Mata Untuk Raka - 02

1780 Words
Adit ------------------- Rere harus berjinjit dan mengangkat dagunya tinggi-tinggi agar bisa melihat ke dalam ruangan kelas melalui kaca jendela. Matanya sibuk mencari sosok yang semestinya duduk di bangku paling pojok itu. Kening Rere mengerut, bangku itu kosong tak berpenghuni. Adit ternyata tidak masuk sekolah hari ini. Padahal tadi pagi mereka masih sempat berkirim pesan melalui whatsapp. “Eh, si Adit nggak masuk sekolah?” Rere langsung mencegat seorang siswi yang kebetulan keluar kelas. “Dia izin katanya sakit,” jawab siswi itu. “Sakit ...? Oh thanks ya,” tutup Rere. Rere meninggalkan kelas itu dengan raut wajah kecewa. Padahal dia ingin menceritakan kekesalannya pada bu Sukma. Rere beranjak menuju pojok taman tempat biasa dia nangkring. Sesampai di tempat itu dia langsung mengeluarkan hanphonenya dan mulai sibuk dengan benda mungil itu.   Woy, sakit apaan lo? Eh, monyet balas pesan gue, jangan di read doang! Apaan sih lo? Emangnya kenapa? Lo khawatir sama gue? GR amat lo kutu beras. Terus kenapa lo ngechatt gue? Tunggu, bukannya sekarang masih jam pelajaran? Lo nggak masuk lagi? Nggak! Males gue belajar ama Bu Sukma, barusan juga diusir guenya. Rasain! Lo sih bandel! Udah ah! Pertanyaan gue belum lo jawab. Lo sakit apa? Hmmm.... Kenapa? Gue nggak bisa ngasih tau sama lo! Kenapa Dit? Penyakit lo parah? Jangan bilang kalau umur lo tinggal sebentar lagi! Dit... Adiiiit... Kenapa lo diem? Sembarangan lo kalo ngomong! Abis lo nggak jawab pertanyaan gue. Gue ke toilet barusan. Jadi lo sakit apa? Gue nggak bisa jawab... Jadi bener? Ya ampun Dit, gua nggak nyangka lo bakalan pergi secepat ini. Gue bakalan selalu ada di sisa-sisa umur lo... Lo jangan bikin gue naik darah, ya! Makanya jawab! Lo sakit apa? Sebenernya gue... Sebenernya  elo?... Gue terkena... Lo terkena...? Ambeien... Rere mematung sejenak, sekarang hanya suara desau angin yang terdengar. Matanya menyipit saat membaca jawaban itu sekali lagi. Kemudian barulah tawanya pecah. Rere tertawa keras hingga air matanya keluar. Dia kembali menyebut jawaban Adit berulang-ulang dengan suara tawa yang tak kunjung surut. Wooi... Kenapa lo diem, ha? Lo pasti lagi ngetawain gue, ya kan? Wkwkwkwk.... Awas lo, ya! Ngakak gue. Lo, sih...  Suka nongkrong di toilet lama-lama sambil main mobile legend. Sinyal di toilet gue lancar jaya soalnya. Somplak lo! Udah ah, gue laper. Bye. Rere menyeka sisa-sisa air mata bahagia di pipinya. Bukannya prihatin, Rere malah merasa lucu terhadap musibah yang menimpa Adit. Sesekali tawanya kembali keluar, sulit baginya untuk menahan tawa. Dia sudah tidak sabar untuk mengejek Adit secara langsung. Rere menyambar ranselnya dan bergegas pergi. Dia tidak peduli pada jam pelajaran berikutnya. Yang ada dibenaknya kini hanya Adit dan juga ambeiennya. Adit Irawan, Rere biasa memanggilnya Didit. Dia merupakan satu-satunya teman Rere di SMA Kosgoro ini. Adit adalah satu-satunya orang yang bisa menerima dan tahan terhadap jiwa keras Rere. Adit itu berwajah rupawan, dengan kulit putih bersih yang selalu membuat Rere iri. Dia juga terkenal rapi dan selalu menjaga kebersihan. Namun karena terlalu berlebihan, sikapnya terlihat seperti sosok yang phobia terhadap kuman. Karena itulah Rere memberinya gelar Mr. Higienis. Adit yang berotak encer juga sering menjadi alternatif bagi Rere untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya. Meski sering menolak, namun ujung-ujungnya Adit tetap memberi contekan. Sosok Adit juga menjadi idola di sekolah. Banyak siswi populer yang jatuh hati padanya. Namun entah kenapa tidak ada seorang pun yang bisa merebut hatinya. Adit terkenal dengan sikap cuek dan dinginnya. Satu-satunya yang bisa mencairkan hatinya hanya Rere, gadis tengil yang kini menjadi sahabat karibnya. _ Rere mangatur napas sejenak. Merapikan rambut sebentar, memasukkan pakaiannya ke dalam rok dan memeriksa wajahnya di layar handphone. Tangannya kini menjinjing sebuah kantong plastik yang berisi tiga buah pepaya berukuran besar. Setelah merasa cukup rapi, Rere pun memencet bel dengan senyum merekah. “Eh, Rere! kamu udah pulang sekolahnya? Ayo silakan masuk dulu!” seorang wanita menyambut kedatangan Rere dan dia adalah tantenya Adit. “Udah Tante, Aditnya ada?” tanya Rere. “Ada di atas, samperin aja.” sang tante menunjuk ke anak tangga. “Oke, aku ke atas ya Tante,” ucap Rere. Rere segera menaiki tangga yang meliuk ke atas. Langkahnya terhenti begitu melihat sebuah potret yang digantung di dinding. Rere melihat kiri-kanan lalu mengeluarkan handphonenya. Dia memotret foto itu sambil menahan tawa. Yaitu potret Adit sewaktu kecil yang hanya mengenakan popok saja. “Oke sekarang gue juga punya foto panas lo,” bisik Rere. Rere tiba di depan sebuah pintu berwarna putih. Dia menahan napasnya sebentar lalu membuka knop pintu itu perlahan. Terlihat sosok Adit yang tengah asik duduk di depan komputernya. Sebuah headset menutupi telinga Adit sehingga dia tidak bisa mendengar kedatangan Rere. “Dit ...!” Rere kembali bersuara. Hening dan tidak ada jawaban. Adit sama sekali tidak mendengar panggilan Rere. Diam-diam Rere mulai menjinjit langkah. Dia melangkah pelan mendekati Adit yang tengah serius dengan gamenya. Saat ini Rere sudah berdiri tepat di belakangnya. Perlahan gadis itu mulai memajukan wajahnya tepat di samping wajah Adit.  “Wuaaaaaaa ...!” Adit berteriak kaget. Adit sontak langsung berdiri dan refleks mendorong Rere. Tapi secepat itu juga Rere lekas berpegangan pada lengannya. Sehingga membuat mereka berdua saling tarik untuk menjaga keseimbangan. Hingga akhirnya Adit berada di posisi yang tidak menguntungkan. Dia terpeleset dan terjatuh dengan bagian bokong mendarat keras di atas lantai. “AAARGGGHH ....” Adit meringis kesakitan. Rere pun terkejut dengan mata membulat. Tangannya masih mengawang setelah gagal meraih Adit. Rere kini tertegun dengan kedua tangan menutupi mulut. Sementara Adit terduduk dengan wajah meringis menahan sakit. Rere mulai merasa bersalah, dia perlahan berjongkok lalu menatap Adit yang kini menggigit bibir menahan perih di bagian belakangnya. “Maafin gue ...” ucap Rere. “Lo bisa nggak sih, sekali aja bersikap normal sama gue? Jangan pecicilan mulu!” bentak Adit. “Maaf ... gue kan, juga nggak tau bakalan begini,” Rere memasang wajah manyun sambil membentur-benturkan kedua jari telunjuknya “Bantu gue berdiri cepetan,” pinta Adit. Rere dengan sigap membantu Adit untuk bangkit. Setelah itu dia melihat bagian bokong Adit dengan seksama. “Ngapain sih, lo?” Adit segera berbalik karena merasa risih. “Gue cuma mastiin lo nggak mengalami pendarahan,” jawab Rere. Adit memejamkan matanya sejenak. Setelah itu dia langsung mendorong kening Rere dengan telunjuknya. “Lo pikir gue habis lahiran?” “Mirip sih, tetangga gue Mpok Erna habis lahiran dan gaya jalannya sama kayak lo sekarang,” jawab Rere. “Ngomong sekali lagi gue bacok lo!” ancam Adit. “Hahaha, santai Bro. Gue kaget juga sih, orang super bersih kayak lo bisa terkena penyakit itu.” Rere mulai mengejek. “Seneng ya, Lo ngeliat gue kayak gini?” Adit menatap sinis. “O, pasti dong!” jawab Rere. “Itu apa?” tanya Adit sambil menunjuk kantong plastik yang di bawa Rere. “Oiya, ini gue sengaja bawain lo pepaya. Setelah gue searching di internet, ternyata buah ini bagus buat penyakit lo.” Rere terkekeh lalu mengangkat kantong plastik itu ke depan wajah Adit. “Ngaco lo, ah!” “Seriusan!” Rere mengambil handphonenya lalu kembali membuka halaman browser yang tadi sudah di simpannya. Kemudian dia membaca ulang artikel itu dengan suara keras. Rere terus asik membaca dan tak sadar bahwa Adit kini tengah menatapnya. Sorot matanya berubah lembut. Seulas senyum juga tergurat di wajahnya. Namun begitu Rere balas menatapnya, Adit segera berpaling dan kembali memasang wajah sok cuek. “Wah, kamar lo enak banget. Kasurnya empuk, rapi, wangi lagi,” komentar Rere “Lebay deh,” jawab Adit. Kali ini Rere mulai menggila. Dia melangkah mundur, bersiap-siap, lalu melompat ke atas ranjang. Gadis itu tertawa riang sambil terus mengepakkan kaki dan tangannya. Bagi Adit pemandangan itu terlihat seperti seekor ayam yang baru saja disembelih di rumah potong. “Turun nggak, lo dari sana!” Adit mulai terganggu. “Eh liat deh, kepala gue hampir nyentuh langit-langit,” Rere menghiraukan larangan Adit dan malah terus melompat-lompat.  “Norak banget sih, lo!” ejek Adit. “Emang! Di rumah gue masih pake kasur kapuk. Kalau gue lompat bukannya mental ke atas, malah ambruk ke bawah,” jawab Rere. Adit tergelak mendengar jawaban Rere, namun dia langsung menyembunyikan tawanya itu. Setelah penat, barulah Rere menghentikan atraksi gilanya. Kemudian mereka berdua beralih untuk duduk di beranda kamar Adit. Dari sana, mereka bisa melihat langit siang hari yang cerah. “Lo nggak duduk?” tanya Rere melihat Adit yang masih berdiri canggung. “Lo ambilin bantal di kursi gue tadi dulu deh,” pinta Adit. Rere langsung berlari masuk mencari bantal itu. Dia kembali terkikik melihat bantal berbentuk donat yang memiliki lubang di tengahnya itu. “Jadi kalo duduk pake itu nggak sakit?” tanya Rere lagi. “Kalo lo masih bawel, mendingan lo pulang!” jawab Adit. “Oiya ... serius si Mike nyatain perasaannya sama lo?” selidik Rere. Wajah Adit langsung memerah. Dia tidak menjawab dan kembali menyumpal mulutnya dengan sepotong pepaya. “Dan lo nolak gadis sekece dia?” tanya Rere lagi. “Kenapa lo yang sewot sih?” “Bukan gitu, masa iya lo nggak tertarik sama dia?” Rere mulai nyinyir. “Gue nggak suka sama dia,” jawab Adit. Rere menatap Adit serius. Dia terlihat ragu meneruskan kalimatnya. Mulutnya terbuka namun tak ada kata yang terucap. Setelah mengumpulkan keberanian, barulah Rere kembali berkata. “Lo masih normal, kan?” Sepotong pepaya langsung mendarat di kening Rere. Pertanyaannya barusan langsung membuat Adit naik pitam. Tidak mau kalah, Rere segera melakukan serangan balik. Dia memasukkan biji pepaya kemulut lalu memberondong Adit seperti sebuah meriam. Adit yang super higienis tentu saja merasa kesal dan berupaya menghentikan aksi gila Rere. “Kan, lo yang mulai duluan,” cibir Rere. “Sekarang udah. Oke!” “Tapi jujur gue masih penasaran,” ungkap Rere lagi. “Apa?” tanya Adit. “Sebenernya tipikal cewek yang lo suka itu yang seperti apa sih? Gue bingung karena lo sering nolak mereka-mereka yang ngedeketin lo. Padahal kalau menurut gue mereka itu udah high level gitu,” tutur Rere. Adit tidak menjawab. Dia hanya menatap Rere tanpa berkedip. Ada yang lain dengan sorot matanya itu. Seakan dia sudah memberikan jawaban melalui matanya. Sosok Rere kini terlihat jelas di bola matanya. Gadis nakal yang entah kenapa selalu bermain-main dalam pikirannya. “Atau jangan-jangan-” Rere menggerak-gerakkan telunjuknya pelan. “Jangan-jangan apa?” Adit menelan ludah. “Jangan-jangan lo suka sama-” Rere menggantung kalimatnya. Adit mendadak grogi dan pura-pura sibuk dengan handphonenya. Sementara Rere masih menatapnya tajam. Adit menjadi kian gelisah. Kerongkongannya mendadak terasa kering dan sulit rasanya untuk sekedar menelan ludah. “Jangan-jangan lo suka sama Airin?” Pertanyaan Rere membuat Adit syok sekaligus lega. “Gue suka sama si cupu Airin?” Adit menunjuk dirinya sendiri. “Nggak usah munafik! Gue tau lo seneng banget saat lo pertama kali ketemu sama si Airin. Gue juga tau lo suka curi-curi pandang ke dia. Lo pasti happy kalo gue ngajak Airin untuk ikut gabung sama kita, ya kan?” tebak Rere. Adit meneguk gelas tehnya. Dia hanya diam mendengarkan Rere yang masih berciloteh. Gadis itu terus berucap dengan gerakan mulut yang berlebihan. Hidungnya ikut kembang-kempis, bola matanya sibuk naik turun lalu melirik ke kanan dan ke kiri. Adit menggenggam gelasnya lebih kuat. Dia berusaha menahan dirinya. Bibirnya terkatup rapat, namun hatinya kini mulai berbisik. “Satu-satunya yang gue suka itu cuma lo Re! Gue sayang sama lo dan gue nggak mau kehilangan lo ...” _  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD