Part 1

928 Words
Elvina menajamkan telinganya. Kedua bola matanya yang jernih menatap dengan seksama bayi mungil yang tertidur pulas di dalam inkubator. Ia memindahkan ujung stetoskopnya ke d**a kanan si bayi lalu kembali mendengarkan dengan seksama. "Berat badannya berapa, Mbak?" ia melepas kaitan stetoskop di telinganya, mendekati nurse station. "Tadi pagi sudah 2400 gram, Dok. Awal masuk kan 2200 gram." Seorang wanita 30an tahun menyodorkan map rekam medis. "Hasil lab yang tadi pagi sudah keluar? Bilirubinnya gimana?" Elvina membuka-buka map di hadapannya. "Sudah, Dok. Bilirubinnya sudah turun." Elvina mengangguk-angguk dengan mata tak lepas dari map rekam medis bayi mungil itu. Ia menuliskan hasil pemeriksaannya di sana. "Ibunya rajin kasih ASI 'kan, Mbak?" Perawat di depannya mengangguk. "Kalau menurut saya ini bayi sudah bisa pulang, kondisinya sudah bagus tinggal ibunya aja yang mesti rajin kasih ASI dan menjaga kebersihan lingkungan bayinya." Jelas Elvina. "Tapi sebentar saya konsulkan Prof Dito dulu." Ia berlalu sambil mengeluarkan ponsel dari sakunya. Ya, ia tidak bisa sembarang memutuskan. Karena posisinya sekarang masih seorang calon dokter spesialis anak. Masih dalam pendidikan. Ia harus selalu meminta bimbingan dari sang guru. Tidak banyak alasan mengapa ia menjadi dokter bahkan melanjutkan karirnya sampai ke jenjang spesialis. Ia hanya menuruti kemauan orang tuanya. Menurut tanpa penolakan sama sekali. "Mbak Heni, bayinya Bu Jihan ACC pulang, ya. Tapi saya mau ketemu keluarganya dulu. Ada yang mau saya sampaikan." Elvina kembali ke nurse station begitu mendapatkan persetujuan dari Prof. Dito. "Oke, Dok." Perawat yang dipanggil Heni itu segera meraih microphone untuk mengumumkan permintaan Elvina tadi. Di ruang Neonatal Intensive Care Unit atau NICU ini tidak boleh sembarang orang masuk. Ada jam dan prosedur tertentu karena bayi adalah makhluk yang paling mudah terkena infeksi. Dan tentu tidak ada seorang pun yang ingin ketika keluar rumah sakit justru memiliki tambahan penyakit. "Permisi, Dok." Elvina mengangkat wajahnya dari map di hadapannya. Ia tertegun. Tapi masker yang hanya memperlihatkan kedua matanya berhasil menutupi ekspresi takjubnya. Elvina berdehem menetralkan keterkejutannya. "Keluarganya bayi Ny Jihan?" Lelaki bertubuh jangkung itu mengangguk. Segera Elvina mempersilakan duduk. Selama satu minggu bayi prematur itu ia rawat sekalipun ia tak pernah bertemu lelaki ini. Laki-laki bertubuh atletis dengan tampilan yang sangat santai. Celana jeans dan kaos oblong. Ditambah dengan wajah yang memiliki garis tegas membuatnya tampak sangat maskulin. Ah, satu lagi, kacamata yang bertengger di hidung macungnya itu menambah kesan smart. Elvina menyadari kelancangannya meneliti wajah laki-laki yang baru saja ia lihat. Buru-buru ia berdehem dan kembali ke map di hadapannya. Siapa laki-laki ini? Suami Bu Jihan, kah? Jika iya, pantas lah karena Istrinya juga cantik. Jika tidak, lalu siapa? Elvina tak bisa untuk tidak penasaran. "Hmmm suami Bu Jihan? Pak...Ivan?" pertanyaan basa basi demi menjawab rasa penasaran Elvina pun terlontar. "Iya, Dok." Elvina mengangguk-angguk mendengar jawaban laki-laki berhidung bangir itu. Apa yang kau harapkan, El? Otaknya menegur sang hati yang sedari tadi mengagumi ketampanan dan kemaskulinan lelaki yang ternyata Ayah dari pasiennya. "Bayi Bapak sudah boleh pulang. Tapi ada beberapa yang harus diperhatikan." "He'em. Jadi bagaimana, Dok?" Laki-laki berkacamata itu mencondongkan tubuhnya. Siap mendengarkan petuah dari dokter. "Bayi prematur butuh perhatian lebih daripada bayi yang lahir cukup bulan. Bayinya harus tetap dapat ASI sesering mungkin, tiap laper segera disusui saja. Lalu jangan terlalu banyak dicium, kita ini membawa banyak kuman dan bayi prematur jauh lebih rentan terkena infeksi. Ada baiknya cuci tangan dulu sebelum gendong atau apapun yang membuat ada kontak dengan bayi." Laki-laki itu menatap Elvina sambil mengangguk-angguk. Ia tidak berkata sepatah pun. "Oh iya, kemarin bayi bapak kan juga sempat difototerapi karena bilirubinnya tinggi, hari ini bilirubinnya sudah normal. Karena bayi premature rentan kuning, jadi harus rajin dijemur ya, Pak." Elvina memberikan penjelasan panjang lebar mengenai perawatan bayi prematur. Sesekali ia menunduk dan berdehem menetralkan kegugupannya akibat pesona laki-laki yang tampak tak terusik dengan ke-salah tingkah-an Elvina. "Mengerti, Pak?" tanya Elvina mengakhir penjelasannya. "Iya, Dok." Jawabnya sembari tersenyum yang membuat Elvina menahan napas. Sadar, El, sadar! Ini suami orang! Batinnya sibuk menyadarkan. "Ehem! Sudah selesai, Pak." Elvina tersenyum di balik masker. "Oh, iya! Terima kasih, Dok." Laki-laki itu segera beranjak dari kursinya dan berlalu. "Oh, iya. Perlu kontrol lagi nggak, Dok?" Ia kembali ke hadapan Elvina setelah sebelumnya hampir mencapai pintu. "Oh iya saya lupa. Kontrol lagi seminggu ya, Pak. Di Poli Bayi." Dari tempat Elvina duduk, lelaki yang baru keluar dari ruangannya itu tampak berbincang santai dengan seorang wanita yang ia kenal sebagai Jihan. Ibu dari bayi premature yang ia rawat. Mereka terlihat sangat serasi. Cantik dan tampan. El...El... Hampir saja kau bertindak kriminal dengan mengagumi suami orang. Ia tertawa dalam hati lalu beranjak kembali ke ruang NICU. Bayi-bayi mungil sedang menunggunya. *** Pukul 06.00.. Elvina melempar tas dan jas dokternya sembarangan. Mengikat rambutnya asal lalu menjatuhkan diri ke kasur tanpa melepas kaos kakinya. Ia lelah sekali. Bukan hanya fisik, batinnya juga. Tanpa sadar, setetes air matanya jatuh. Diikuti tetesan berikutnya yang semakin ramai berjatuhan. Hampir 24 jam ia menghabiskan waktunya di Rumah Sakit. Tidak ada waktu untuk bersantai, jalan-jalan, bahkan sekedar nonton film di atas kasur empuknya pun tak ada. Ingin rasanya menghilang sehari saja dari muka bumi. Berhenti melakukan semua rutinitas yang membuatnya muak dan hampir gila ini. Dan 2 jam lagi ia harus sudah kembali ke Rumah Sakit. Aaaarrkkhhhh!!! Drrrrrttt....drrrrrrttt... Elvina menyeka air matanya kasar. Ia menatap layar ponselnya dengan wajah lelah bercampur kesal. Tampak nama "Silvia" di tengah layar ponselnya yang terus menyala dan bergetar. Mau apa lagi perempuan ini?! Kedua alisnya bertaut. Elvina menggeser tombol berwarna merah lalu melempar ponselnya menjauh. Wanita yang selalu tampak tenang dan dewasa itu kembali berbaring dan menutup matanya dengan lengan. Ia lelah, teramat lelah. Meladeni perempuan itu akan menambah bebannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD