Nadira

2253 Words
Membutuhkan lebih dari lima hari untuk Stella kembali pulih sepenuhnya. Di pagi hari ketujuh setelah kunjungan Xavier ke kamarnya, baru Stella mampu turun dari tempat tidur dan bersiap untuk kembali bekerja di peternakan. Sejak subuh, Stella sudah bangun dan mandi, memastikan seragamnya dalam keadaan tanpa kerut sebelum dipakai, lalu mengatur rambutnya dengan seksama. Meski tidak bisa dibuat ikal di bagian bawah seperti biasa Nadira menatanya, tetapi Stella memastikan rambutnya tersisir rapih. Setelahnya, Stella berdiri di depan cermin yang ada di kamarnya dalam waktu lama. Saling menatap dengan pantulan dirinya sendiri saat ini. 25 tahun kehidupan Stella sama seperti putri-putri raja yang ada di cerita dongeng. Namun, hanya dalam sekejap mata, semuanya berubah, dan sekarang dia hanyalah seorang budаk. Budak yang dibenci oleh semua orang, bukan karena dirinya jahat, tetapi karena dirinya putri dari seorang monster yang dipanggilnya ayah. Stella menghembuskan nafas perlahan sebelum berbalik mencari sepatu kainnya yang lusuh. Hari ini adalah hari pertama Stella kembali ke peternakan setelah berhari-hari menghilang, kembali bertemu dengan Karsa yang sangat dibencinya. Sampai detik ini, Stella sama sekali tidak pernah mempertimbangkan permintaan mandor peternakan yang menjijikkan itu. Stella tak bisa membayangkan bagaimana jari-jari kurus kering dan kasar itu menyentuh tubuhnya. Bagaimana pria sepertinya akan memasuki dirinya, memberikannya kesakitan, siksaan dan juga merendahkan dirinya. Stella tak mempermasalahkan jika Xavier yang melakukan semua itu pada dirinya. Stella memang berhutang banyak pada sang Tuan Besar. Tetapi, Stella tak berhutang apapun pada Karsa. Stella tak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menghindari masalah ini. “....Dimana dia? Kak, dimana Nona Mudaku? Apakah kau melihatnya?” Saat Stella masih terbenam di dalam pikirannya, tiba-tiba telinganya menangkap suara yang begitu dirindukannya selama ini. “Dira?” Dengan dahi berkerut, Stella tak lagi memperdulikan kakinya yang telanjang. Setengah berlari, Stella bergegas mendekati pintu kamar dan menariknya terbuka dengan keras. Stella segera keluar dari kamar dan menatap ke kiri area lorong di depan kamarnya, tapi sosok yang diharapkannya tak terlihat. Saat Stella menolehkan kepalanya ke kanan, di ujung lorong sosok mungil yang mengenakan seragam yang serupa dengan Stella juga sedang menoleh ke arahnya. Kedua orang itu terdiam, hanya bisa saling menatap untuk beberapa saat. “Nona Stella! Nona Stella! Akhirnya aku menemukanmu!” Nadira berlari sekencang dia bisa ke arah Stella, dengan senyum lebar di wajahnya. Stella yang masih terperangah menatap ke arah sosok yang berlari ke arahnya. Semua masih terasa seperti mimpi bagi Stella. “Dira?” Sekali lagi Stella bergumam lirih, meyakinkan apa yang dilihatnya adalah kenyataan. “Nona Stellaaa!” Suara tawa bahagia Nadira menggema di lorong mansion bersama dengan nama Nona Muda yang dirindukannya. “Dira? Nadira?!” Stella akhirnya terbangun dari ketidak percayaannya. Senyum lebar mulai menghiasi wajahnya. Tak peduli dengan kakinya yang telanjang, Stella ikut berlari menyambut Nadira. Kedua tangannya terbuka lebar. Saat keduanya berhadapan, baru saja Nadira ingin menekuk kakinya untuk berlutut di hadapan Stella, tetapi kedua tangan Stella yang terbuka lebar bergerak lebih cepat dan langsung memeluk erat tubuh mungil Nadira. “Dira! Dira! Aku merindukanmu….” “Nona Stella! Aku juga, aku merindukanmu…” “Aku sangat mengkhawatirkanmu…” “Aku senang sekali Anda masih hidup, Nona…” “Apa mereka melukaimu atau menyakitimu…” “Anda baik-baik saja, Nona, apakah mereka menyakitimu…?” Keduanya berbicara bersamaan, bertanya bersamaan, saling mengkhawatirkan bersamaan, meski tidak saling melengkapi, tetapi keduanya mengerti apa yang dikatakan satu sama lainnya. “Oh, Dira!” Stella kembali memeluk erat Nadira. “Aku sangat mengkhawatirkan dirimu. Apa kau baik-baik saja? Bagaimana nasib keluarga dan pelayan yang lain? Apakah mereka menyiksa kalian? Semua orang disini tidak ada yang mau mengatakan apapun padaku.” Mata Nadira berkaca-kaca, perlahan kedua tangannya yang berada di sisi tubuhnya terangkat dan membalas pelukan erat Stella. “Aku baik-baik saja, Nona. Kami semua baik-baik saja. Aah…aku sangat bahagia dapat bertemu denganmu lagi, dan melihat Anda baik-baik saja.” Stella menarik Nadira masuk ke dalam kamarnya, keduanya duduk di pinggir ranjang Stella. “Dira, aku bukan lagi seorang Nona Muda, berhenti memanggilku Nona. Jangan sampai kau mendapatkan masalah hanya karena panggilan itu.” Stella mengusap lembut wajah Nadira dan menangkup kedua pipinya Nadira dengan pandangan sayang. Nadira menggeleng tak setuju, “Aku sudah memanggilmu seperti itu sedari awal kita berkenalan. Sudah bertahun-tahun, Nona. Aku sudah memanggilmu seperti itu selama…mmm…” Nadira mengeluarkan ke sepuluh jarinya dan mulai berhitung, “Satu…” Nadira melipat satu jarinya. “Dua…” Satu lagi jarinya terlipat. “Tiga…” “Em…en…” Stella tak mampu menahan tawanya saat melihat kelakuan lucu Nadira. Pertama kali, suara tawa lembut tanpa beban terlepas dari bibir Stella setelah dirinya menjadi budаk. Pertama kali, Stella merasa hatinya terasa begitu lega dan bebas. “Dira… Dira… aku memang tak bisa hidup tanpamu.” Stella mengacak-acak sayang rambut hitam panjang Nadira. “Kita sudah bersama selama sembilan tahun Nadira.” Stella mengucapkan kalimatnya sambil melebarkan seluruh jari Nadira dan kemudian menekuk satu jari kelingking Nadira. “Sembilan.” Wajah Nadira memerah karena malu bercampur bahagia. “Maafkan aku Nona, aku memang bodoh. Anda sudah mengajarkanku berkali-kali tetapi aku tetap saja selalu lupa.” “Tidak masalah, itu artinya aku harus terus bersamamu untuk mengajarimu. Oh Nadira! Aku sungguh bahagia.” Stella kembali mengulurkan tangannya dan memeluk tubuh Nadira erat-erat. Nadira sungguh merasa sangat bahagia. Ini adalah kali pertama dari sembilan tahun hidupnya bersama Nona Muda-nya, Nadira bisa merasakan pelukan erat dari Stella. Selama ini Stella tak pernah bisa memeluk Nadra. Di masa kekuasaan Dimitri, keakraban antara majikan dan budаk, adalah hal yang tabu. Nadira bisa kehilangan kepalanya jika sampai ketahuan dan Stella tak pernah berani mengambil resiko itu. Namun, sekarang Xavier yang berkuasa. Dia berbeda dengan ayah Stella. Maka, hari ini Nadira dapat merasakan pelukan erat sebanyak dua kali yang diberikan oleh Stella. Air mata menggenangi kelopak mata Nadira. “Maafkan aku yang terlambat datang, Nona. Sejak hari penyerangan itu, aku selalu ingin datang kemari dan mencarimu. Tetapi Tuan Besar Leone memerintahkan aku untuk mencoba kehidupan normal. Dia menempatkanku menjadi ART di sebuah rumah pasangan lansia.” “Apakah pasangan lansia itu menyiksamu?” Stella segera memeriksa seluruh tubuh Nadira, memastikan tidak ada bekas luka ataupun lebam di sekujur tangan dan kaki gadis mungil itu. “Tidak, tidak, Nona. Mereka pasangan yang baik sekali. Mereka bahkan memperlakukanku seperti putrinya sendiri.” Nadira bergegas menenangkan Stella yang terlihat panik dan khawatir. “Jika kehidupanmu begitu baik, lalu kenapa kau datang kemari. Xavier benar, seharusnya kau memang belajar untuk hidup normal.” Stella kembali mengusap lembut kepala Nadira. “Tidak, Nona. Sulit bagiku untuk menjalankan kehidupan normal, pada saat hatiku terus terasa sakit karena khawatir. Apakah Nona Stella makan dengan baik? Apakah Nona Stella dapat tidur dengan cukup? Apakah ada yang merawat Nona Stella, jika Anda terluka, yang paling penting, apakah Nona Stella masih hidup?” Nadira menggelengkan kepalanya keras kepala. Air mata Stella tak bisa berhenti mengalir saat mendengar kata-kata tulus yang Nadira lontarkan. “Aku tak bisa membiarkanmu seorang diri, Nona. Aku tahu, semua orang di keluarga ini sangat membencimu dan sangat ingin menyiksamu, karena mereka tidak tahu siapa dirimu sebenarnya. Mereka hanya mengenal ayahmu, Dimitri Costello.” Nadira meraih tangan Stella dan menepuk-nepuk punggung tangan Stella, seakan meminta Stella agar tetap bersabar dengan semua yang telah dan akan dialaminya nanti. “Karena itu, Aku datang ke mansion ini selama berhari-hari. Terus memohon kepada Tuan Besar Leone agar diperbolehkan bekerja disini. Aku ingin berada di sini menemanimu, seperti kau yang selalu menemaniku selama ini.” Nadira melanjutkan kata-katanya dengan penuh semangat. “Astaga, Nadira… Apa yang sudah kau perbuat.” Stella menutup mulutnya dengan kedua tangan. Suaranya terdengar serak menahan tangis. Matanya berkaca-kaca saat dia memperhatikan pakaian yang dikenakan oleh Nadira. Nadira menunduk sambil menatap pakaiannya, lalu dia tertawa lebar, sambil berkata dengan nada menggoda. “Apakah pakaian ini tidak cocok untukku, Nona? Aku bisa meminta yang lain pada Nyonya Marissa.” “Kau sangat tahu bukan itu maksudku, Dira.” Stella menutup setengah wajah bagian atas dengan telapak tangannya dan menghembuskan nafas dengan keras. “Katakan padaku, Dira. Apakah kau memohon untuk menjadi budаk istana?” “Aku ingin selalu bersama Anda, Nona. Aku tumbuh sebagai seorang budаk, tugas yang kumengerti hanyalah bagaimana cara melayani dirimu. Aku tidak mengerti cara mencari uang ataupun melayani orang lain. Hanya dirimu.” Nadira meraih kedua tangan Stella dan menggenggam erat dengan kedua tangannya. Matanya menunjukkan kesungguhan dan ketulusan hatinya. Stella menghapus air mata yang mengalir di pipinya dengan satu tangan, tangan lainnya masih menggenggam erat tangan Dira, seolah takut gadis mungil itu akan menghilang begitu saja. Senyum bahagia menghiasi wajah Stella yang selalu cantik. “Maafkan aku, Dira. Sekali ini saja, biarkan aku menjadi orang yang paling egois, karena merasa bahagia kau berada di sisiku, “Maafkan saya juga, Nona, saya juga seorang manusia yang sangat egois, karena saya juga merasa senang sekali bisa berada disini bersama dirimu.” Nadira berkata dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Nadira menatap Stella dari ujung kepala hingga ujung kaki, matanya terbelalak dan sorot matanya langsung berubah penuh ketakutan saat melihat Stella tidak menggunakan alas kaki. “Nona! Kenapa Nona tidak menggunakan sepatu. Nona bisa terkena flu. Tunggu disini, aku akan mengambilkan sepatumu!” “Dira, tidak per…” Belum sempat Stella melarang Nadira, gadis mungil itu sudah menghilang dari hadapannya. Kaki pendeknya membawa Nadira berkeliling di kamar Stella secepat kilat. Dengan sigap gadis itu mencari sepasang sepatu Nona Muda-nya. Stella terus mengikuti langkah Nadira dengan tatapan geli. Wajah cantik Stella tak kehilangan senyum sedikitpun, saat melihat sikap Nadira yang menggemaskan. Hanya dalam beberapa detik, mata elang Nadira sudah berhasil menemukan sepatu kain butut Stella. Nadira bergegas meraihnya dan kembali berlari mendekati Stella dan segera berlutut di depannya. “Ayo, Nona.” Nadira meraih satu sepatu dan menyentuh lembut kaki kanan Stella untuk memakaikannya. Mata Stella terasa panas dan mulai berkaca-kaca, namun dengan cepat Stella mengedipkan matanya menahan agar tetesan air itu tidak mengalir. Stella mengikuti arahan Nadira, dia mengangkat kakinya satu per satu dan membiarkan Nadira memakaikannya sepatu seperti biasanya. “Nah, sudah selesai.” Nadira menepuk kedua tangan dan lututnya dan kemudian berdiri dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. “Terima kasih, Dira.” Stella berkata dengan suara serak. Nadira terhenyak sesaat, ketika mendengar ucapan terima kasih terlontar dari bibir Stella. Selama ini, Nadira tidak pernah sekalipun mendapatkan ucapan terima kasih ataupun penghargaan sederhana dari para majikan, karena para penguasa dan keturunannya diajarkan bahwa tingkat mereka jauh di atas para budаk, dan memberikan penghargaan bagi para manusia rendahan, sama saja merendahkan harga diri mereka sendiri. Bagi Nadira sendiri, penghargaan dari Nona Muda-nya bukanlah hal penting. Semua yang dia lakukan demi Nona Stella-nya akan membawa senyum dan kebahagiaan baginya, meski ucapan itu tetap membuat jantung Nadira terasa berdebar-debar penuh semangat, dan pipinya memerah. “Selalu untukmu, Nona. Apakah Nona akan ke peternakan sekarang?” Stella hanya bisa mengangguk, masih terlalu terharu untuk berbicara. “Mm…kalau begitu aku juga. Ayo, kita pergi bersama.” Nadira berkata penuh semangat. Namun, baru saja Stella hendak melangkah pergi, Nadira menahan langkah Stella. Mata Nadira menyipit dan kembali memperhatikan Stella dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Dengan dahi berkerut dalam, Nadira langsung menyeret Stella menuju kursi kecil di depan kaca, dan mendudukkan Stella di depan kaca. Sama sekali menghiraukan penolakan Stella. Nadira bergegas meraih sisir dan menyikat rambut pirang Stella dengan seksama, senandung indah dan ceria terdengar dari bibir Nadira saat dia bekerja, hingga rambut pirang Stella kembali teratur, mengikal di bagian ujung dan berkilau dengan indah. ====== Pagi ini, Stella dan Nadira memutuskan untuk berjalan kaki dari mansion ke peternakan yang tidak begitu jauh jaraknya. Stella terlihat berjalan dengan keanggunan dan langkah elegannya yang sudah mendarah daging, sedangkan Nadira berjalan dengan gembira beberapa langkah di depan Stella. Langkah Nadira terlihat seperti seekor kelinci yang melompat-lompat dengan gembira. Senyum lebar terus menghiasi wajahnya saat Nadira bertemu siapapun. Dira benar-benar seperti sinar ditengah kegelapan. Stella menatap Nadira dengan penuh kebahagiaan. Meski tak terlihat di wajahnya, tetapi Stella akhirnya dapat kembali merasakan kebahagiaan setelah sekian lama. Di sepanjang jalan itu, Stella baru menyadari kalau ternyata Nadira sangat disayang oleh semua orang. Setiap yang berpapasan dengan Nadira akan melambaikan tangan, atau menyapanya dengan senyum lebar. Tak sedikit yang mengkhususkan diri menghampiri Nadira sekedar untuk menyapanya saja, dan semua dibalas oleh Nadira dengan sangat ramah. Namun, semua berbanding terbalik dengan Stella. Orang-orang yang menyapa Nadira dengan ramah, akan langsung berubah wajahnya. Mereka menatap Stella penuh dengan kemarahan dan kegeraman. “Cuih! Dasar anak monster!” Nyaris setiap orang yang dilewati Stella akan menatapnya dengan tatapan penuh kebencian, penghinaan ataupun semburan ludah sudah menjadi makanan hari-hari bagi Stella. Setelah berhari-hari mendapatkan perlakuan buruk seperti itu, Stella sudah menjadi terbiasa. Masih dengan keanggunannya yang tak kunjung menghilang, Stella hanya mengangguk dengan elegan pada orang-orang yang menghinanya sebagai tanda salam, dan kemudian melanjutkan langkahnya dengan dagu terangkat tinggi. “...hati-hati di jalan Nyonya…” Stella menatap Nadira yang sedang berlari ke arahnya. Gadis ceria itu baru saja membantu mengumpulkan belanjaan seorang wanita paruh baya yang tumpah. Nadira kembali tersenyum gembira saat menatap wajah Stella, sambil berkata. “Hari ini terlihat sangat cerah, Nona.” Dan seperti biasa, Stella akan selalu menjawab, “Satu-satunya yang membuat semua terlihat semakin cerah adalah dirimu, Dira.” Ujung bibir Nadira terangkat semakin tinggi. Dengan langkah gembira, Nadira dan Stella melanjutkan perjalanan mereka. Di taman yang ada di atap mansion, Veronica menatap punggung Stella dan Nadira–yang perlahan semakin mengecil dan menjauh–dengan dahi berkerut dalam. Sorot matanya memancarkan kebencian yang amat sangat. Bukankah gadis itu mantan pelayan pribadi si Nona Muda busuk itu? Sedang apa dia disini? Dan bagaimana gadis itu bisa masuk ke dalam mansion, serta bertemu dengan wanita murаhаn itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD