Levon, tak menyangka bisa melihat Nadine lagi, wanita yang tadi pagi dia berikan tumpangan. Dan sekarang bertemu kembali di sini.
Apakah ini suatu kebetulan? Atau suatu pertanda? Levon menatap intens Nadine dengan mata elangnya yang dingin.
Jika dalam sehari bertemu sampai dua kali apa bisa itu disebut suatu kebetulan? Baginya sosok Nadine berhasil membuatnya penasaran.
"Merci beaucoup," ujar Nadine saat Levon menarik tangan serta membantunya berdiri.
"Ça va?"
"Ya, aku baik-baik saja." Nadine melempar senyum. "Aku tak menyangka bisa bertemu denganmu lagi, Tuan."
Pria ini, kenapa ada di sini, bukankah ini tempat yang berbahaya bagi orang sipil?
Nadine menatap dengan hati-hati penuh selidik. Memindai dengan cepat kira-kira siapa pria yang ada di hadapannya ini.
Nadine berpura-pura limbung hingga membentur d**a Levon. Dengan cepat dia meraba tubuh pria itu untuk mencari sesuatu yang mungkin saja disembunyikan di balik baju.
Tak ada apapun di sini. Mungkin itu hanya kecurigaan saja.
"Nona, kau tak apa?" Levon memegang bahu Nadine, berusaha menegakkan tubuh ramping itu.
Levon pun melakukan hal yang sama seperti yang Nadine lakukan padanya. Dia menyentuh kaki jenjang Nadine Pengen cepat untuk memeriksa Apakah dibalik kaki jenjang itu ada senjata yang disembunyikan atau tidak?
Rupanya dia tak membawa apa-apa. Jadi dia orang biasa?
"Kepalaku sedikit berat, Tuan." Selain ahli dalam menjinakkan bom, Nadine juga ahli dalam berperan. Bahkan aktingnya tak kalah bagus dengan seorang artis terkemuka.
"Oh, jika begitu duduklah dulu, Nona." Nadine mengangguk patuh dan menurut saja saat Levon mendudukkan tubuhnya di sebuah tumpukan besi yang berserakan di sana.
"Nona, tempat ini sangat berbahaya. Ini adalah tempat lokasi peledakan bom. Apa kau tidak tahu?"
"Justru karena ini lokasi tempat peledakan bom, makanya aku kemari."
Levon menyipitkan mata mendengar cerita Nadine. Aneh saja biasanya orang akan menghindari tempat berbahaya seperti ini, tapi Nadine malah dengan sengaja datang kemari.
"Untuk apa membahayakan dirimu?"
"Saudaraku. Aku kemari untuk mencarinya. Dia hilang setelah peristiwa peledakan bom. Aku khawatir dia ada di sini," papar Nadine kembali mengarang cerita. Bahkan mukanya kini berubah menjadi panik.
Terdengar helaan napas sebelum Levon menjawab.
“Aku tidak bermaksud membuatmu sedih. Tapi semua yang hilang di tempat ini dinyatakan sudah meninggal. Lagi, tubuh mereka sudah dievakuasi semua." Levon mengucapkannya dengan datar meski tanpa ada emosi apapun.
"Aku tak percaya dengan apa yang diberitakan. Keajaiban itu bisa saja terjadi." Levon tak bisa berkata lagi, menghadapi seseorang yang berkeyakinan tinggi seperti itu.
Jujur, itu malah membuat Levon semakin penasaran pada sosok Nadine, wanita yang berbeda dari mayoritas wanita yang pernah ada.
"Tuan sendiri, jika tempat ini berbahaya, kenapa Anda kemari?" balik Nadine bertanya.
"Aku hanya kebetulan saja lewat sini karena ada urusan di sekitar sini."
Nadine kembali memindai Levon dengan cepat.
Dia orang sipil sungguhan, bukan?Jika begitu pasti dia bukan orang biasa.
Kembali Nadine merasa curiga mendengarkan penuturan Levon. Banyak sekali kebetulan yang terjadi antara dirinya dengan pria itu.
"Bos, ada seorang polisi yang terlihat di sekira tempat persembunyian kita." Mikrofon mini di telinga Levon.
Bawahannya yang melaporkan itu. Tentu saja hanya dia yang bisa mendengarkan suara itu.
"Nona, aku ada keperluan. Jika kau perlu bantuanku maka aku akan membantumu sekarang," tawar Levon sebelum dia pergi dari sana.
"Tidak. Tidak ada, Tuan. Kau boleh pergi. Sungguh aku tak kenapa-napa dan bisa kembali sendiri." Nadine tak ingin merepotkan orang yang sama untuk kedua kalinya.
Levon berbalik, bergegas pergi dari sana. Dia tak ingin para agen polisi mengetahui keberadaannya.
"Tunggu, Tuan! Aku merasa ini bukan hanya satu kebetulan saja. Mungkin Lain kali kita akan bertemu, boleh aku tahu namamu?" panggil Nadine.
"Levon." Pria itu berhenti dan berbalik selama beberapa detik hanya untuk menyebutkan namanya saja. "Dan kau?"
"Nadine." Setelah mendengar nama Nadine, maka Levon kembali berbalik. Malahan sekarang dia berlari keluar dari sana.
Dalam hitungan detik, Levon benar-benar hilang dari pandangan Nadine. Pria pemilik punggung lebar itu pergi, entah ke mana.
***
"Inspektur Nadine, apa Anda baik-baik saja?" tanya Sersan Eve setelah mereka semua kembali berkumpul di mobil yang membawa mereka tadi.
Nadine berhasil kembali sendiri tanpa bantuan siapapun. Bahkan dia juga menceritakan menemukan sebuah bom namun gagal menjinakkan.
"Aku tak apa. Ini yang aku temukan tadi di TKP." Nadine mengeluarkan selongsong peluru revolver lalu menyerahkan pada tim.
"Bagaimana dengan lainnya?" tanya salah satu agen polisi.
"Kami menemukan ini." Beberapa agen polisi menemukan barabg bukti lainya di lokasi.
"Sepertinya kita bisa menemukan pelakunya." Senyum terbit di muka salah satu agen polisi yang ikut petugas.
Tak lama kemudian mereka kembali ke markas Kepolisian Sektor Bordeaux. Karena setelah menjalankan misi pakaian mereka kotor, maka mereka pun memutuskan untuk berganti pakaian terlebih dahulu dan berkumpul lagi satu jam kemudian.
Nadine kembali ke rumah dinas yang disediakan untuknya.
"Beruntung, aku tidak apa-apa." Ia menyadarkan tubuhnya sebentar ke kursi yang ada di ruang tengah.
Sepasang bola matanya menyapu ke sekitar. Meski tadi dia sudah masuk ke rumah itu, jujur saja dia belum memeriksa semua ruangan dan memeriksa setiap detail rumah. Ia perhatikan rumah itu memang benar-benar sepi juga kosong. Hanya ada perabot rumah saja. Bahkan dia rumah dinas lainnya yang salah tak bersebelahan dengan rumah dinas yang ditempati juga kosong.
"Levon ..." Tiba-tiba saja ingatannya melayang pada sosok pria yang sudah membantunya dua kali. Takdir apa yang mempertemukan mereka? Sampai bertemu kembali.
"Entah kenapa aku punya firasat, akan bertemu denganmu lagi." Nadine masih teringat pada bagaimana mata elang itu menatapnya.
"Siapa dia sebenarnya? Aku akan mencari informasi tentang dirinya nanti."
Usai merasa lelahnya sedikit berkurang, Nadine menuju ke kamar mandi kemudian mengisi bathtub dengan air penuh plus menaburkan garam spa.
Air pada bathub berubah warna menjadi biru muda. Nadine masuk dan mulai berendam. Garam sudah melebur dengan air itu masuk ke setiap pori-pori sel kulit dan membuatnya sedikit rileks juga meredakan lelahnya. Malahan ia sampai tertidur di sana.
"Nadine ... Ibu senang kau sudah pulang, Nak." Terdengar suara ibu menyambut kedatangannya.
"Nadine, bagaimana tugasmu di kepolisian akhir-akhir ini?" tanya seorang lelaki, tak lain adalah ayahnya Nadine.
"Ayah ... Ibu ... lama sekali aku tidak berjumpa kalian. Aku sangat merindukan kalian." Nadine memeluk ayah dan ibunya bergantian.
"Nadine, jangan pernah percaya pada siapapun, terlebih pada seorang pria." Nadine dengan perkataan ayahnya.
"Ingat, kamu masih kecil." Ibu menambahkan dengan senyum khasnya.
"Apakah ini ..." Nadine ketika membuka kelopak matanya. "Ini hanya mimpi." Seketika tubuhnya meremang setelah memimpikan kedua orang tuanya.