1. Sebuah Kesepakatan

1370 Words
“Kita berangkat.” Seorang laki-laki di dalam sebuah mobil mewah, tengah duduk tenang di jok belakang dengan tenang. Kemudi mobil diambil alih oleh sopir, serta di kursi lain ada asisten pribadinya yang siap melakukan apa saja perintahnya. Deru mesin mobil yang halus menjadi pengiring perjalanan menuju sebuah tempat yang membuat hatinya merasa sedikit resah. Namanya Dafa Tristan Kastara, CEO dari perusahaan ponsel terbesar nomor 5 di dunia. Dia seorang yang jenius berwajah tampan serta memiliki raga yang akan disukai sebagian besar wanita. Selain itu dia juga memiliki kharisma yang mematikan di balik wajahnya yang lembut dan ramah. Tristan diangkat menjadi CEO setelah satu tahun bekerja sebagai asisten pribadi dari CEO sebelumnya yang bernama Kendrick Briyan Sutoyo. Pengangkatan itu terjadi setelah Briyan meninggal dunia, ada pesan video dari Briyan juga dokumen resmi yang mengatakan bahwa Tristan yang akan menggantikannya. 70 persen harta Briyan diserahkan pada Tristan berikut posisinya sebagai CEO, padahal Tristan bukan anak kandungnya tapi hanya seorang yang dia temui di waktu yang tepat. Maka hal itu menimbulkan perdebatan panjang juga protes dari tiga anak kandung Briyan. Mereka tentu tidak setuju karena selain Tristan masih muda dan tidak memiliki pengalaman apa pun, apalagi tidak ada darah yang mengalir di dalam tubuhnya yang berasal dari keluarga Sutoyo. Maka saat ini Tristan sedang akan menemui tiga anak Briyan yang terus melancarkan protes padanya. Mereka mengadakan pertemuan di kediaman Briyan yang disebut sebagai “rumah utama”. “Sudah sampai, Pak.” Tristan membuka matanya ketika asistennya memberitahu kalau mereka sudah sampai di kediaman Briyan. Tristan kemudian turun dari mobil yang ditumpanginya lalu membenarkan kancing jas yang dia pakai. “Semuanya sudah berkumpul?” tanya Tristan pada asisten pribadinya yang bernama Anwar. “Sudah, Pak. Anda sudah ditunggu di dalam,” jawab Anwar yang kemudian menunjukkan jalan untuk Tristan mengikutinya. Rumah yang ukurannya sangat besar dengan desain mewah ini terakhir kali Tristan sambangi saat menaruh barang-barang milik Briyan. Barang yang tadinya ada di ruang kantor CEO Youngs Tech saat Briyan masih hidup. Sudah beberapa 5 bulan berlalu dan Tristan menyadari bahwa dia merindukan Briyan yang dia panggil sebagai kakek. Memasuki pintu rumah, kenangan akan Briyan langsung merangsek masuk ke dalam otak Tristan. Rasanya sangat menyesakkan mengingat seorang yang sangat baik harus pergi menemui Tuhan secepat ini, tapi mungkin itu lebih baik dari pada harus melihat pertikaian 3 anak kandungnya soal kekuasaan. “Nah, ini nih… mentang-mentang jadi CEO makanya telat sampe setengah jam.” Baru saja Tristan masuk ke dalam ruang tengah yang menjadi tempat berkumpul, dia sudah disambut sindiran salah satu anak Briyan yang bernama Wenda. Dia anak ke dua Briyan. Tristan melangkahkan kakinya dengan tenang, tidak mudah membuatnya terpancing hanya karena sindiran itu. Dia duduk di sebuah kursi yang ditunjukkan oleh Anwar. Gerak-gerik Tristan selalu diikuti oleh setiap mata yang ada di sana dengan tajam seolah Tristan ini musuh terbesar mereka. “Cuma mau ketemu biasa aja pake bawa asisten pribadi,” cibir Jovanka, anak sulung Briyan. Tristan tetap diam mengacuhkan cibiran yang ditujukkan padanya itu. Sudah lama dia selalu di perlakukan begini oleh anak-anak Briyan. Lama-lama Tristan terbiasa dan tidak mau memedulikannya terkecuali mereka membuat ulah yang merugikan Youngs Tech, perusahaan yang dia pimpin saat ini. “Dasar nggak punya sopan santun,” Jovanka mencibir lagi karena Tristan tidak menanggapinya. Tiga anak kandung Kendrick Briyan Sutoyo duduk melingkar di kursi yang ada di ruang tengah ini. Mereka juga datang bersama suami dan istri mereka. Anak sulung yaitu Jovanka Andrea bersama suaminya adalah yang paling agresif untuk memprotes wasiat Briyan tentang pengangkatan Tristan sebagai CEO. Lalu ada Leteshia Wenda bersama suaminya yang seharusnya mendapatkan lebih banyak warisan, tapi malah Tristan yang kebagian 70 persen harta kekayaan Briyan. Lalu yang terakhir ada Edwin Gara, anak laki satu-satunya dari Briyan yang sudah digadang-gadang akan menjadi CEO tapi ternyata bukan sama sekali. Kenyataan itu yang membuatnya marah besar karena cuma mendapatkan warisan 10 persen dari Briyan. “Langsung aja,” Edwin memulai pertemuan ini. “Kami sudah sepakat supaya kamu layak jadi mendapatkan jabatan kamu sekarang ini,” sambungnya, dia menatap Tristan remeh. “Apa itu?” tanya Tristan tanpa minat. Karena dia mengira semua pertemuan ini akan bermuara soal pembagian kekuasaan. Edwin mendengus, dia sangat emosi melihat wajah Tristan yang sangat menjengkelkan itu. “Kami sepakat kamu harus menikah dengan salah satu anak perempuan kami,” ujar Edwin. Wajah Tristan mungkin terlihat biasa saja, reaksinya tidak kentara. Tapi dia cukup terkejut dengan apa yang dikatakan Edwin barusan. Sebab rencana ini tidak pernah terpikirkan oleh Tristan. “Kenapa harus begitu?” tanya Tristan lagi. Dia bertanya dengan nada bicara yang tenang tapi membuat yang mendengar kesal. “Ck! Ya karena kamu harus setidaknya punya keturunan dari keluarga Sutoyo! Kamu pikir perusaan Youngs Tech itu punya nenek moyang kamu?!” kata Jovanka. Tristan menoleh menatap Jovanka lalu beralih pada semua orang yang ada di ruangan ini. Dia kemudian tersenyum miring yang terlihat peperti sedang meremehkan ide yang dikemukakan oleh anak-anak Briyan. Tentu saja mereka jadi kesal dibuatnya. “Kamu ngeremehin kita?!” tanya Wenda tidak percaya. Tristan mengangguk-anggukan kepalanya mengerti, lalu mendengus karena menahan tawa. “CEO perusahaan Apple bahkan bukan anak dari pemiliknya. Kenapa saya harus mengikuti saran kalian?” timpal Tristan seraya menatap tajam pada Wenda. Dari tatapan matanya, Tristan ingin menunjukkan kalau dia tidak gentar sama sekali. Nyatanya kesepakatan yang diminta oleh mereka sangatlah konyol bagi Tristan. Banyak sekali perusahaan besar yang tidak menjadikan anaknya sebagai penerus karena banyak alasan. Salah satunya karena mereka akan berebut kekuasaan dan nantinya saling menjatuhkan dibanding untuk memajukan usaha milik orang tua mereka. Serta pemilihan pemimpin juga bukan berdasarkan garis keturunan saja, tapi aspek penitng lainnya adalah kemampuan, kesetiaan juga pengalaman. “Tapi perusahaan ayah kami ini berbeda! Jangan disamakan dengan mereka!” kata Edwin membela Jovanda. Tristan tidak sanggup menahan tawanya lagi. Dia sungguh tidak mengerti dengan jalan pikiran anak-anak Briyan ini. “Berhentilah membuat alasan tidak masuk akal,” ujar Tristan. Dia kemudian bangkit dari kursi karena rasanya ini semua harus disudahi sebelum dirinya semakin melihat anak Briyan dengan tatapan meremehkan. Itu tidak boleh dilakukannya sebab mereka masihlah anak-anak Briyan yang dia hormati, serta umur mereka juga sudah dua kali lipat umur Tristan. “Saya pamit, selamat si—“ “Kesepakat ini harus kamu lakukan, Tristan!” Edwin menyela kalimat pamit Tristan. “Kamu ingat banyak direksi yang nggak suka sama kamu?” Tristan membalikkan tubuhnya untuk menatap pada Edwin kembali. Sebab apa yang baru saja Edwin katakan mengenai direksi memang benar, Tristan mungkin sudah menjadi CEO tapi tidak semua setuju. Banyak orang yang ignin terus menjatuhkannya padahal baru 4 bulan dia dilantik. “Kamu juga tahu ‘kan kalau kami ini tentu saja dekat dengan mereka. Bisa saja minggu depan kamu akan di depak dari kursi CEO,” Edwin mendekati Tristan hingga mereka berdiri berhadapan mata dengan mata karena tinggi badan yang hampir sama. “Tapi kami berbaik hati dengan membuat kesepakatan tadi,” Edwin tersenyum miring pada Tristan. “Nikahi salah satu anak kami, agar kamu,” dengan jari telunjuknya Edwin menunjuk Tristan, “punya alasan kuat jadi penerus perusahaan keluarga Sutoyo. Tristan menepis tangan Edwin dari dadanya, dia tetap menunjukkan sikap tenangnya walau sedikit terpengaruh akan ancaman yang dilancarkan anak ke 3 Briyan ini. “Wasiatnya jelas mengatakan kalau keputusan direksi hanya bisa diambil jika hasil kerja saya tidak memuaskan dalam 6 bulan pertama menjabat,” balas Tristan yang mengingatkan lagi Edwin soal video wasiat yang direkam oleh Briyan. Video itu yang menjadi pegangan Tristan untuk menghadapi keserakahan keluarga Sutoyo selama beberapa bulan ini. Kini giliran Edwin yang tertawa diikuti semua orang yang ada di sana kecuali Tristan tentu saja. Mereka terlihat puas melihat Tristan yang terlalu memegang teguh video wasiat dari ayah mereka, padahal dalam dunia bisnis semua kecurangan menjadi wajar untuk dilakukan. “Tristan... Tristan... ini dia alasan kami nggak setuju kamu jadi CEO,” Edwin menggelengkan kepalanya heran. “Karena kamu masih terlalu polos. Kamu emang pinter, tapi orang licik akan jadi lebih pinter dari kamu.” Tristan diam saja diremehkan begitu oleh Edwin. Dia sudah kebal karena mendapatkan semua ini sejak dekat dengan Briyan Sutoyo. “Kamu mungkin merasa percaya diri bisa kerja dengan baik, tapi ingat... masih ada dua bulan untuk kami bisa menjatuhkan kamu,” ujar Edwin memprovokasi Tristan. . ///
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD