Tujuh

1840 Words
Tujuh Iblis membuatku mengenang saat membahagiakan ketika merindukannya, dan mengubahku menjadi gadis yang tamak ketika menginginkannya. Sungguh, bukankah kebahagiaan bersifat semu? Barangkali itulah satu-satunya kebenaran yang diajarkan sang Iblis kepadaku. (Elma Jacobs, 1814) ------------------------------------------------------------------------------------- Dowager Countess of Clarendon menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. "Semua rencanaku gagal karena dia berhasil menikahi seorang gadis bangsawan..." "Kita harus melakukan sesuatu! Kau sudah terlalu yakin dia akan gagal mendapatkan seorang istri! Sekarang bagaimana? Kalau mereka mendapatkan pewaris, kita tidak akan mendapatkan warisan apapun... Tidak akan ada yang tersisa..." "Benjamin-ku sayang..." Mendadak ekspresi Dowager berubah menjadi menyeringai licik sekalipun suaranya semanis madu. "Kau sangat cerdas, mendadak memberiku ide yang luar biasa..." "Ide?" Benjamin menelengkan wajahnya, tidak memahami maksud Dowager. Wanita itu berdiri di hadapannya dan kemudian duduk di atas pangkuan Benjamin. Satu jari lentiknya naik ke bibir Benjamin dan mengusapnya lembut. "Kadang kala kau bisa begitu pintar tetapi tidak menyadarinya sendiri. Coba ulangi kalimatmu sendiri..." "Eh... yang mana? Kau terlalu yakin akan kegagalannya?" "Dasar kau sayangku yang bodoh..." Dowager tertawa genit, "Tentu saja bagian di mana mereka berdua punya kemungkinan untuk gagal membuat pewaris. Itu ide yang cemerlang..." Mata Benjamin bersitatap dengan Dowager. Ia balas tersenyum ketika akhirnya memahami jalan pikiran sang Dowager Countess yang kini mendekatkan bibir ke arah bibirnya. Sejak dulu Dowager sudah dikenal cantik dan penggoda, tak heran Earl Clarendon yang terdahulu takluk dalam jerat godaannya. "Itu ide yang brilian..." "Oh, kau memujiku..." tawa Dowager terdengar renyah. "Tetapi tentu saja, itu ide yang sempurna. Dan aku tidak akan mengulur waktu. Aku akan menjalankannya sesegera mungkin..."                                                    -OOO-   Eloise bisa memasak. Dunford mencatat satu fakta menyenangkan lagi dalam benaknya. Istrinya menolak untuk berdiam di kamar dan menghabiskan waktu dengan membaca. Ia memilih untuk pergi ke dapur dan turut serta dalam pembuatan kue yang dibutuhkan untuk jamuan sore hari. "Bagaimana?" Eloise bertanya ketika Dunford menggigit sebuah biskuit yang dihiasi gula-gula dan mengunyahnya. Wajah Dunford datar tanpa ekspresi, membuat Eloise mengerutkan kening cemas. "Apakah tidak enak? Rasanya kering? Kurang mentega? Terlalu manis?" "Astaga, kau sangat tidak percaya diri..." Dunford tertawa. Ia meraih pinggang Eloise dan menjatuhkan kecupan singkat di bibirnya. "Kita tidak sedang bermain tebak-tebakan, Sebastian!" Pertahanan Eloise mulai melonggar sejak Dunford memutuskan untuk bersikap lebih santai dan menunda untuk menjalankan malam pertama mereka. "Aku tidak paham kenapa kau tiba-tiba menciumku." "Aku berhasil menebaknya. Kau dan rasa tidak percaya dirimu..." ujar Dunford ceria. Tangannya meraih satu biskuit lagi dan menyelipkannya di antara bibir Eloise. Ia maju untuk memakan setengah biskuit itu sementara mendorong sisanya dengan lidah untuk masuk ke dalam mulut Eloise. "Kue ini enak, tetapi aku suka menikmatinya dengan cara seperti ini..." Eloise tidak bisa menahan senyum. Hatinya dicengkeram perasaan bersalah melihat senyuman Dunford begitu menawan. Ia seakan terbelah dua, separuhnya masih berniat untuk melakukan pembalasan dendam kepada Dunford... sementara setengahnya mulai melunak kepada semua kehangatan yang ditunjukkan mata biru es itu. "Astaga! Mengejutkan sekali untuk bisa menemukan seorang countess di dapur!" Sebuah suara membuat Eloise dan Dunford terkesiap menjauhkan diri. Dowager Countess memasuki dapur dengan diikuti oleh kepala dapur yang memasang wajah tertangkap bersalah. "Aku percaya pekerjaan ini agak terlalu rendah untukmu..." Selagi Dowager berkeliling untuk melihat-lihat, Eloise berdehem dan bersiap untuk menjawab sebelum tangan Dunford meraih bahunya. Pria itu yang maju dan memberikan jawaban untuknya. "Rumah ini dan segala isinya adalah milikku dan milik Eloise juga, sebagai istriku. Kurasa karena hobinya berkaitan dengan dapur, siapapun tidak berhak melarangnya menyalurkan ketertarikannya pada sesuatu. Selain itu, kegiatan Eloise di dapur juga lumayan bermanfaat untuk jamuan sore kita..." Eloise menatap Dunford, merasakan cekatan perasaan bersalah lagi di dadanya. Tanpa sadar tangannya meraih tangan Dunford, yang dibalas pria itu dengan remasan yang hangat dan kuat. "Tentu saja, aku tidak berniat untuk menyalahkan Eloise atau menghakimi hobinya. Aku sendiri juga lumayan suka menghabiskan waktu untuk kegiatan yang feminin." Suara Dowager semanis madu, dan senyumnya tampak tulus. Eloise berharap ia bisa mempercayai senyum itu, karena menurutnya senyuman Dowager terasa agak dipaksakan. Ketika Dowager sudah berlalu pergi, Dunford melihat sekeliling dan menyadari ada beberapa biskuit yang ditata begitu saja, polos, tanpa ada hiasan satupun. "Apakah aku boleh mencoba yang ini juga?" Eloise tersenyum. "Yang di sana belum selesai kuhias. Aku akan menumpuknya dengan selai strawberry dan krim yang lezat." Tatapan Eloise pindah ke panci yang berada di atas kompor yang sudah lama dimatikan. "Seharusnya sekarang sudah dingin jadi aku bisa mulai menghiasnya..." "Begitukah?" Dunford masih asyik melihat-lihat ketika suara pekikan samar Eloise terdengar. Dunford menoleh dan menyadari Eloise berdiri dengan wajah pucat dan menggenggam tangannya erat. "Astaga! Apa yang terjadi?" Dunford menghampiri Eloise dalam dua langkah panjang. Gadis itu mengernyit, dan Dunford langsung menggeram, menggendong Eloise dan praktis mendudukkan gadis itu di depan keran air. Tangan Eloise merah dan melepuh. Dunford melirik sekilas sementara membiarkan tangan Eloise berada di bawah basuhan air mengalir. Suaranya keluar seperti bentakan, dan dalam sekejap seluruh staf dapur telah berkumpul, termasuk Hobson sang kepala pelayan. "Hobson! Aku ingin kau memanggilkan pelayan, menyiapkan kotak obat, dan memanggil dokter..." Mata Dunford berpindah ke staf lainnya. "Dan aku ingin staf yang bertanggung jawab membantu Countess sebelumnya untuk maju ke depan supaya aku bisa tahu siapa yang berniat mencelakakan Countess! Tangan Eloise melepuh terbakar karena panci sialan itu, dan aku perlu menghukum siapapun yang bertanggung jawab..." Dunford terdiam ketika Eloise membisikkan sesuatu. "Aku yakin bukan mereka pelakunya, ada seseorang yang kucurigai, Dunford... kejadiannya berlalu terlalu pas setelah ia pergi..." Dunford terpekur diam, keningnya berdenyut sakit. Sialan! Apakah maksud Eloise... Dowager Countess yang melakukannya? Ia bahkan tidak yakin wanita perayu itu bisa menyalakan kompor! Pasti ada staf yang diam-diam membantunya. Pasti ada yang bertanggung jawab. Harus ada yang bisa disalahkan di sini, bukan? karena Eloise terluka... "Sa-saya My Lord..." Kepala dapur maju dan menjatuhkan diri di hadapan Dunford. "Tetapi, saya sudah memastikan semua kompor dalam keadaan mati sebelumnya ketika saya meninggalkan ruangan ini untuk Anda berdua..." "Baik," Dunford menggigit bibirnya sendiri. "Bubar dan bekerjalah seperti biasa. Sementara itu, Hobson... di mana Hobson? Kapan dokter sialan itu datang?"                                                                  -OOO-   Eloise menatap Dunford yang meletakkan nampan di atas pangkuannya dan mulai mengaduk sup. "Apakah kau tidak makan bersamaku?" "Aku akan makan nanti..." Dunford meniup sup beberapa kali sebelum menyuapkannya ke bibir Eloise. Pipi wanita itu merona merah ketika menerima sup yang disuapkan Dunford. Rasanya semua ini... agak terlalu intim baginya. Dunford tersenyum ketika Eloise hanya pasrah menerima suapan demi suapan ke bibirnya. "Kenapa kau pendiam hari ini?" "Tidak mengapa," Eloise mengedikkan bahu. "Hanya tidak menyangka kau akan begini perhatian padaku..." "Tentu saja, aku kan suamimu yang memesona dan menawan..." Eloise memutar bola matanya. Seolah ia akan percaya begitu saja. Dunford kelihatannya suka mencium, dan Eloise beberapa kali membiarkan pria itu melakukannya. Sebagian karena Dunford memenangkan pertaruhan mereka, sebagian karena Eloise tidak membenci rasa Dunford di atas bibirnya. Tidak membenci bukan berarti menyukai. Mengucapkannya dengan cara seperti itu meringankan rasa bersalah Eloise sedikit. "Aku belum menemukan bukti bahwa orang itulah pelakunya," bisik Dunford dengan wajah sedih. Eloise tersenyum. "Lukanya tidak seburuk itu." "Dia membuatmu terluka...." Sorot mata Dunford yang serius membuat Eloise terdiam. Seolah ada sesuatu yang kuat dan hangat mencengkeram hatinya. Sementara di sisi lain, sesuatu di kepalanya berteriak menolak dan berulang kali mengingatkannya untuk tidak melupakan tujuan utamanya menikahi pria di depannya. Untuk membalas dendam.                                             -OOO-   "Apakah kau akan pergi?" Eloise bertanya ketika melihat Dunford tampil dalam pakaian berkudanya, tampak sangat tampan sekaligus ekspresinya begitu muram. "Aku akan menemui penyewa tanah..." Ekspresi Eloise berubah gembira. "Apakah kau akan keluar? Bolehkah aku ikut denganmu?" Dunford menggeleng ketika Eloise dengan bersemangat menunjukkan kondisi tangannya. "Aku sudah sembuh, sungguh. Jadi, akan sangat menyenangkan kalau aku bisa ikut denganmu..." Dunford semula hendak menolak lagi, ketika tiba-tiba sebuah ide terbersit di kepalanya dan menjadikan senyum berbahaya kembali muncul di wajahnya. Eloise mengernyit memandang senyuman malas yang Dunford tampilkan. "Kau boleh ikut, tentu saja... dengan satu syarat..." Dunford bertindak licik, tetapi sejauh ini, ia puas dengan hasilnya. Eloise menggunakan pakaian berwarna hijau jamrud, begitu kontras dengan warna rambutnya, dan membuat gadis itu terlihat lebih menarik daripada biasanya. Kulit Eloise terlihat putih sementara warna rambutnya terlihat menyala. Eloise menghabiskan sepanjang waktunya melihat ke luar jendela ketika tidak sedang menemani Dunford untuk menemui penyewa tanah mereka dan berbincang. Eloise diberkati keanggunan natural dan pembawaan diri yang baik. Gadis itu memperkenalkan diri dengan elegan dan membuat sederetan penyewa menyuarakan kekaguman mereka atas keberhasilan Dunford mendapatkan istri yang baik. Sisanya, Eloise menolak berbincang untuk sopan santun dengan Dunford di kereta. Ia merajuk, tampaknya, karena Dunford mengajukan syarat Eloise harus mengenakan gaun yang dipilihkan Dunford kalau ia berkeras ingin ikut. Eloise menurut, tetapi sepanjang siang, ia bahkan tidak berselera untuk berbasa-basi dan bercakap-cakap dengan suaminya selain di depan para penyewa mereka. Dunford menghela nafas lelah. Ia sempat berpuas diri karena mengagumi penampilan istrinya sendiri, namun sekarang... mendadak ia tidak yakin sudah memaksakan kehendaknya kepada Eloise. Kereta berguncang, membuat Eloise terlonjak dan menatap was-was ke mata Dunford. Dunford mengetuk atap kereta, terkejut ketika tidak ada jawaban dari sais kereta. Ia menarik tangan Eloise dan bersiap untuk melompat keluar bersama gadis itu. "Kau gila! Melompat?" "Ya!" Dunford menjulurkan kepala dan menyadari dengan panik bahwa kereta mereka bergulir dalam kecepatan tinggi kea rah lembah. "Aku akan melindungimu." "Ada apa? Mana saisnya!?" Tetapi apapun teriakan Eloise teredam saat Dunford menarik tubuhnya dan memeluknya, lalu mereka melompat Bersama keluar dari kereta. Eloise menutup matanya, membayangkan semua kemungkinan buruk yang bisa terjadi.    Beberapa saat kemudian, saat membuka mata, Eloise menyadari dirinya berada dalam dekapan Dunford. Kepalanya di bahu pria itu, posisi tubuhnya praktis berada dalam pangkuan Dunford sementara satu tangan Dunford menepuk pipinya lembut. "Kau sudah sadar!" seru suaminya kalut. "Astaga, apakah kau terluka?" "Tidak, aku..." Eloise menarik nafas ketika Dunford menyentuh pipinya dengan lembut, "Aku tidak apa-apa... Sebaliknya... apakah kau tidak apa-apa, Sebastian?" Dunford tersenyum dan melepaskan Eloise. "Aku tidak paham apa yang terjadi," keluh Dunford. Ia menunjuk sebuah jasad yang terbaring tidak jauh dari lokasi mereka jatuh. Eloise terkesiap ngeri saat menyadari bahwa sosok itu adalah sais kuda mereka. "Ada yang menginginkan kita mati, jadi mereka membunuh sais kita..." "Mereka?" ulang Eloise tidak paham. "Berapa orang?" Dunford menghela nafas. "Aku b******n, jadi aku tidak tahu siapa saja yang berniat membunuhku. Aku harus mulai mengumpulkan bukti..." Sambil mendengarkan Dunford bicara, otak Eloise terus menggumamkan sejumlah nama. Dowager Countess. Suaminya. Dan aku sendiri... ingin Dunford mati. Eloise bangkit berdiri, merasakan nyeri di pundak dan tangannya yang belum lama sembuh. "Kita harus berjalan kaki kembali ke rumah..." "Baiklah, manis..." Dunford tersenyum santai, tetapi ketika ia berusaha menggerakkan tubuh, ia mengerang dengan suara tajam, nyaris seperti lolongan. Eloise berjengit ketika melihat kaki Dunford dipenuhi warna merah dan tampak lengket. "Oh, astaga! Kita harus mencari dokter!" Pria itu mungkin menggunakan tubuhnya untuk melindungi Eloise. Hati Eloise terasa ngilu saat menyadari jas Dunford ternyata robek di segala arah. "Tidak apa, aku hanya..." Sebastian mengedikkan bahu. "...tergores. Aku lebih mengkhawatirkan keadaan kudaku..." Matanya menatap ke kejauhan hutan. Kereta dan kuda mereka sudah menghilang entah ke mana. "Keadaanmu sangat buruk..." Eloise merasakan matanya perih. Tangan Eloise terangkat untuk menyentuh pipi Dunford yang tergores. Dunford masih berusaha tersenyum. "Kau bilang aku seperti iblis. Tidak ada gunanya kau menangisi iblis..." Eloise mencemooh. "Kalau begitu, kau harus menjadi iblis yang konsisten! Kenapa membuatku bingung dengan berlaku baik?" Dunford tergelak. "Mungkin si iblis ingin bertobat...?" Dunford memperhatikan bagaimana Eloise berubah menjadi pendiam. "Aku akan meminjam bahumu untuk memapahku. Kita sebaiknya pulang ke rumah dan sesegera mungkin kembali ke London... Tempat ini sudah tidak aman lagi untukmu..."   >> to be continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD