AUW! SAKIT!

1352 Words
“Boku wa ima sagashi hajimeta mizushibuki agete. Hateshinaku tsudzuku sekai e. Afuredasu jounetsu wo mune ni doko made mo yuku yo. Mada minu hikari motome.” Anne tersenyum melihat penampilan Ben—gitar dengan belt yang menyilang di tubuhnya, jemari yang menggenjreng senar, dan merdu suaranya yang diwarisi dari kepiawaian sang ayah mengalunkan nada. Tubuh Ben tak kenal diam saat menyanyikan soundtrack dari salah satu anime favoritnya itu. Suara Reina yang berdehem mengalihkan atensi Anne. Saat ia menoleh, sepupu sulungnya itu tergelak. “Terpesona banget, ya Ne?” “Enak banget denger suaranya Ben, Teh. Kayak ngga perlu effort buat nyanyi.” “Ngga kenal fals ya? Orang mah mau perform latihan dulu, kalau ngga… pasti ada satu atau dua nada yang sember.” Anne tergelak. “Teteh ngga gitu ah.” “Eh, belum tau aja. Kalau dulu kan rutin nyanyi, sengaja pula ikutan les vokal biar semua kegiatan ada soundtrack-nya. Udah punya anak, OST-nya berubah jadi lagu bocah, ngga sempat les lagi, palingan rutinnya nyanyi bareng Mas Rio di mobil. Jadi kalau ada request ya sejam dua jam lenturin pita suara dulu,” jelas Reina. “Iya sih. Anne juga ngga bisa smooth kalau tiba-tiba ditembak nyanyi. Nanti di lagu kedua tuh biasanya baru napasnya beradaptasi,” tanggap Anne. “Itu dia maksud gue,” timpal Reina. “Ngga kayak Ben, Bumi, dan Eldra tuh. Rajin makan not balok sih gue rasa,” timpal Andara, sepupu Anne lainnya—adik Arga. Para pemudi itu tergelak, lalu saat tawa mereda, nyanyian Ben sampai di pre-chorus kedua. “Kawaranai koto de. Kizutsukanakute mo. Sore ja yume mo kibou sae mo. Nai saa yukou.” Tanpa arahan, tanpa perintah, semua yang mengetahui lagu itu kompak menyanyikan chorus bersama... termasuk Anne. “Boku wa naze sagashiteru'n darou nani ga hoshii'n darou. Kotae wa kitto sono saki ni. Ugokidasu sekai no naka e kokoro shite yuku yo. Made minu chikara himete.” Seru, ramai, riang, dan hangat. Untuk berkumpul seperti ini, Anne dan Ben rela tak mengambil pre-honeymoon meski mereka masih punya waktu tiga malam dua hari sebelum menjalani aktifitas rutin kembali. “Sudah siap lo, Ne?” tanya Andara saat Ben mulai beralih ke lagu keduanya. Masih sama, berputar di soundtrack anime. “Siap ngapain, Kak?” balas Anne. “Malam pertama dong.” Reina yang menjawab. “Iiih! Sensor! Ternoda nih kuping Ca,” sambat Cantika. “Ilmu, Ca,” sahut Andara. Cantika menggeleng. Ia lalu berdiri dari duduknya, berjalan ke perkumpulan pemudi lainnya. Namun, baru duduk sebentar, ia bangkit kembali. “Kenapa, Ca?” tanya Reina. “Sama aja, konten 21+.” Reina, Andara, dan Anne kompak tergelak. “Dibilangin ilmu, paling tahun depan udah lo pake tuh ilmu,” ujar Reina lagi. Cantika menutup wajahnya, menggeleng cepat, lalu setengah berlari, bermuara di meja yang dihuni para Ibu. “So, gimana? Siap ngga, Ne?” Kini Reina yang kepo. “Emang kenapa bisa ngga siap, Teh? Sakit banget ya?” tanya Anne, polos. “Tergantung keahlian sih gue rasa,” timpal Andara. Reina malah terbahak, mungkin teringat kisah malam pertamanya yang juga absurd. “Kita juga ngga ada yang ahli pas awal, Ra. Makin jago seiring jam terbang.” “Serius atuh,” rajuk Anne. “Sakit banget, Kak, Teh?” “Sakit,” ujar Reina. “Banget!” timpal Andara. “Momen di mana untuk pertama kalinya gue pengen nabok Bang Eza.” “Tapi kadung lemas karena emang sakit,” sambung Reina. “Padahal suami kita lokal punya, lho Ne,” ujar Andara lagi. “Nah lo kan blasteran.” “Emang kenapa kalau blasteran?” tanya Anne. “Katanya sih ukurannya lebih wow,” jawab Andara dengan ekspresi datar. “Serius, Kak?” “Katanya, Ne.” “Valid sih gue rasa, lihat aja kakinya si Ben, paling gede kan nomor sepatu dia dibanding bapak-bapak yang lain?” Reina menimpali. “Emang apa hubungannya ukuran sepatu sama ukuran yang lebih wow?” tanya Anne lagi. Reina dan Andara malah terbahak. “Teteh! Kakak! Jangan ditakutin adiknya,” ujar April—ibunya Andara. Ia sampai menoleh berhubung nada tawa yang terlantun dari Andara dan Reina terlalu usil untuk dimaklumi. “Mama memangnya tau kita ngobrolin apa?” balas sang putri di sela