Part 2

1390 Words
Seorang ibu duduk gelisah di ruang tunggu Poli Bayi sebuah Rumah Sakit ternama. Bayi yang digendongnya tampak tertidur dengan bunyi nafas serak. Seolah ada lendir yang memenuhi kerongkongannya. Sesekali bayinya menggeliat dan merengek yang membuat si ibu sigap memberinya s**u. Khawatir bayinya haus atau lapar. "Bayi Juna silakan masuk," Wanita lebih seperempat abad yang sedari tadi menimang bayinya itu segera beranjak. Ia meletakkan bayinya yang sudah bertelanjang d**a di atas baby scale. Seorang perawat berseragam putih menghampirinya sembari tersenyum manis. Mendadak mata perawat itu membulat begitu melihat bayi Juna. "Dok, bayinya apnea!" ia berteriak kalap. Sang ibu yang sama sekali tak mengerti kalimat perawat itu bingung sekaligus takut. Elvina bergegas datang. "Bawa ke ruang tindakan! Panggil tim code blue!" titahnya. Masih tanpa pakaian bayi Juna digendong hingga ke ruang tindakan. Ryan, dokter berwajah dingin yang mengikuti Elvina ke ruang tindakan segera meraih selang suction dengan tangan yang sudah berbalut sarung tangan latex. Memasukkannya ke mulut bayi Juna. Cairan berwarna putih tampak tersedot begitu mesin dinyalakan. "s**u, ya? Aspirasi, nih." Elvina berpendapat. Elvina segera meraih d**a mungil bayi Juna diikuti Ryan yang sigap melakukan resusitasi. Dua jempolnya menekan secara ritmis d**a bayi Juna sementara Ryan memompa balon oksigen ke hidung dan mulut bayi yang baru berusia 2 minggu itu. Tubuhnya terkulai lemas. Seluruhnya pucat kecuali bagian dahi ke atas. Menyadari apa yang terjadi, Vera, ibu beranak tiga itu mulai berteriak histeris. "Anakku...anakku... Dok, anakku, Dok!" Vera  hilang akal. Ia terduduk di lantai sambil memegangi kepalanya. Air matanya mulai berderai. Bibirnya terus meracau menyebutkan nama anaknya. Seperti orang gila ia meronta-ronta di lantai sembari terus meneriakkan "Tolong anakku, Dok!" "Tenang, Bu. Ini masih diusahakan. Ibu berdoa, jangan nangis." Seorang dokter yang tampaknya sudah senior itu mengelus punggung Vera. Ruang tindakan sibuk. Semua dokter dan perawat berkumpul. Ada yang sibuk menyiapkan peralatan infus. Ada yang sibuk menyiapkan suntikan adrenalin. Ada juga yang sibuk menelpon Prof Dina, salah satu guru mereka, memberikan laporan. Tim code blue juga sudah datang, menyiapkan alat intubasi dan defibrilator, mengantisipasi jika resusitasi menggunakan sungkup tidak membuahkan hasil. Sepuluh menit berlalu. Infus sudah terpasang, adrenalin sudah disuntikkan, intubasi sudah dilakukan. "Cek bunyi jantung, Vi!" Elvina memberi perintah pada rekannya. "Negatif, El." Rekannya menggeleng lemah. Ruang tindakan yang ber-AC tak cukup menghentikan keringat Elvina yang terus bercucuran. Jantungnya berdegub kencang, hatinya merapal doa. Meski jemarinya lelah, ia terus melakukan kompresi jantung seirama dengan tangan Ryan yang terus memompa balon oksigen. Ekspresinya tak berubah sedikit pun. Datar. Sejatinya, ada sebersit putus asa yang membayangi Elvina dan Ryan menangkap guratan putus asa itu di wajahnya. Vera yang diungsikan ke ruangan sebelah masih terus saja menangis meski tak sehisteris sebelumnya. Salah seorang dokter jaga membantu menghubungi keluarganya. Ia pun sejatinya putus asa bayi Juna akan selamat. Ia pikir, kehadiran keluarga akan sangat membantu menenangkan psikis Vera nanti. Tiga puluh menit berlalu. Usaha menyelamatkan bayi Juna berlangsung statis. Semua sudah putus asa. Prof Dina yang datang lima menit lalu pun menggeleng begitu mendengar hasil pemeriksaan para muridnya untuk ketiga kalinya. Bunyi jantung negatif. Reaksi pupil negatif. Maka atas persetujuan Prof Dina dan salah satu keluarga, satu persatu peralatan yang menempel di tubuh tak bernyawa bayi Juna dilepaskan. "Anakku, anakku, anakku nggak mungkin mati, Dok! Dia masih hidup. Tolong, Dok, Tolong!" tiba-tiba Vera berteriak histeris merengkuh bayinya yang lemas tak bergerak. "Dok, tolong, Dok! Anakku masih hidup, kan?!" Vera menarik-narik lengan baju Elvina. Elvina hanya tertunduk lemah. Ia menyeka air matanya yang hampir mengalir. Ryan yang menyadari perubahan raut wajah Elvina segera menggenggam jemarinya. Mencoba menyalurkan kekuatan. Bayi Juna ini datang bukan karena penyakit serius. Hanya demam dan batuk pilek biasa. Meninggal jutsru karena jalan nafasnya tertutup s**u. Ya, hanya soal memberi s**u bayi tapi bisa berakibat fatal jika tidak dilakukan dengan benar. Tiba-tiba, "Brukk!" Tubuh Vera menghantam lantai dengan keras dan tak sadarkan diri bersama bayi Juna dalam dekapannya. Ruang tindakan kembali panik! Ibu dan bayinya dilarikan ke UGD! *** "Kontrol, ya, Bu?" Elvina sudah kembali ke Poli Bayi. Melanjutkan melayani pasien lainnya. Raut wajahnya lelah, kulitnya pucat. Ia masih belum bisa melupakan insiden bayi Juna beberapa menit lalu. "Iya, Dok." Seorang ibu muda duduk di hadapan Elvina sambil menggendong bayinya yang tertidur pulas. "Eh, Bu Jihan!" Elvina segera tersenyum manis begitu menyadari siapa pasiennya. Dan kembali ia tersedot pesona laki-laki yang berdiri gagah di samping Jihan. Penampilannya hampir sama dengan terakhir kali ia melihatnya. Celana jeans, kaos oblong, kali ini dibalut kemeja polos dengan kancing yang dibiarkan terbuka. Tatapan di balik kacamata berlensa bening itu sejenak mampu membuat Elvina gagal fokus. Tak mau melakukan kriminalitas lagi dengan mengagumi suami orang, Elvina segera memfokuskan diri pada bayi yang digendong Jihan. Bayi mungil itu terlihat tidur dengan tenang. Suara nafasnya teratur. Membuat Elvina tersenyum manis. "Berat badannya sudah naik, ya. Enggak kuning juga, kok, ini. Semuanya bagus. Perawatan di rumah gimana, Bu?" Elvina mengalihkan perhatiannya dari bayi yang tetap tertidur pulas meski diusik dengan segala bentuk pemeriksaan. Tak disangka tatapannya bersirobok dengan tatapan dalam Ivan. Membuatnya sejenak salah tingkah. Ivan yang menyadari Elvina salah tingkah, tanpa sadar mengulum senyum. Menikmati pemandangan di hadapannya. "Ngikutin kata Dokter aja. Kebetulan juga 'kan masih cuti, jadi masih full 24 jam nemenin Baby Daniel," Jihan tersenyum. "Oh, namanya Daniel?" Ibu muda itu mengangguk dengan senyum tak lepas dari wajahnya. Elvina mengangguk-angguk sambil menuliskan hasil pemeriksaannya. "Nanti usia 3 bulan bisa diperiksakan ke Poli Tumbuh Kembang Anak. Biasanya bayi prematur perkembangannya lebih lambat dari bayi seusianya yang lahir 9 bulan. Tapi jangan khawatir, ada masanya dia nyusul, kok." "Siap, Dok!" kali ini Ivan yang menjawab. Elvina hanya menatap sekilas, khawatir melakukan tindak kriminal lagi. Pemeriksaan berlangsung lancar. Tak ada kondisi yang berarti. Semua baik. Sesekali mereka mengobrol ringan.  "Syukurlah Daniel sehat." Jihan bergumam begitu keluar dari Poli Bayi. Jemarinya yang lentik mengelus penuh sayang bayi dalam dekapannya. Terlihat pipinya lebih gembul dari pertama kali ia melihatnya lahir ke dunia. "Tadi itu dokter yang dari awal menangani Daniel?" "Iya. Dokter Elvina namanya. Kenapa? Cantik, ya?" Jihan melempar tatapan jahil pada Ivan yang berjalan di sampingnya. "Haha, iya cantik. Apalagi waktu salah tingkah tadi." Ivan sama sekali tak menyembunyikan kekagumannya. "Dasar! Jangan genit!" Jihan mendorong ringan bahu Ivan lalu melanjutkan perjalan. Ivan kagum melihat kegesitan Elvina saat insiden bayi Juna tadi. Jelas sekali ia panik tapi otaknya tetap bisa berjalan lancar mencari pertimbangan tindakan yang mungkin bisa menyelamatkan bayi itu. Meski pada akhirnya takdir berkata lain. Bayi mungil itu tetap tidak tertolong. Ditambah lagi wajah Elvina yang terlihat lebih cantik jika dari dekat. Ivan merutuki dirinya begitu menyadari ia memikirkan dokter cantik yang baru sekali ini ia temui. *** Hari ini ruang rawat inap aman, tidak ada pasien gawat sehingga Elvina bisa pulang lebih cepat. Tapi, kebahagiaan sesaatnya segera sirna mendapati ponselnya terus bergetar dan menampilkan sebaris nama yang selalu sukses menghancurkan hidupnya. "Kenapa, Ma?" malas-malasan Elvina menjawab telepon. "Anak nggak tau diuntung! Nyusahin orang tua melulu! Sudah cukup dulu kamu habiskan uang Mama. Penghasilan Ayahmu tuh berapa sih? Gak bakal cukup buat uang sekolahmu. Kalo bukan karena Mama kamu nggak bakal bisa sekolah tinggi!" Elvina mendengus kasar. Kenapa lagi, sih?! "Kenapa, sih, Ma?!" Ia mengatur intonasi suaranya supaya tak terdengar kesal. "Masih tanya kenapa lagi! Nggak nyadar kalo salah?!" "Denger, ya, Ma. El sama sekali nggak pernah minta Ayah nikahin Mama. El juga nggak pernah minta Mama bikin perjanjian sama Ayah supaya Mama aja yang kerja. El nggak pernah minta disekolahin jadi dokter yang biayanya selangit. El punya cita-cita lain yang bertentangan dengan cita-cita kalian dan sekarang semuanya kandas!" Kesabarannya sudah habis. Air matanya hampir luruh. Perempuan itu selalu saja menyalahkannya. Membuatnya jauh dari orang tua satu-satunya yang ia miliki sekarang. Setelah kejadian bayi meninggal itu, Elvina sempat mengadu kepada Ayahnya. Ia tak kuasa untuk tidak menangis. Tapi naas, ibu tirinya mengira ia sedang merengek meminta berhenti melanjutkan studinya. Elvina memang pernah berpikir begitu, ia lelah menjadi dokter. Ia tidak memiliki passion dalam bidang ini. Tuntutan dari kedua orang tuanya semakin menambah bebannya. Namun, itu dulu. Sampai ia mengerti bahwa kini, Ayahnya lebih mencintai ibu tirinya dibanding ia dan adiknya. Ayahnya lebih rela mengorbankan kebahagiaan anaknya demi perempuan yang membuatnya justru tampak rendah sebagai kepala keluarga. "Kurang ajar sekali mulutmu!" suara di seberang telepon meradang. Tapi Elvina sudah benar-benar malas menanggapi. "Terserah mau mikir apa. Elvina capek. Dah, Ma!" Ia menutup sambungan telepon. Melemparnya sembarangan dan bergegas ke kamar mandi. *** Keterangan: Apnea = henti nafas Selang suction = selang kecil untuk menyedot lendir yang menumpuk di saluran nafas Tim code blue = suatu tim yang dibentuk oleh rumah sakit yang bertugas merespon kondisi gawat darurat didalam area rumah sakit Intubasi = tindakan medis berupa memasukan tabung endotrakeal melalui mulut atau hidung untuk menghubungkan udara luar dengan kedua paru Defibrilator = stimulator detak jantung yang menggunakan listrik dengan tegangan tinggi
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD