Sembilan
"Aku akan menyentuhmu, cantik..." Bukankah luar biasa bagaimana aku bisa mendengar suaranya yang bagai tercekik karena menginginkanku? Bagaimana matanya menggelap karena gairah. Bagaimana pelan-pelan diriku pun terhanyut ke dalam jerat rayuannya...
(Elma Jacobs, 1814)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Eloise sedang membiarkan rambutnya ditata dengan cantik ke atas dan mempersiapkan diri untuk menghadiri pesta dansa yang diadakan oleh Baron Latymer. Ia melirik gaun berwarna ungu gelap yang entah bagaimana berhasil dibeli suaminya. Begitu Dunford mengutarakan maksudnya untuk mengajak Eloise menghadiri pesta dansa yang diadakan tidak jauh dari rumah keluarganya, Eloise dengan setengah hati mengiyakan. Ia tahu ini akan menjadi dansa resmi pertamanya setelah menjadi Countess of Clarendon.
Dunford tidak memaksanya, tetapi ia menyadari penuh kewajibannya sebagai seorang istri. Jadi, sekalipun lelah, Eloise mengiyakan sambil menyampaikan permintaan untuk mengenakan gaun coklatnya. Yang berakhir dengan penolakan dari Dunford dan sejam kemudian Eloise menemukan sebuah kotak mahoni diantar ke kamarnya. Eloise membukanya dan menemukan di dalamnya terdapat sebuah gaun beledu ungu gelap yang sederhana namun ketika dikenakan terlihat elegan. Untaian mutiara putih mengelilingi bagian pinggangnya, mempertegas garis pinggang Eloise yang ramping. Mau tidak mau, Eloise mengakui selera suaminya memang bagus.
Terdengar ketukan di pintu. Sebelum Eloise sempat bertanya, pintu sudah bergerak membuka, menampakkan sosok Mamanya, Lady Turner.
"Tinggalkan kami," perintah Lady Turner kaku.
Eloise menatap mamanya. "Ada apa, Ma?"
"Kenapa kau membawanya kemari?"
Eloise terkejut ketika dihadapkan ketika wajah kaku Mamanya. Wanita itu masih secantik dirinya di usia muda, dengan rambut gandum dan mata biru terang. Tidak ada satupun dari kedua ciri-ciri itu yang diturunkan kepada Eloise.
Wajar kalau Mamanya selalu saja lebih menyayangi Emilie daripada dirinya. Emilie mewarisi rambut gandum indah Mamanya, warna mata biru cerah yang bergelora seperti danau di musim semi, serta hidung aristokrat yang mungil dan runcing. Emilie adalah mawar Inggris yang sesungguhnya. Emilie selalu menjadi primadona sementara Eloise selalu menjadi wallflower, bertahan di sudut ruangan dan dijuluki Unseen Elie.
"Dia suamiku, alasan kedatangannya murni untuk tujuan sopan santun. Dia hanya ingin menyampaikan salam dan niat baiknya kepada keluarga kita, Mama..."
Sudut bibir Mamanya berkedut. Eloise mendesah dalam hati. Suasana hati Mamanya sedang buruk-buruknya, dan kedatangan Dunford memperparah semuanya.
"Aku tidak paham dengan tujuanmu..." desah wanita itu akhirnya. "Aku tidak tahan kenapa kau menikahinya. Kau bisa memilih pria lain, demi Tuhan yang baik, Elie... kenapa kau malah memilih menikah dengannya?"
"Mama paham maksudku," Eloise menatap langsung mata Mamanya, tidak berkedip sedikitpun. "Mama paham, dan Mama tahu aku harus melakukannya. Aku menikahi Dunford dengan sadar, dan aku berniat untuk menjadi istrinya."
"Kau sudah gila," desis Lady Turner dengan bibir bergetar. Tangan Lady Turner mencengkeram erat bahu Eloise dan mengguncangnya. "Kau tahu reputasinya. Kau tahu seberapa buruk pria itu, dan kau masih menikahinya? Kenapa kau malah melangkah masuk ke dalam jurang ketika kau bisa mengambil jalan memutar untuk menghindarinya? Berpisahlah! Berpisahlah dengannya, Eloise...!"
"Aku tidak bisa berpisah dengannya."
"Apa?" Iris biru mata Lady Turner terlihat membeku. "Apa dia sudah menyentuhmu? b******n itu sudah menyentuhmu?"
Eloise diam saja. Dunford belum menyentuhnya, tetapi Mamanya tidak perlu tahu kenyataan itu.
Lady Turner bergerak gelisah sebelum akhirnya menatap Eloise dan berhenti. Ia menggenggam tangan Eloise dan meremasnya. "Tenang saja," ujarnya. "Kita bisa meminta pembatalan pernikahan. Kau bisa bilang... kau mandul. Nanti setelah menikahi pria lain dan ternyata mandul, kau bisa bilang ternyata dokter yang dulu mendiagnosamu mandul melakukan kesalahan... Beberapa wanita tidak berdarah saat malam pertama mereka. Kau bisa bilang kau tidak tahu..."
Eloise menggenggam tangan Mamanya dan meremasnya erat. "Mama tahu aku akan melakukan hal yang diperlukan, dengan caraku sendiri. Aku sudah dewasa, jadi Mama tidak perlu terlalu khawatir. Sejauh ini, Dunford berlaku penuh sopan santun dan aku bersyukur karenanya. Ini adalah jalan dan rencana yang kupilih. Aku harap Mama tidak ikut campur... demikian juga dengan Papa..."
"Elie..." desis Mamanya. "Hanya kau yang tersisa, bagaimana bisa aku membiarkanmu melangkah ke sarang macan dengan sukarela?"
Eloise memasang senyum tegar. "Hari di mana kita kehilangan Emilie, adalah hari di mana aku juga merasa aku sudah ikut mati. Katakan pada Papa, jangan ikut campur. Aku bisa melakukannya."
"Oh, Elie!" erang Lady Turner putus asa. "Jangan lakukan ini!"
"Mama," Eloise menarik nafas dan menghembuskannya. "Tenanglah, dan tersenyumlah. Bersikaplah layaknya Lady yang agung, dan berpura-puralah bahagia. Dunford sangat pintar, aku tidak mau dia semakin curiga kepada kita semua."
-OOO-
"Astaga, satu detik kudengar kau mendekati Lucille Dunne, detik lainnya kudengar kau menikahi wanita lain. Terus terang, aku berusaha tidak terkejut, tetapi bagaimana bisa? Kau menyakiti hati kami semua dengan menikah secara tiba-tiba."
Suara Baroness Latymer terdengar geli namun sorot matanya menuntut jawaban jujur dari bibir Dunford. Dunford mengelak untuk menjawab dengan cara tertawa, seolah perkataan Baroness Latymer adalah candaan dan bukannya sindiran.
"Sementara Lucille Dunne juga membuat sensasi dengan menikahi Anthony Westfield. Oh! Bayangkan! Dua orang bangsawan tampan dan kaya berganti status dalam waktu kurang dari seminggu. Bayangkan betapa banyaknya ibu-ibu yang patah hati karena gagal menikahkan putrinya dengan kalian."
Sorot mata Lady Victoria yang berdiri di sebelah Baroness Latymer memancarkan api permusuhan diam-diam ke arah Eloise yang berdiri tidak jauh dari Dunford. Dunford tersenyum kasual, jelas masih mengingat bagaimana dirinya dan Lady Victoria sempat menghabiskan beberapa malam panas bersama. Sekarang, setelah dirinya terikat pernikahan dengan Eloise, Dunford mendadak tidak lagi merasa tertarik dengan affair singkat dan nafsu membakar yang menghiasi sebagian besar malamnya dulu.
"Dan bayangkan juga wanita-wanita yang tidak bisa lagi diam-diam memimpikanmu..." sindir Baroness Latymer. "Begitu seorang pria menikah.... Wah! Semuanya mendadak berubah. Tidak ada lagi wanita yang berani mengirimkan sinyal-sinyal permainan kecuali pria itu belum beristri."
"Itu hal yang sangat bijaksana menurut saya." Eloise menoleh dan tersenyum bijaksana. "Biar bagaimana pun, kalangan ton terlalu menyukai skandal. Membuat kesalahan dan menampakkan ketidakrukunan pada masa awal pernikahan adalah pemandangan yang merusak mata dan menimbulkan perbincangan."
Lady lain yang berkumpul mau tidak mau mengangguk setuju dan mengakui kebenaran pendapat Eloise. "Bagaimana bisa kau berakhir dengan sang playboy, kalau begitu? Mengingat sepotong namanya saja sudah menimbulkan perbicangan dan bukan satu dua kali suamimu dulu bertindak nakal dan melakukan perbuatan yang merusak mata diam-diam..."
"Masa lalu tidak bisa diubah, tetapi masa depan bisa. Biar bagaimanapun, aku mengetahui segala konsekuensinya ketika menikahinya." Eloise tertawa. "Dan hebatnya, sampai detik ini mataku belum rusak dan telingaku belum terasa panas. Karena itu, kurasa aku sudah mengambil keputusan tepat dengan menikahinya."
Dunford melirik Eloise, tetapi gadisnya tersenyum lebar. Jadi, dia tidak salah dengar. Istri keras kepalanya baru saja memujinya sekaligus menyindirnya. Ada sesuatu yang berbeda dari sikap Eloise, jadi Dunford melirik istrinya sekali lagi karena penasaran. Sialnya, tingkahnya tertangkap oleh Baron Latymer.
"Oh! Dasar pengantin baru! Kalau kau ingin berduaan, kau bisa menepi dan memisahkan diri. Tidak ada yang akan mempermasalahkannya karena kalian sudah menikah..." sambil tertawa, Baron Latymer mendorong lembut tubuh Eloise dan Dunford ke arah balkon.
"Aku ingin pulang," ujar Eloise ketika mereka berduaan di balkon. Ada apa dengan Eloise? Pikir Dunford bingung. Pipinya merah. Matanya tampak tidak focus.
"Kau mabuk?"
"Aku minum," Eloise tersenyum dan memberikan kode dengan jari telunjuk dan jempol bertaut. "Hanya sedikit..."
"Kita pulang," ujar Dunford.
"Sebastian," Eloise menarik lengan baju Dunford, membuat pria itu berputar untuk menatapnya. "Kalau kita pulang, bisakah kau menciumku?"
Dunford tersenyum, perutnya terasa hangat karena gairah. "Aku akan menciummu sampai kau kehabisan nafas dan bergantung lemah padaku."
Eloise melangkah dan menyapukan punggung tangannya pada pipi Dunford. "Kenapa kau melihat Lady Victoria tadi?"
"Kami punya... kisah lama..." aku Dunford jujur.
"Bagaimana dengan sekarang?" tanya Eloise lagi.
Dunford menyentuh bibir Eloise dan menjatuhkan kecupan singkat ke atasnya. "Aku hanya punya kau sekarang, dan aku setengah mati ingin menyentuhmu. Hanya saja, kau belum mengijinkannya selama ini."
Eloise tersenyum. "Apakah kau sudah lelah menahan diri?"
Dunford tersenyum muram. "Aku ingin menghapus senyum kurang ajar itu dari wajahmu, manis. Ini hal serius untuk kami, para pria. Terutama pria sepertiku yang tidak biasa hidup selibat."
"Kalau begitu, jangan..." bisik Eloise. Kepalanya disurukkan di d**a Dunford. "Jangan bertahan lagi..." Eloise mendongakkan wajah dan menatap Dunford. "Sentuh aku, jadikan aku milikmu, jadikah pernikahan kita... sah..."
Dunford menangkup wajah Eloise dan menatapnya istrinya bingung. "Kau mengijinkanku menyentuhmu?"
Eloise memasang wajah cemberut. "Aku sudah membuang harga diriku dengan memintamu."
"Kau tidak bisa menarik kata-katamu lagi...." Dunford menatap Eloise dalam-dalam. Ia menarik gadisnya ke dalam pelukan sebelum mencumbu bibirnya bertubi-tubi. "Kau tidak bisa kabur dariku setelah mengundangku seperti ini. Aku akan menuntutmu sepenuhnya."
Eloise tersenyum, tampak letih sekaligus terpesona saat menatap mata biru Dunford. Perlahan, tangannya naik untuk menyentuh rambut di kening Dunford dan mengusapnya sayang. "Aku tidak mau kabur lagi..."
"Aku akan menciummu..." bisik Dunford sambil mendudukkan Eloise di salah satu selasar jendela. Mata mereka bertemu. Nafas Dunford terasa begitu dekat, membuat Eloise merasa dadanya sesak seperti dibebat erat-erat. "Sampai kau mengerang meminta lagi..."
Bibir Dunford maju dan menciumnya. Eloise mendesah. Pupil mata Dunford membesar, menyala oleh gairah. Eloise memandang mata Dunford dan merasakan dadanya tercekat.
Dunford mencium denyut di leher Eloise, merasakan gadisnya berjengit gelisah. "Aku akan menyentuhmu sampai malam berganti pagi. Walaupun kau meronta mengatakan cukup, aku tidak akan melepaskanmu sampai kau mencapai puncak bersamaku..."
Eloise menutup mata. Ia berusaha memikirkan Emilie, Mamanya, Papanya... tetapi gagal. Tidak ada satupun dari wajah keluarganya yang berdiam di benaknya. Jantungnya berdegup kencang di tempatnya ketika bibir Dunford yang dingin bergerak turun ke bahunya. Pria itu menyesap aroma Eloise dalam-dalam, membuat Eloise merasa perutnya teraduk mulas oleh antisipasi.
"Aku akan membuatmu menyesal pernah menolakku dan melarangku memasuki kamarmu, manis..."
Eloise menutup mata lagi. Ya! Ya! Ya! Dadanya bergetar oleh antisipasi. Ini semua di luar dugaannya. Bagaimana dirinya bereaksi begitu mudahnya terhadap segala macam sentuhan Dunford.
Ia memaksa pikirannya untuk menganggap Dunford mengerikan, menjijikkan, seseorang yang harus ia benci, tetapi ia tidak bisa melakukannya. Di sela-sela ciuman mereka, Eloise tidak kuasa untuk berpikir. Oh, seperti inikah rasanya? Mungkinkah, karena itulah semua wanita itu bertekuk lutut kepada pesona Dunford?
Ia menduga dirinya akan menjadi wanita terakhir yang bisa ditaklukan Dunford. Namun, bagaimana kalau ternyata ia salah? Bagaimana kalau ternyata dirinya sendiri sudah mulai terpikat dan jatuh cinta kepada sang iblis?
"Sebelumnya..." Dunford tersenyum dan melepaskan tatapan dalam-dalam ke mata Eloise. "Berdansalah sekali saja, denganku... manisku..."
>> to be continued