Semesta Merestui

2044 Words
Althaf tersenyum saat merasakan tangan Jemma memegang pinggangnya, ia tidak akan memaksa Jemma untuk berpegangan lebih dari itu. Terpenting wanita ini nyaman terlebih musibah yang baru dialaminya, sampai Jemma tampak sangat syok tadi. Jemma menyebut Hutama Residence sebagai tempat tinggalnya. Althaf tahu tempat itu, tidak jauh dari tempat tinggal kakaknya, Sea-Sky. Jika Jemma di apartemen, keluarga kakaknya di Penthouse hunian eksklusif yang masih satu wilayah, beda gedung saja. Dari rumahnya yang daerah timur, dan kini mengantar Jemma di daerah Selatan. Sama seperti sehari-hari ia berangkat kerja, kantor Lais juga tidak jauh dari sana. Jemma mengarahkan ke depan lobi, sepanjang perjalanan tidak ada obrolan juga. Jemma bersyukur Althaf tidak banyak bicara menyebalkan seperti biasanya. Althaf menghentikan motor, kemudian Jemma turun. Althaf melepaskan helmnya, menatap Jemma yang langsung sibuk merapikan rambutnya. Althaf tersenyum, Jemma kemudian membalas tatapan matanya. “Selama ini kamu tinggal di sini?” “Iya, sudah setahun pindah ke sini.” Kening Althaf mengernyit, “oh terus tadi dari mana?” Jemma tidak langsung menjawab. Althaf kembali bicara, “enggak usah dijawab, aku cuman penasaran pas kita bertemu waktu itu... jaraknya cukup jauh dari sini.” “Rumah orang tuaku tidak jauh dari tempat kita pertama kali bertemu. Tadi pun begitu, aku baru dari rumah orang tuaku, habis makan malam bersama.” Jemma memberitahu. Althaf terkadang bingung dengan para orang kaya, makan malam dengan keluarga saja terasa diatur dan kaku. Berbeda sekali dengan keluarganya, bisa setiap waktu kecuali ya kakaknya Sky, yang super sibuk. Tapi, Sky tidak mungkin absen sampai satu bulan makan nasi liwet buatan Ibu yang juara itu. “Kamu tinggal di sini sendirian?” Jemma memberi anggukan, Althaf hanya tersenyum, lalu melirik ke petugas keamanan yang mengamati mereka. Jemma sejak tadi juga sedang mempertimbangkan untuk mengajak Althaf masuk. Tetapi, mulutnya terlalu kaku untuk menyampaikan. “Kalau kamu?” Jemma mencoba untuk membuat obrolan dua arah, tidak hanya Althaf. “Tempat tinggalku? Aku masih tinggal sama Ibu, bukan enggak mau hidup sendiri. Keluar rumah. Cuman karena kakak-kakakku sudah menikah, sebentar lagi juga Aa bawa istri-anaknya pindah ke rumahnya. Aku yang akan tinggal sama Ibu. Rawamangun, kami tinggal di sana.” Jemma langsung terkesiap mendengar pengakuan Althaf, “itu jauh dari sini, Al...” ditambah tadi hujan dan sudah malam juga. “Naik motor, jalanan lenggang begini sih sebentar Je... sudah biasa pulang-pergi, tempat kerjaku juga dekat dari sini.” Meski begitu, tetap saja Jeje rasanya jadi tidak enak sudah merepotkan pria yang belum lama ini dikenalnya. Apalagi mengingat sikapnya merespons Althaf terkadang dingin. “Kamu mau mampir dulu, minum teh atau kopi hangat?” Jemma akhirnya menawarkan. Althaf menggelengkan kepala, “aku langsung pulang saja. Sudah malam, kamu juga harus istirahat.” “Yakin langsung balik ke rumah?” “Iya, Jeje...” Althaf menyeringai, senang dengan sikap Jemma lebih mencair malam ini. Jemma memberi anggukan, “ya udah kalau kamu maunya langsung balik.” “Lain kali saja,” “Aku menawarkannya malam ini kok, lain kali belum tentu” Jemma sengaja mengatakannya. Althaf terkekeh, “jangan-jangan respons baiknya buatku cuman limit malam ini saja? besok-besok balik ilang-ilangan, enggak langsung respons pesan, teleponku?” Jemma