Pernah bangun tidur dengan jantung mencelos?
Barusan Anne mengalaminya—dan bukan karena mimpi jatuh dari tebing atau dikejar hantu di lorong sekolah. Kali ini lebih aneh—setelah dua puluh sekian tahun, baru kali ini ia membuka mata dan sadar… dirinya tak tidur sendirian.
Detik pertama ia masih bingung, detik kedua mulai panik, detik selanjutnya ia akhirnya teringat, ‘Oh iya, aku kan sudah menikah sama Ben kemarin.’
Namun, seperti yang nyaris dialami semua orang, saraf-saraf otaknya tak langsung sepenuhnya tersambung. Anne menunduk, mendapati lengan kekar berbulu yang merengkuhnya. Lalu... nyeri di perut bagian bawahnya seolah mengucap selamat pagi. Tidak, bukan karena karena alarm wajib, namun sensasinya terlalu asing—ada rasa ngilu dan seperti ada sesuatu yang tertinggal di bagian dalam tubuhnya.
Anne mengangkat tepi selimutnya, memejamkan mata saat menyadari ia tak mengenakan sehelai kain pun. Ingatannya terbang ke beberapa jam yang lalu, saat Ben memancing gairahnya, saat untuk pertama kalinya ia mengenal nikmatnya ‘pelepasan’, saat ia tak bisa mengatakan tidak atau nanti-nanti saja begitu Ben membuka lebar kedua kakinya. Anne bahkan lupa rasa sakit yang membuatnya menggigit keras lengan Ben. Yang menempel di kepalanya hanya saat perih itu berganti nikmat yang sulit dijelaskan dengan kata.
Suaminya bergerak lembut, kening Anne mengerut, ada sesuatu yang keras menggesek bokongnya. Ia mengangkat selimutnya lebih tinggi, lalu menoleh ke balik punggungnya—di bagian bawah. Ia sontak membelalak.
‘Serius segitu gedenya?’ Ia membatin.
Selimut ia turunkan kembali, bernapas dalam, lalu sepelan mungkin berusaha mengangkat tangan Ben dari pinggangnya. Sayangnya... percuma!
“Mau ke mana?” Pria di belakangnya mengajukan tanya lalu menurunkan posisi tubuhnya sebelum melabuhkan kecupan-kecupan kecil di punggung dan bahu Anne. Jangan lupakan tangan Ben yang mulai bergerilya.
“Ben... alarm aku nyala,” cicit Anne.
“Jam berapa?”
“Lima.”
“Masih subuh.”
“Tapi kita belum mandi. Terus subuhan.”
“Hmm.”
“Kamu atau aku yang mandi duluan?” tanya Anne lagi.
“Bareng dong, sayang.”
“Masa bareng?”
“Memangnya kenapa?”
“Kan mandi ngga pakai baju, Ben.”
Ben malah tergelak. “Aku sudah lihat semua, Ne.”
“Biarpun gitu. Kan aku malu.”
Memang dasar Ben, usilnya tak pandang bulu. Ia malah menyibak selimut, lalu turun dari ranjang dengan penampilan ‘polos’.
Anne syok! Kedua tangannya refleks terangkat naik, menutup mata. “Ben!” sentaknya.
Dengan santainya ia beringsut ke sisi Anne, meraih satu tangan istrinya, menarik lembut. “Ayo, kalau gantian yang ada salah satu dari kita subuhannya telat, sayang.”
Kelopak mata Anne terangkat sedikit, lalu menutup lagi.
“Kamu apa sih?” ujar Ben di sela tawa.
“Ben pakai celana dulu.”
“Ih ngapain?”
“Ngga boleh telanj4ng di kamar mandi.”
Ben gemas sendiri. Namun, ia tetap meraih boxer-nya, memasang cepat. Setelahnya ia menyibak selimut sekali lagi, mencari keberadaan g-str1ng yang dilepasnya dari tubuh Anne semalam. Benda itu tak langsung ia temukan, justru noda merah yang cukup lebar ia dapati.
Ia membelalak. “Ne?”
“Hmm?” gumam Anne seraya berusaha duduk. Ia merintih pelan.
“Sakit banget?” tanya Ben.
Mereka bersitatap. Ben dengan raut khawatirnya, sementara Anne sibuk dengan isi kepalanya—mencari kata yang bisa mewakili yang ia rasa.
“Ngilu... pegal, tapi di dalam. Bingung, Ben,” tutur Anne.
“Mau ke dokter?”
“Masa sampai harus ke dokter?”
“Itu darah kamu banyak.”
Anne menoleh ke kasur, menatap noda yang menempel di sprei. “Bagaimana nyucinya, ya Ben?”
“Bawa pulang aja, kita bayar, tinggal bilang ngga sengaja ngerusak properti villa.”
“Oke.”
“So? Kita ke dokter ya?”
“Aku tanya Mama aja. Kita mandi dulu sekarang, keburu habis subuhnya.”
***
Bertanya soal malam pertama pada sang Ibu. Tak salah sama sekali. Hanya saja, Anne justru merasa malu luar biasa.
“Lucu banget sih kalian,” ujar Andien.
“Mama ih. Jangan ngeledek,” rajuk Anne.
“Siapa yang ngeledek coba.”
“Tapi, Ma... memang segini ngga nyamannya ya?”
Andien mengangguk. “Kan pertama kali. Wajar ngga nyaman. Makin sering diulang, makin dapat selahnya, makin enak rasanya.”
“Mama!”
“Lho, Mama serius.”
“Kalau nanti malam Ben minta lagi... gimana, Ma?”
“Ya kasih.”
“Kalau masih sakit?”
“Beli pelumas di apotek.”
“Pelumas?”
“Iya.”
“Oli? Kok oli di apotek?”
Andien terbahak.
Pintu kamar orangtua Anne diketuk, lalu kepala Dirga menyembul di sela daun pintu dan bingkainya. “Ayo, yang lain sudah siap check-out.”
“Oke, Pa,” sahut Anne.
“Papa ngga diajak curhat, Uni?”
“Papa ih, nama tengahnya ‘kepo’.”
Dirga tergelak. “Buruan. Mumpung satu jalur turun.”
Setengah jam lewat tengah hari mereka pungkas berpamitan. Ben membuka pintu Bentayga putihnya, mempersilahkan sang istri masuk lebih dulu. Setelahnya ia menyeberangi kap mobilnya, duduk di balik kemudi. Mesin tak langsung ia nyalakan, malah mengusap-usap roda setir dan permukaan dashboard.
Ben sendiri yang membeli SUV tersebut—janji yang ia tunaikan untuk dirinya sendiri sejak beberapa tahun lalu. Semacam hadiah atas semua kerja kerasnya, pencapaian yang ia capai tanpa jalan pintas—meski kebanyakan orang menganggap begitu. Sebuah simbol jika ia pernah punya waktu untuk memanjakan diri, sebelum memasuki fase hidup yang lebih besar; berumahtangga dengan Anne.
Ia tersenyum simpul, mengingat prosesnya. Test drive yang berkali-kali, tawar-menawar harga yang alot, hingga momen saat ia akhirnya memegang kunci dengan euforia kegembiraan laksana anak kecil yang baru saja memenangkan mendapatkan nilai tertinggi di sekolah.
“Ben? Kita ngga jadi pulang?”
“Jadi, sayang.”
“Gerah lho aku.”
Ben mencengir singkat. Ia segera menyalakan mesin, lalu mengatur suhu udara kabin dan playlist lagu.
Setelah suasana nyaman, ia menatap Anne sesaat. “Siap pulang, Mrs. Adi?” ujarnya dengan senyum penuh rasa bangga.
Anne terkekeh. Tangannya terulur mencubit gemas pipi suaminya. “Let’s go!”
“Bismillahirrahmanirrahim.”
***
Hari Selasa. Hanya sehari kemarin mereka bisa benar-benar bersantai setelah syukuran pernikahan. Selebihnya, dunia nyata kembali memanggil.
Pagi itu Ben dan Anne berangkat bersama, masing-masing dengan helm hitam dan jaket riding yang matching. Bukan Bentayga yang dipakai, melainkan motor matic kesayangan Anne. Alasannya sederhana, lebih cepat menembus lalu lintas Jakarta yang tak pernah mengenal kata lengang di hari kerja.
Setelah mengantar Anne sampai di depan gedung 3D-Design, Ben melanjutkan perjalanan ke kantor PilarMaju. Suasana kantornya masih sama seperti biasa; bunyi dering telepon dari meja resepsionis, langkah cepat staf yang membawa berkas, dan aroma seduhan kopi dan teh dari pantry. Namun di agenda hari ini, ada satu hal yang sangat berbeda, yaitu meeting dengan salah satu supplier besar bahan bangunan.
Perusahaan ini bukan sekadar supplier biasa. Reputasinya sudah puluhan tahun, salah satu pemain utama di industri sipil. Anehnya, selama ini mereka tak pernah tertarik memasok ke PilarMaju. Maka ketika proposal penawaran mereka masuk minggu lalu—dengan harga sedikit di bawah pasaran—Ben justru mengernyit. Bukan masalah harga yang membuatnya waspada, melainkan ‘kenapa sekarang?’.
Waktu menunjuk pukul sepuluh lewat lima menit ketika Ben berdiri dari kursinya. Blazer ia kenakan, kancing atas kemeja putihnya ia sisakan terbuka satu. Setelah yakin penampilannya cukup sopan dan profesional, ia mengayun langkah dengan mantap menuju ruang meeting di sisi timur lantai yang sama.
Menyusuri koridor yang diapit dua dinding kaca ruang meeting, Ben menoleh ke salah satunya, tempat di mana pertemuannya akan berlangsung. Beberapa stafnya sudah duduk, menyiapkan dokumen. Sementara di seberang meja, seorang perempuan menarik atensinya dengan berdiri dari duduknya, tersenyum lebar seperti menyambut seseorang yang sudah lama ia tunggu.
Entah kenapa, keramahan itu justru membuat Ben merasa tak nyaman. Ada sesuatu di balik senyuman itu yang terasa… terlalu personal.
Sekretaris Ben membukakan pintu. Kepala divisi supply chain PilarMaju melangkah ke arahnya dengan semangat juang tinggi.
“Pak Ben, perkenalkan. Ini owner langsung dari PT. Sumber Konstruktama. Perusahaan ini sebelumnya dijalankan oleh ayah beliau, tapi sekarang beliau yang memimpin,” ujarnya dengan nada bangga. Seolah Ben perlu memberinya bonus penghargaan sepuluh kali gaji karena berhasil membuat supplier besar tersebut membuka kerjasama dengan PilarMaju.
Ben mengangguk sopan.
Perempuan itu mengulurkan tangan lebih dulu.
‘Kok beg0?’ Ben beristigfar sejenak. ‘Kan harusnya gue yang ngulurin tangan duluan.’
Dengan wajah datar tanpa ekspresi maupun emosi, Ben menyambut. Mereka berjabat tangan. Tangan perempuan itu lembab, meski genggamannya mantap, seolah ia sengaja menyembunyikan kegugupannya.
‘Kenapa gugup? Harusnya kan gue yang gugup. Khawatir dia ngga jadi mau nyuplai misalnya. Kenapa jadi kebalik begini?’
“Apa kabar Pak Ben?”
‘Tuh! Makin aneh.’
“Baik, Bu. Alhamdulillah,” jawab Ben.
Jangan bayangkan Ben pura-pura tersenyum hangat. Tidak sama sekali. Semua orang di perusahaan itu tau CEO baru mereka ini karakternya jauh dari ramah. Yang ada ngeselin, detail, dingin, dan hobi banget ngomong pelan tapi nyelekit. Ya, Ben hanya ramah pada orang-orang terdekat dan keluarganya.
“Senang akhirnya bisa bertemu, Pak Ben.”
Kening Ben otomatis mengerut.
“Saya…” Perempuan itu menarik napas pelan, senyum simpulnya berubah menjadi lengkungan penuh arti. “Elisa.”
‘Kayak pernah dengar?’