tawa. “Taulah. Apalagi sih yang diomongin sampai mukanya Anne pucat begitu.” “Soalnya Kak Ara dan Teh Reina ngga jelas, Ma. Ngomongnya setengah-setengah, bikin penasaran, pas dijelasin malah jadi berasa horor,” adu Anne. “Ngga kok, ngga horor,” ujar April, berusaha menenangkan. Kening Anne mengernyit, merasa ada nada ganjil di kalimat sederhana tantenya barusan. “Cuma?” April mencengir singkat. “Ngilu aja sebentar… sama jalan ngangkang pas bangun tidur.” Andara dan Reina tergelak lagi. *** “Kamu marah sama aku?” tanya Ben seraya menatap bingung ke Anne. Istrinya itu mengambil posisi terlalu pinggir, seolah sengaja membentangkan jarak dengannya. “Ngga,” cicit Anne. “Terus kenapa ngejauhin aku begitu?” “Ngga ngejauhin, Ben.” Kening Ben mengerut. Ia kemudian menghela napas panjang. “Kamu mau aku tidur di sofa?” Anne menjawab dengan gelengan. “Ke tengahan sini. Nanti kamu jatuh, sayang.” Bibir Anne mengerucut, namun ia tetap menurut, bergeser sedikit ke tengah sisi kiri. Ben mendengus. Kesal. Anne yang sudah mengenal Ben dalam waktu yang cukup lama, paham arti dengusan itu. Ia sontak menoleh menatap suaminya. “Ben?” “Good nite, baby,” ujar Ben, lalu memejamkan mata. “Maaf… aku takut, Ben,” lirih Anne. Ben membuka matanya lagi. “Takut apa? Memangnya aku ngapain sampai kamu takut sama aku?” Titik pandang Anne bergeser, dari wajah ke jempol kaki suaminya. Ben mengikuti arah pandang itu, lalu tergelak. “Kamu habis ngilmu dari siapa sih?” tanyanya di sela tawa. “Ngga ada bukti ilmiah yang menunjukkan korelasi antara ukuran jempol kaki dan ukuran pen1s!” “Ben!” “Lho, kita sudah suami istri, sayang. Hal kayak begini tuh bukan sesuatu yang tabu untuk dibicarain. Malah kalau kamu kepingin gaya tertentu, kita bisa lho coba-coba.” Anne menarik selimut, menutup seluruh tubuh dan wajahnya. Ben kian tergelak. Ia menyusup ke balik selimut, mendekati Anne, merengkuh erat sang istri. “Kalau kamu belum siap, ngga harus malam ini kok,” ujarnya. “Katanya sakit, Ben,” aku Anne, suaranya nyaris tak terdengar, malu. “Mau kapan pun dimulai, tetap bakalan sakit. Memang itu salah satu prosesnya.” Anne memberengut. Ben menyingkirkan selimut dari wajah mereka, menarik napas dalam. “Aku pelan-pelan kok.” “Kalau pelan-pelan ngga sakit?” Ben tertawa lagi. “Kamu tuh! Aku serius tau!” omel Anne lagi. Tangan Ben berpindah dari pinggang ke belakang kepala Anne, menahannya, lalu menyatukan bibir mereka. Ben menciumnya lembut, menghisap pelan, menyisir garis bibir Anne dengan ujung lidahnya. Anne yang sebelumnya pasif-mungkin karena overthinking, akhirnya terbawa suasana. Lembut perlakuan Ben membuat hasratnya melambung. Ia mulai membalas ciuman itu dengan tangan yang memeluk Ben dan merapatkan tubuh mereka. Baru saat paru-paru nyaris panas karena menunggu asupan oksigen, keduanya menarik diri. Ben menatap Anne lekat, teduh dan memuja. Jemarinya kini membelai surai sang istri. “Tetap sakit. Tapi ngga lama, kok sayang. Dan sakitnya cuma pertama, setelahnya ngga,” jelasnya lembut. Anne menggigit bibirnya, mulai gelisah. Jemari Ben berpindah lagi. Tanpa memalingkan tatapannya, ia mengelus lengan Anne, terus turun ke pinggang, perut, lalu ke paha. Tepat di belakang lutut sang istri, ia berhenti sejenak. “Kalau kamu ngga mau malam ini, nanti bilang ya?” “Nanti?” Ben mengangguk sebelum menggenggam satu kaki Anne dan menggesernya sedikit sehingga menyisakan celah di antara dua kaki. “Ben... mau ngapain?” “Nyicip dulu, baby.” Anne membelalak. “Nyicip?” Ben mengedipkan sebelah mata, lalu mengatur posisinya. Anne panik, namun saat sentuhan Ben dirasanya, sensasi yang asing turut mendera. Ia bingung harus bersikap bagaimana, namun akhirnya benar-benar tak bisa menampik jika perlakuan suaminya membuatnya menginginkan lebih. Malam pertama, di sebuah kamar villa keluarga. Saat serangga malam dan gemeresik dedaunan memadu suara. Kala kekhawatiran mungkin saja esok pagi keluarga mereka akan menggoda dengan senang hati. Tapi… siapa juga yang peduli saat halal berbicara dan gair4h membara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD