Enam
Iblis tidak mengatakan "ya", ketika ia menemukanmu menyetujui godaannya dan dengan suka rela berjalan masuk dalam rengkuhannya. Sebaliknya, ia berkata "belum, sayang... melangkahlah lebih dekat padaku..." Kemudian, tanpa sadar... kau sudah terjerumus terlalu dalam dan tidak ada jalan kembali lagi. (Elma Jacobs, 1814)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Eloise punya rahasia, pikir Dunford muram. Wanitanya turun dengan gaun terusan berwarna hitam dengan model rok yang masih sedikit melebar di bagian bawahnya, model yang sudah ketinggalan jaman. Wajar, mengingat gaun yang dikenakannya merupakan peninggalan dari Countess of Clarendon terdahulu, milik ibu kandung Dunford yang sudah lama meninggal.
Herannya, gaun itu membungkus Eloise dengan sempurna. Rambut coklatnya yang membosankan terlihat lebih bercahaya, dan kulitnya terlihat semakin putih pucat. Singkatnya, itu, dan ditambah dengan betapa ramping garis pinggang Eloise terbalut oleh gaun hitam ibunya, membuat Eloise terlihat lebih menawan daripada biasanya.
Dunford mencoba meneliti ekspresi Eloise yang tertata dan sopan, sapaannya yang penuh etika dan segala tindak-tanduknya yang dengan sempurna menampilkan keanggunan seorang Countess of Clarendon.
Dowager Countess of Clarendon yang sekarang, ibu tiri Dunford mencebik dari balik kipas yang diangkat menutupi setengah wajahnya. Jelas-jelas menutupi ekspresi malas yang ditunjukkannya diam-diam untuk menjamu anak tirinya beserta istrinya. Ia melihat Dunford dan istrinya, merasakan kegeraman karena gelar yang hampir jatuh di tangannya perlahan-lahan tergelincir lepas dari genggamannya.
Matanya menekuri istri Dunford, Eloise, yang tampak membosankan dengan rambut cokelat dan mata cokelatnya. Nyaris tidak ada yang spesial tentang gadis itu, menguatkan hipotesisnya bahwa Dunford memang menikah terburu-buru untuk mengamankan estat dan properti lainnya dari cengkraman ibu tirinya.
"Terus terang aku agak terkejut kau menikahi gadis seperti Eloise..." Dengan kelihaian seorang aktris, Dowager menatap pada Eloise dan tersenyum manis. "Kau tidak keberatan aku memanggil nama kecilmu kan, sayang? Aku senang sekali ada tamu wanita, seperti mendapatkan seorang anak perempuan..."
Eloise menekuk bibirnya dengan sopan dan berterimakasih sebelum meneruskan makannya.
"Biasanya kau menyukai wanita yang... berisi..." Eloise tidak bisa mencegah merasakan tatapan semua orang turun ke tubuhnya yang kurus dan meneliti dadanya yang tidak besar dan berisi. "Dan pirang..." Juga ke rambut cokelatnya yang membosankan. "Dan punya warna mata indah seperti biru atau hijau..." Atau mata cokelatnya yang sangat biasa-biasa saja.
"Haha..." Dunford tergelak sinis, "Aku tidak menyangka kau memperhatikan seleraku, My Lady..." sahut Dunford acuh. Ada penekanan dingin pada caranya memanggil ibu tirinya, namun wanita yang dituju berpura-pura tidak merasakannya.
"Tentu saja," Dowager menampilkan wajah cemberut namun tetap terlihat cantik. "Aku ibumu, jangan lupa itu... Tentu saja aku harus memperhatikanmu..."
"Kau memperhatikanku karena takut aku mengusirmu dari sini..." sahut Dunford ketus. Eloise ternganga melihat kejujuran Dunford dan kata-katanya yang pedas. Beruntung pria simpanan Dowager Countess sedang memiliki keperluan lain yang menjadikannya tidak dapat bergabung dalam makan malam. Eloise bisa membayangkan akan terjadi perang dingin yang lebih mengerikan seandainya pria itu duduk bersama mereka.
Dowager rupanya bukan wanita yang lemah. Ia melekukkan bibirnya sensual dan berujar dengan suara manja. "Kau membuatku takut, Sebastian anakku..." suara wanita itu manis seperti madu. "Tetapi semua orang tahu pria keluarga Clarendon tidak berumur panjang... Apalagi, kau belum punya pewaris..." Eloise menelan ludah dengan takut. Genderang perang sudah dibunyikan. Apa yang dikatakan oleh Dowager barusan terdengar seperti surat ancaman yang dihempaskan langsung ke d**a Dunford.
Eloise melihat sorot peringatan di mata Dunford. Makanan yang baru saja disuapkan ke dalam mulutnya mendadak terasa hambar dan tersangkut di kerongkongan. Mata Dowager sendiri bersinar berbahaya. Dunford berdiri, mengabaikan segala tata krama dan etiket, lalu menyambar tangan istrinya dan memaksanya ikut berdiri.
"Eloise agak tidak enak badan karena kelelahan setelah perjalanan jauh..." Eloise menatap bingung, dibalas dengan kedikan kecil dari arah Dunford. Ia mengatupkan bibirnya patuh. "Kami akan beristirahat sekarang..."
-OOO-
"Pertama-tama..." Dunford menghentikan aksinya mengacak rambut dan menatap Eloise tajam. "Kau sudah melihat semua yang terjadi, kurasa sekarang kau sudah paham situasinya."
Eloise duduk tegak di kursinya, punggungnya sekaku papan. Keningnya berkerut samar sementara keanggunan masih mewarnai sikapnya. Semua itu membuat Dunford frustrasi. Ia ingin mengguncang bahu Eloise dan memaksa gadis itu mengekspresikan diri dengan lebih jelas. Ia tidak menikah hanya untuk mendapatkan sebuah patung dingin, demi Tuhan.
"Aku butuh pewaris, dan aku butuh kau menyiapkan diri untuk menerimaku di kamarmu dalam minggu ini."
Eloise mengatupkan bibir. Kalaupun Dunford baru saja menembakkan pistol di kepalanya, istrinya itu sama sekali tidak terlihat kaget. "Aku paham. Aku akan menerimamu besok."
Dunford menghela nafas, nyaris lega. "Aku minta maaf memaksamu, kau adalah... wanita terhormat dan mungkin gagasan untuk bercinta menakutkan untukmu. Aku cukup ahli jadi aku harap aku bisa membantumu dalam prosesnya untuk bisa... menikmatinya."
Eloise mengangguk, nampaknya cukup setuju. Dunford meneruskan. "Dan aku tahu, kau menyimpan banyak rahasia dariku..."
Eloise tidak menjawab, alisnya hanya terangkat sedikit. "Kalau tidak, kau tidak akan tiba-tiba mau menikah denganku..."
"Sebastian," sela Eloise dengan nada yang manis. "Aku pernah menjawab pertanyaanmu. Aku membutuhkan gelarmu untuk menghindari pernikahan yang ditetapkan untukku..."
Dunford menghela nafas. Eloise masih saja tidak jujur. "Apa arti pernikahan kita bagimu?"
"Mendapatkan suami, memulihkan nama baikku, dan menghilangkan celaan wallflower dari hidupku. Biar bagaimanapun skandalmu, kau tetap tangkapan bagus untuk wallflower sepertiku. Selain itu, kau juga diuntungkan dengan pernikahan ini."
"Tidak, manis, bukan jawaban yang seperti itu. Aku ingin jawaban dari hatimu, yang sebenarnya."
"Itu yang sebenarnya."
"Kau sudah berbohong cukup lama. Aku ingin mendengar kejujuranmu sekarang. Apakah kau mencintaiku?"
"Apakah kau membutuhkan cinta, My Lord? Itu kata terakhir yang kuduga akan kudengar dari bibirmu."
Dunford tersenyum. "Kalau kau tidak mencintaiku, aku tidak paham kenapa kau tidak memilih pria lain yang lebih baik untuk dinikahi."
"Kenapa? Kurasa kau calon yang cukup bagus. Kau juga sama putus asa dan terdesaknya denganku. Kita sama-sama perlu menikah dalam waktu singkat."
Dunford mendesis marah. "Bagaimana mungkin pernikahan denganku bisa lebih baik daripada menikah dengan pria yang ditetapkan untukmu?"
Eloise terdiam, bibirnya mengatup. Dunford memperhatikan cara Eloise mengatupkan bibir. Gadis itu biasanya melakukannya kalau sedang berpikir keras. Berpikir untuk berbohong. "Siapa pria yang dijodohkan denganmu? Kapan kalian diharuskan menikah?"
Eloise terdiam. Bibirnya terkatup semakin rapat. Cecaran pertanyaan Dunford tidak satupun bisa dijawabnya.
"Aku butuh nama, Eloise. Kalau tidak, akan kuanggap kau berbohong."
Eloise bungkam. Dunford berpikir dalam hatinya, skakmat, ia berhasil maju selangkah. "Aku b******n, tetapi aku bersumpah ketika menikahimu aku akan melakukannya dengan benar."
Eloise mengangguk kaku. "Aku paham."
Sudut bibir Dunford terangkat misterius. Eloise tiba-tiba terlihat waspada. Dunford punya cara tersenyum yang berbeda ketika di otaknya timbul ide yang disukainya. Seperti ketika Eloise mendebatnya mengenai warna pakaian di butik. Dunford mengangguk mengiyakan protes Eloise tetapi di bibirnya tersungging senyuman malas yang sama dengan yang kini ditunjukkannya. Ini berbahaya, pikir Eloise panik. Apa lagi yang direncanakan Dunford sekarang?
"Kau tahu tidak, kau tidak perlu buru-buru menyiapkan diri untukku... kita bisa melakukan pendekatan dulu sebelum berhubungan intim nantinya. Aku percaya pada saatnya kau yang akan memohon padaku untuk menyetubuhimu..."
Pipi Eloise merona merah. Nah, itu baru ekspresi yang Dunford sukai. "Kenapa kau harus selalu berbicara dengan istilah yang... kasar?"
"Tidak kasar, hanya jujur dan lugas. Memang bukan kata yang biasa didengar lady terhormat. Tetapi apa boleh buat? Kau menikahi pria b******n, aku minta maaf pada telingamu yang cantik, tetapi lambat laun kau akan terbiasa dan mungkin..." Dunford mengedikkan bahu. "...menyukainya?"
"Aku sedikit sulit membayangkan kemungkinan itu," sahut Eloise jengah. "Kau mengajukan penawaran yang sulit... ditolak. Aku menyukainya, pendekatan yang pantas sehingga aku bisa cukup terbiasa dengan dirimu..."
Dunford menggeramkan kemenangannya dalam hati. "Aku senang kau berpikiran jernih dan setuju," senyum yang sama kembali muncul di wajah Dunford. "Aku akan menebak rahasiamu satu per satu, kita juga akan bermain dan melontarkan pembicaraan tentang diri kita. Setiap kali aku benar dalam menebak rahasia atau kebenaran tentangmu... aku akan menciummu dan kau tidak punya hak untuk menolaknya."
Kening Eloise bertaut. "Itu agak..."
"Berbahaya?" pancing Dunford jahil. "Kau takut dicium suamimu sendiri, My Lady? Anehnya aku merasa beberapa waktu lalu ada yang mengatakan kalau ia cukup menikmati ciumanku."
Pipi Eloise bersemu merah lagi.
"Baiklah, aku menerima usulmu. Itu... bisa ditolerir," ucap Eloise sambil memaksakan senyum.
"Nah, karena kau setuju, aku akan langsung memulainya."
"Tunggu..." Eloise memotong terburu-buru. "Bagaimana andilku dalam hal ini? Aku merasa tereksploitasi... bagaimana caraku membalasmu..."
"Itu sederhana, sayangku..." Dunford tersenyum kasual. "Kalau kau berhasil menebakku, kau juga boleh menciumku."
Mata Eloise membulat kaget. Dunford nyaris tersedak tawanya sendiri. Eloise dengan lugu berjalan masuk ke dalam perangkapnya. Dan Dunford sudah bersumpah dalam hati, ia akan dengan cepat mengungkap semua rahasia yang disimpan Eloise, termasuk alasan sesungguhnya kenapa gadis itu mau mengajukan lamaran pernikahan kepada Dunford.
"Kau penggemar novel romantis," Dunford berpikir sambil memiringkan kepala. "Mungkin novel gotik," ujarnya sambil berjalan mendekat kea rah Eloise. "Aku seringkali mendapatimu diam-diam meraih bukumu di kereta saat kau mengira aku sudah tertidur."
"Apa?" Pipi Eloise memerah marah. "Maksudmu... kau berpura-pura tidur?"
"Kau harus mengoreksi ucapanmu," Dunford pura-pura tersinggung. "Kau sendiri yang berasumsi aku sudah tidur dan memutuskan melakukan apapun itu yang kau mau..."
"Oh, sialan..."
Dunford terkekeh. "Seorang lady tidak mengumpat," Ia maju dan meletakkan kedua lengannya di sisi tubuh Eloise. Gadisnya yang sedang duduk di tempat tidur menatapnya kaget. Sorot matanya tanpa sadar turun ke bibir Dunford yang hanya berjarak beberapa senti jauhnya.
"Apakah aku benar, manis? Kau pembaca novel gotik?"
Kening Eloise berkerut lagi. "Bagaimana mungkin itu dianggap sebuah rahasia?"
Dunford tersenyum dan mengedikkan bahu. "Entahlah. Karena aku tahu buku itu penting untukmu? Karena kau marah aku mengetahui kebiasaanmu membacanya? Itu buku yang dicetak dengan edisi terbatas, bukan? setahuku penulisnya misterius. Seorang..." Dunford berdehem, dan Eloise langsung sadar seketika. Dunford dengan semua pengalaman cintanya, pria itu pasti punya kekasih yang juga membaca novel yang dibaca oleh Eloise. "Pokoknya aku tahu dari seseorang bahwa novel itu berisi skandal dan sesuatu tentang mencintai seorang pria yang seperti iblis. Kabarnya, penulisnya misterius dan sampai sekarang semua orang masih berupaya mengungkap siapa sosok di balik pria yang digambarkan seperti iblis."
Lengan Eloise terkulai. Ia jelas kalah. "Kau benar."
Mata gadis itu perlahan menutup ketika Dunford maju dan menyentuhkan bibir mereka. Awalnya ciumannya dimulai dengan kecupan-kecupan kecil yang lembut. Dunford menempelkan dahinya ke Eloise, matanya menatap sayu gadis itu. Ketika Eloise mengangkat kelopak matanya dan memandang balik ke es biru di mata Dunford, perutnya terasa jungkir balik. Pria itu tersenyum, nyaris tulus, membuat d**a Eloise terasa sesak dengan tidak mengenakkan.
"Kau juga seperti iblis, Sebastian..." bisik Eloise sebelum Dunford maju dan menciumnya lagi, kali ini lebih dalam. Tangannya yang semula di kiri kanan tubuh Eloise bergerak untuk mendekap wanita itu.
"Apa maksudmu kau membaca novel itu sambil membayangkan tentang diriku? Atau kau mengira akulah sosok si iblis yang digambarkan oleh si penulis?"
Keduanya, pikir Eloise. Tetapi ia tidak menjawab, hanya melekukkan senyum lemah dan menerima satu ciuman lagi dari Dunford. Eloise menahan nafas dan sesaat berhenti berpikir. Lama, malam itu, di kamarnya sendirian, ia merenung sambil menatap novel di tangannya. Dunford tidur di kamar sebelah, dipisahkan dengan pintu penghubung kecil yang tidak bisa dikunci.
Dunford tidak jahat, tidak seperti pria iblis yang sepertinya terlalu picik untuk menjadi nyata. Pria itu berusaha menampilkan semua sosok buruknya di depan Eloise, tetapi caranya mencium Eloise... membuat Eloise mendadak tidak yakin kepada dirinya sendiri. Pria itu bisa terlihat kejam, tetapi sebaliknya selama ini ia memperlakukan Eloise dengan lembut.
Apa yang semula diyakininya seolah hancur lebur perlahan-lahan.
Dunford punya mulut yang jahil, tatapan yang dingin, hati yang tidak bisa benar-benar mempercayakan kelemahannya kepada orang lain. Pria itu juga punya rahasia yang disimpan dan tidak dibaginya kepada siapapun. Benarkah iblis yang digambarkan dalam novel adalah benar Dunford sendiri?
Eloise tidak yakin. Tetapi, sumber yang diketahuinya menegaskan bahwa pria itu Dunford, bukan? Eloise harus mempercayai siapa? Ia mendesah dan meletakkan tangannya di d**a, mencoba mencari-cari jawabannya dari hatinya. Tidak ada yang terpikir, sosok pria itu... dan sosok satunya lagi... yang meminta keadilan diberikan kepadanya... yang meminta bantuannya untuk membalaskan dendam kepada sang iblis.
>> to be continued