Empat

1861 Words
Empat Sang Iblis menatap bagai menelanjangiku dengan kedua matanya yang biru. Nafasku tertahan di d**a, terasa sesak namun dipenuhi antisipasi. Dicumbu oleh sang iblis membuatku paham mengapa dosa bisa begitu nikmat dan menggoda. Belum apa-apa, aku sudah kembali menantikan penjelahan tangannya di tubuhku, dan sentuhan bibirnya di atas bibirku. (Elma Jacobs, 1814) ------------------------------------------------------------------------------------- Eloise sangat keras kepala. Dunford sudah dua kali memijit keningnya dan mendesah lelah. Perjalanan pulang dari Gretna Green sangat melelahkan dan menyita seluruh stamina Dunford. Ia belum bercinta dengan istrinya sendiri, demi Tuhan, dan ia sangat membutuhkan pemenuhan kebutuhannya dalam waktu dekat. Hidup selibat jelas bukan pilihan cocok untuknya. Ia sudah biasa mendapatkan wanita dengan mudah di ranjangnya setiap malam. Sejak memutuskan untuk mendekati Lucille Dunne dulu, Dunford sudah mengurangi frekuensi permainannya mencari ranjang baru setiap malam karena ia tahu dengan jelas bahayanya bermain api. Ia tidak berani main wanita ketika bermaksud melamar adik Leopold Dunne. Leopold pria berbahaya, jadi Dunford tidak berani mengambil resiko. Kalau sampai Leopold tahu bahwa Dunford mendekati adiknya sementara semalam ia baru saja bercinta dengan panas di ranjang seorang janda, Leopold akan mengamuk dan hidup seorang Sebastian Dunford pasti berakhir di detik itu juga. Kapan terakhir kali ia bercinta? Sekarang ia sudah menikah, bukankah sebaiknya ia segera meminta Eloise membantunya dan memenuhi kewajibannya sebagai istri? Lagipula Dunford cukup berpengalaman untuk menjadikan pengalaman bercinta menjadi hal yang juga menyenangkan untuk Eloise. Hanya saja, momennya tidak pernah tepat. Dunford tahu Eloise pasti masih perawan, jadi ia sepertinya harus berhati-hati. Terutama karena istrinya ini bandel, keras kepala, dan sepertinya bisa mendendam berhari-hari. Dunford mendengarkan petugas toko menghampirinya takut-takut, dan ia segera bangkit dari duduknya. Dimana ia sekarang berada? Oh, ya, toko pakaian. Dunford nyaris melupakan fakta bahwa ia segera memboyong Eloise ke toko pakaian terdekat karena ia muak dengan gaun jelek yang dipakai istrinya. Karena wanita itu sudah berstatus Countess tetapi masih berpakaian layaknya orang berkabung. Warna-warna kusam itu nyaris membuat Dunford kehilangan setengah nafsunya untuk menyentuh Eloise. "Tidak! Aku tidak akan mengenakan warna itu!" Suara penolakan Eloise terdengar tegas dan bersungguh-sungguh. Dunford mengusap wajah lagi. Ia capek setengah mati dan istrinya sungguh keras kepala. Sejak melihat warna coklat rambut Eloise, Dunford dalam hitungan detik langsung bisa memutuskan warna hijau dari pedalaman hutan dan merah musim gugur akan cocok dengan istrinya. Bukan hanya menegaskan warna mata dan rambutnya, kulit Eloise juga terlihat sehat dan bercahaya mengenakannya. Herannya, wanitanya hanya berkeras mengenakan warna kusam yang membuatnya terlihat seperti wanita tua dan membosankan. Dunford tidak tahu lagi harus bilang apa. Sekali tidak, selamanya tidak. Mungkin, itu motto yang ada di kepala batu istrinya. Dunford menyelipkan tips ke tangan pelayan dan menunjuk gaun hijau di lengan kursi dan beberapa gaun lain yang masih tersimpan dalam kotak karena belum selesai dicoba. "Bungkus semuanya dan tanpa sepengetahuan Countess masukkan ke dalam kereta kami." Dunford tersenyum sambil membayangkan ketika pulang nanti dia akan membakar semua gaun jelek Eloise. Rasanya pasti akan sangat memuaskan. Kalau pelayan Eloise tidak bisa melakukannya, Dunford akan melakukannya sendiri. Bukan hal yang sulit, pikirnya sambil membayangkan bagaimana reaksi Eloise ketika mengetahui semua gaun jeleknya sudah musnah dan ia terpaksa harus mengenakan gaun pemberian Dunford. Apakah mungkin Eloise akan lebih memilih telanjang daripada mengenakan gaun-gaun itu? Well, itu adalah kemungkinan lain yang tidak kalah menyenangkan. Apapun piliihan Eloise, Dunford akan berakhir sebagai pemenangnya. "Aku tidak butuh gaun baru, aku punya banyak gaun..." protes Eloise. Iya, banyak, tetapi semuanya jelek, pikir Dunford. Tetapi, wajahnya tersenyum manis dan dengan santai ia menjawab, "Apapun maumu, manis..." Eloise menatap Dunford tidak percaya. Pipinya menggembung merah menggemaskan, dan di tubuhnya sudah kembali terpasang satu gaun jelek yang sama. Dunford tersenyum dan mengulurkan tangan untuk digandeng oleh Eloise sementara otaknya berpikir: hmm... aku bisa sekalian mencurinya pada saat Eloise mandi nanti dan sekalian membakarnya. "Kemana kita sekarang?" "Aku harus membawamu ke sebuah rumah..." senyum Dunford. "Rumahmu?" Dunford menggeleng. "Bukan, rumah Ibuku. Rumah yang kumenangkan sebagai warisanku karena kau setuju untuk menikah denganku." Eloise terkejut tetapi menutup mulutnya. Itukah alasannya Dunford setuju untuk menikah dengan siapapun? Hanya demi sebuah rumah? "Baiklah," jawab Eloise. "Hmm? Ada apa gerangan, tiba-tiba istriku menjadi penurut?" Eloise memutar bola matanya. "Tidak setiap saat juga kan aku perlu bertengkar denganmu." "Aha..." Dunford tertawa, tetapi kemudian matanya balas menatap Eloise dengan tajam. "Kau istriku, kenapa tidak bertanya padaku?" "Soal apa?" "Soal kenapa aku bersikeras mendapatkan rumah itu? Aku yakin di kepalamu bandelmu pasti ada banyak pertanyaan." Eloise memutar bola matanya. "Aku akan bertanya kalau rasa penasaranku belum terjawab saat melihat rumah itu langsung." Di luar dugaan, Dunford meraih tangan Eloise yang ada di lekukan sikunya dan memindahkannya ke dalam genggamannya. Menggenggamnya lembut. Eloise menatap suaminya kaget, tidak menyangka suaminya akan bertindak begitu... tidak biasa. Seolah ia memang peduli pada Eloise. Sesaat lamanya mereka hanya saling berpandangan, ketika tiba-tiba Dunford tersenyum dan menganguk senang. Ia melepaskan genggamannya dari tangan Eloise dan bertepuk tangan dengan ekspresi yang murni menunjukkan rasa puas. "Benar,! Tepat ekspresi seperti inilah yang kubutuhkan! Kita berdua akan terlihat seperti pasangan yang menikah karena jatuh cinta sepanjang waktu kita di rumah Ibuku. Aku senang kemampuan aktingmu bisa mengimbangiku... Dan aku juga tidak menyangka kau bisa begitu cepat tanggap untuk menyesuaikan dengan sikapku..." Eloise kehilangan kemampuannya berkata-kata. Baru saja sedetik lalu ia terkejut karena tidak menyangka Dunford bisa.... Menatapnya seperti itu. Baru saja ia bermaksud mengubah pendapatnya tentang Dunford, bahwa mungkin pria itu tidak terlalu b***t seperti yang disangkanya, dan kemudian... pria itu ternyata hanya berakting! Keterlaluan, dasar iblis, berani-beraninya! Ribuan cacimaki berkecamuk di kepala Eloise tetapi gadis itu menelan bulat-bulat semuanya dan mempertahankan ekspresinya tetap datar. "   --0000000-   Sungguh keterlaluan kalau menyebut tempat semegah dan seindah ini hanyalah sebagai "sebuah rumah". Dunford berusaha menampilkan ekspresi tidak peduli dan sambil lalu setiap menyebut rumah ibunya kepada Eloise. Tetapi, sekali pandang ke sinar mata Dunford yang menghangat tatkala roda kereta mereka bergulir memasuki gerbang besar Clarence Hall, Eloise tahu dengan pasti bahwa Dunford sangat peduli dengan rumah itu. Mungkin, dengan segenap hatinya. "My Lord..." seorang pelayan menyambut Dunford sambil menundukkan kepalanya dengan hormat. "Hobson," jawab Dunford dengan senyuman. "Apakah orang ada di rumah?" "Her Ladyship sedang pergi berkuda, My Lord..." "Ah," Dunford tersenyum. "Dengan peliharaannya?" tebaknya. Kata kasar yang digunakan Dunford untuk menyebut ibunya membuat Eloise berjengit. Eloise dengan terkejut menyadari Dunford sudah meraih tangannya dan meremasnya lembut. Eloise tidak paham, tetapi menuruti insting, ia balas meremas tangan Dunford dan menggenggamnya. Gerakan tangan mereka tidak luput dari pengamatan Hobson, yang kemudian bergerak menatap tuannya seakan memastikan. "My Lord..." Dunford mengangkat tangannya, tersenyum. "Kau tidak perlu bertanya, Hobson, siapkan kamar untukku dan istriku, Countess of Clarendon." Dunford tahu jelas, kebingungan di wajah Hobson disebabkan karena gaun jelek yang dipakai istrinya. Perjalanan singkat mereka membuat ia tidak sempat membakar baju Eloise dan memaksanya mengenakan gaun baru yang dibelinya kemarin. Eloise terlihat Lelah, mengantuk, dan sedikit berantakan. Dengan gaun jelek melekat di tubuhnya, istrinya ini kelihatan persis pelayan. Ketika Hobson sudah berlalu pergi, Dunford memasang ekspresi riangnya kembali. Hanya saja, kali ini Eloise tahu, itu adalah senyum yang dipaksakan. "Aku tidak pernah cerita, bukan? Ibu kandungku sudah meninggal. Di Clarence Hall ini, Ayahku membawa simpanannya untuk tinggal dan memadu cinta. Untung bagiku, mereka tidak punya anak. Hanya saja, keluarga besarku menuntutku memiliki istri dan menikah sebagai syarat untuk mewariskan rumah ini. Ultimatumnya dua minggu. "Senyum Dunford merekah mengerikan. "Dan kau muncul tepat sebelum ultimatumku berakhir." Eloise menatap mata Dunford, yakin ada luka yang tidak terlihat di sana, disembunyikan dengan rapi oleh si empunya. Dunford tersenyum tetapi sama sekali tidak terlihat bahagia. Rupanya itu penyebab mengapa Dunford bersikeras menginginkan rumahnya. Ia tidak ingin rumah ibunya jatuh ke tangan perempuan simpanan ayahnya. Dan mungkin... penyebab sikapnya yang buruk selama ini juga karena keadaan keluarganya yang kacau seperti sekarang. "Dunford..." "Sebastian, sayang..." koreksi Dunford. Eloise mengatupkan bibir, dan dengan dagu terangkat menjawab, "Sebastian..." "Siapa peliharaannya yang kau maksud tadi?" "Ah" Dunford tertawa. "Agaknya wanita itu kesepian setelah Ayahku meninggal, jadi dia membawa seorang pria dari dusun untuk menemaninya di sini." Eloise terkejut dan menahan nafas. Sungguh gila dan amoral! Tetapi, melihat senyuman di wajah Dunford, hati Eloise terasa pilu. "Sebastian..." "Mmm?" Dunford tersenym lagi pada istrinya. Tetapi senyumannya menghilang ketika Eloise menyentuh pipinya, nyaris di luar dugaannya. Nyaris meruntuhkan topeng riangnya. "Kau tidak perlu tersenyum, kalau kau tidak ingin melakukannya. Aku bisa paham..." "Tidak, Ellie..." Eloise terdiam. Hanya kakaknya yang memanggilnya dengan sebutan sayang semacam itu sebelumnya. Ia tidak siap kalau Dunford memanggilnya terlalu intim seperti itu. Hanya saja, kalimat yang dikeluarkan Dunford selanjutnya membuatnya merasa tiba-tiba jurang kembali terbentang di antara mereka. Panggilan nama kecil rupanya bukan apa-apa bagi Dunford. "Kau tidak tahu apa-apa... jangan bersikap seperti mengenalku." Kalimat Dunford terlalu tajam dan menusuk. Eloise menatap Dunford kaget, sementara Dunford dengan tidak nyaman membuang wajahnya ke samping. "Aku tidak bermaksud kasar, maafkan aku..." "Aku paham, aku minta maaf sudah menyinggung egomu..." "Tidak, kau tidak... menyinggungku..." jawab Dunford. "Aku hanya perlu waktu untuk menjelaskan semuanya kepadamu." Dunford tersenyum lagi, tetapi kali ini Eloise juga tahu, pria itu kembali berbohong kepadanya. Dunford tidak akan menceritakannya, mungkin karena ia malas repot-repot menjelaskannya kepada Eloise. Dunford juga tidak akan membuka luka hatinya kepada Eloise. Sekilas pandang, Dunford bahkan kelihatan ketakutan dan merasa Eloise sudah tahu terlalu banyak. Eloise merasa... Dunford pelan-pelan menarik diri darinya.   --0000000-   Eloise merasakan otot-ototnya terasa rileks dan nyaman, berterimakasih dalam hati untuk air hangat berendam yang disiapkan Hobson dengan kecepatan kilat untuknya. Pelayan berbaris menyambut kedatangan mereka, dan sebuah kamar dengan Kasur empuk sudah siap tersedia untuk digunakan. Eloise menjerit senang dalam hati ketika Dunford menyuruhnya untuk langsung tidur dan menikmati makan malamnya di kamar kalau perlu. "Sementara itu, aku akan ke perpustakaan dan mengurus beberapa dokumen..." Eloise mengangguk dan menatap punggung Dunford yang berlalu pergi. Melihat Dunford mengurus estatnya dengan cekatan membuat Eloise baru menyadari kalau suaminya itu ternyata bisa diandalkan, ternyata dia benar-benar seorang Earl. Pemikiran itu baru pertama kali terbit di otaknya, membuatnya tersenyum simpul sendiri. Eloise juga bersyukur ia tidak harus langsung menemui mertua tirinya, sekalipun sopan-santun sebenarnya mengharuskannya untuk berlaku demikian. Untuk sekarang ini, Eloise akan mematuhi instruksi Dunford karena pria itu lebih tahu segalanya tentang rumah ini. Dan selain itu, oh... Eloise merenggangkan tubuhnya. Ia sangat sangat Lelah. Pelayan masuk sambil membawa sebuah jubah tidur bulu besar berwarna merah marun. Eloise mengernyitkan dahi melihat warna yang disebut-sebut Dunford cocok untuknya di toko pakaian. Eloise tidak menyukainya. Warna merah itu digabungkan warna rambutnya membuatnya terlihat seperti w*************a liar yang murahan. Dengan sinis diingatnya, tipe wanita yang mungkin dulu dekat dengan suaminya. Eloise terkejut ketika bahan berbulu itu menyentuh kulitnya. Teskturnya lembut dan nyaman, seperti terbungkus dalam kepompong yang hangat, Eloise tersenyum sambil mengikat jubahnya dan melangkah ke tempat tidur. Ia sedang mengurai rambutnya yang basah dan menyisirnya ketika tiba-tiba dari cermin, ia melihat pintu kamarnya bergerak membuka. Eloise membalikkan badan dan bertatap mata dengan Dunford yang juga mengenakan sebuah jubah kamar yang senada. "Apa... yang kau lakukan?" "Aku baru kembali dari perpustakaan dan merasa lelah, jadi aku juga akan beristirahat." "Di sini?" di luar dugaan, suara Eloise terdengar seperti cicit ketakutan, membuat Dunford tersenyum nakal. "Dimana lagi?" Oh, sial. "Di... kamarmu sendiri?" Dunford tertawa. "Ha, Eloise, aku mandi di kamarmu. Ini kamarku." "Apa..." Eloise menahan nafas dan menelan ludah. "Tidak, kau bercanda." Mata Dunford berkilat berbahaya. "Aku suamimu, kita sudah terlalu lama menunda malam pertama kita. Melakukannya sekarang pun tidak terlalu buruk bukan?" Eloise menatap Dunford, ekspresinya murni seperti anak kecil yang ketakutan. Tetapi Dunford sudah tidak peduli. Eloise terlalu lama kabur darinya, menarik diri, bersikap seperti Dunford seorang pria kejam pemerkosa dan b******n. Well, b******n mungkin iya, tetapi Dunford bukan pemerkosa. Para wanitalah yang menyerahkan diri dan melemparkan diri ke pelukan Dunford. Dunford pun menutup pintu di belakangnya. Dan dengan senyuman percaya diri, ia bergerak maju ke arah istrinya, Eloise. >> to be continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD