Lima
Sang Iblis tidak menyukai penolakan. Seringkali aku salah mengartikan senyumannya sebagai pemahaman, membuatku berkali-kali terjebak dalam permainan yang ia ciptakan untukku. Ketika semua permainan itu makin menarikku ke dalam lubang dosa, aku sadar aku telah jatuh terlalu dalam ke jurang yang diciptakan oleh muslihatnya. (Elma Jacobs, 1814)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Eloise menahan nafas dan berjengit mundur ketika Dunford menutup pintu di belakangnya dan dengan senyuman percaya diri bergerak maju ke arah Eloise.
Mata Eloise memandang jubah kamar Dunford, tiba-tiba merasa takut dan terintimidasi. Apakah pria itu serius ingin bercinta dengannya? Jangan-jangan... dia tidak mengenakan apapun di baliknya.
"A-aku... aku sedang berhalangan... ada siklus bulanan..."
Dunford menarik tangannya yang terulur ke arah Eloise dan menghela nafas. "Kau berbohong karena takut tidur denganku."
Eloise menelan ludah karena dengan cepat kebohongannya ditebak oleh Dunford. Seharusnya ia tahu betapa cerdas suaminya, dan betapa sia-sianya mencoba membohongi Dunford. Pria itu jelas lebih ahli berbohong darinya sehingga dengan mudah bisa mengenali tanda-tandanya.
"Bijaksanalah, Eloise..." sahut Dunford sambil menyisir rambutnya dengan jari. "Kau tahu aku b******n b******k yang tidak bisa hidup selibat. Aku juga butuh pewaris..."
"Aku tahu," jawab Eloise. "Tetapi, aku... belum bisa melakukannya sekarang..."
"Kapan, kalau begitu?"
Eloise ternganga. "Aku... tidak tahu tepatnya kapan..."
"Aku butuh kepastian sebelum kau melihatku berakhir di pelukan pelacur..."
Eloise melotot, ia ingin sekali menampar bibir kurang ajar Dunford. "Kau memang brengsek."
"Aku pria b******k yang sedang berusaha menjadi suami yang benar, untukmu. Aku biasa bermain dengan wanita, tetapi karena kita sudah menikah sekarang, aku bermaksud untuk menghormatimu dan janji pernikahan kita. Karena itu, aku tidak akan bermain dengan wanita lain atau p*****r manapun. Tetapi keadaannya berbeda kalau kau tidak mengizinkanku menyentuhmu. Aku bukan malaikat, aku pria biasa dengan nafsu tidak biasa. Aku butuh pelampiasan."
Eloise berjengit, membuat Dunford menghela nafas lagi.
"Kau ketakutan, itu wajar. Tidak ada wanita yang menggambarkan pengalaman seksual sebagai sesuatu yang menyenangkan. Hanya saja, aku cukup berpengalaman dan percaya diri bisa membuatmu merasakannya sebagai hal yang menyenangkan juga."
"Baiklah," Eloise merapatkan bibir. "Baiklah..." ia berdiri dan merebahkan dirinya di kasur, lalu membalikkan tubuh. "Kau boleh mulai..."
"Apa?" Dunford melihat Eloise yang bergelung dalam posisi tidak wajar di depannya. Keningnya berkerut bingung. "Apa yang kau lakukan?"
Eloise bangun dengan wajah frustrasi. "Oh! Kau yang bilang butuh pewaris, aku paham, dan sekarang aku siap. Ayo lakukan itu padaku!"
"Apa..." dan sementara Dunford kebingungan, Eloise kembali menjatuhkan diri dengan posisi bergelung, melipat kaki dan kedua tangannya dirapatkan di depan dadanya. "Aku tidak paham..."
Eloise bangun. "Ini yang dilakukan ketika hewan-hewan kawin! Kau tahu, kucing... tupai... begitu pula kelinci peliharaanku."
Tawa tersembur dari bibir Dunford, membuatnya menjatuhkan kepala ke belakang dan hampir jatuh terduduk karena geli. Oh, wanitanya yang lugu. Ia jatuh terduduk di sofa dan tertawa terbahak sambil memegang perutnya yang mulai sakit.
"Oh, astaga ya Tuhan..."
Eloise bangun dari tempat tidur, yakin kalau ia melakukan kesalahan karena Dunford si iblis sudah menyebut nama Tuhan. Pipi Eloise merona merah. "Apakah maksudmu... aku salah? Kupikir manusia juga... kurang lebih sama..."
Dunford masih tergelak. Bahkan Eloise curiga ia bisa melihat air mata tersembul di sudut mata pria itu. Dunford bahkan sudah tak bersuara, tetapi bahunya masih terguncang-guncang oleh tawa.
"Dasar jahat! Dasar jahil! Aku tidak tahu! Kenapa kau malah menertawai perawan!" Eloise mengambil sebuah bantal dan mulai memukul-mukul suaminya yang masih tergelak seolah mau pingsan.
"Oh, itu..." Dunford menahan lengan Eloise yang memukulinya dan berhenti tertawa sejenak. Pandangannya beradu dengan Eloise dan sesaat itu menggigit bibir bawahnya untuk mencegah tawa lainnya keluar. "Aku minta maaf, my Lady..."
Pipi Eloise merona merah, menggoda Dunford untuk menyusurkan jemarinya di sana. "Jadi kau cukup bandel untuk mengamati bagaimana prosesnya pada hewan, hmmm?"
Eloise membuang wajah. "Aku tidak sengaja mengamatinya, bagaimana pun mereka kan peliharaanku."
Dunford meraih Eloise, dan gadis itu dengan terkejut membiarkan dirinya duduk di pangkuan Dunford. Wajah tampan suaminya berada di depannya, hanya berjarak beberapa centimeter. Apabila Dunford memajukan tubuhnya sedikit, Eloise yakin bibir mereka akan bersentuhan. Eloise tiba-tiba merasa gugup dan takut menarik nafas, seolah satu getaran kecil akan membuat Dunford menyadari betapa gugup dirinya.
"Bagaimanapun, prosesnya tidak semengerikan itu..." Dunford tersenyum dengan tatapan malas dan untuk sesaat, Eloise merasa hatinya mencelus sakit. "Hmmm... aku suka gaun tidurmu yang ini..."
Eloise cemberut. "Aku tidak bisa menemukan gaun-gaun tidurku yang lain." Tatapan curiganya berakhir di wajah suaminya yang pura-pura polos. "Apakah kau mengancam pelayan untuk memyembunyikannya?"
"Tidak," sahut Dunford, sementara itu, tatapannya turun ke bibir Eloise.
Eloise menggigit bibirnya, tiba-tiba merasa semua gerakannya menjadi terasa terlalu signifikan, aneh, dan asing. "Tidak? Apa maksudmu..."
Eloise bermaksud memberi jarak antara dirinya dan Dunford. Semua kedekatan yang terasa terlalu intim ini membuatnya sesak nafas. Namun, matanya menatap bekas luka yang ada di dekat pelipis suaminya. Tangannya bergerak naik untuk menyibak rambut yang menutupi kening Dunford. "Bekas luka apa ini?"
Dunford memalingkan wajah untuk mencium telapak tangan Eloise yang ada di wajahnya, istrinya mempunya rona pipi yang menarik, pikir Dunford. "Aku membuang baju-baju jelekmu..."
"Oh," Eloise terbelalak kaget. Percakapan dan pertanyaan apapun yang disusunnya tentang bekas luka Dunford hilang dalam sekejap. "Kau tidak seharusnya...."
"Aku benci melihatmu dalam warna-warna suram semacam itu..."
"Aku... aku belum bisa mengenakan warna lain, Dunford..."
"Sebastian," bisik Dunford sambil tersenyum.
"Sebastian..." koreksi Eloise patuh. Pipinya kembali memerah.
Ia membelai wajah Eloise dan maju untuk melumat bibirnya. Eloise menutup mata, ia tidak tahu mengapa dicium Dunford membuatnya merasa melayang dan seperti dibelai.
Tangan Dunford naik untuk menangkup dan membelai p******a istrinya lembut. Eloise kaget, tetapi mulutnya masih berada dalam buaian lidah Dunford yang ahli. Ia mendesah, membiarkan pikirannya berkelana tidak tentu arah.
Dunford merasakan puncak p******a Eloise menegang. Gadisnya yang sensitive, sama sekali tidak terbiasa dengan sentuhan pria. Lalu, selintas kalimat kembali memenuhi pikiran Dunford.
"Tidak mau... dengan yang hanya mempermainkanku..."
Dunford menghentikan aksinya mencumbu bibir Eloise. Gadis itu mengangkat wajahnya, bibirnya merah dan bengkak karena ciuman, dan rona wajahnya merah menggemaskan. Eloise tampak menggoda untuk dicicipi.
"Katakan, manis..." bisik Dunford di telinga Eloise. Gadisnya bergidik geli, dan Dunford memanfaatkan momen singkat itu untuk mengecup telinga Eloise dan menurunkan jejak ciumannya ke leher istrinya. Eloise tidak berpengalaman tetapi cara tubuhnya bereaksi membuat gairah Dunford ikut meningkat. "Apakah ada pria yang pernah berusaha memanfaatkanmu...?"
Eloise mendesah dan menggeleng. "Tidak..." suaranya kecil, nyaris berupa desahan. Tampaknya bukan hanya Dunford yang mulai kehilangan kemampuan berpikir.
"Adakah yang pernah... berusaha mempermainkanmu?" tangan Dunford memijit bahu istrinya lembut. Jarinya disangkutkan di tali gaun tidur yang terikat dekat d**a Eloise. Gerakan itu membuat Eloise menutup mata lagi.
Eloise tidak menjawab, hanya menggeleng. "Hanya kau... yang melakukan ini padaku..."
Dunford tersenyum, diam-diam merasa lega. Dan sejurus kemudian, berpikir kenapa ia harus merasa lega. Hanya saja, melihat cara Eloise menurunkan bulu matanya, bersikap penurut dan malu-malu dengan rona merah dan bibir membengkak karena ciuman Dunford... d**a Dunford dicekam hasrat kepemilikan.
Seandainya Eloise berbohong... dan ada pria lain yang melihat ekspresi Eloise semacam ini... Ekspresi yang seharusnya hanya boleh ia tunjukkan kepada Dunford.
Oh, sialan.
Dunford membuang jauh-jauh pemikiran aneh di dadanya. Bagaimana ia menjadi posesif dengan anehnya. Mungkin ini hanya karena ia sudah terlalu lama hidup selibat.
"Dunford?"
Dunford tersenyum. Ia berpikir terlalu lama. Eloise menatapnya bingung. "Aku akan menghukummu karena sudah lupa untuk memanggilku Sebastian..."
"Apa..."
Dunford mendekatkan wajahnya. Hidung mereka beradu seperti halnya tatapan mata mereka yang terkunci satu sama lain. Nafas Eloise sendiri terdengar sedikit memburu seperti nafasnya. "Aku akan menciummu lagi, manis..."
Eloise terkejut ketika Dunford menarik tengkuknya dan kembali melakukan ciuman yang menuntut di atas bibirnya. Rasanya aneh, seperti tersengat listrik. Bahkan ketika Eloise takut-takut membuka mulutnya dan membalas belaian lidah Dunford, ia bisa merasakan Dunford mengerang dan semakin posesif dengan ciumannya.
Eloise lupa berapa lama mereka berciuman karena ketika bangun, ia berada dalam pelukan Dunford, berpakaian utuh, dan dengan terkejut menyadari, Dunford kembali mengalah semalam. Mereka belum melakukannya. Dunford belum menuntut haknya atas diri Eloise.
Eloise menatap mata Dunford yang terpejam, jemarinya menyisir rambut di wajah pria itu, dan kembali menatap bekas luka dekat keningnya. Apa yang terjadi pada pria ini dulu?
Sebastian Dunford, suaminya, sebenarnya mungkin... tidak sebrengsek yang ia kira. Kesadaran itu mengguncang Eloise, membuatnya mendadak tidak yakin akan alasan yang menyebabkan dirinya nekad mengajukan lamaran pada pria di hadapannya. Membuatnya kembali mempertanyakan hati nuraninya.
-OOO-
Eloise tidak kunjung turun untuk makan malam, membuat Dunford menggerutu kesal karena kelaparan dan memutuskan untuk menaiki tangga dan menghampiri istrinya. Eloise memasang wajah kesal ketika pintunya dibuka. Ia hanya mengenakan baju dalam tipis berwarna putih, menolak mentah-mentah untuk mengenakan gaun berwarna indah yang dipersiapkan pelayan atas suruhan Dunford.
"Kenapa kau tidak turun untuk makan malam?"
"Karena aku tidak punya gaun untuk dikenakan."
"Astaga, Eloise..." Dunford mengerang. "Semua gaun itu kusediakan untukmu. Kau hanya tinggal memanggil pelayan untuk membantumu mengenakannya. Sesulit itukah menerima pemberian suamimu?"
"Bukan hanya itu masalahnya, Tuan sok tahu!" balas Eloise sama kesalnya. "Aku tidak bisa mengenakan warna-warna semacam itu! Aku... tidak bisa..."
Tepat ketika Dunford mengira Eloise akan mengutarakan alasannya, gadis itu kembali mengunci bibirnya. Dunford bersedekap, menunggu. Eloise membuang wajah, dengan keras kepala memutuskan untuk makan malam di kamar.
"Kalau kau tidak mengenakan gaun itu, aku juga akan merobek baju-baju dalammu sampai kau tidak punya pilihan. Demi Tuhan, seorang countess mengenakan baju jelek itu. Apakah kau hanya ingin membuatku kesal? Hanya ingin membuatku malu? Karena kalau ya, kau sudah berhasil."
Bibir Eloise bergetar. "Ya! Benar! Aku puas sekali membuatmu malu karena istrimu seperti pelayan. Kenapa? Kau menyesal menikahiku? Bukankah sebagai gantinya kau mendapatkan estat ini?"
"Ellie, aku tidak akan memukul wanita, jadi tolong jangan membuat kesabaranku habis. Aku lapar dan aku mengharapkan kehadiranmu di depanku saat makan malam. Kita suami istri. Kau setuju untuk bekerja sama denganku dalam hal ini."
"Aku tidak bisa... tidak dengan situasi seperti ini."
Dunford melangkah panjang dan berlutut di depan istrinya yang duduk di atas tempat tidur. "Apa masalahnya. Eloise? Kenapa kau tidak mau menerima pemberianku? Sedalam itukah kau membenciku?"
Eloise terhenyak. Sudut bibirnya kembali berkedut. Seharusnya ia memang mengiyakannya karena ya, ia membenci Dunford sekuat tenaga. Tetapi pria ini... selama ini tidak pernah mengasarinya. Di luar dugaan, mengesampingkan semua kejahilannya, Sebastian Dunford selalu berlaku lembut padanya. Pria itu mengalah, pria itu tidak menuntut haknya, pria itu tidak memaksa Eloise memuaskan hasratnya.
"Aku sedang dalam masa berkabung..." ucap Eloise akhirnya. "Aku tidak bisa, Sebastian..."
Berkabung?
Dunford menatap kedua manik mata Eloise yang bergetar dan menyadari istrinya tidak berbohong. "Siapa yang meninggal?"
Eloise bungkam. Lalu: "Kau tidak mengenalnya."
"Baiklah," Dunford menarik nafas. "Kau tidak perlu memakai warna hijau atau merah yang kupilihkan. Aku akan meminta pelayan mencarikan gaun ibuku yang sesuai untuk masa berkabungmu...."
Eloise mengangguk, yakin sepenuh hati dirinya terlihat seperti anak kecil yang baru diomeli. "Terimakasih untuk pengertianmu."
"Aku... tidak paham padamu, Eloise."
Eloise mengangkat wajah, menatap suaminya tidak paham.
"Aku suamimu, kenapa hal seremeh ini saja tidak bisa kau ceritakan padaku?"
Eloise bungkam lagi. Hanya bisikan maaf yang sekilas tertangkap di telinga Dunford.
Begitu pintu kamar tertutup, Eloise menghela nafas. Ia menghempaskan dirinya di kasur dan menatap langit-langit kamar. Beruntung Dunford tidak memaksanya menjawab pertanyaan tentang siapa yang membuat Eloise berkabung, karena Eloise tidak bisa menjawabnya. Ini tidak seremeh itu, tidak sesederhana itu sampai begitu mudahnya bagi Eloise untuk menceritakannya pada siapapun. Bahkan, ia menyesal sudah keburu mengungkapkan fakta pada Dunford bahwa ada seseorang yang meninggal dalam keluarganya. Eloise menutup mata, merasakan rasa sakit yang menusuk dadanya dan membuat matanya kembali panas.
"Aku merindukanmu... oh, aku sangat merindukanmu..." bisiknya.
>> to be continued