I Want to Spend More Time With You

3179 Words
Deya menata barang-barang dagangannya di satu ruang yang khusus menampung barang-barang yang ia jual. Beberapa sudah ia foto dan selanjutnya ia akan mempostnya di semua akun media sosialnya, entah i********:, f*******:, status WA, akunnya di beberapa situs belanja online bahkan juga di websitenya. Deya juga sudah menghubungi beberapa supplier untuk merestock barang-barang dagangan tertentu, yang banyak diminati para customernya. Erlan sudah memberi nafkah untuknya. Tahu-tahu ada transferan masuk ke rekeningnya. Jumlahnya lebih dari cukup untuk menambah modal jualan. Selesai membereskan barang dagangannya, Deya melirik alat-alat lukis yang baru saja ia beli dari art store. Rasanya sudah lama ia tak melemaskan jari-jari tangannya dengan menjalani hobi lamanya, melukis. Melukis dapat menghindarkannya dari rasa jenuh dan selalu ada kepuasan tersendiri setiap kali ia menyelesaikan satu buah lukisan. Deya menata kanvas di teras samping rumah, sebelah ruang makan. Di depannya terhampar kolam renang yang jernih. Melukis sambil melihat jernihnya air yang berkilauan mampu menaikkan mood dan membuat suasana bertambah rileks. Deya menyapu kanvasnya dengan sapuan kuas yang sebelumnya telah ia celupkan ke dalam larutan cat akrilik berwarna-warni. Menyapukan kuas di atas kanvas dan meninggalkan jejak-jejak warna yang tegas atau bahkan yang lembut sekalipun selalu bisa mewakili perasaannya, seolah torehan kuas itu adalah salah satu caranya untuk berbicara. A panting can tell a thousand words. Suara mobil yang berhenti di halaman terdengar hingga ke dalam. Deya tersenyum, suaminya telah pulang. Erlan pernah bercerita jika dia tak ada jadwal mengajar di universitas lain, dia biasa pulang lebih awal. Erlan mengajar di fakultas ekonomi salah satu universitas yang cukup bonafit di kota ini. Terdengar ucapan salam menggaung dari luar. Deya menjawab salam dan meletakkan palet di meja kecil yang ia tata di sebelah tiang kanvas. Deya melangkah ke dalam. Mata mereka bertabrakan. Erlan sedikit terkejut melihat Deya mengenakan celemek dan banyak noda cat yang tercetak di celemeknya. “Kotor banget Dey, kamu lagi ngecat?” tanya Erlan sambil menatap celemek yang menempel di badan Deya dengan penuh selidik. “Aku lagi nglukis,” jawab Deya sambil mengulas senyum. “Kamu suka melukis?” tanya Erlan memicingkan matanya. Ia baru tahu Deya memilki hobi lain selain membuat ruangan menjadi berantakan. “Iya, dari kecil aku suka melukis. Oya kamu mau minum apa? Mau jus? Mau langsung mandi?” Deya berusaha melayani Erlan dengan memastikan apa yang diinginkan suaminya saat ini. “Nggak usah repot-repot bikin jus Dey. Aku minum air putih aja. Oya aku mau langsung mandi ya. Rasanya badan udah lengket begini.” Erlan melirik kolam renang yang terlihat begitu menyegarkan. Sesaat terlintas di benaknya untuk berenang di sore ini, mungkin akan sedikit membuatnya rileks dan segar. “Kayaknya aku mau renang Dey.” Deya tersenyum, “okay, aku juga mau melanjutkan lukisanku.” Deya melanjutkan lukisannya yang memang belum selesai sembari melirik suaminya sesekali. Erlan berenang dari satu ujung kolam ke ujung seberang. Deya mengagumi body Erlan yang kata Vira memang body goal banget, padahal Vira belum pernah melihat Erlan bertelanjang d**a. Betapa suaminya begitu seksi jika sedang berenang. Erlan memang rajin berolahraga dan menjadi member sebuah tempat gym. Tak heran jika perutnya six pack dan lengannya pun terlihat berotot. Saking terpananya menatap suaminya, Deya menjatuhkan paletnya. Cat akrilik yang menempel di atas palet pun tumpah meninggalkan bercak di lantai teras. Saat berusaha membersihkan tumpahan palet itu, tangannya menyenggol tiang penyangga kanvas dan mengakibatkan tiang itu jatuh serta menimbulkan suara “brak”. Tak hanya itu, air untuk sedikit membasahi cat akrilik saat Deya membuat warna yang lebih soft dan muda juga tumpah karena tersenggol tiang kanvas yang terjerembab ke lantai. Erlan kaget mendengar suara jatuhnya tiang penyangga. Pandangannya menyapu pada Deya yang sedang sibuk membereskan semua alat lukisnya. Erlan berenang ke tepi dan naik ke atas. Matanya membelalak melihat noda cat berceceran mengotori lantai. Ia bengong mengamati keadaan lantai teras yang begitu kotor dan berantakan. Sungguh, ia tak bisa mengerti, Deya itu berantakan di segala hal. Sadar ditatap sedemikian lekat oleh suaminya, Deya berusaha mengulas senyum. “Ma..maaf Erlan. Aku bakal beresin semuanya, tenang aja.” “Kamu ini selalu aja berantakan ya Dey. Coba sesekali lebih rapi dan jangan berantakan seperti ini. Lihat lantainya jadi kotor begini. Cat akrilik itu kalau udah mengering susah dibersihkan Dey.” Erlan meninggikan suaranya dan tatapan matanya seakan menguliti Deya habis-habisan. “Ini juga mau langsung dibersihkan. Aku tadi nggak sengaja jatuhin paletnya.” Deya bersungut-sungut. “Cepat dibersihkan sebelum cat itu mengering. Entahlah, aku nggak habis pikir, hampir dalam semua hal kamu ini sangat ceroboh dan berantakan. Lagipula apa sih manfaat melukis? Cuma ngabisin banyak waktu dan bikin berantakan.” Kalau sudah nyerocos begini, Deya begitu kesal. Telinganya panas mendengar omelan Erlan yang ia rasa sudah begitu berlebihan. “Ngabisin banyak waktu? Setidaknya aku ngabisin banyak waktu untuk sesuatu yang membuatku senang, rileks, menaikkan mood. Orang yang nggak punya hobi kayak kamu mana bisa ngerti betapa pentingnya sebuah hobi.” Cecar Deya yang sudah merasa kesal. Erlan menyeringai, “kamu bilang aku nggak punya hobi? Kamu pikir cuma kamu yang punya. Hobiku itu mendatangkan manfaat. Aku suka ngegym yang artinya dari gym itu badanku jadi lebih sehat dan atletis. Aku suka masak, dari hobiku ini aku bisa memasak makanan sehat. Aku suka membaca, dan ini bagus untuk menambah wawasan. Sedang kamu, apa manfaat dari hobi melukis kamu selain bikin berantakan? Buang banyak waktu? Buang uang juga untuk hal-hal yang nggak perlu karena temanku ada yang suka melukis juga dan dia selalu menghabiskan banyak uang untuk membeli peralatan lukis karena harganya yang lumayan. Lalu selain melukis, kamu hobi makan, jajan di pinggir jalan, apa coba manfaatnya? Selain menimbun sampah makanan di perut kamu, merusak tubuh kamu karena makanan yang nggak sehat. Apa manfaatnya?” Kata-kata pedas Erlan telah melukai perasaan Deya. Diremehkan seperti ini selalu saja membuat hatinya sakit dan Erlan sama sekali tak memahami dirinya. Seakan semua yang dia lakukan tidak ada bagusnya di mata Erlan, selalu saja salah. “Kamu tanya apa manfaatnya? Untuk orang yang nggak suka seni macam kamu tentu nggak akan bisa ngerti bahwa kebahagiaan itu terkadang begitu sederhana. Aku bahagia setiap menyapukan kuas ke kanvas. Kadang sebuah kanvas dan kuas lebih memahami perasaanku dibanding seorang manusia sekalipun. Jajanan kaki lima yang kamu anggap sampah itu bisa membuatku bahagia, melupakan sejenak bahwa hidup ini dipenuhi orang-orang yang selalu meremehkan dan memandang rendah sesuatu yang kecil dan dianggap sepele. Tentu kamu nggak akan ngerti gimana pedagang kaki lima itu berjuang membuat makanan setiap hari dan menjajakannya di pinggir jalan. Dia nggak sekaya kamu yang bisa dengan mudahnya membangun restoran atau menyewa tempat untuk dijadikan rumah makan. Nggak selamanya semua hal yang kamu anggap nggak penting dan nggak bermanfaat adalah hal-hal yang memang nggak bermanfaat. Bagi sebagian orang, hal itu begitu berarti.” Deya menatap tajam suaminya, namun sudut matanya mulai berkaca. Napasnya seakan mencekat. Dia tundukkan badannya untuk mengepel lantai sebelum cat itu mengering. Tanpa bisa ia cegah, setitik air matanya berlinang. Erlan hanya terpekur dan tak berbicara lagi meski kekesalan masih merajai hatinya. Deya selalu menuduhnya tak memahaminya padahal Erlan hanya butuh pengertian Deya bahwa dia tak menyukai sesuatu yang berantakan dan kurang rapi. Erlan menganggap memiliki standar yang tinggi adalah kewajaran dan ia juga selalu merasa senang dan begitu menikmati di saat dia mengatur dan menyempurnakan segala hal. Dia memang memiliki skifat prefeksionisme yang berlebihan dan tanpa Erlan sadar, sikapnya ini sudah sangat berlebihan dan tak wajar. ****** Dua orang itu duduk saling berhadapan tanpa suara. Hanya denting sendok yang memecah keheningan. Makan malam kali ini Erlan memesannya pada catering langganan. Erlan sengaja memesan makanan Indonesia, ayam bakar plus lalapan serta soto Bandung. Ia tahu Deya lebih menyukai makanan Indonesia. Wajah Deya masih terlihat mendung. Sedari tadi dia hanya diam dan tak mengulas senyum sedikitpun. “Kenapa belum dimakan?” Tanya Erlan memecah kebekuan. Deya enggan untuk menjawab. “Nggak selera.” Jawab Deya singkat. “Aku sengaja mesan ini karena kamu suka Indonesian foods kan? Kenapa malah nggak mau makan?” “Aku udah bilang kalau aku lagi nggak selera.” Ucap Deya sedikit kesal. Erlan menghela napas, “kamu mau makan apa? Nasi goreng? Burger? Siomay? Pizza? Atau apa? Atau mau makan di kaki lima? Aku anter ke sana.” Tegas Erlan. Deya terdiam. “Sejak melukis tadi siang itu kamu belum makan. Padahal kamu biasa makan banyak. Kalau kamu nggak mau makan nanti kamu lemas.” Cerocos Erlan mulai kehilangan kesabaran. “Apa pedulimu kalau aku lemas? Kamu cuma peduli ama ruangan yang rapi dan bersih. Kamu nggak akan sanggup melihat ruangan yang berantakan. Tapi kamu merasa baik-baik aja setelah kamu memberantakan hati orang lain.” Penekanan pada setiap kata yang meluncur dari bibir Deya membuat Erlan tergugu. Apa separah itu efeknya? Hati Deya sampai berantakan karenanya? “Kenapa kamu selalu merasa tertindas?” Tanya Erlan dengan ekspresi wajah yang datar. Deya tersenyum sinis, “kamu nggak akan peka dengan perasaan orang lain. Kamu juga nggak akan ngerti kalau sifat kamu yang freak dengan kerapian dan kebersihan ini sudah sangat berlebihan dan tak wajar dan seringkali membuatku muak. Kadang aku berpikir, mungkin kamu butuh bantuan psikolog.” Deya beranjak dan setengah berlari menaiki tangga. Kata-kata Deya begitu membekas di kepala Erlan. Butuh bantuan psikolog? Ia ragu jika dirinya butuh konsultasi karena dia merasa apa yang dia lakukan masih tergolong wajar. Terbersit di pikirannya untuk menemui Fahri, sahabat baiknya, sama-sama dosen, hanya dia mengajar di fakultas peternakan. Namun, Fahri ini suka membaca buku-buku psikologi. Erlan berderap menaiki tangga. Ia membuka pintu kamarnya. Dia melihat Deya sudah berbaring di ranjang. Mendengar suara pintu terbuka, Deya berpura-pura memejamkan mata. Padahal sedari tadi dia begitu bersedih mengingat kejadian hari ini. Erlan mendekat dan duduk di ujung ranjang. Ditatapnya Deya yang sudah terpejam. “Dey, aku keluar sebentar, ke apartemen Fahri, sahabat sesama dosen. Ada yang ingin aku omongin ama dia. Aku bawa kunci jadi kamu nggak perlu nunggu aku.” Erlan beranjak dan melangkah keluar dari kamar. Setelah Erlan keluar, Deya berjalan menuju tirai yang menutup jendela. Deya menyibak tirai itu dan menyisakan sedikit celah. Deya menatap mobil Erlan melaju meninggalkan halaman rumah. Deya terpaku. Dia memang merasa lelah dengan semua sifat Erlan namun jauh di lubuk hatinya, dia mulai merasakan getaran. Ada sesuatu yang seolah menahannya untuk tak menyerah dengan pernikahan ini. Entah luka seperti apa lagi yang akan tergores. Entah air mata atau bahagia yang akan menjadi jawaban, Deya masih menginginkan pernikahan ini akan terus bertahan. ****** Seorang pemuda membuka pintu kulkas dan mengambil dua kotak jus kemasan. Dia melangkah menuju sofa dan ia berikan satu kotak jus itu pada sahabatnya. Ia menduga maksud Erlan datang ke apartemennya malam-malam pasti karena ingin membicarakan sesuatu yang penting. “Ada apa Lan datang ke tempaku malem-malem?” Fahri yang asli Jogjakarta ini mengulas senyum. “Aku pingin sharing, anggap aja konsultasi. Kamu pasti tahu banyak tentang masalah psikis.” “Baiklah aku akan menyimak.” Fahri meneguk minumannya dan bersiap mendengarkan semua. “Gini Fahri. Aku punya kecenderungan sangat gila kerapian dan kebersihan. Jadi ketika aku melihat sesuatu yang nggak rapi dan berantakan, nggak bersih, aku merasa kesal, nggak suka dan aku harus memastikan ruangan itu bersih dan rapi kembali, harus benar-benar rapi. Aku menerapkan standar yang tinggi dan mungkin ini menjadi bagian dari sifat perfeksionisku. Aku sering bertengkar dengan istriku gara-gara ini. Makanya aku kesini, karena dia bilang aku perlu konsul ke psikolog.” Fahri manggut-manggut mendengar penjelasan sahabatnya. Dia memang sudah paham karakter Erlan yang memang cinta banget dengan kerapian dan kebersihan. Namun ia tak tahu pasti bagaimana Erlan memandang sebuah kebersihan dan kerapian di rumahnya. Pasalnya mereka mengajar beda fakultas jadi bertemunya pun jarang. “Saat kamu lihat sesuatu yang nggak rapi. Misal ruang kerja kamu nggak rapi. Kamu merapikannya cukup sekali atau berulang kali?” Fahri menatap Erlan serisu. Dia menangkap sepertinya memang ada yang mengganggu psikisnya. “Sekali aja cukup, tapi kadang aku butuh waktu lama karena aku ingin memastikan kalau ruang kerjaku udah benar-benar bersih, rapi, dan aku selalu memandang sesuatu dengan detail. Aku suka keseragaman, keteraturan. Karena itu keadaaan yang berantakan sangat menggangguku dan benar-benar menurunkan moodku.” Jawab Erlan. “Aku sebenarnya nggak punya hak untuk mendiagnosa ya. Aku orang yang suka psikologi, tapi ya masih banyak yang aku belum tahu. Cuma aku bakal sedikit membagi pengetahuanku terkait sifat kamu ini. Jadi gini dalam gangguan mental ada yang namanya Obsessive Compulsive Disorder atau disingkat OCD. Ciri khas dari OCD ini ada obsesi terhadap sesuatu yang kurang realistis, dan ini terus mengganggu pikiran, sampai menimbulkan kecemasan dan kepanikan. Misal sangat gila kerapian dan kebersihan. Dan cara dia untuk mengatasi rasa cemas akibat obsesinya ini, dia akan melakukan tindakan yang kompulsif, artinya berulang-ulang. Misal dia akan merapikan ruangannya lebih dari 14 kali. Sedang gangguan yang kemungkinan ada di kamu, ini kemungkinan lho ya Lan, belum tentu juga kamu benar-benar mengidap gangguan ini, karena sekali lagi aku nggak berhak mendiagnosa. Jadi kamu lebih ke Obsessive Compulsive Personality Disorder atau OCPD. Yang bedain OCPD dengan OCD ini itu, penderita OCPD nggak melakukan tindakan berulang untuk mengatasi rasa ketidaksukaannya akan sesuatu, biasanya dia cukup sekali aja melakukannya tapi ya itu, dia sangat detail dan mastiin semua benar-benar teratur, sempurna, karena itu misal untuk bersihin ruangan aja dia butuh waktu lama. Perfeksionismenya ini sudah sangat berlebihan dan nggak wajar.” Fahri menjelaskan dengan detail dan rinci. Erlan selalu suka cara sahabatnya menjelaskan sesuatu. Dia bisa memahami maksud perkataan Fahri. “Pembicaraan kita cukup menarik ya. Jadi mungkin prefeksionismeku ini berlebihan ya. Dan selama ini aku selalu menganggap perfeksionismeku ini adalah sesuatu yang wajar.” Erlan mengelus dagunya. “Ya dan ini bisa aja mengganggu orang di sekitarmu, dalam hal ini istrimu. Dan perfeksionisme yang berlebihan kadang bikin cemas juga. Jadi saat kamu melihat segalanya tidak berjalan baik, tidak tertib, tidak teratur, kamu akan cemas.” Tambah Fahri. Erlan terpekur, “dan aku rasa apa yang aku alami ini mengganggu pekerjaanku juga Fahri. Jadi aku menerapkan standar yang tinggi untuk sebuah pekerjaan, karena itu kadang aku kurang bisa melimpahkan pekerjaan pada orang lain. Misal, aku selalu mengecek dengan detail pekerjaan bawahanku di showroom. Kalau ada yang kurang sempurna di mataku, aku bisa begitu emosional. Begitu juga saat aku mengoreksi skripsi mahasiswa bimbinganku, aku butuh waktu lebih lama dari dosen lain untuk meng-ACC dan aku nggak akan ngasih nilai A, kalau hasil kerjaan mereka nggak bener-bener sempurna di mataku.” Fahri menghela napas, “OCPD ini sebenarnya kayak keasyikan dengan sesuatu yang detail, aturan, jadwal, dan ini bikin orang dengan OCPD jadi cenderung kaku, nggak luwes, terlalu formal dan perfeksionismenya ini akan mempengaruhi penyelesaian tugas dan perhatian yang berlebihan pada hasil pekerjaan mereka. Itu kenapa kebanyakan mereka mengalami kesulitan membina hubungan antar pribadi, misal antar teman, pasangan dan anak-anak. Karena dalam tahap yang lebih berat, jika mereka nggak puas dengan kerjaan orang lain, mereka bisa menumpahkan kekesalannya ini dengan kemarahan bahkan juga kekerasan.” “Dalam tahap yang lebih parah, OCPD ini juga bisa memicu depresi.” Tambah Fahri. Erlan lagi-lagi terpekur. Ia tak menyangka ia mengalami gangguan psikis yang tergolong mengganggu dan mengancam. “Apa yang mesti aku lakuin buat ngatasi OCPD ini?” Tanya Erlan kemudian dan ia begitu serius menatap sahabatnya. Ada sorot pengharapan yang besar di kedua matanya bahwa suatu saat dia bisa mengatasi gangguan ini. Fahri terdiam sejenak. Dia menatap Erlan. “Mungkin kamu bisa mengawali dengan mengurangi sedikit standar kamu akan sesuatu, coba berdamai dengan segala sesuatu yang kamu anggap kurang sempurna, terus latihan relaksasi yang melibatkan teknik pernapasan juga bisa mengurangi stres, misal kayak yoga dan pilates. Dan kalau kamu ngrasa gangguan ini sudah sangat mengkhawatirkan, kamu bisa ikut terapi. Ada yang namanya terapi perilaku kognitif atau CBT, lalu jika ada kecemasan berlebih bisa meminta obat untuk mengurangi kecemasan, tapi setahuku penggunaan resep jangka panjang itu nggak direkomendasikan untuk OCPD.” “Makasih banyak Fahri untuk semua penjelasannya.” Erlan mengulas senyum. “Diminum dulu jusnya. Ayolah jangan cuma terpaku pada jus alami. Kurangi sedikit standar kamu. Hitung-hitung ini langkah awal untuk berdamai dengan sesuatu yang tidak sesuai standar.” Fahri melengkungkan segaris senyum ke atas. Erlan tersenyum sekali lagi dan akhirnya ia mau meminum jus kemasan itu. ****** Erlan melajukan mobil menuju rumah. Hari semakin malam, sudah pukul sepuluh. Di saat dia ingin cepat tiba di rumah karena tak enak hati meninggalkan Deya sendiri, dia harus terjebak di kemacetan. Baru saja terjadi kecelakaan truk bertabrakan dengan mobil, ini membuat kemacetan semakin parah di sepanjang jalur jalan itu. Pukul setengah duabelas, Erlan baru tiba di rumahnya. Dia rasakan kelelahan fisik yang cukup menguras karena harus menghadapi kemacetan yang membuatnya kesal. Erlan membuka pintu dengan kunci yang ia bawa. Dia mengucap salam namun tidak ada jawaban. Saat ia melewati ruang tengah, matanya dikejutkan dengan sosok Deya yang tertidur di sofa dengan televisi yang menyala. Seingat Erlan saat dia pamitan, Deya sudah terpejam di kamarnya. Atau mungkin saat itu Deya belum benar-benar tidur? Dan ia menunggunya pulang sampai ketiduran. Erlan melangkah mendekat ke arah istrinya. Dia duduk di karpet dan mengamati detail wajah istrinya yang begitu tenang saat terlelap. Diliriknya smartphone yang masih ada dalam genggaman Deya. Erlan tarik smartphone itu perlahan. Ia tatap layar smartphone itu. Dibacanya satu ketikan pesan di WA yang belum sempat ia kirimkan. Satu pesan untuknya. Erlan, kamu pulang jam berapa? Jangan malam-malam. Erlan tersenyum. Dia tak menyangka Deya menunggunya sampai tertidur. Dipandangnya tubuh Deya yang meringkuk, seolah kedinginan. Erlan menggendong tubuh istrinya untuk dipindah ke tempat tidur. Dia menggendong pelan-pelan agar tak membangunkan Deya. Deya merasakan ada tangan yang menyentuh pinggangnya dan ia dengar detak jantung berirama di telinganya. Matanya mengerjap sejenak dan ia kaget saat mendongakkan kepalanya, ia menatap wajah Erlan yang tengah memandang lurus ke depan. Deya sadar, saat ini Erlan tengah menggendong tubuhnya menaiki tangga. Dia merasa tak enak hati, takut tubuhnya terlalu berat. Namun ia begitu menikmati moment ini. Deya tersenyum dan kembali memejamkan matanya. Biar saja Erlan mengiranya benar-benar tidur. Deya hanya menginginkan kedekatan bersama suaminya lebih lama. Ia menyukai degup jantung suaminya yang masih bisa ia dengar meski begitu pelan dan ia menyukai wangi parfum Erlan yang begitu maskulin. Andai bisa menghentikan waktu, Deya ingin menghentikannya agar ia bisa menikmati kebersamaan ini lebih lama. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD