ kayak gitu.”
Akhirnya aku mengangkat kepala juga. Selain karena kesal terus digoda Dirga, sebenarnya aku penasaran dengan interior ruang tamu Bu Sania. Ada lukisan besar berbingkai emas di dinding, lampu gantung kristal di langit-langit, dan rak kaca berisi koleksi buku serta pajangan yang bikin ruangan terlihat rapi dan mewah.
Tak lama kemudian, Bu Sania muncul sambil menenteng tas kecil berwarna hitam. Aku langsung melongo—beda banget sama aku yang bawa koper ukuran jumbo. Rasanya kayak aku siap pindahan rumah, sementara beliau cuma siap jalan santai.
Dirga tentu saja tak bisa menahan mulutnya. Dia mendekat, berbisik, “Tuh, lihat kan? Harusnya kamu bawa tas jinjing aja, bukan koper segede lemari.”
Aku langsung melotot dan menendang kakinya pelan di bawah meja. “Diam kamu, Dirga! Kamu juga yang bilang aku harus prepare semua barang biar hemat, nggak usah belanja di Bandung.”
Dia nyengir lebar, tetap ngotot. “Iya, prepare, bukan bawa satu apartemen pindah ke koper, Tara.”
Aku mendengkus, malas menanggapi. Tapi dari ujung mataku, aku bisa lihat jelas ekspresi puasnya. Dasar pria menyebalkan.
Bu Sania menyapaku dengan ramah, senyumnya lebar seperti biasa. Begitu berdiri di depanku, beliau langsung merangkul dan mengecup kedua pipiku. Aku tidak kaget, tapi ya, begitulah Bu Sania—selalu hangat.
Ah, mungkin juga karena Mbak Ayla dulu memperkenalkanku sebagai sahabatnya, jadi wajar kalau beliau memperlakukanku dengan begitu baik.
Setelah itu, aku buru-buru memperkenalkan Dirga yang sejak tadi berdiri di sampingku. “Bu, ini Dirga— teman saya,” kataku sopan.
Yang terjadi berikutnya benar-benar di luar dugaan. Alih-alih hanya menjabat tangan, Bu Sania malah menjitak pelan lalu mencubit lengan Dirga. “Jadi kamu ini Dirga, ya? Aduh, kenapa baru sekarang dikenalin?”
Dirga mirip sekali dengan anak kecil yang ketahuan bohong sama ibunya. Ekspresinya campur aduk antara bingung dan menahan sakit. Tangannya refleks menutup bagian yang baru dicubit, tapi dia tetap berusaha tersenyum. “Eh… i-iya, Bu. Saya… saya Dirga.”
Jujur saja, aku takut kalau Bu Sania tidak suka dengan Dirga. Bukan karena Dirga jelek, tapi lebih karena sikapnya yang sering absurd dan bikin orang geleng-geleng kepala.
Bu Sania menepuk bahu Dirga, seolah tak merasa bersalah sama sekali. “Santai aja, Nak. Anggap aja itu salam perkenalan khas Ibu, ya.”
Dirga menatapku, wajahnya memelas seolah sedang meminta pertolongan. Aku hanya mengangkat bahu dengan ekspresi polos, lalu berbisik, “Katanya tadi aku kaku. Nah, sekarang giliran kamu yang dilemesin sama Bu Sania.”
Senyumnya langsung kecut.
Selepas perkenalan singkat— Bu Sania pun mengajak kami segera berangkat ke Bandung.
Beliau memeluk lenganku dan menuntunku keluar dari kediamannya menuju ke arah teras.
Sesampainya di teras, kedua mataku terbelalak. Mobil besar warna putih dengan tulisan Rubicon sudah siap terparkir manis di depan rumah.
“Dirga suka sama mobilnya?” tanya Bu Sania dengan nada santai, seolah-olah mobil itu hanya mainan remote control.
Aku refleks menoleh ke arah Dirga. Ternyata dia sedang menggaruk tengkuknya sambil meringis.
“Suka, Bu,” jawabnya.
“Kamu yakin bisa nyetir mobil mahal itu? Jangan sampai lecet ya!” ucapku dengan nada khawatir.
Belum sempat Dirga menjawab, Bu Sania menyela lebih dulu. “Ah, nggak mungkin Dirga tidak bisa, Tara. Sepertinya mobil ini cocok dengannya.”
Dirga menegakkan tubuhnya, lalu tersenyum percaya diri. “Tentu saja bisa, Bu. Mobil besar begini justru lebih nyaman dipakai perjalanan jauh.”
Aku tersenyum miring, menatapnya dengan tatapan meremehkan. “Nyaman kalau bisa parkirnya. Jangan-jangan nanti muter lima kali cari slot parkir kosong.”
Dirga mendelik ke arahku, berbisik pelan tapi masih jelas terdengar, “Kalau aku muter lima kali pun, itu semua demi memastikan kamu turun dengan aman, Tara Lembah Iluna.”
Aku langsung mendengkus, lalu mengibaskan tangan. “Ih, modus!”
Bu Sania terkekeh pelan sambil menepuk pundakku dengan lembut. “Kalian ini ada-ada saja. Sudah, ayo berangkat. Bandung sudah menunggu.”
Dengan penuh gaya, Dirga membuka pintu mobil untuk Bu Sania terlebih dahulu, tampak seperti sopir pribadi profesional yang sudah terbiasa melayani Bos besar.
Kemudian dia membukakan pintu depan untukku, sambil menunduk penuh gaya seakan-akan aku tamu kehormatan.
Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang menuju ke arah Bandung. Jalan tol yang mulus membuat perjalanan terasa nyaman, sesekali diselingi suara musik pelan dari radio mobil.
Di kursi belakang, Bu Sania sudah sibuk dengan tabletnya, jemarinya lincah mengetuk layar seakan tidak mau membuang satu menit pun.
Aku yang duduk di depan, membuka ponselku. Ada notifikasi baru dari Vidya. Begitu aku baca, keningku langsung berkerut.
📩Vidya: “Tara, kamu sudah selesaikan materi meeting? Maaf ya, aku cuma sempat kirim data penjualan dua bulan terakhir. Semalam aku kesakitan akibat usus buntu.”
Aku menggigit bibir bawah. Dua data saja jelas tidak cukup. Itu membuat tugasku jauh lebih sulit, padahal aku butuh data penjualan setidaknya enam bulan terakhir untuk presentasi nanti.
Dirga melirikku sekilas, tangannya tetap memegang di setir. “Kenapa? Wajahmu langsung kusut gitu. Chat dari siapa?”
Aku mendesah, menutup ponsel sebentar. “Vidya. Dia minta maaf karena hanya mengirim data penjualan dua bulan terakhir.”
Dirga mengangkat alisnya. “Terus kamu sudah memaafkannya?”
Aku mengangguk. “Hm, soalnya dia bilang kesakitan akibat usus buntu. Mana tega aku ngomel sama orang yang lagi sakit.”
“Pesan yang kamu kirim sudah dibaca?” tanya Dirga lagi, kali ini nada suaranya berubah aneh.
Aku buru-buru membuka ponsel dan mengecek. Ternyata tanda centang masih abu-abu. “Belum. Kayaknya dia masih kesakitan habis operasi usus buntu,” jawabku.
“Tarik pesan itu!” titah Dirga, matanya lurus menatap jalan tapi suaranya tegas.
Aku mengerjap, kaget dengan nada perintahnya. “Hah? Kenapa harus—”
“Cepat, Tara!” potongnya, kali ini lebih keras.
Dengan terburu-buru aku menarik pesanku, jempolku sampai sedikit gemetar. “Sudah,” kataku, menoleh ke arahnya.
“Bagus. Sekarang kirim pesan baru,” ucapnya tanpa menoleh, rahangnya terlihat mengeras.
Aku menatapnya bingung. “Pesan apa?”
“Ketik, ‘Aku tahu kamu tidak sedang sakit. Kamu lagi enak-enakan rebahan di kosan. Kamu sengaja cuma kirim dua data biar aku kena tegur Bu Sania’ kasih emoticon marah, sepuluh biji.”
Aku langsung mendelik. “Hah?! Kok malah suudzon begitu, sih?” protesku sambil memelototinya.
Dirga mendesah, suaranya rendah tapi tajam. “Tara—”
Aku buru-buru menyela, masih tak terima. “Kamu tega banget nuduh Vidya begitu. Meskipun kami tidak dekat— aku yakin dia nggak mungkin bohongin aku apalagi sampai menjebak.”
Dirga akhirnya melirikku, sorot matanya tajam tapi terselip rasa cemas. “Justru karena kamu terlalu percaya sama orang, aku malah khawatir. Soalnya di dunia kerja, nggak semua orang sebaik yang kamu kira.”
Akhirnya, dengan berat hati aku mengetik balasan seperti yang Dirga perintahkan. Jemariku sempat terhenti beberapa kali di atas layar, jantungku berdegup tak karuan. Rasanya aneh— antara takut menyinggung Vidya dan cemas kalau tebakan Dirga salah.
📤Tara: “Aku tahu kamu tidak sedang sakit. Kamu lagi enak-enakan rebahan di kosan. Kamu sengaja cuma kirim dua data biar aku kena tegur Bu Sania 😡😡😡😡😡😡😡😡😡😡.”
Begitu tombol kirim kutekan, dadaku terasa sesak. Seolah aku baru saja melakukan kesalahan besar. Mataku tak lepas dari layar, menunggu tanda centang berubah.
Dirga melirikku sekilas lalu menepuk kepalaku pelan. “Bagus. Sekarang kita tunggu reaksinya. Dan ingat, ini pelajaran pertamaku buat kamu— supaya Tara yang polos bisa sedikit lebih ‘berwarna’.”
“Kalau dia beneran sakit gimana?”
Dirga menghela napas panjang, tapi tatapannya tetap fokus ke jalan. “Kalau dia memang sakit, dia pasti bisa membuktikannya. Tapi kalau ternyata bohong, justru pesanmu tadi yang akan membuka kedoknya.”
Aku memasukkan kembali ponsel ke dalam tas, lalu menarik napas panjang. Pandanganku lurus ke jalanan di depan, mencoba menenangkan jantung yang masih berdebar.
Mungkin ada benarnya ucapan Dirga. Selama bekerja di butik Bu Sania, aku memang sering diperlakukan tidak adil oleh para senior.
Mereka kerap membuatku jadi bulan-bulanan. Kalau aku sedang ke pantry, dengan enteng mereka menyuruhku membuatkan kopi—alasannya sederhana, ‘Sekalian, kamu kan lagi di sana.’
Belum lagi soal lembur. Berkali-kali tugasku menumpuk bukan karena pekerjaanku sendiri, melainkan karena beban tambahan dari mereka. Katanya anaknya sakit, kosannya jauh, atau alasan paling menyebalkan, mereka harus buru-buru pulang karena sudah ditunggu pacarnya.
Aku menggigit bibir bawah. Semakin kuingat, semakin terasa pahit. Selama ini aku hanya menelan semua alasan itu, berpikir mungkin wajar junior harus mengalah. Tapi entah kenapa sekarang, dengan kalimat-kalimat Dirga yang terus terngiang, rasanya aku mulai melihat sisi lain dari semua perlakuan mereka.
“Menyesal? Selama ini terlalu baik dan nggak enakan?”
Pertanyaan Dirga membuat lamunanku buyar.
Aku mencebikkan bibir. “Ya kan aku nggak tahu kalau mereka manfaatin aku. Soalnya kalau di Solo, senior dan junior itu saling membantu.”
Dirga melirik sekilas, sudut bibirnya terangkat tipis. “Pelajaran kedua akan aku kasih tahu saat sampai di hotel nanti.”
Aku membuka mulut hendak membalas, tapi belum sempat suara keluar, tiba-tiba terdengar batuk kecil dari kursi belakang.
Aku refleks menoleh. Bu Sania menutup mulutnya dengan tangan, ekspresinya tetap tenang meski matanya jelas tertuju pada kami.
Duh, aku baru sadar sejak tadi kami ngobrol tanpa memikirkan ada beliau di sini. Gawat kalau ternyata beliau mendengar semua curhatanku soal senior di butik.
Aku melirik Dirga panik, memberi kode dengan tatapan ‘tolong, gimana ini?’
Tapi dasar pria menyebalkan itu, dia malah menyeringai tipis, lalu bersiul pelan.