Sumber Rasa Sakit[2]

2307 Words
Suara gelas terjatuh dan pecah terdengar hingga ke ruang keluarga yang sedang berlangsung suara obrolan ringan dan tawa, penanda suasana kekeluargaan yang mulai menghangat seketika itu berhenti oleh keterkejutan satu sama lain. Di dapur, suasana lebih dulu hening. Pecahan gelas masih berserakan di lantai marmer. Di sudutnya, Jemma berdiri menahan napas, jari telunjuk kirinya terluka, namun ia memilih untuk mengabaikan rasa perihnya. Rifky, suami dari kakaknya, berdiri tak jauh dari tempat kejadian, wajahnya penuh rasa bersalah dan sedikit canggung. Sementara Darby menatap curiga, sudah melempar pertanyaannya lebih dulu. “Apa yang terjadi, kenapa kalian berdua ada di sini?!” Nada suaranya datar, tapi Jemma merasa tatapan kakaknya lebih tajam daripada ucapannya. Darby berdiri sambil kedua tangan terlipat di d**a. Pandangannya bergantian antara Jemma yang berusaha tetap tenang dan Rifky yang tampak salah tingkah. Jemma segera berbicara, menjaga suaranya tetap lembut namun meyakinkan. “Aku cuma ambil minum, Darby. Gelasku kesenggol... pecah. Enggak sengaja, kalau Mas Rifky ada di sini, dia baru banget.” Ia mengepalkan tangannya yang berdarah, otomatis lukanya juga tertekan. Intonasi suara yang terjaga agar tidak gemetar. Darby tetap menyipitkan mata. “Kamu ngapain di sini, Mas? Ambil minum juga, yang lain di ruang keluarga. Memangnya rumah ini enggak ada ART apa, sampai kalian kompakkan ambil minum ke dapur?!” Nada suaranya berubah, lebih tertuju ke Rifky kali ini. Sebelum Rifky bisa menjawab, suara langkah kaki dari ruang keluarga mendekat. Beberapa anggota keluarga sudah mulai berdatangan ke arah dapur, tertarik oleh suara gelas pecah tadi. Termasuk Iyang. “Ada apa ini? Pecah apa tadi?” tanyanya. Seketika, suasana jadi tegang setengah canggung. Jemma cepat-cepat melangkah mendekat ke Iyang dengan senyum terkendali. “Gelasku, Iyang. Aku enggak hati-hati tadi, jatuh. Maaf sudah buat semua terganggu, dan cemas.” Iyang langsung menoleh ke salah satu asisten rumah tangga yang ikut muncul di belakang. “Mbak, ini tolong disapu bersih. Pastikan enggak ada serpihan tertinggal yang bisa melukai siapa pun.” “Asiiiap, Iyang,” jawab si asisten sambil segera bergerak cepat. Darby masih menatap Rifky sekilas, tapi kini memilih diam, seolah menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang akan ditunda untuk dibahas nanti. Jemma bisa merasakannya, seperti hawa dingin yang tak kasat mata. Jemma akui, ia merasa tertolong dengan kehadiran Iyang dan lainnya. “Jemari Jemma terluka, tadi mengenai ujung pecahan kaca gelasnya” Rifky bersuara memberitahu Iyang. Jemma mendelik sejenak, lebih berharap Rifky tetap diam saja. Tidak perlu mengatakan apa-apa apalagi dengan nada cemas penuh perhatian padanya. “Sungguh? Kamu kok enggak hati-hati! Udah tahu bahaya pecahannya, malah dipegang! Sini Iyang lihat!” Iyang melihat lukanya, lalu berdecak saat melihat goresannya cukup panjang dan dalam. Setelah itu Jemma berjalan mendampingi Iyang, nenek yang meski tubuhnya mulai dimakan usia, tetap membawa ketenangan yang tak tergantikan. Tangan Iyang menggenggam lembut tangan Jemma yang terluka, tak tergesa, tapi penuh perhatian. “Jeje, sini duduk! Biar Iyang obati lukamu, tolong ambilkan kapas dan obatnya ya!” ucap Iyang begitu mereka sampai di ruang keluarga. Sofa empuk berwarna krem di sudut ruangan menjadi tempat mereka berhenti. Beberapa anggota keluarga duduk berjarak. Rifky yang paling sigap mengiyakan, pergi mengambil yang Iyang butuhkan. Jemma duduk diam, membiarkan Iyang mengobati lukanya. Meski luka itu tak besar, tetap saja terasa perih saat dibersihkan. Namun, rasa itu kalah jauh dibanding perasaan yang menyelusup saat ia menyadari... tatapan Darby dari seberang tempatnya duduk tak lepas dari dirinya. Tatapan kakaknya dingin. Seolah bukan hanya luka di jari yang ia nilai, tapi sesuatu yang jauh lebih dalam, lebih rumit. Baru saja Jemma akan mencoba mengalihkan perhatian, Rifky datang menghampiri, membawa botol antiseptik dan kapas dari dapur. “Jeje, kamu mau ke klinik aja? Biar aku antar. Biar dicek beneran, siapa tahu memang dalam,” ucapnya, tulus. Nada suaranya lembut, terdengar tulus ingin membantu. Jemma membuka mulut, baru akan menolak. Tapi, suara kakaknya lebih dulu terdengar. “Luka kecil begitu enggak perlu ke klinik,” sela Darby tiba-tiba. Suaranya tajam, datar, namun setiap kata menggigit. Darby memandang adiknya lurus-lurus. “Kamu harusnya lebih hati-hati. Untung cuma kamu sendiri yang kena. Kalau pecahannya kena orang lain?” Suasana sontak jadi senyap. Jemma menelan ludah, perih di jarinya terasa seperti gema dari perih di hatinya. Kalimat Darby jelas bukan sekadar tentang gelas pecah. Seolah Jemma terlalu ceroboh sampai bisa membahayakan untuk semua orang. Ia membuka mulut, ingin membela diri, tapi Iyang sudah lebih dulu bersuara. “Darby, jangan terlalu menyalahkan Jeje. Bisa saja kejadian seperti itu terjadi pada siapa pun. Lagipula, Iyang yakin Jemma sudah hati-hati.” Nada Iyang lembut, tapi tegas. Ia menatap Darby dengan bijak, dengan kasih sayang seorang paling dituakan yang tak pernah memihak secara buta, tapi tahu kapan harus menenangkan api sebelum menyulut bara lain. Darby tak menjawab. Hanya memalingkan wajah dan menatap kosong ke arah jendela. Sisa malam berjalan dalam keheningan yang diselimuti ketegangan. Makan malam tetap berlangsung. Obrolan terdengar di sana-sini, tapi Darby tetap diam. Suaranya tak terdengar bahkan saat membalas percakapan ringan dari anggota keluarga lain. Jemma makan dengan pelan, duduk bersebelahan dengan Iyang yang sesekali menyentuh lengannya dengan penuh dukungan. Meski luka di jarinya telah dibalut rapi, rasa perih lain di d**a masih belum sepenuhnya bisa ia obati. Dan di tengah makan malam keluarga yang harusnya terasa hangat, untuk pertama kalinya terasa lebih dingin daripada biasanya. *** Meja makan sudah kembali bersih dan rapi, sementara suara televisi di ruang keluarga pun hanya jadi latar yang samar. Setelah makan malam usai dan anggota keluarga berpencar ke kamar masing-masing, Iyang memegang tangan Jemma dengan hangat. “Menginaplah malam ini, Je. Sudah larut malam untuk memaksa pulang ke apartemenmu,” kata Iyang sambil menatapnya penuh arti. Jemma hanya mengangguk kecil. Belum ada keputusan soal menginap, pikirannya terlalu penuh. Ia jadi teringat ada tujuan lain mengkonfirmasi tujuan Darby yang pernah muncul di kantornya hanya sebentar, katanya sekadar lewat. Tapi Jemma tahu, Darby bukan tipe yang ‘sekadar lewat’ tanpa alasan jelas. Saat ia sedang tidak dikantor. “Iyang aku antar ke Paviliun sekarang? Atau mau tidur di kamar Iyang yang ada di sini?” “Iyang tidur di kamar yang di sini saja.” Jemma lebih dulu mengantar Iyang, ia pun naik ke lantai dua, tempat kamar Darby berada. Langkahnya pelan, menyusuri koridor dengan penerangan lampu dinding yang hangat. Tapi saat melewati sudut menuju kamar Darby, kamar yang bersebelahan dengan kamar Jemma di rumah ini, langkah Jemma otomatis terhenti. Depan pintu yang sedikit terbuka, ia melihat sesuatu yang tak semestinya ia lihat. Darby sedang berdiri berhadapan dengan Rifky. Tangan kakaknya melingkar di leher suaminya sendiri, wajah mereka begitu dekat. Jemma tak bisa bergerak, hanya memalingkan wajah pada kemesraan yang harusnya jadi privasi mereka. Sebelum bibir mereka bertemu lebih lama, Rifky menahan. Ia melepaskan diri dengan ekspresi bingung dan sedikit terguncang. Jemma baru akan berbalik pergi saat mendengar satu kalimat... “Darby… kamu kenapa? Enggak biasanya kamu kayak gini...” bisiknya, suaranya terdengar heran, nyaris gugup. Jemma menahan napas saat mendengar suara kakaknya menjawab, lirih namun terdengar jelas di telinganya sendiri: “Menurut kamu… aku atau Jemma yang lebih cantik?” Rifky mundur setengah langkah, alisnya mengernyit. “Darby... kamu serius tiba-tiba nanya ini?!” Darby menatap dengan sorot matanya gelap dan tak biasa. “Aku enggak suka kamu terlalu perhatian sama Jeje. Aku lihat, cara kamu tanya kabar dia… cara kamu liatin dia waktu dia luka… semua itu bikin aku mikir.” “Darby—” “Sekarang ini... banyak hal gila yang bisa kejadian. Sahabat bisa rebut pacar sahabat. Adik bisa rebut suami kakaknya. Bahkan menantu sama mertua bisa jadi... aku lihat itu di mana-mana. Aku cuma... aku mengingatkan. Waspada sebelum itu terjadi—“ “Darby!” Rifky menaikkan nada suaranya, tegas menyiratkan tidak suka kalimat negatif itu harus lancar dikatakan Darby. Rifky menghela napas panjang, suaranya terdengar tegas untuk pertama kalinya dalam percakapan itu. “Jemma itu adik kamu. Dan dia... dia enggak akan pernah ngelakuin hal yang kamu pikirkan! Jangan bawa pikiran aneh-aneh itu! Kalau Jemma dengar atau bahkan keluargamu yang lain, akan jadi masalah!” Darby terdiam. Jemma masih berdiri di balik tembok, tubuhnya kaku. Dunia di sekelilingnya seperti ikut membeku. Di saat itu, ia tahu—apa pun yang terjadi malam ini, menyiratkan pilihannya untuk keluar dari rumah sudah sangat tepat. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa pulang ke apartemen mungkin bukan tentang memilih kenyamanan melainkan lebih dari itu, menyelamatkan kewarasan dan hatinya sendiri. Ia sudah menjaga jarak pun, Darby bisa cemburu padanya. *** Jemma yang sejak tadi mengintip di balik tembok, hanya bisa terdiam. Nafasnya pendek, ada campuran bingung, syok, dan nyeri yang mengendap dalam diamnya. Ia memilih untuk tak menemuinya. Ada batas yang sudah terlewati malam ini, dan ia belum sanggup berhadapan dengan itu. Pikirannya berputar sepanjang ia turun kembali ke lantai bawah. Kalimat Darby barusan menggema, satu demi satu. "Adik bisa rebut suami kakaknya.” “Jemma itu adik kamu.” Rasa sakit itu bukan lagi kejutan baru. Perlahan mulai terbiasa, tapi tetap menyayat. Jemma memutuskan untuk menolak halus permintaan Iyang untuk menginap. Ia berbohong sedikit, mengatakan pekerjaan menumpuk. Iyang kecewa, tapi tak memaksa. Dalam mobil, di tengah malam Jakarta yang lancar, Jemma menyetir tanpa suara. Tak ada musik. Tak ada panggilan. Tapi pikirannya penuh—tentang Darby, tentang Rifky, dan... tentang dirinya sendiri. “Mungkinkah Darby tahu sesuatu tentang aku dan Rifky dulu? Tapi... rasanya mustahil. Aku tutup semuanya serapat mungkin. Aneh, enggak mungkin ada satu pun celah... bukan?” Jemma kembali berdecak, sangat rumit sekali situasinya, “atau memang karena rasa cemburu? Aku sudah ingatkan Rifky, tapi dia masih saja!” Jemma sangat mengenal Darby, hubungan ia dan sang kakak tidak seakrab adik-kakak di luar sana. Sejak dulu, salah satu sikap Darby yang selalu menyulitkan adalah cemburu padanya. Apa pun yang Jemma miliki, biasanya Darby inginkan atau Jemma tidak boleh memiliki barang lebih bagus dari miliknya. Sikap yang kadang membuat Jemma berpikir, hubungan dan kakaknya paling aneh sedunia. Bahkan perhatian dari orang tuanya pun, sering kali Jemma mengalah dan berakhir menerima perhatian Iyang lebih. Dari sinilah kedekatan Jemma dan Iyang. Ponselnya tiba-tiba berdering. Nama yang muncul membuat jantungnya ikut sedikit tersentak. Althaf Kalfani... Ia menatap layar. Ragu. Ia biasanya abaikan. Pesannya saja jarang Jemma tanggapi. Namun, jari telunjuknya bergerak sendiri. Tombol hijau ditekan. Sengaja menggunakan mode suara keras, ia sedang tidak membawa earphone, pun sedang mengemudi. “Halo?” suara Althaf langsung terdengar cerah. “Setelah balas pesan yang mulai sering, teleponku juga diangkat. Kemajuan banget sih?!” Jemma ingin menjawab, tapi pandangannya sedikit teralih oleh sesuatu. Mencoba menghindar tapi terlambat. “Oh damn!” umpat Jemma keras. Bersamaan ban kiri mobilnya menghantam lubang penggalian kecil di pinggir jalan. Mobil terguncang hebat. Suara gesekan keras terdengar, dan Jemma menjerit refleks. “JEMMA?!” suara Althaf berubah panik di seberang. “Kamu kenapa?!” Mobilnya yang sudah limbung tidak bisa dipaksakan. Tangan masih gemetar, detak jantungnya cepat. “Aku... ban mobilku masuk lubang jalan... Ban kayaknya terjebak. Ini enggak bisa gerak!” Suaranya masih terengah. “Lokasimu di mana? Share lokasi sekarang. Jangan panik. Aku ke sana!” Althaf tidak berpikir panjang saat mengajukannya. “Kamu yakin, a-aku panggil bantuan lain saja. Ini sudah malam, dan gerimis...” “Karena sudah malam, dan kamu di luar kena musibah. Sendirian. Jangan ke mana-mana, aku ke sana!” Jemma mengiyakan, segera mengirim titik lokasinya. Althaf meminta hati-hati, menunggunya saja. Lebih dari setengah jam kemudian, suara mesin motor memecah keheningan malam. Althaf datang, helmnya masih dikenakan, mata menyapu area sekitar sebelum berhenti pada Jemma yang duduk di balik kemudi. Mengingatkan Althaf pada awal mereka terlibat. Ketika itu, Jemma tetap duduk dalam mobil dan sedang menangis. “Ya ampun, kamu beneran shock,” katanya pelan. Ia membuka pintu mobil, membungkuk dan menatapnya. “Kamu enggak apa-apa?” Jemma mengangguk kecil. Ia menurut untuk tidak keluar mobil. Apalagi mulai sepi seiring hujan kian deras, “Cuma kaget. Gak luka.” Lalu matanya menatap Althaf, memakai jas hujan. “Kamu hujan-hujanan ke sini?” “Pakai jas hujan, aman. Kamu tunggu di dalam mobil aja dulu, sampai dereknya datang.” Tanpa banyak tanya, Althaf menelepon seorang kenalannya dari bengkel. Ia cepat, tanggap, dan tepat—menenangkan dengan caranya yang tak dibuat-buat. Tidak lama bantuan datang. Mobil Jemma akhirnya ditarik dan berhasil keluar. Hujan juga sudah sepenuhnya reda, menyisakan suasana syahdu setelahnya. Althaf melepas jas hujannya. Melipat dengan rapi, menempatkannya di jok motor. Lalu berbalik menatap Jemma, gadis itu memakai atasan tanpa lengan berwarna cokelat, dan bawahan celana jeans biru panjang. “Aku antar kamu. Bawa jaket?” Mobilnya dibawa lebih dulu untuk diperiksa lebih. Jemma menggelengkan kepala, “enggak,” sambil memeluk diri sendiri, kedua telapak tangannya mengusap bahu. Althaf kemudian tampak hendak menarik lepas hoodie biru yang dikenakan. “Eh, kol dilepas?” “Aku masih pakai kaos panjang. Kamu nanti masuk angin, princess kayak kamu pasti enggak biasa naek motor.” “Kata siapa?! Pernah, kalau ada meeting mendesak, udah telat. Pesan ojek online.” Althaf hanya menyerahkan hoodie miliknya, “mau dipakein juga?” “Enggak perlu! Pake sendiri! Uhm tapi, ini bersih? Maksudku enggak bau kan?” Jemma langsung mengambilnya. Althaf terkekeh, “wangi aku itu, mana ada bau! Coba sini peluk, pastiin sendiri!” “Cari kesempatan!” Tolak Jemma. Setelah terpakai, terasa hangat pun memang wangi maskulin dari parfum yang Althaf gunakan. Sangat menempel di sana. Di atas motor, angin malam menyentuh wajah Jemma, dan untuk pertama kalinya malam itu ia merasa sedikit lebih ringan. Tubuhnya masih lelah, pikirannya masih penuh, untuk pertama kalinya juga, Jemma merasa tidak terganggu dengan kehadiran Althaf. Pilihannya memang tadi menyetujui bantuan Althaf dibanding ia menelepon ke rumah, lalu terlibat kembali dengan Rifky yang bisa jadi mengajukan diri untuk menyusulnya. Atau membuat Iyang khawatir dan marah karena seandainya Jemma mendengarkan untuk menginap, pasti semua tidak akan terjadi. Awalnya Jemma tidak berpegangan, menahan tangannya. Tapi, Althaf mengisyaratkan ia untuk berpegangan segera saat kecepatan motornya semakin meningkat. Jemma memegangi sisi pinggangnya, amat kaku. Althaf tersenyum, yakin semesta mendukung pendekatan yang dilakukannya. Buktinya, malam ini Jemma tampak sedikit luluh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD