Bagian 14

1028 Words
Mamanya Hadi, menatap tidak senang pada Tiana yang menurutnya sangat tidak relevan untuk menjadi menantunya apalagi istri untuk putranya. Rasa-rasanya ia ingin sekali menggagalkan pernikahan Hadi dan juga Tiana pada malam itu. Pada kenyataannya sebelum Silvi meninggal, ia sudah mempersiapkan calon istri untuk Hadi. Tidak tahunya ia kalah start, dan justru wanita tidak dikenal inilah yang menjadi istri putranya. "Saya heran dengan Silvi. Entah di mana matanya itu kenapa bisa dia memberikan suaminya pada perempuan yang bahkan nggak dikenal." Bu Yana, wanita paruh baya yang masih menganggap jika putranya adalah anak yang harus menuruti perkataannya itu, menatap tidak suka pada Tiana yang duduk di sebelahnya. Ini demi pencitraan agar banyak orang yang menganggap Jika dirinya sudah menerima Tiana. Tentunya ini atas permintaan Hadi yang tidak ingin orang-orang beranggapan jika keluarganya memiliki banyak konflik di dalam. Terlebih lagi meninggalnya Silvi dan ia langsung mendapatkan pengganti pasti akan beranggapan jika Tiana adalah wanita tidak benar. Maka dari itu Hadi sempat meminta pada ibunya agar terlihat akrab dengan Tiana begitu juga dari pihak keluarga Silvi. Orang-orang hanya tahu apa yang mereka lihat. Tiana menggaruk telinganya yang terasa gatal mendengar bisik-bisik dari wanita yang duduk di sebelahnya. Tiana tentu saja harus menahan diri dan bersabar karena di sini masih banyak orang. Andai saja tidak banyak orang di sini, mungkin Tiana akan dengan senang hati menyumpal mulut wanita tua ini dengan kue lapis legit yang ada tepat di hadapannya. Sudah pernah dikatakan jika Tiana hidup tanpa aturan. Hidup tanpa bimbingan dan bahkan melawan orang yang lebih tua darinya juga sanggup ia lakukan. Kakeknya saja yang sudah tua bisa meninggal kena serangan jantung karena bertengkar dengannya. Yah, Tiana memang dikenal sebagai trouble maker dari dulu. Bibinya bahkan membenci dirinya karena ia menjadi penyebab meninggalnya pria tua yang berstatus sebagai kakeknya itu. Salahkan saja kakeknya yang berpikiran kolot berniat untuk menikahkannya dengan juragan tua. Saat itu Tiana melawan dan bahkan berteriak sambil menunjuk-nunjuk wajah pria tua itu. 5 menit pertengkaran pertama mereka, kakeknya itu justru memegang d**a dan jatuh di tempat. Dibawa ke rumah sakit pun nyawanya sudah tidak tertolong lagi. Ah, apalagi dengan mertuanya yang seperti ini. Kakek tua yang merawatnya sejak umur belasan tahun saja, bisa ia lawan apalagi Ibu dari pria yang tidak terlalu dikenal oleh Tiana. "Sabar, Ti. Lo harus ingat kalau ini acaranya Silvi. Ingat nggak, lo itu sering mimpi buruk didatengin Silvi. Jangan sampai karena ulah lo lawan mertuanya di acaranya, lo didatangi lagi." Tiana berucap dalam hati sambil menggesekkan jari telunjuk dan jempolnya seraya memejamkan matanya terus membatin agar tidak melayangkan tinjunya pada mulut wanita comel satu ini. Oh, Tiana ingat jika beberapa tahun yang lalu ia juga pernah meninju mulut bosnya sendiri ketika bosnya itu berniat untuk melecehkannya dan mengatakannya wanita jalang yang membuat emosi Tiana memuncak. Beruntung sekali ada CCTV yang merekam kejadian sehingga ia tidak disalahkan. Yah, meski setelah itu ia mendapat surat peringatan, untungnya ia tidak langsung dipecat sehingga ia masih bisa bekerja dan manajer tersebut dipindahkan ke cabang perusahaan lain. "Bu, lihat wajahnya seperti ingin menelan ibu hidup-hidup." Linda, adik dari Hadi ikut berbisik pada ibunya yang duduk di sebelahnya. Sementara di sebelah ibunya yang lain, Tiana duduk dengan ekspresi merenggut kesal. "Namanya juga dia nggak punya etika. Kalau aja ini nggak banyak orang, pengen banget Ibu maki-maki dia." Yana membalas sambil melirik sengit pada Tiana yang sejak tadi diam tidak memberi respon apapun. Tidak ada lagi pembicaraan keduanya karena mereka fokus pada doa dan juga orang-orang yang kini datang untuk memberi ungkapan bela sungkawa sebelum memilih untuk pulang ke rumah. Setelah rumah dirasa sepi dan hanya tinggal Ibu serta adiknya Hadi saja, baru Tiana bisa bernapas lega. Tiana langsung bergerak menghampiri Hadi yang berdiri di depan pintu mengantarkan tamu terakhir mereka. "Mas." Tiana menepuk pundak Hadi yang membuatnya tersentak kaget. "Ada apa?" Pria itu menoleh menatap istrinya dan agak terkejut ketika melihat Tiana. Tiana melipat tangannya di perut sambil menatap serius pada wajah Hadi yang agak lebih tinggi darinya. "Mas, tolong kasih peringatan sama adik dan juga ibunya Mas untuk jangan pernah mengomentari saya. Saya ini hidup tanpa aturan. Nggak ada didikan dari orang tua dan orang-orang dewasa yang bisa bimbing saya. Jadi, kalau suatu hari nanti mulut ibunya Mas robek di tangan saya, jangan pernah menyalahkan saya." Tiana mengangkat dagunya menatap pada Hadi yang membelalakkan mata ketika mendengar apa yang diucapkan olehnya. "Telinga saya ini udah panas dari tadi dengar ocehan ibu masnya yang nggak enak. Kalau aja nggak ingat ini acaranya Silvi, saya yakin mulut ibunya Mas pasti bakalan nggak semulus sekarang." Tiana perlahan mendekati Hadi. "Terus kasih tahu juga sama adiknya Mas itu, jangan sibuk mengomentari hidup saya. Lebih baik dia jaga suaminya biar nggak direbut sama perempuan lain." Kepala wanita itu mendongak ke atas menatap Hadi. "Karena dari tadi saya perhatikan mata suami adik Mas ini jelalatan. Mungkin karena istrinya sibuk ngurusin urusan orang lain makanya kurang dapat perhatian." Tiana tersenyum miring sambil melangkah mundur menatap Hadi. Wanita itu kemudian mengibaskan rambutnya yang terikat satu dan segera berbalik pergi meninggalkan Hadi yang terpaku di depan pintu. Tidak menyangka jika Tiana akan segalak ini dalam memberi peringatan padanya. Langkah kaki Tiana santai melewati Bu Yana dan juga Linda yang memelototinya. Keduanya mungkin mendengar apa yang diucapkannya pada Hadi. Tiana tersenyum miring kemudian langsung masuk ke kamar baru yang mulai malam ini akan ditempatinya bersama Hadi. Sementara kamar sebelumnya dibiarkan dan akan menjadi kenangan Hadi bersama Silvi. Tiana masuk kemudian langsung menuju lemari untuk mengambil pakaiannya. Lemari berukuran panjang itu terdapat baju-baju miliknya dan juga baju milik Hadi. Memang tidak seluas seperti kamar yang ditempati Hadi dan Silvi sebelumnya. Tapi, jelas ini jauh lebih baik daripada ia harus berada di dalam kamar milik sahabatnya itu. Tiana membuka resleting gamis yang dikenakannya dan membiarkannya melorot jatuh begitu saja. Tiana berdiri di depan lemari sambil menatap pakaian apa yang akan dikenakannya malam ini. Tidak menyadari jika pintu sudah terbuka dan tertutup. "Astaga!" Hadi yang baru saja masuk ke kamar langsung membalikkan tubuhnya ketika ia melihat punggung wanita yang hanya tertutup bagian atas dengan bra berwarna kuning dan hanya mengenakan celana dalam berwarna senada dengan bra. Sementara Tiana hanya meliriknya singkat, kemudian segera mengambil asal daster yang tersusun di dalam lemari sebelum memakainya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD