Delapan
Apakah mengucapkan cinta, artinya mencintai? Aku sungguh tidak tahu. Karena ketika Iblis mengatakannya, aku tidak bisa menolak untuk mempercayainya. Sekalipun dalam hatiku aku tahu, aku bukanlah satu-satunya wanita yang terjatuh ke dalam jerat pesonanya. (Elma Jacobs, 1814)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Eloise bermimpi buruk. Gadis itu bergerak-gerak gelisah, menggumamkan rentetan kalimat yang tidak jelas, nyaris seperti doa, dan kemudian terisak.
Dunford berjengit ketika menggerakkan kakinya sedikit. Luka yang dikiranya sepele ternyata cukup parah. Perlu waktu sejam lebih untuk memotong sepatu bot Dunford untuk mengeluarkan kakinya yang membengkak. Belum lagi bilur, memar, dan luka lain yang memenuhi tubuhnya karena menjadikan dirinya sebagai bantal agar Eloise mendarat dengan aman.
Dunford melirik Eloise yang tertidur ketika menjaganya. Istrinya yang dingin dan menjaga jarak kini terlihat halus, rapuh, dan terjangkau. Dunford mengulurkan tangan untuk mengusap helaian rambut Eloise. Gadisnya menggumamkan kalimat lain dan Dunford menghela nafas, lega karena dirinya tidak berimajinasi. Eloise ada di sana, dalam jangkauannya, dan yang terpenting... dalam keadaan aman.
Dunford melirik sekeliling, api perapian berpendar hangat, cahayanya menari-nari di sekeliling rambut Eloise, membuatnya terkesan magis. Langit di luar sudah gelap, dan tirai sudah tertutup sebagian. Dunford mengingatkan diri untuk meminta pelayan menutup jendela supaya Eloise tidak kedinginan. Ketika tangannya meraih bel, ia mengurungkan niat. Memanggil pelayan akan membuat istrinya terbangun.
Luka di tubuh Dunford tidak seberapa, tentu saja ia masih bisa menahan rasa sakitnya. Tetapi tadi siang, melihat raut wajah Eloise yang cemas, Dunford tiba-tiba ingin memancing simpatinya. Karena itu, ia mengaduh, menyumpah, mengerang, setiap kali dokter mengoleskan obat.
"My Lord?" bisik Dokter Abbot cemas. "Apakah saya terlalu banyak membubuhkan disinfektan kepada luka Anda?"
"Tidak," bisik Dunford cepat. Matanya melirik cepat ke arah alis Eloise yang bertaut cemas memandang luka di kakinya.
Dokter Abbot mengangguk, lalu menekan luka di lengan Dunford dengan lembut. "Argh," Dunford mulai mengerang bahkan ketika dokter Abbot belum benar-benar menyentuh lukanya.
"My Lord?" tanya Dokter Abbot bingung. "Haruskah saya berhenti...?"
"Teruskan," ujar Dunford sambil menggertakkan gigi. "Warghhh..."
Dokter Abbot menghentikan gerakan tangannya.
Eloise mengangkat wajah dan menatap wajah Dunford cemas.
"Dokter, bagaimana kalau aku saja yang membantu membersihkan lukanya?"
"My Lady, ini bukan pekerjaan yang pantas untuk Anda..." Tetapi apapun kalimat Dokter Abbot lenyap ketika melihat seringai di wajah Dunford. Ia berdehem, segera memahami keseluruhan situasinya. Pengantin baru, pikirnya sambil mengulum senyum.
Pertama kali melihat pria di depannya dibopong memasuki ruang kerjanya, Dokter Abbot sama sekali tidak menyangka pria ini punya sisi jahil di depan istrinya. Pria itu tampak luar biasa tampan dan mengerikan, nyaris seperti pembunuh berdarah dingin. Lalu tiba-tiba, di depannya terjadi drama romantis yang membuat Dokter Abbot harus menggigit lidahnya sendiri agar tidak tertawa.
"Tolong aku, Eloise..." pinta Dunford dengan tatapan memelas. Dokter Abbot hampir saja meledak tertawa seandainya ia tidak menggigit bibir bawahnya.
Dunford tahu ia bersikap kekanakan dengan menuntut perhatian Eloise, tetapi ia tidak peduli. Kapan lagi ia bisa merasakan perhatian murni dari Eloise tanpa ada sedikitpun topeng menutupi ekspresinya yang senantiasa kaku dan terkontrol?
"Kalau begitu, saya akan membersihkan luka di kakinya..."
Eloise menyentuh luka Dunford dengan hati-hati. Dunford tersenyum senang dalam hati, tetapi di luarnya, ia menunjukkan ekspresi tersiksa dan menderita. "Bagaimana? Apakah aku terlalu kuat menekan lukanya?"
"Ti-tidak..." Dunford menjawab dengan desisan. "Teruskan..." jawab Dunford sambil tersenyum menguatkan ke arah Eloise.
Eloise membalas senyuman Dunford dengan wajah muram. Ia tidak tega mendengar pria itu mengerang seharian. Setelah berpura-pura kuat di tebing, wajar kalau lukanya terasa menyakitkan karena ia sudah menahannya beberapa waktu sampai akhirnya Eloise berhasil menemukan bantuan dari para penyewa tanah di sekitar.
Eloise bahkan masih bisa membayangkan kehebohan yang tadi terjadi ketika warga mengetahui kecelakaan menimpa Earl mereka dan dengan gaduh warga berupaya sekuatnya untuk membantu sang Earl tiba di kediamannya dalam waktu cepat. Mau tidak mau Eloise mengagumi kegesitan para penyewa tanah serta para pelayan di Clarence Hall.
Eloise tidak pernah memikirkannya selama ini, tetapi... melihat dari cara para penyewa tanah menyapa dan menolong suaminya, ia tahu pria itu dihormati sekaligus disayangi. Para pelayan memperlakukan dan memandang Dunford dengan cara yang berbeda dari cara mereka memperlakukan Dowager, Ibunya.
Karena itulah, Eloise tidak bisa menghindari dirinya menarik kesimpulan bahwa mungkin Dunford tidak... sebrengsek yang dibayangkannya. Ada sesuatu dalam diri pria itu yang menarik banyak orang bersimpati dan menyayanginya.
Eloise bingung karena semua informasi ini terasa asing dan baru untuknya, pelan-pelan mengancamnya untuk kembali memikirkan semua rencana dan asumsi yang dimilikinya kepada suaminya sendiri.
"Eloise?"
"Ya?"
"Kau banyak diam..." ujar Dunford, berusaha tidak terlihat menyelidiki.
Setiap gerakan Eloise berhati-hati dan cermat saat menyentuh lukanya. Hanya saja, gadis itu tidak menatapnya. Matanya memandang nanar, seolah menatap ke kejauhan. Dunford berani memberikan kuda terbaiknya hanya untuk mengetahui apa yang dipikirkan Eloise sekarang.
"Tidak mengapa, hanya... berpikir siapa yang bermaksud mencelakakanmu..."
Dunford terdiam. Lalu: "Bukan hanya aku," pria itu mengangkat satu tangannya yang sudah selesai dionbati dan menyentuh tangan Eloise, membelai perlahan bagian tangannya yang dibalut karena luka bakar. "Kau juga. Karena itu, kita tidak bisa tinggal di sini lagi..."
Mata Eloise bersirobok dengan Dunford. Seketika, tatapan pria itu turun ke bibirnya. Mata Eloise bergerak menutup ketika wajah Dunford mendekat. Nyaris sealami bernafas, ia membalas ciuman suaminya, sesaat melupakan kenyataan bahwa ada dokter Abbot di sana bersama mereka, juga para pelayan, serta asisten dokter Abbot sendiri.
-OOO-
Dunford mempercepat persiapan mereka kembali ke London, membuat Eloise terkejut harus berkemas dalam waktu yang sangat singkat. Hanya saja, Dunford seperti biasanya, tidak bisa ditebak, jadi Eloise tidak bisa mendebat apapun. Semenjak mengajukan tawaran pernikahan kepada Dunford, hidup Eloise selalu dipenuhi kejutan dan tidak ada yang benar-benar dipersiapkan dengan matang semenjak malam itu Dunford langsung mengiyakan rencananya dan mengajaknya berangkat ke Gretna Green. Pendeknya, hidup Eloise tidak pernah sama lagi sejak ia resmi menjadi Countess of Clarendon, istri Dunford.
Agaknya Dunford berusaha membuatnya senang. Walaupun pria itu memasang wajah pura-pura tidak peduli, sambil lalu ia mengatakan bahwa ia akan meminta kusir mengambil jalan memutar dan singgah terlebih dahulu untuk mengucapkan salam kepada keluarga Eloise sebelum kembali ke kediaman Dunford di pusat London.
Karena itu, ketika Eloise dengan tegas menolak rencananya, Dunford terkejut.
"Kenapa kau tidak mau menemui keluargamu? Tidakkah kau merindukan mereka?"
"Aku merindukan mereka, tetapi... Mama dan Papa tidak berada di London sekarang. Mereka berada di Perancis."
"Berada di Perancis sekarang? Pada saat Inggris baru saja memenangkan perang dengan Napoleon?"
Eloise mengatupkan bibir. Dunford menyadari ada sesuatu hal lain yang disembunyikan Eloise. Gadis itu selalu melakukan kebiasaannya kalau perlu memikirkan alasan lain untuk berbohong.
Dunford tersenyum ceria. "Jangan khawatir, Mama dan Papamu sedang berada di London. Aku sudah mengirimkan seseorang untuk menyampaikan surat dariku yang mengabarkan kedatangan kita sejak kemarin sore. Seharusnya pada saat kita tiba di sana, mereka sudah akan siap menyambut kita."
Eloise terkejut dan menatap Dunford dengan mulut menganga. "Kau sudah merencanakannya, untuk apa berpura-pura dan menanyakan apa pendapatku dalam hal ini? Kau kelihatannya sama sekali tidak menganggap pendapatku penting!"
"Aku heran," Dunford menatap dengan tidak sabar ke arah Eloise. "Rasanya ada terlalu banyak hal yang tidak kupahami darimu. Bukankah para anak perempuan biasanya sangat merindukan keluarga mereka, setengah mati ingin kembali ke keluarga mereka, terutama setelah mereka menikahi iblis sepertiku?"
Eloise mengatupkan bibir lagi.
"Kau tidak perlu memikirkan balasan atas ucapanku," Dunford mengibaskan tangannya. "Aku ingin mengenal keluargamu. Kita sudah menikah, dan sebagai suamimu, itu hal yang wajib kulakukan. Aku sudah mengambilmu dari keluargamu, setidaknya aku harus menyampaikan hormat dan rasa terimakasihku kepada Ayahmu..."
"Sungguh, ini sama sekali tidak perlu..." sanggah Eloise.
"Oho," Dunford menarik tangan Eloise. Gadis itu memekik sedikit karena di dalam kereta yang sempit, ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke pangkuan suaminya. "Itu perubahan ekspresi yang menarik..." Dunford mengelus tulang pipi Eloise dan tersenyum licik. "Kau panik. Ada apa? Bukankah kau bilang Mama dan Papamu ada di Perancis? Apa lagi kebohonganmu kali ini, Eloise?"
"Kau akan menyesal datang ke rumahku..." bisik Eloise takut. Matanya memandang Dunford dengan cemas. "Kau tidak akan ingin meneruskan pernikahan ini denganku kalau kau datang ke rumahku..."
Dunford menatap istrinya bingung. Ia meletakkan ibu jarinya di antara kedua alis Eloise yang bertaut dan memijit lembut, membuat gadis itu memejamkan mata karena bingung. "Kau terlalu banyak berpikir, terlalu banyak berasumsi, terlalu banyak memendam semua sendirian dan kemudian berbohong padaku. Aku sudah mengatakannya kepadamu, bukan? Aku akan membongkar rahasiamu satu per satu, perlahan-lahan, seperti seni menelanjangi wanita sebelum bercinta. Aku akan mengenalimu luar dalam, wanitaku yang misterius... dan kali ini, kau tidak bisa kabur dariku. Ketika kau menikahiku, kau sudah tejebak bersamaku seumur hidup. Sayangnya, aku tidak mau melepasmu..."
Mata Eloise membulat kaget. Ia menahan nafas tanpa sadar ketika tatapan malas Dunford turun ke bibirnya, membuatnya merasakan getaran antisipasi di tubuhnya.
Dunford menyentuhkan bibir mereka dengan ringan, mencumbu Eloise perlahan sampai gadis itu mengerang. "Kau menginginkannya?"
Eloise menutup mata, "ya..." bisiknya.
"Katakan please..." suara dan nafas Dunford terasa hangat di atas bibir Eloise. Menggodanya bagaikan racun.
"Please..."
"Katakan, cium aku, Sebastian..."
Eloise merenggut, tetapi tidak bisa menolak. Gairah berkumpul di perutnya, di bibirnya, di seluruh bagian tubuhnya. Dunford memijit bahunya lembut, membuat Eloise mendesah. "Cium aku, Sebastian... please..."
Dunford tersenyum, berlama-lama menggoda Eloise dengan ciumannya. Bahkan gadis itu bisa merasakan bagaimana bibir Dunford melekuk dalam senyuman kemenangan ketika melahap bibirnya dalam ciuman yang memabukkan.
-000-
Kediaman keluarga Turner bukan kediaman yang mewah. Bangunannya berkesan cukup modern, berumur tidak terlalu tua, dan kelihatannya baru saja direnovasi beberapa tahun terakhir. Lengkungan jendela besar di ruang tengah memberikan penerangan yang berlimpah di seluruh ruangan. Lady Turner dan Lord Turner menyambut kedatangan Eloise dan Dunford, lalu mengajak mereka berkumpul bersama untuk menikmati kudapan yang telah dipersiapkan untuk jamuan teh sore hari.
"Aku terkejut ketika pengumuman pernikahan dipasang di surat kabar..."
Eloise bertukar lirikan dengan Dunford. Pria itu dengan cekatan memasang kabar pernikahan mereka. Agaknya, itu semua dilakukan untuk mengamankan Clarence Hall beserta seluruh properti lainnya.
Dunford mengamati wajah pasangan suami istri itu dan menyadari bahwa Eloise mewarisi mata dan rambut coklat papanya, serta dagu mungil dan bibir dari mamanya. Hal lain yang menarik perhatian Dunford adalah betapa sambutan mereka terasa dingin.
Tentu saja, senyum yang mereka tampilkan adalah senyum terlatih yang dipasang untuk menyambut tamu terhormat. Tetapi di balik itu semua, ada pertukaran isyarat diam-diam, ekspresi yang agak kaku, dan Dunford merasa tidak disambut di sini.
Sial, umpat Dunford dalam hati. Itu jelas bukan wajah berterimakasih. Eloise bilang dia membutuhkan Dunford untuk memulihkan nama baiknya dan menghilangkan celaan wallflower dari hidupnya. Dunford memandang wajah mertuanya dan memaksakan senyum menghadapi percakapan kaku dengan keluarga istrinya. Bagian mana dari ekspresi mereka yang terlihat senang putrinya sudah berhasil menikah dengan tangkapan bagus dan berhasil menghapus celaan wallflower?
Tidak pernah sekalipun Dunford menangkap ekspresi hangat atau berterimakasih dari kedua mertuanya. Malahan, mereka menatap Dunford dengan cara yang agak aneh. Tidak asing sebenarnya, karena itu sorot mata yang sepertinya dipakai oleh Eloise pada awal-awal kebersamaan mereka. Lalu, beberapa orang lain... itu sorot mata takut, berhati-hati... dan menyimpan benci...
Sial, umpat Dunford lagi. Apakah mereka menyesali keputusan Eloise untuk menikahi pria dengan sejarah buruk seperti dirinya? Mungkin mereka membenci masa lalu Dunford yang sering bergonta-ganti wanita dalam pelukannya. Kadang, bisa beberapa kali dalam seminggu.
"Kau akan menyesal datang ke rumahku..."
Dunford tanpa sadar mengingat kalimat yang diucapkan Eloise sebelumnya. Ia memandang wajah-wajah gugup yang balas memandangnya. Dunford tertawa dalam hati. Ini teka-teki lain! Sungguh, pernikahan dengan Eloise membuatnya meraba-raba dalam kegelapan untuk mencari satu demi satu potongan teka-teki yang misterius. Ia hanya harus bersikap luar biasa menawan. Seharusnya tidak sulit, banyak wanita yang praktis sudah menjatuhkan diri di kakinya.
Dunford tersenyum. Ini akan menarik.
>> to be continued