menahan bibirnya yang entah mengapa ingin tersenyum mendengar kalimat Althaf, “uhm, bisa jadi...” “Jangan dong, Je.... nanti aku doain kamu buruk, bagaimana? Biar ada kesempatan buat bantu kamu lagi.” “Heh!” Jemma kembali berdecak. Althaf tertawa, “enggak mungkin, bercanda Jeje...” Jemma dan Althaf masih saling tatap, memerhatikan dengan dalam. Jemma bersikap tenang, walau tiba-tiba jantungnya jadi berdetak lebih cepat. “Mobil kamu aman kok, itu bukan bengkel sembarangan. Aku kenal baik pemiliknya, besok aku minta mereka antar mobilnya ya.” “Kasih alamat bengkelnya saja, biar aku yang ambil nanti.” Althaf mengambil ponselnya lebih dulu, lalu mengirimkan kontak dan alamat bengkelnya. Jemma mengakui dirinya agak ceroboh, seharusnya memiliki kontak salah satu bengkel yang ada jasa bantu dereknya. Keadaan seperti tadi, bisa menimpanya kapan saja walau selama ini, lancar-lancar dan tidak ada kendala. Tahun ini dua kali kejadian saat ia sedang mengemudi mobilnya. Semua juga terjadi karena ia terlalu banyak melamunnya, tidak konsentrasi sama sekali. Jemma mencebikkan bibir, tangannya terlipat depan dadanya, “ya udaaah, sana balik. Sudah malam banget. Terima kasih buat bantuannya malam ini.” Althaf memberi anggukan, kembali memakai helmnya kemudian menghidupkan motor. Ia membuka kaca bagian depan helm, kemudian pamit sekali lagi, “selamat istirahat, Jeje calon pacar Althaf...” Jemma membulatkan mata, Althaf tertawa lalu pergi meninggalkannya. Jemma masih di sana, memerhatikan punggung itu menjauh kemudian ia terdiam sambil menunduk. Hoodie biru milik Althaf masih dikenakannya. Jemma mencari ponsel di tasnya, coba menghubungi Althaf. Berharap dijawab. Beberapa nada tunggu terdengar, kemudian Althaf akhirnya menjawab. “Baru beberapa detik, aku juga belum jauh... eh sudah telepon duluan—“ “Kamu balik lagi ke sini, hoodie kamu masih sama aku.” Althaf terdiam beberapa detik, kemudian menghela napas panjang, “oh iya!” decaknya. Jemma meminta Althaf putar balik, kembali ke sana. Awalnya Althaf menolak, “eh tapi enggak apa-apa deh, biar ada alasan besok mampir ketemu kamu.” Alasannya dengan jujur. Jemma berdecak dengan tegas, “jarak dari sini ke rumah kamu jauh ya! Apalagi pakai motor, balik sini. Ambil hoodie kamu, atau mending besok-besok enggak usah bertemu lagi!” Ancaman Jemma jelas berhasil, ia tetap menunggu sudah melepas jaketnya. Tidak lama motor Althaf terlihat kembali memasuki area gedung apartemennya. Althaf sudah menyengir saja. “Perhatian banget kamu, Je... enggak sekalian bantu pakaikan ini?” Jemma mendelik sebal, Althaf juga bisa-bisanya meminta Jemma memegangi helmnya dulu. Membiarkan lelaki itu memakai kembali hoodie miliknya, lalu mengambil helmnya lagi. “Wangi hoodie milikku sekarang ada campuran wangi kamunya, berasa pulang tetap ditemani kamu kalau gini!” ujar Althaf sambil memberi tatapan lekat, sementara Jemma berusaha mempertahankan ekspresi biasanya. Tidak ingin tersanjung apalagi sampai terpengaruh hanya karena kalimat Althaf. *** Althaf tiba setengah jam kemudian ke rumah Ibu, memastikan pagarnya terkunci lagi. Lalu ia masuk ke rumah. Althaf selalu bawa kunci cadangan rumah, agar tidak membangunkan Ibu atau orang rumah terutama pulang sudah hampir jam satu malam. Langkahnya baru sampai depan kamar, tangannya juga sudah memegang gagang pintu saat sebuah suara teguran muncul dari belakangnya, “baru pulang, Al? kata Ibu tadi kamu pergi buru-buru, mana sudah gerimis...” Pas Althaf pergi terburu-buru begitu mendapatkan kabar musibah mengenai Jemma, kakaknya memang sedang tidak di rumah. Althaf berbalik, “Aa belum tidur?” “Belum, tunggu kamu.” “Aku bawa kunci sendiri, Aa.” Athaar tidak menjawab, Althaf tahu jika kakaknya memang akan rela menunggu sampai jam berapa pun saat Ibu melapor salah satu adiknya pergi terburu-buru dan belum kembali. “Ada masalah apa?” “Oh itu tadi, temanku terkena musibah. Ban mobilnya masuk lubang pekerjaan jalan.” Alhaf tidak berbohong, hanya tidak menjelaskan temannya laki-laki atau perempuan saja. “Teman yang kamu lihatkan fotonya ke Rigel?” Althaf berdecak dalam hatinya, sang kakak bisa menebaknya dengan tepat saat ia tidak mau menjelaskan lebih detail. “I-iya, Aa.” “Nganterin pulang juga setelahnya?” “Iya juga...” Athaar tetap memberi tatapan lekat, “kalau mau Ibu kasih restu sama siapa pun pilihanmu, kamu juga harus bisa dipercaya. Bertanggung jawab sama wanita itu. Kamu laki-laki, Aa bahkan Ibu enggak bisa mengawasi kamu dua puluh empat jam. Kamu juga sudah dewasa. Harusnya tahu mana yang baik dan kurang baik.” “Iya, Aa... Aku berusaha untuk mengingatnya. Aku janji akan berusaha buat enggak mengecewakan kalian.” Athaar memintanya untuk bersih-bersih dan beristirahat. Althaf menunggu, sampai melihat kakaknya barulah masuk ke kamarnya sendiri. Ia tidak merasa terganggu dengan perhatian yang diberikan, meski ia laki-laki dan sudah dewasa. Bentuk kasih antara saudara memang beragam, dan Ibu membiasakannya seperti ini terutama setelah beberapa masa lalu yang kurang baik dialami keluarganya. Althaf segera mencuci muka, tangan dan kaki pun gosok gigi. Lalu ia mengganti pakaiannya, barulah naik ke tempat tidur. Mengecek ponsel, begitu melihat nama Jemma dan isi pesannya, senyum Althaf benar-benar muncul sangat lebar. [Al... Kamu sudah tiba di rumah? Terima kasih untuk bantuanmu dan sudah diantar pulang tadi] Althaf segera memberitahu jika ia sudah sampai, yang awalnya susah penuh tantangan, butuh effort lebih pas sudah mulai merespons memang menimbulkan rasa pantang menyerah untuk semakin mendekatinya. Althaf berbaring menatap langit-langit kamarnya, sambil merencanakan untuk besok, sementara dilain tempat Jemma baru membaca balasan pesan dari Althaf. Ia juga sedang berbaring diranjangnya. Kesepian yang mengepungnya membuat Jemma kembali larut dalam beban pikiran lain. Bukan lagi tentang mobil atau Althaf yang tadi mengantarnya, melainkan pada sikap Darby yang menunjukkan cemburunya. Semua salah Rifky yang tidak mau mengerti bahwa jarak memang diperlukan untuk mereka supaya tidak ada salah paham, apalagi sampai masa lalu mereka terungkap. Ia mengenal Darby yang akan membesar-besarkannya dan semakin buruk disisinya. Jemma tidak memastikan waktu saat akhirnya terlelap dan bangun karena alarm ponsel yang diatur selalu dengan waktu yang sama. Jemma berangkat kerja menggunakan taksi online karena mobilnya memang masih dibengkel. Lalu saat siang, ada waktu senggang dan orang bengkelnya memberitahu tidak ada kerusakan yang berat hanya lecet sedikit, Jemma datang ke sana untuk mengurus p********n dan mengambil mobilnya. Mobilnya asa asuransi, jika bengkel mobil milik kenalan Althaf tidak bisa menangani, Jemma berencana memindahkan ke tempat lain. Tapi, ternyata tidak sampai perlu melakukannya. Kejutan lain justru saat tiba di sana orang bengkelnya memberitahu, “sudah dibayar oleh pacanya, Kak.” "Pacar saya, siapa maksudnya?" "Althaf, memang kakaknya punya pacar lebih dari satu? Waaaah!" Decak orangnya, setipe dengan Althaf yang suka menanggapi dengan santai. Jemma jadi gemas sendiri. Bukan masalah ia punya pacar satu atau lebih, namun Althaf bukan pacarnya. Bagaimana ia meluruskannya? Jemma terkejut sekaligus kesal, Althaf sudah sangat membantunya semalam. Tetapi, tidak perlu sampai membayar biaya derek maupun bengkel mobilnya. Jemma baru akan menelepon, saat melihat seseorang turun dari motor. Althaf berterima kasih pada abang ojol berjaket hijau, barulah berbalik dan melangkah ke arah Jemma dengan rasa percaya diri. Jemma menghela napas panjang, “bagus kamu datang, baru aku akan meneleponmu.” “Memang kalau sudah direstui semesta, selalu tepat ya Je? Nggak ada namanya kebetulan, selain ditakdirkan..." Jemma hanya beri tatapan datar, “aku ganti semuanya, biaya derek dan bengkelnya tanggung jawabku.” “Iya, aku enggak akan ngotot buat enggak diganti... tapi, cara gantinya harus sesuai mauku.” Kening Jemma mengernyit, penuh curiga jika memang semua sudah Althaf rencanakan. “Jangan minta aneh-aneh—“ Althaf malah tertawa kecil, “aku belum makan siang, dekat sini ada tempat makan enak.” Jemma mengerti jika yang diinginkan oleh Althaf adalah makan siang bersamanya. Jemma memberi anggukan, “kamu bisa menyetir mobil?” “Bisa, aku sengaja juga enggak pakai motor sendiri...” “Kamu memang merencanakan semuanya?” “Iya, kalau enggak gini... enggak ada kesempatan buat bisa makan siang sama kamu.” Katanya berterus terang. Jemma kesal sebenarnya, tetapi ia hargai usaha dan kejujuran Althaf terhadap usahanya ini. “Aku ada waktu sampai setengah satu,” “Iya, aku juga harus balik ke kantor kok.” Althaf dan Jemma sama-sama memasuki mobil. Althaf menatap interior mobilnya. Sebelum meninggalkan bengkel, ia membuka kaca mobil untuk menyapa temannya dan mengucapkan terima kasih. Jemma duduk, memasang seatbelt sambil berbicara, “aku yang bayar makan siang kita! Awas saja kalau nanti tolak!” Althaf mengangguk saja, terpenting ia bisa berkesempatan makan siang dengan Jemma. “Senyum dong, kalau ekspresinya begitu... kayak terpaksa.” Jemma menoleh, disuguhi wajah semeringah pria itu. Jemma memberi senyum tipis. Lalu ia terdorong untuk bertanya sesuatu, “Al, usia kamu itu berapa sih?” Althaf bergantian menoleh sejenak, tidak langsung menjawab. Ia mempertimbangkan, untuk memberitahu dengan jujur atau tidak? Tidak semua perempuan bisa menerima usia lebih muda dari pria yang mendekatinya. Sepertinya Jemma salah satunya yang begitu. “Dua puluh sembilan,” Jemma tampaknya langsung percaya begitu saja saat memberi anggukan, “ternyata kita seumuran?” “Iya,” angguknya kaku. “Bagus deh, kalau ternyata kamu lebih muda... aku serius akan minta kamu mundur dan benar-benar berhenti dekati aku!” tegas Jemma mengatakan. Althaf mendadak tidak ingin tersenyum, memilih diam dan meyakinkan berbohongnya demi kebaikan. Terpenting ia berhasil dapat kesempatan, setelah mereka sangat dekat dan nyaman, barulah ia akan mengatakan sejujurnya mengenai usianya. Ia bertekad membuktikan, bahwa perbedaan empat tahun hanya sekedar angka. Althaf bisa mengimbanginya. "Kamu sekarang udah tahu kita seumuran, artinya akan biarkan aku berusaha buat dekati kamu, kan?" Althaf langsung memastikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD