2. Doha dan Milan

1853 Words
Tristan berada di bandara Internasional Doha, Qatar karena pesawat yang ditumpanginya harus transit. Dia menunggu beberapa jam dengan beristirahat di ruang tunggu bersama Anwar yang tertidur karena kelelahan juga jet lag. Begitu juga dengan seorang perempuan yang duduk di sebelahnya, dia terlihat sama seperti keadaan Anwar saat ini. Tristan beberapa kali melirik perempuan di sebelahnya ini karena khawatir dengan keadaannya. Meski Tristan tidak mengenal siapa perempuan ini, tapi karena beberapa kali dia mendengar percakapan telepon yang dikakukannya menggunakan bahasa Indonesia, Tristan berpikir dia harus membantu kalau ada apa-apa nantinya. Dia memang begitu, karena tumbuh di lingkungan panti asuhan membuatnya memiliki jiwa sosial yang tinggi. Rasanya membantu orang lain nantinya akan membantunya juga meski tidak akan selamanya begitu. Tapi Tristan mempercayai hukum sebab-akibat yang menjadi pegangan hidupnya. Milan, sebuah kota di Italia akan menjadi tujuan Tristan untuk menghadiri pameran ilmu pengetahuan dan teknologi yang diadakan kementrian Italia dan Indonesia, dalam rangka semakin mempererat hubungan diplomatik anatara negara-negara dengan teknologi yang maju. Nantinya Tristan juga akan menjadi pembicara karena menjadi salah satu contoh tokoh dari generasi muda yang menginspirasi. Karena dirinya menjadi pemimpin perusahaan teknologi besar di umur yang belum menyentuh angkat 30 ini. Hal tersebut sebenarnya cukup membebani Tristan karena dia baru sebentar menjabati kekuasaan ini, dan seperti apa yang Edwin katakan, bisa saja dia akan digulingkan. “Hoek!” Tristan mengalihkan perhatiannya dari ponselnya setelah mendengar suara seseorang yang sedang mual. Dan dia mendapati kalau perempuan yang ada di sebelahnya ini tampak tidak baik-baik saja karena terlihat sudah akan muntah sebentar lagi. “Kamu baik-baik saja?” tanya Tristan dengan khawatir. Perempuan yang duduk di sebelah Tristan itu menoleh tapi tidak bisa menjawab pertanyaan Tristan, sebab dia sedang menahan mualnya saat ini. Tristan yang menydari itu segera membangunkan Anwar. “Tolong jaga barang-barang ini, gue mau anter cewek ini ke toilet,” pesan Tristan pada Anwar yang masih terkejut karena dibangunkan dengan semena-mena oleh atasannya. “Iya, oke.” Setelah itu Tristan menuntun perempuan asing ini menuju toilet. Dia tidak bisa masuk ke dalam untuk membantu karena toiletnya hanya diperuntukan untuk perempuan. Tapi dengan kesigapannya, dia meminta tolong pada perempuan lain untuk membantu perempuan tadi di toilet. 10 menit kemudian Tristan melihat perempuan tadi keluar dari toilet dengan wajah yang pucat tapi setidaknya tampak sudah lega karena berhasil muntah. Mereka saling melempar senyum kini. “Sudah lebih baik?” tanya Tristan yang kemudian menyodorkan sebotol minuman manis. Perempuan tadi menerima apa yang Tristan berikan lalu mengucapkan terima kasih, “terima kasih sudah membantu saya.” Tristan menganggukkan kepalanya, mereka kemudian berjalan bersama menuju ruang tunggu tadi. Anwar segera memberikan lagi barang-barnag milik perempuan ini yang dijaganya tadi. Karena perempuan yang dibantu oleh Tristan berpamitan pergi untuk makan mereka berpisah. Walau tadi juga Tristan ditawari ditraktir sebagai terima kasih, tapi karena Tristan juga baru saja makan, maka dia menolaknya. “Akhirnya berangkat juga,” desah Anwar merasa dia sudah tidak tahan duduk di kursi tunggu. Tristan tertawa saja melihat asistennya itu yang suka rewel jika diajak ke luar negeri karena perjalanan panjang mengugnakan pesawat. Mereka sudah berada di dalam pesawat untuk melanjutkan perjalanan menuju Milan yang harus ditempuh dalam waktu hampir 7 jam. Tristan dan Anwar menempati kursi business class yang berbeda dan begitu Tristan melihat tempat duduknya, dia kembali bertemu dengan perempuan yang dibantunya tadi. “Hai, kita ketemu lagi,” sapa perempuan itu dengan ramah. Tristan ternyata duduk di sebelahnya, meski canggung tapi kemudian mereka saling memperkenalkan diri. “Karina,” kata perempuan ini pada Tristan seraya mengulurkan tangannya. “Dafa,” ujar Tristan yang sering menyebutkan nama depannya pada orang yang baru dia kenal. Lalu dirinya menyambut uluran tangan Karina. Setelah perkenalan tadi dengan sedikit basa-basi tentang dari mana mereka berangkat. Baik Tristan maupun Karina memutuskan untuk diam dan sibuk dengan urusan masing-masing. Tapi saat pesawat sudah akan lepas landas, tiba-tiba tangan Tristan dicengkram kuat oleh perempuan yang duduk di sebelahnya ini, Karina. Tristan menoleh dan melihat Karinta tengah memejamkan matanya erat seperti takut dengan goncangan saat pesawat akan mengudara. Tristan membiarkannya karena itu sesuatu yang wajar. Pertama kali dia naik pesawat menuju Korea Selatan untuk menempuh pendidikan di sana juga sama saja. Dia jadi terkenang masa itu. Masa dimana dia berjuang mewujudkan impiannya menjadi salah satu pengembang kecerdasan buatan atau AI. Tristan mendapatkan beasiswa penuh dari pemerintah belajar di salah satu universitas bergengsi negeri gingseng itu. Tidak menyangka kalau seorang anak yang dibuang di tempat sampah dan kemudian besar di panti asuhan, bisa seperti mendapatkan kesempatan besar seperti itu. Apakah ada sebersit keinginan Tristan untuk mencari orang tuanya? Jawabannya ada, dia ingin tahu alasan kenapa dia harus dibuang. Tapi Briyan mengatakan kalau itu hanya akan membuat kemajuan Tristan terhambat. Sebab bisa saja dalam hati Tristan, keinginan itu disertai juga rasa marah dan dendam pada orang tuanya. Jadi lebih baik relakan saja tentang sama lalu itu. /// Usai melakukan agendanya menjadi pembicara, keesokan harinya dia bisa bebas menikmati waktu liburnya. Sejak bangun tidur memutuskan untuk Tristan duduk sambil meminum kopi di resto hotel. Rasa kopi asam yang dia pesan sangat menarik banginya hingga ini gelas kedua yang dia minum serta ditambah sarapan yang simple. “Bang, ini Irza baru aja ngirim email.” Anwar yang masih mengantuk berjalan menghampiri Tristan membawa tabletnya. Dia dihubungi dengan bar-bar oleh salah satu orang kepercayaan Tristan yang bekerja sebagai direktur pengembang kecerdasan buatan menggantikan Tristan. “Apa?” tanya Tristan yang kemudian menaruh cangkir kopinya lagi ke atas meja. Anwar menyerahkan tabletnya pada Tristan lalu dia ikut duduk di hadapannya dan meminum kopi milik atasannya itu. Tristan membuka email yang dimaksud oleh Anwar, ternyata email itu isinya tentang data yang berhubungan dengan semmua yang Tristan butuhkan untuk memilih calon istrinya. Calon istri yang harus dia pilih dari salah satu cucu Briyan Sutoyo. Sudah seminggu sejak pertemuan yang membuat Tristan harus memikirkan ulang dan mempertimbangkan soal semua rencananya. Dia ini meski dipercaya oleh Briyan dan punya wasiat yang kuat, tapi tidak menjamin akan bertahan lama. Orang-orang yang dia percaya bisa saja berbalik menyerang. Alhasil Tristan harus lebih berhati-hati lagi dan tidak mengabaikan begitu saja ancaman anak-anak Briyan kali ini. “Gue pengen libur sehari tapi kudu mikir lagi,” keluh Tristan seraya memejamkan matanya. Dia harus menganalisa data yang dikumpulkan Irza secara mendalam sebelum memutuskan. “Cucunya cantik-cantik, Bang. Terus kayak ada yang nggak pernah gue liat tapi gue ngerasa familiar gitu,” timpal Anwar. Tristan menggulir layar tabnya dan melihat cucu Briyan Sutoyo yang jumlahnya ada 6. 5 cucu perempuan dan satu cucu laki-laki. Tapi kemudian mata Tristan terpau pada foto seseorang yang sangat familiar baginya. “Karina Rosalind Sutoyo?” Tristan menggumamkan nama salah satu cucu dari Briyan. “Nah iya itu, yang namanya Karina kayaknya gue pernah liat, Bang. Tapi gue lupa di mana,” celetuk Anwar sembari menikmati sarapannya. Tristan setuju dengan asisten pribadinya ini, karena dia juga merasa seperti pernah melihat cucu Briyan yang bernama Karina ini. Wajahnya mirip seseorang tapi Tristan tidak kunjung menemukannya di dalam ingatan. “Dia anak dari Zeline Rosalie, anak terakhir Pak Briyan Rosalie,” kata Anwar yang sudah membaca lebih dulu isi email yang dikirimkan Irza. Tristan terus membaca data tersebut dengan saksama, tapi dia begitu tertarik akan informasi soal anak terakhir Briyan ini. Zeline sudah meninggal, Tristan sudah tahu lama soal ini dan kenal juga dengan suaminya yang bernama Janu. Tapi karena sepertinya anak-anak Briyan yang lain tidak suka pada suami Zeline yang bernama Dimas Janu, pria ini tidak terlihat pada pertemuan waktu itu. Briyan sendiri juga tidak banyak menceritakan soal anak terakhirnya, tapi setiap menyebut nama Zeline, Tristan bisa melihat banyak kerinduan yang tertampung di mata pendiri Youngs Tech ini. Bisa dibilang mungkin Zeline ini anak paling disayang oleh Briyan. “Gue baru inget, kalau kakek pernah bilang dia minta gue jagain cucu dari anak terkhirnya ini,” kata Tristan yang sedang menatap jauh pada pemandangan di luar kaca hotel. “Pak Briyan nggak pernah sebut nama cucunya yang ini?” tanya Anwar. Tristan menganggukkan kepalanya, “nggak pernah sekali pun. Dia cuma bilang kalau dia bisa hidup lebih lama lagi, dia pengen ngelindungin cucunya yang satu ini.” Anwar terdiam mendengar kalimat Tristan, kenangan akan Briyan, mantan CEO yang pernah dilayaninya ini menari di otaknya. Briyan juga yang kemudian membantunya bisa berkuliah, karena selama ini kedua orang tua Anwar sering membersihkan makan istri Briyan. “Karina... Karina...,” gumam Tristan mencoba memancing ingatannya kembali. Tristan memejamkan matanya dengan jari-jarinya yang mengetuk tab, otaknya dia ajak untuk bekerja keras mencari nama Karina. Karena dia yakin belum lama ini mendengar nama tersebut, juga wajah yang terlihat familiar baginya. Beberapa saat kemudian mata Tristan terbuka kembali dengan lebar, “lo inget cewek yang mual di bandara Doha?” tanya Tristan pada Anwar. “Mm... ya.. mungkin,” jawab Anwar ragu, sebab kemarin dia juga sangat lelah untuk mengenali wajah orang. “Kayaknya cewek itu dan cucu Briyan yang ini orangnya sama,” kata Tristan yang membuat Anwar hampir memuncratkan jus jeruknya. “Jangan ngasal lo, Bang!” saking akrabnya dia dengan Tristan, jika berdua mereka tidak memakan sapaan resmi lagi. “Emang lo tahu nama cewek di bandara itu?” Tristan mendecakkan lidahnya, “gue sempet kenalan sama dia dan namanya Karina juga.” Anwar melongo, karena tidak percaya akan kebetulan yang terjadi ini. Tapi Tristan yakin kalau memang Karina yang dia kenal di bandara Doha, sama dengan Karina cucu dari Briyan. “Dia jadi model di Milan ini, kegiatan yang bakal dia bawain salah satu koleksi desainer,” gumam Anwar sambil membaca data terbaru dari Karina Rosaling Sutoyo. “Bisa jadi nih kalo mereka emang orang yang sama.” Tristan yang mendengar informasi itu kemudian terpikirkan untuk melakukan sesuatu. “Anwar,” panggil Tristan. Anwar mendongak menatap Tristan yang matanya terlihat bertekad. “Kali ini kamu harus bantu saya agar bisa bertemu langsung dengan Karina Rosalind Sutoyo ini,” ujar Tristan seperti titah mutlak. “Siap, Pak.” /// Tristan tidak pernah menghadiri acara fashion show sebelumnya, dia tidak tertarik akan mode, bahkan style pakaiannya standar saja. Tapi demi melihat seorang Karina Rosalind secara langsung, Tristan harus melakukannya. Dengan keahlian Anwar bisa mencari tiket, yang sebetulnya sudah habis untuk Fashion Show salah satu desainer ternama Italia, kini Tristan sudah duduk di barisan ke 3 menunggu acara akan dimulai. Semalam dia juga sudah membaca banyak soal Karina ini, dimulai dari kelahirannya yang sangat tragis karena saat itu ibunya meninggal saat melahirkannya. Ibu Karina mengalami kecelakaan ketika itu sehingga Karina tidak pernah sekali pun mendapatkan kasih sayang darinya. Karena itu Briyan sangat menyayangi Karina yang sudah piatu sejak masih bayi merah. Lalu setelah lulus SMP, Karina pindah menuju Milan dimana negara ini adalah asal ibu dari Briyan tinggal. Karina melanjutkan sekolah di sini lalu memilih jalur karir menjadi seorang model. Tapi setelah itu Karina juga jarang pulang kembali ke Indonesia dan bahkan tidak pernah mau mendapatkan kemudahan fasilitas dari Briyan yang bisa dengan mudah menaikkan karirnya dengan cepat. Karina juga menolak mengurusi kekayaan kakeknya itu. Dan semua itu yang kemudian membuat Tristan merasa Karina adalah seorang yang tepat untuk dia pilih menjadi istrinya. Lalu mengingat pertemuan mereka di bandara kemarin, Tristan bisa menilai kalau Karina mempunyai sifat yang berbeda dari cucu Briyan yang lain. . ///
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD