Bagian 13

1012 Words
Ini adalah hari ketujuh doa bersama yang dilakukan di kediaman Hadi dengan didatangi oleh banyak para kerabat termasuk dari pihak keluarga Hadi dan juga Silvi sendiri. Tepat pada 7 hari Silvi meninggalkan dunia ini. Rasa sedih kehilangan tentu saja masih terasa sangat. Tiana bahkan mencubit tangannya berkali-kali untuk menyadarkan dirinya jika Silvi benar-benar pergi meninggalkan dunia ini. Tiana duduk di pinggiran tempat tidur menatap bingkai foto sahabatnya. "Kali ini gue benar-benar merasa kehilangan lo, Sil. Tujuh hari lo ada di dalam kubur dan gue baru merasakannya. Gue kira selama ini yang gue alami adalah mimpi, ternyata gue udah bener-bener kehilangan lo dan lo udah jauh banget." Tanpa sadar Tiana yang sangat jarang meneteskan air mata kini menangis. Benar-benar merasa terpukul kehilangan sahabatnya. Tiana berusaha untuk mengingatkan pikirannya dan menganggap jika sahabatnya masih hidup. Berbelanja dan jalan-jalan adalah salah satu cara untuk menghilangkan pikirannya. Sayangnya, tepat pada 7 hari ini, Tiana tahu jika ini memang waktunya untuk keluar dari ilusi yang diciptakan olehnya sendiri. Wanita itu mengusap air matanya. "Padahal lo sahabat gue satu-satunya yang gue punya. Gue tahu kalau Tuhan enggak sayang sama gue, makanya semua orang yang gue sayang pergi. Emak gue, kakek dan nenek gue, dan sekarang elo juga pergi ninggalin gue." Tiana terkekeh. "Gue benar-benar merasa kosong dan sendiri sekarang. Terakhir kali gue kehilangan kakek gue, gue masih ada pegangan yaitu elo. Gue yakin, lo bakalan selalu nemenin gue dan bakalan jadi sahabat gue sampai kita tua bersama. Sayang banget, gue hidup untuk tua sendiri." Tiana mengusap hidung pesek Silvi. "Gue inget lo pernah bilang kalau lo bakalan operasi hidung biar kelihatan mancung sama kayak gue. Gue bilang aja sama lo kalau hidung lo lebih bagus dari gue. Itu karena gue nggak mau lo kesakitan. Lo dengerin apa kata gue." Tiana sekali lagi menarik napas. "Sayangnya, gue jarang banget dengerin kata lo. Baru ini gue dengar permintaan lo yang buat gue akhirnya menyandang status sebagai istri dari suami lo sendiri." Rasa-rasanya Tiana ingin berteriak dan membisikan di telinga Silvi untuk segera bangun dari tidurnya. Sayangnya itu hanya angan-angan Tiana saja. Didatangi di alam mimpi pun ia sudah ketakutan setengah mati. Apalagi kalau di dunia nyata, Tiana yakin jika ia pasti akan kencing berdiri. Tidak lama kemudian pintu terbuka dan menampilkan sosok Hadi yang mengenakan baju koko berwarna putih. Pria itu melangkah mendekati tempat tidur dan menatap bingkai foto di mana wajah almarhumah istrinya berada. Dirinya juga merasa sangat kehilangan. Meski begitu ia harus kuat mengingat ada anak-anak yang butuh perhatiannya serta pekerjaan yang tidak bisa diabaikan begitu saja mengingat statusnya sebagai pemimpin di sebuah perusahaan. Belum lagi ada mahasiswa yang masih banyak membutuhkan bimbingannya. Selain sebagai pengusaha dan pemimpin perusahaan, Hadi juga berprofesi sebagai seorang dosen, itupun syarat yang diajukan pada kedua orang tuanya agar ia mengambil alih perusahaan. Cita-citanya adalah menjadi seorang pengajar namun tak bisa digapai dengan tenang mengingat Jika ia adalah anak tertua dan laki-laki satu-satunya harapan kedua orang tuanya untuk melanjutkan perusahaan mereka. "Semua orang udah menunggu di luar," kata Hadi menatap Tiana. Wanita itu segera mengusap air matanya kemudian meletakkan bingkai foto Silvi di atas nakas. "Gimana kalau mereka beranggapan yang nggak-nggak tentang saya? Misalnya, mereka bilang saya pelakor?" Tiana bangkit berdiri menatap Hadi yang berdiri tak jauh dari posisinya berada. Posisi mereka saling berhadapan sehingga membuat Tiana dapat melihat pria yang mengenakan baju koko dengan setelan celana hitam. "Semua orang udah tahu kalau kamu istri baru saya. Mereka juga tahu kalau kita menikah di depan Silvi. Nggak ada yang menjudge kamu." Hadi berkata menatap lekat mata merah wanita yang 7 hari ini menjadi istrinya. "Ya di depan kita memang nggak ada komentar. Kita nggak tahu di belakang kita mereka berkomentar seperti apa." Tiana mengangkat bahunya. "Bukannya Silvi pernah bilang kalau kamu nggak peduli omongan orang?" "Siapa yang bilang saya nggak peduli omongan orang? Saya ini orangnya gampang emosian. Dengar dikit orang ngomong yang nggak-nggak tentang saya, emosi saya langsung naik gunung. Memangnya Mas mau kalau ada keributan di 7 hari mengenang perginya Silvi?" Tiana membalas dengan suara yang agak ngegas. "Lembutkan sedikit suara kamu, Tiana. Kamu harus ingat kalau saat ini kamu sedang berbicara dengan suami kamu." "Halah. Suami karena terpaksa juga." Wanita itu menggerutu kesal kemudian segera melangkah keluar diikuti oleh Hadi yang hanya bisa menatap punggung Tiana dari belakang. Tiana mengenakan gamis berwarna putih dengan jilbab pashmina yang tidak terikat dengan baik. Sampai di luar kamar sudah ada banyak orang. Karpet khusus untuk diduduki digelar. Rasanya sangat lembut dan empuk sehingga tidak akan menyakitkan bagi orang-orang yang duduk dalam waktu yang lama. Tiana tentunya dengan penuh percaya diri menyapa tamu yang hadir meskipun ia tidak mengenali mereka sama sekali. Sampai kemudian Hadi mulai memperkenalkan Tiana pada keluarga dari pihak almarhumah istrinya. "Ini Sania, adiknya Silvi. Kamu mungkin sudah kenal dengan dia." Hadi mengenalkan Sania pada Silvi yang langsung mengulurkan tangan pada gadis itu. "Apa kabar, Sania?" Tiana menatap Sania dengan sebelah alis terangkat. "Baik, Mbak. Mbak Tiana sendiri gimana kabarnya?" Sania lebih muda 3 tahun dari Silvi dan juga Tiana. Jadinya Sania selalu memanggil Silvi dengan sebutan Mbak, sama seperti saat ia memanggil Tiana. "Seperti yang kamu lihat." Tiana mengangkat bahunya kemudian ia diperkenalkan oleh Hadi pada Kakak tertua Silvi dan juga Sania, yakni Nirwan, bersama istri dan anak-anaknya. Ada pula kedua orang tua Silvi yang menyambut tangan Tiana dengan ogah-ogahan. Mereka sebagai orang tua Silvi tentu tidak rela melihat justru sahabat Silvi yang menikah dengan Hadi bukan pula Sania. Sementara Tiana hanya tersenyum tipis menanggapi ekspresi yang ditampilkan oleh orang tua Silvi. Tidak peduli mau berkomentar seperti apa tentang dirinya karena memang ia sangat jarang berinteraksi dengan keluarga Silvi. Entahlah dari dulu Tiana memang tidak menyukai keluarga Silvi satupun. Meskipun Silvi sendiri berusaha untuk mendekatkan dirinya dengan keluarganya, namun Tiana enggan. Orang tua Silvi memang tidak menyukai Silvi bergaul dengannya mengingat Jika ia juga berasal dari keluarga sederhana yang ditinggal kedua orang tua serta harus berjuang hidup. Kedua orang tua Silvi menginginkan pertemanan anak-anaknya dengan keluarga kaya raya. Anehnya Silvi justru akrab dan berteman dengannya, membuat Tiana akhirnya luluh dan menerima Silvi untuk menjadi sahabatnya sejak mereka berada di sekolah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD