Jealous

3155 Words
Author’s POV Mentari seakan tersenyum, merangkak naik perlahan dan memancarkan sinarnya ke seantero bumi. Terdengar suara hentakan pisau yang seolah seperti irama musik yang bertalu-talu. Deya tengah mengiris wortel untuk memasak capcay. Sebelumnya dia telah berselancar di google menyeleksi satu resep dari sekian banyak resep yang menurutnya paling menarik dan nggak ribet. Erlan menuruni tangga dan menatap Deya yang terlihat serius. Sejenak ia perhatikan gerak-gerik istrinya yang tampak lebih keren jika tengah serius mengerjakan sesuatu. Tentu saja ia harap, istrinya tak lagi berantakan setiap kali nguprek dapur. Erlan melangkah mendekat. Rupanya Deya belum berubah juga. Kulit wortel tampak berceceran tak hanya di meja, tapi juga di lantai. Beberapa peralatan masak yang kotor juga ada yang teronggok begitu saja di wastafel. Deya belum sempat menyucinya. Tanpa bicara, Erlan mengambil celemek di lemari dan mengenakannya. Hal pertama yang ia lakukan adalah membersihkan kulit-kulit wortel itu dan membuangnya ke tempat sampah. Deya tertegun mengamati apa yang sedang dilakukan suaminya. “Erlan, seandainya kamu datang ke sini saat aku udah selesai masak, keadaan dapur pasti tidak seberantakan ini. Aku akan segera membersihkan setelah selesai masak.” Ucap Deya masih sambil mengiris wortel. “Kalau bisa dikerjakan sekarang untuk apa menunggu sampai nanti.” Jawab Erlan santai. Deya menyadari ada yang berbeda dari Erlan. Dia tak lagi nyolot seperti hari-hari sebelumnya. Sepertinya Erlan sudah mulai bisa mengendalikan amarah ketika melihat sesuatu yang berantakan. “Kamu nggak ke kampus hari ini? Kamu siap-siap saja biar aku yang mengerjakan.” Deya menyuci kembang kol dengan air yang mengalir dari kran. “Aku berangkat siangan. Nanti sore aku mau mampir ke showroom, setelah itu langsung ke Bandara, mau menjemput sahabat baikku Nathan. Dia dulu kuliah dan bekerja di Amerika, sekarang balik ke Indonesia karena harus mengurusi perusahaan ayahnya. Kalau dia nginep di sini, mungkin semalam, kamu keberatan nggak? Dia selalu begitu, sebelum pulang ke rumah orangtuanya, dia akan menemuiku lebih dulu. Rencananya dia akan tinggal di apartemen dan aku akan membantu mencarikannya apartemen.” Mata mereka beradu sejenak. Deya merasa dianggap sebagai istri saat Erlan menanyakan apakah dirinya keberatan atau tidak. “Kenapa aku harus keberatan? Rumah ini rumahmu Erlan.” Erlan menggeser posisi badannya agar lebih dekat dengan istrinya, “ini rumahmu juga Dey.” Balas Erlan serius. Deya membeku untuk sesaat. Erlan menatap Deya dengan tatapan yang begitu tajam. Ada kalanya Deya selalu merasa mati kutu ketika Erlan melayangkan tatapan tajamnya. Deya tak bisa mendeskripsikan apa yang terlihat dari sorot mata Erlan yang susah untuk ia tebak. Kadang ada ketegasan, namun di sisi lain juga ada binar kelembutan dan tak banyak yang tahu seorang Erlan yang sebenarnya penuh perhatian. Segalak dan sekaku apapun Erlan, dia pun masih memiliki hati. “Dengar Derra, segala yang ada di rumah ini adalah milikmu juga. Semua yang ada padaku adalah milikmu juga.” Ada getaran di d**a Deya ketika mendengar ucapan Erlan barusan. Semua yang ada padanya adalah miliknya? “Kenapa?” Tanya Erlan karena Deya tak memberikan respon apapun. “Semua yang ada padamu adalah milikku? Apa termasuk juga.....” Deya melirik Erlan yang sudah mengenakan celemek lalu imajinasinya melayang pada saat Erlan berenang bertelanjang d**a. Apa itu artinya tubuhnya menjadi miliknya juga. Deya segera mengenyahkan pikirannya. Erlan mungkin tak tertarik dengannya, dia tak suka orang yang berantakan. Lalu bagaimana dengan hatinya? Apa hatinya juga menjadi milik Deya? Deya tahu, cinta Erlan masih terpaku pada mantannya dan cintanya untuk Sakha..Entahlah, Deya sudah mampu menyingkirkan bayang-bayang Sakha meski terkadang nama itu sesekali terlintas kala memorinya bernostalgia ke masa-masa kuliah. “Termasuk apa?” Erlan mengernyitkan alisnya. “Nggak...lupakan saja,” balas Deya dan sedikit mengulas senyum. Seusai memasak keadaan dapur masih sedikit berantakan. Dia mendengar Erlan menghela napas berkali-kali seakan menilai bahwa keadaan dapur yang berantakan adalah masalah besar dan begitu mengganggunya. Namun Erlan tetap membersihkannya tanpa bicara sepatah katapun. Deya mengamati cara Erlan menata peralatan masak. Alat-alat itu ditata berdasarkan keseragaman bentuk dan warna. Erlan selalu menata segalanya lebih detail dan teratur. Perfeksionisme Erlan memang tak selamanya menyebalkan, ada kalanya menguntungkan juga. Setidaknya memiliki suami yang neat freak membuat Deya terbantu dengan sikap inisiatifnya yang suka membantu masak dan beres-beres. Deya duduk menghadap meja makan. Sudah ada capcay dan ayam goreng. Menu yang cukup simple. Erlan belum selesai membereskan dapur. Dia sadari, Erlan selalu membutuhkan waktu lebih lama setiap kali membersihkan sesuatu. Standarnya memang begitu tinggi. Kotor atau berantakan sedikit saja sudah sangat mengganggunya dan dia tak akan berhenti bersih-bersih sebelum ruangan itu kembali sempurna dalam penglihatannya. Karena sempurna di mata orang lain, belum tentu sempurna di matanya. Setelah dirasa benar-benar bersih, Erlan melepas celemek, menyuci tangannya dan duduk berhadapan dengan Deya. “Kita makan sekarang?” tanya Deya. Erlan melirik capcay buatan istrinya. Ada telur, sosis, bakso dan beraneka sayuran seperti kembang kol, wortel dan pokcoy. “Aku nggak pakai nasi ya Dey.” Deya mengangguk, “kenapa kamu selalu suka menu tanpa nasi?” Tanya Deya yang selalu merasa heran, suaminya sudah cukup merasa kenyang meski makan tanpa nasi. “Aku menerapkan pola makan food combining Deya. Artinya saat makan daging atau menu protein hewani, tidak boleh dimakan bersamaan dengan karbohidrat. Capcay yang kamu masak kan ada telur, bakso dan sosisnya. Kalau protein nabati masih bisa dimakan dengan nasi, begitu juga sayur.” Jelas Erlan. “Hmm.. soal makan aja harus ribet ya.” Tukas Deya. “Dalam agama kita juga ada adab makan, misal doa sebelum makan, makan pakai tangan kanan, nggak boleh meniup makanan, nggak boleh makan berlebihan, tidak minum sambil berdiri, tidak makan dari tempat yang terbuat dari emas dan perak, bahkan makanannya sendiri harus halal dan baik, jadi nggak bisa sembarangan.” Deya mengangguk mendengar penjelasan Erlan. Mereka melanjutkan sarapan dan suasana mendadak hening. Deya terkesiap saat tiba-tiba jari-jari Erlan mengusap sudut bibirnya. “Ada sisa nasi. Kamu makan aja sampai belepotan begini Dey. Benar-benar berantakan.” Erlan menggeleng. Sedang Deya terpekur dan jadi salah tingkah sendiri karena tindakan Erlan barusan. Selesai sarapan, Erlan bersiap berangkat ke kampus. Hari ini ada mahasiswa bimbingannya yang akan melaksanakan sidang skripsi. Penampilan Erlan terlihat lebih rapi dari biasanya. Deya mendekat padanya dan merapikan kerah kemeja Erlan. Mata mereka saling bertabrakan. Deya mengulas senyum. Setiap berada sedekat ini dengan Erlan, selalu saja hadirkan perasaan canggung dan deg-degan. Deya berusaha untuk menciptakan suasana rileks diantara mereka. Kadang Deya berpikir mungkin hanya dia satu-satunya istri yang merasa canggung dan berdebar tak menentu setiap kali berhadapan dengan suaminya sedekat ini. Perasaaan tanpa cinta ketika mereka menikah, ditambah mereka belum begitu mengenal karakter masing-masing, agaknya menjadi pengaruh yang kuat kenapa kedua orang ini terkadang masih merasa asing satu sama lain. Deya ingin mencairkan kebekuan ini dan menjadikan pernikahan ini senormal pernikahan lain, di mana suami istri terbiasa bercengkerama dan bercanda. Seingat Deya, dia dan Erlan sepertinya belum pernah bercanda atau tertawa bersama. Sikap kaku dan formal Erlan seolah membawa Deya larut untuk menjadi kaku juga. Erlan meraih tangan Deya dan menggenggamnya. Matanya masih tajam menatap istrinya lekat-lekat. Dia sadar benar, statusnya telah resmi menjadi suami Deya dan tidak seharusnya hati dan pikirannya masih ada di tempat lain. Move on dari sang mantan masih menjadi medan perjuangan yang harus ia taklukan. Karena itu Erlan berusaha menciptakan keintiman dengan istrinya meski baru sebatas ciuman. Ia akui, kadang bayang-bayang Gisela seolah masih menghantui dan menjelma pada Deya. Namun ia segera melenyapkan pikiran itu. Ini tak akan adil untuk Deya. “Aku berangkat dulu Dey...” Deya menggangguk dan masih mematung. Sebenarnya dia menginginkan ada hal lain yang dilakukan Erlan selain hanya mengucap “aku berangkat”. Erlan berjalan mendekat ke arah pintu. Dia berhenti dan menoleh ke belakang, sadar bahwa Deya masih terdiam dan tak mengikutinya. Erlan ragu sejenak. Dia ingin memberi kecupan atau bahkan ciuman, tapi mendadak menjadi canggung begini. Dia takut Deya tak menginginkannya karena selama ini dia yang selalu bergerak lebih dulu untuk mencium Deya. Atau mungkin perempuan selalu gengsi untuk memulai. Erlan meneruskan langkahnya, menuruni tangga. Deya terpaku dan kecewa. Dia berpikir mungkin Erlan bosan padanya atau dia tak menyukai caranya membalas ciumannya. Deya mengakui dia belum ahli membalas sebuah ciuman karena dia tak berpengalaman sebelumnya. Deya bergegas menuruni tangga sebelum Erlan benar-benar pergi. Setiba di teras, Erlan sudah bersiap masuk ke dalam mobil. “Hati-hati...” Ucap Deya singkat. Erlan melirik istrinya dan mengulas senyum. “Makasih, assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” Deya menatap mobil Erlan melaju meninggalkan pelataran. Ia merutuki diri sendiri, kenapa begitu menginginkan Erlan menciumnya. Apa memang dia telah terhipnotis dengan cumbu mesra suaminya. Selanjutnya Deya membalikkan badan, dia harus segera membungkus dagangan yang sudah dibeli customer. Setiap sore kurir ekspedisi langganannya datang untuk mengambil paket-paket yang sudah siap kirim. Belum juga tiba di dalam, mobil Erlan terdengar merdu di telinganya. Dia menoleh ke arah pintu pagar. Mobil Erlan terparkir di sana. Deya bertanya-tanya, apa yang ketinggalan hingga Erlan berbalik lagi. Erlan keluar dari mobil dan melangkah menuju teras. “Ada apa Lan? Ada yang ketinggalan?” Erlan segera menarik tangan Deya dan menuntunnya masuk ke dalam. Didorongnya tubuh Deya hingga menghimpit sudut ruangan. Mereka saling menatap dengan gempuran napas yang memburu. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Erlan mencium bibir Deya dengan pagutan yang lebih dalam dari ciuman-ciuman mereka sebelumnya, menyesapnya dalam-dalam dan menjejalkan seluruh bibirnya ke bibir Deya dan seakan tak memberi Deya kesempatan untuk mengambil oksigen, barang sejenak. Erlan mengeratkan pelukannya, begitupun dengan Deya. Erlan merasakan gairahnya begitu membara meski ia tahu ini bukan waktu yang tepat dan ia hanya ingin menikmati momentnya bersama Deya. Dengan membangun keromantisan bersama istrinya, setidaknya perasaannya pada Gisela akan terkikis perlahan. Erlan melepas ciumannya dan menatap Deya dengan jarak yang begitu dekat. Jantung keduanya berdebar-debar seakan degupannya berpacu berkali lipat lebih kencang. Deya menempekan tangannya di d**a Erlan dan merasakan bahwa Erlan pun berdebar seperti dirinya. Apa itu artinya Erlan sudah mulai tertarik padanya. “Kenapa kamu tadi nggak menghentikan aku? Kenapa kamu biarin aku pergi gitu aja tanpa menciummu lebih dulu?” Pertanyaan Erlan begitu sulit untuk Deya jawab. Aroma mint dari napas Erlan begitu terasa dan menyapu wajah Deya, membuat Deya semakin gugup. “Apa kamu nggak menginginkan ciumanku?” Tanya Erlan lagi. Deya segera menggeleng, “bukan..bukan itu..Aku sangat menginginkannya.” Deya menunduk. Semburat merah melintang di pipinya membuat pipi itu semakin merona. Erlan tersenyum dan mengangkat dagu Deya. Mata mereka kembali beradu. Erlan mengecup bibir Deya sekali lagi dengan kecupan yang begitu lembut. Dia beralih berbisik di telinga Deya, “aku juga.” Sejenak Daya membeku. Bisikin Erlan terdengar begitu lembut sekaligus maskulin, seperti ada sedikit desahan yang menandakan betapa Erlan menyukai keromantisannya bersama Deya. Andai Erlan libur, mungkin keromantisan ini akan beralih menjadi sesuatu yang lebih intim. “Aku berangkat ya. Baik-baik di rumah. Assalamu’alaikum.” Senyum Erlan kali ini terlihat begitu manis. Deya membalas senyumnya, “wa’alaikumussalam.” Deya senyum-senyum sendiri membayangkan cara Erlan menciumnya. Dia tak menyadari dia sudah membuang banyak waktu hanya dengan membayangkan sosok suaminya. Dia seperti jatuh cinta untuk pertama kali setelah sebelumnya ia pikir ia tak akan bisa jatuh cinta lagi. Deya menggeleng, menertawakan diri sendiri dan memfokuskan pikirannya untuk kembali membungkus paket-paket untuk customernya. ****** Jam lima sore Deya masih berkutat di dapur untuk memasak menu makan malam. Erlan belum pulang. Ia ingat tadi pagi Erlan bilang akan menjemput temannya di bandara. Untuk menyambut teman Erlan ini, Deya tak hanya memasak sendiri menu makan malamnya, tapi juga memesan ayam betutu, soto Bandung dan karedok, paling nggak karedok dan soto Bandung ini mewakili makanan khas Bandung. Deya hanya memasak cah kangkung. Semenjak menikah, Deya berusaha keras belajar masak dari resep-resep yang ia dapatkan, entah dari Vira ataupun internet. Semua hidangan sudah tertata. Deya juga sudah mandi dan mengenakan pakaian yang sopan agar tak memalukan Erlan di mata temannya jika ia tampil berantakan. Suara deru mobil Erlan terdengar begitu jelas. Deya bersiap membukakan pintu. “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” Erlan masuk ke dalam bersama temannya. Dia memperkenalkan Nathan pada Deya. Nathan ini sosok pria yang humoris, supel, suka bercanda, dan sedikit berantakan, bertolakbelakang dengan karakter Erlan, anehnya mereka bisa cocok. Mereka sudah berteman sejak SMA. Penampilan fisik Nathan juga cukup menarik, badannya tinggi tegap, kulit cenderung eksotik khas orang Jawa dan terlihat bersih, wajah ganteng ala pangeran jaman kerajaan mengingatkan akan film-film kolosal yang bercerita tentang kerajaan Majapahit. Erlan meletakkan koper Nathan di kamar tamu. Saat adzan Maghrib berkumandang, Erlan dan Nathan berangkat ke Masjid sementara Deya tetap di rumah. Sepulang dari Masjid, Erlan mengajak Nathan makan malam. Deya menyiapkan semua hidangan termasuk peralatan makannya. “Ayo Nat dimakan, jangan malu-malu. Kamu suka banget makanan Indonesia kan?” Seringai Erlan. Nathan tersenyum lebar, “tenang aja bakal aku abisin semua.” Canda Nathan disusul tawa Erlan dan Deya. “Cah kangkungnya enak banget.” Ujar Nathan. Deya tersipu, baru kali ini ada yang memuji masakannya. Bahkan Erlan tak pernah memuji masakannya. “Beneran enak? Aku yang masak lho. Kalau selain cah kangkung, jujur aku pesan ke resto langganan.” Balas Deya dengan senyum manisnya. “Iya beneran enak. Kayaknya kamu ada bakat masak juga Dey.” Balas Nathan. “Masa sih? Aku baru belajar. Sebelum nikah aku jarang masak.” Deya meliri Erlan sejenak yang tak memberi respon apapun mendengar Nathan memuji kemampuan masak Deya. “Baru belajar masak aja udah enak gini, apalagi kalau udah lama.” Nathan tersenyum lebar. Deya lagi-lagi merasa tersanjung. Erlan sedikit mengerucutkan bibirnya, merasa tak suka dengan pujian Nathan yang dianggap terlalu berlebihan. “You are so lucky to have her as your wife Lan.” Nathan melirik Erlan. Erlan tersenyum, “and she is lucky to have me as her husband.” Erlan tak mau kalah. Erlan dan Deya saling menatap. “Kalian sama-sama beruntung.” Ujar Nathan sembari menatap cara Deya dan Erlan saling memandang. “Oya apa malam-malam begini ada yang jualan siomay atau mungkin roti bakar khas Bandung? Cilok, cireng, cimol atau apapun itu? Rasanya aku kangen banget makan jajanan kaki lima.” Nathan menatap Erlan dan Deya bergantian. “Di depan ada kok. Kalau mau, kita bisa jalan ke sana. Iya kan Erlan?” Deya tersenyum lebar. Erlan cuma mengangguk, “ya nanti ke depan sehabis Isya.” Setelah Isya mereka berjalan kaki menuju gang depan. Banyak pedagang kaki lima berjejer di sepanjang trotoar. Nathan terlihat begitu antusias karena pemandangan seperti ini tak bisa ia temui ketika masih kuliah dan bekerja di luar negeri. “Lihat di sana ada penjual siomay, kita coba yuk.” Deya melirik Nathan. Nathan menyambut antusias. “Ayo, siomay itu salah satu makanan favortiku.” Balas Nathan. Deya dan Nathan berjalan beriringan menuju penjual siomay sedang Erlan mengikuti di belakang dengan menekuk wajahnya. Deya dan Nathan memandang siomay yang sudah selesai diracik itu dengan binaran kebahagiaan seakan baru saja menemukan harta karun. “Erlan kamu beneran nih nggak mau nyoba? Nanti nyesel lho. Enak banget tahu.” Nathan meledek Erlan. Ia tahu, sahabatnya ini tak akan tertarik memakan jajanan kaki lima. Erlan menggeleng, “nggak, aku nggak suka.” “Hmm..Erlan ini beda ama kita. Dia nggak tahu caranya menikmati hidup.” Deya terkekeh. Nathan ikut tertawa. Erlan memasang tampang cemberutnya, “puas nih kalian ngledek mulu.” “Habisnya kamu aneh. Makanan seenak ini kamu nggak suka. Kuliner Indonesia apalagi jajanannya ini selalu ngangenin.” Ucap Nathan dengan senyum lebarnya. “Selera kita sama Nat, suka banget jajan. Erlan mana mau diajak jajan.” Balas Deya sambil memasukkan siomay ke mulutnya. “Kalau Erlan nggak mau diajak jajan, kamu ajak aku aja. Aku anter muter-muter keliling Bandung buat berburu jajanan enak.” Sahut Nathan. Perkataan Nathan semakin membuat Erlan jengah. Ditambah Deya dan Nathan saling tertawa, begitu lepas. Baru kali ini Erlan melihat Deya tertawa selepas ini, seolah Deya benar-benar menjadi dirinya sendiri saat bersama Nathan. Ia bingung ia begitu sebal melihat keakraban Nathan dan Deya. Erlan bertanya-tanya, apa dia mulai cemburu? Setelah makan siomay, Nathan dan Deya melanjutkan perburuan kulinernya dengan menyicipi kue cubit khas Bandung. Ada beragam rasa yang ditawarkan. Erlan sudah tak betah dan ingin pulang, tapi Deya dan Nathan masih belum ingin berhenti berburu jajanan. Erlan cuma bisa geleng-geleng kepala. Jam sepuluh malam mereka baru pulang. Deya merasa puas sekali berwisata kuliner dekat rumah. Sejak menikah dia belum pernah lagi berkeliling untuk menyicipi aneka jajanan kaki lima, seperti yang dulu ia lakukan bersama Vira dan Eza. Deya bersyukur dengan kedatangan Nathan, Erlan membiarkannya untuk jajan di kaki lima. Deya sudah berganti pakaian dengan gaun tidurnya. Erlan sudah duduk selonjoran di ranjang dan memerhatikan Deya yang sedari tadi mengulas senyum. Sepertinya Deya begitu bahagia setelah berwisata kuliner singkat. Deya duduk di sebelah Erlan. Mereka saling menatap sejenak. “Kamu kelihatan bahagia banget.” Ucap Erlan datar. Deya kembali mengerlingkan senyum, “iya, kan tadi habis wisata kuliner. Udah lama aku nggak jajan di kaki lima. Eh terakhir waktu beli nasi goreng.” “Bahagia karena jajan apa karena ada Nathan?” Ketus Erlan. Deya membelalakan matanya. Dia menyadari Erlan mungkin sudah mulai jealous padanya. Ini kabar yang sangat bagus untuk Deya. Entahlah, Deya senang mendengarnya. “I think you are jealous...” Ucap Deya sambil terus menatap Erlan. “What? Jealous? I’m not jealous.” Erlan menyangkal. “You are jealous.” Ujar Deya kembali. “No..I’m not jealous.” Erlan masih saja menampik. “Yes you are...” “No, I said no..!” Erlan sedikit meninggikan intonasi suaranya. “Don’t pretend that you are not jealous.” “I said the truth.” Balas Erlan dengan tatapan tajamnya. “You are lying to me. You are jealous.” Deya masih tak ingin menyerah untuk membuat Erlan mengakui kalau dia memang cemburu. “NO...NO...NO....!” Erlan menekankan kata-katanya. “YES..YES....YES...!” NO..!!!” YES...!!!” Cup.... Erlan membungkam bibir Deya yang tak mau berhenti bicara dengan ciuman yang begitu dalam. Mata Deya membulat karena begitu kaget. Erlan meneruskan ciumannya dan membuat jantung Deya berdegup hebat. Debaran itu semakin menguasai kala Deya mulai kesulitan menstabilkan emosinya, ia membalas ciuman suaminya dengan lebih panas dari sebelum-sebelumnya. Tangan Erlan mulai bergerilya mengelus paha istrinya dan masuk ke dalam gaun istrinya, mengusap punggungnya lembut. Sejenak Erlan berpikir, dia tak akan melakukan sesuatu yang lebih selama ada orang lain di rumahnya. Bagaimana dia bisa bermesraan dengan Deya, sementara ada Nathan yang tidur di kamar tamu. Erlan melepaskan ciumannya dan menatap Deya dengan napas yang tersengal-sengal. “Udah malam Dey, kita tidur saja. Besok harus bangun pagi.” “Kamu selalu terbiasa bangun pagi kan? Apa hubungannya dengan yang kita lakukan sekarang?” Deya agak kecewa karena Erlan menyudahi moment romantis mereka. Erlan tercenung. Jujur dia sangat menginginkan kemesraannya dan Deya akan berlanjut. Tapi dia merasa waktunya belum tepat. “Ada Nathan Deya, rasanya nggak bebas. Sekarang kita tidur aja ya.” Erlan mengecup pipi Deya dan berbaring. Deya ikut berbaring. Diliriknya Erlan yang memejamkan mata. Deya berpikir, mungkin memang lebih baik mereka tak meneruskannya. Dipikir-pikir, dia juga belum siap. Tapi itu tak mengurangi kebahagiaannya. Dia senang Erlan menunjukkan kecemburuannya dan hari ini Erlan begitu romantis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD