Mata Untuk Raka - 03

1746 Words
Airin Minggu pagi. Rere sudah bangun, bergegas mandi dan selesai berganti pakaian. Mama dan abangnya Revan pun kini menatapnya heran. Biasanya minggu adalah hari dimana Rere menghabiskan waktunya di tempat tidur. Dia hanya akan bangun ketika lapar dan jika sudah kenyang dia akan melanjutkan ritual hibernasinya itu. “Kesambet apaan lo Re, jam segini udah bangun?” tanya Revan. “Please jangan bikin gue badmood pagi ini!” Rere langsung menatap Revan dengan wajah garang. “Sok yes gaya lo. Baru sesekali bangun pagi aja udah songong. Biasanya juga masih ngebo,” cibir Revan. “Kamu jadi ke rumahnya Adit?” tanya mama. “Iya ma,” jawab Rere. “Oh jadi karena itu lo bangun pagi. Karena mau jenguk suami lo yang lagi sakit.” mulut ceper Revan kembali kumat. “Huss ... kamu ngomong apaan sih!” mama langsung memarahi Revan. “Tau tuh, ya udah ma, Rere pergi dulu ya.” Rere berpamitan dan segera pergi setelah menyempatkan diri untuk mencubit lengan abangnya. _ Rere bersenandung ria di sepanjang perjalanan. Dia menghirup udara pagi yang segar sambil memejamkan mata. Dalam setahun terakhir, inilah pertama kalinya Rere bangun pagi di hari minggu. Terlihat beberapa rombongan orang yang tengah melakukan joging. Ketika rombongan itu melewatinya, Rere ikut-ikutan berlari-lari kecil di belakang mereka. Dia tetap santai meski kini banyak mata yang menatapnya heran. Langkah Rere terhenti di depan sebuah rumah dan itu bukan Rumah Adit. Dia merogoh handphonenya, kemudian melakukan sebuah panggilan . Matanya tertuju pada sebuah jendela di lantai dua rumah itu. Rere mendesah pendek, teleponnya tidak juga kunjung diangkat. “Ngapain sih, lo? Gue udah nunggu dari tadi nih!” Teriak Rere. Seorang gadis kini melambai dari jendela yang sudah dibuka itu. “Maaf ya, tadi aku di kamar mandi. Aku ganti baju dulu bentar,” ucap gadis itu. “Jangan lama-lama,” jawab Rere. Gadis di jendela itu tersenyum lalu membentuk tanda OK dengan jemarinya. Gadis berambut panjang itu bernama Airin Azzahra, dia adalah teman Rere dari kecil. Airin memiliki kepribadian yang berbanding terbalik dengan Rere. Dia seorang gadis yang lembut dan manis. Sewaktu kecil, Rere sering membuatnya menangis. Rere tidak pernah membiarkan Airin menonton film kartun disney dan selalu menggantinya dengan kaset power rangers dan ninja hatori. Selain itu Rere juga suka merusak boneka barbie milik Airin hingga boneka itu menjadi terlihat menyeramkan. Mereka bersekolah di tempat yang sama sejak taman kanak-kanak hingga SMP. Namun saat lulus SMP, Airin memutuskan untuk masuk SMK dan mereka pun terpisah. Namun tetap saja, sepulang sekolah Rere akan selalu datang bermain ke rumah Airin dan begitu juga sebaliknya. Kemaren Rere sudah wanti-wanti memaksa Airin untuk ikut ke rumah Adit hari ini. Rere ingin kedua temannya itu menjadi lebih akrab. “Bener nih, nggak apa-apa kalau aku ikut?”Airin masih merasa bimbang. “Nggak apa-apa,” jawab Rere. “Kalau aku nunggu di luar aja gimana?” usul Airin. “Terus lo di luar mau ngapain? Mau jagain sendal gue biar nggak dimaling orang?” celetuk Rere. “Bukannya gitu ...” Airin memperbaiki posisi kacamatanya. “Pokoknya lo harus ikut gue hari ini!” “Ta-tapi....” Rere tidak lagi menghiraukan ocehan Airin. Dia merangkul pundak sahabatnya itu lalu menyeretnya pergi. Rere tersenyum senang, sementara Airin melangkah gamang. Rere tertawa renyah, sedangkan Airin mulai merasa cemas. _ Setiba di rumah Adit, Rere dikejutkan karena Adit sudah menanti di teras rumahnya. Sepertinya sakit kronis yang dideritanya sudah mulai sembuh. Hal itu terlihat karena kini Adit sudah mengenakan celana jeans seperti biasanya. Rere segera berlari mendekat. Semantara Airin memperlambat langkahnya dan terlihat malu-malu. “Lo ngapain di luar?” tanya Rere. “Gue mau pergi,” jawab Adit ketus. Rere menatap gusar dan langsung berkacak pinggang. “Lo tau kan, gue sama Airin mau dateng ke sini?” “Tau,” jawab Adit santai. “Terus kita baru aja nyampe dan lo mau langsung pergi?” tanya Rere lagi. “Yaps.” Jawaban Adit membuat ubun-ubun Rere mendidih. Urat-urat di lehernya mulai menyembul. Sementara Airin yang kini sudah berdiri di belakangnya hanya menunduk sambil menyelipkan rambutnya ke belakang daun telinga. Airin yang memang agak sensitif dan perasa kini mulai merasa resah. Dia merasa bahwa Adit tidak ingin dia ikut datang ke rumahnya. “Ayok Rin masuk, lo duduk depan ya! Gue males duduk di sebelah dia,” Adit membuka pintu mobil dan mempersilakan Airin untuk masuk. “M-masuk?” kedua mata Airin membulat. “Iya, hari ini gue bakalan ngajak kalian jalan-jalan,” jawab Adit. Airin segera masuk ke mobil dengan wajah linglung. Adit menutup pintu itu dan kembali beralih menatap Rere. Gadis itu berdehem sesekali lalu mengalihkan pandangannya. Dia tidak berani menatap mata Adit. Rere merasa malu karena sudah terlanjur menuduh Adit yang bukan-bukan. “Lo mau tetep di situ marah-marah atau ikut sama gue?” tanya Adit. Rere bergeming. Bibirnya bergerak-gerak mencemooh kata-kata Adit. Tatapannya terpaku pada ujung sepatunya. Rere merasa gengsi untuk langsung mengiyakan. Adit mulai gusar, dia melangkah mendekat hingga wajah keduanya sangat dekat sekarang. “Kenapa lo nggak berani lihat mata gue?” tanya Adit. Rere hanya menunduk. “Makanya sesekali ngemil rinso sana biar pikiran lo bersih dari noda! Kebiasaan ngejudge orang lain sembarangan,” lanjut Adit. “Harusnya lo bilang.” Rere mencoba membela diri. “Buka pesan lo!” perintah Adit. Rere mengernyitkan dahinya. Namun dia menurut dan segera membuka handphonenya. From: Didit peak Re... hari ini kita jalan-jalan ya! Bete gue udah seminggu nggak keluar rumah. Kita langsung berangkat begitu lo sama Airin nyampe. Gue udah standby di depan rumah... Rere tidak bisa berkata-kata lagi. Wajahnya terasa panas, tapi bukan karena emosi. Melainkan karena rasa malu yang teramat sangat. Suasana berubah canggung. Adit menyadari hal itu dan kembali bersuara. “Lo tau nggak wajah lo sekarang kayak apa?” suara Adit terdengar ramah. “Kayak apa?” “Kayak dendeng balado, hahaha.” Adit tertawa keras. Rere langsung memukul lengannya bertubi-tubi. Keduanya kembali perang mulut dan kecanggungan itu pun menghilang. Adit tersenyum senang melihat Rere kembali sangar. Rere pun kembali bebas melepas tingkah tengiknya. Sementara Airin duduk gelisah di dalam mobil dengan bulir peluh yang mulai bercucuran. _ Adit mengajak mereka berdua pergi bermain ke taman rekreasi. Rere begitu antusias mencoba berbagai wahana permainan yang ada. Dari yang level sedang hingga ektrim semua sudah dinaikinya. Sementara Airin terus saja gugup. Dia terus menolak tawaran Adit dan Rere untuk bermain di berbagai wahana. Karena tidak enak hati, Adit pun memilih tidak ikut naik wahana viking bersama Rere. Dia memilih menemani Airin yang duduk sendirian di pojok taman. “Lo kenapa nggak ikutan?” tanya Adit. “Takutnya nanti pusing dan mual,” jawab Airin. “Kayak gejala orang lagi hamil aja,” bisik Adit. “Apa?” “Nggak apa-apa kok. Oh iya, Rere bilang lo introvert gitu ya?” “Hmmm ....” Airin merespon singkat. “Wah bener-bener ya, entah apa dosa gue di masa lalu bisa dapet temen kayak kalian berdua,” kata Adit. Airin langsung sumringah mendengar kata teman yang diucapkan Adit. Semburat rona merah mencuat di pipinya. Dia tersenyum malu dan sengaja menarik rambutnya untuk menutupi wajah. Adit mengalihkan wajahnya untuk menyembunyikan senyum. Dia merasa gemas melihat tingkah Airin yang begitu polos dan lugu. Mata Adit kini beralih pada sosok Rere yang berteriak-teriak di atas kapal viking. Dia melambaikan tangannya dengan rambut berkibar seperti rambut singa. Suara cemprengnya mendominasi. Adit jadi teringat pada tokoh Tarzan yang sering ditontonnya. Dia mengangguk pelan dan merasa sosok Rere cocok memerankan tokoh tarzan wanita. “Lucu ya,” kata Adit lagi. “Kenapa?” tanya Airin. “Yang satu malu-malu. Yang satunya lagi malu-maluin,” Adit terkekeh. _ Hari beranjak sore. Ketiga remaja itu masih saja sibuk bermain. Airin sudah mulai terbiasa berada di dekat Adit. Sosok Adit yang sebelumnya dikira dingin dan sombong itu akhirnya bisa membuatnya tertawa. Tentu saja hal itu membuat Rere merasa lega. Berkali-kali dia sengaja diam agar tidak mengganggu obrolan antara Adit dan Airin. "Mulai sekarang jangan malu-malu lagi," saran Adit. "Iya," jawab Airin. "Gue juga heran, dulu aja nih ya, pernah si Airin gue ajak makan bakso dan ternyata warungnya rame. Eh ... dia malah nggak mau masuk ke dalam karena banyak orang. Emang lo pernah di gigit sama orang?" tanya Rere. "Kamu ngapain sih ngomongin itu." Airin merasa malu. "Seriusan? Jangan-jangan tadi lo juga risih karena rame?" tebak Adit. Airin hanya mengangguk pelan. Adit dan Rere saling pandang lalu tertawa. "Besok-besok kita bawa dia ke pasar malam terus kita tinggalin dia sendirian. Kira-kira gimana ya?" usul Rere. "Ide bagus tuh," jawab Adit. Airin hanya tersenyum. Adit dan Rere terus saja mengolok-oloknya. Tetapi semua ocehan itu tidak membuat Airin marah. Dia malah merasa ada sensasi hangat yang memenuhi dadanya. Dia merasa bahagia bisa mengenal Adit yang kini resmi menjadi temannya. "Berarti besok lo udah masuk sekolah, kan?" tanya Rere. "Masuk dong," jawab Adit. "Kalian berdua satu kelas?" tanya Airin. "Untungnya enggak," jawab Adit. Airin tertawa. Adit meringis kesakitan. Rere merasa puas karena sudah menendang betis Adit barusan. "Enak ya, kalian bisa ketemu tiap hari," ucap Airin. Kalimat itu membuat aksi ricuh Rere dan Adit terhenti. Keduanya terdiam cukup lama. Entah mengapa pertanyaan itu terasa sulit untuk dijawab. Adit meneguk gelas teh esnya. Rere sibuk dengan daging sate yang tak mau copot dari lidinya. "Apa kalian saling suka?" tanya Airin lagi. Adit tercekik batu es. Rere hampir menelan lidi satenya. "Nggak mungkin lah, gile aja gue bisa suka sama dia," jawab Rere. "Ya elo ... gue juga ogah sama lo, taik! Ibarat kata cuma lo perempuan satu-satunya yang tersisa di dunia ini pun, gue tetep NO," dengus Adit. "Berarti boleh dong, kalau sewaktu-waktu aku suka sama kamu Dit," Airin berkata pelan. Semilir angin membelai kuduk Adit dan Rere bersamaan. Adit menelan ludah dengan bulu tangan meremang. Jemari Rere melemah hingga tusukan sate itu lengser dan jatuh ke tanah. Sementara Airin masih tersipu malu. Namun di mata Rere dan Adit ekspresi itu tampak begitu menyeramkan. "Lo nggak demam kan, Rin?" Rere langsung memeriksa suhu kepala Airin. "Gila! Kalian berdua sama sedengnya," komentar Adit. "Loh, bukannya kamu yang bilang untuk nggak lagi malu-malu?"tanya Airin. "Jadi sekarang lo jadi malu-maluin gitu?" tanya Adit. "Hahahaha," Rere tertawa ngakak. "Aku cuma becanda kok," ujar Airin. "Becanda lo nggak lucu! Horror." Adit menggelengkan kepalanya. Rere masih tertawa sambil memegangi perutnya. Seketika dia bersendawa dan secuil daging sate melompat keluar. Penampakan itu langsung membuat perut Adit melilit. Kehebohan pun kembali terjadi. Kali ini Adit dan Airin bersatu untuk membullynya. Suara ketiganya terdengar nyaring. Untungnya pengunjung di sana tidak merasa terganggu dan malah ikut tertawa melihat tingkah mereka. "Pokoknya kita bertiga bakalan berteman selamanya!" Rere mengangkat gelas teh esnya yang sudah kosong. "TEMAN SELAMANYA ...!!!" Adit dan Airin menyambut cheers itu dan mereka kembali larut dalam senda gurau. Mereka tidak tahu, gelak tawa mereka, canda tawa mereka, senyum yang tergurat di wajah ketiganya, akan berganti dengan sebuah luka yang akan membekas selamanya. _ Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD