Bagian 16

1018 Words
Melepaskan kacamata yang menutupi matanya, Tiana menatap gundukan tanah merah di bawahnya. Kuburan di bawahnya memang masih sangat baru, ada bunga-bunga layu di atasnya yang langsung ia singkirkan dan ganti dengan bunga baru yang dibelinya di depan pemakaman umum tadi. "Gue nggak tahu apa tujuan lo kasih suami lo ke gue. Tapi, walaupun agak sulit bagi gue, gue akan coba terima nasib yang udah lo tentuin sendiri, Vi. Gue tahu dari dulu elo nggak akan pernah menjerumuskan gue ke jalan yang salah. Makanya dari itu, gue harap elo udah bahagia di sana dan jangan pernah datang lagi ke mimpi gue." Tiana masih dalam posisi berjongkok. "Tahu nggak, lo itu serem banget, Silvi. Gue aja sampai mau kencing rasanya mimpiin lo. Tahu diri dikit lah, udah gue turutin mau lo, berhenti kek datang ke mimpi gue." Tiana memang selalu menceritakan apapun pada Silvi. Wanita cantik itu bahkan seringkali membuat Silvi emosi karena curhatannya yang terlihat sedih di awal tapi ujungnya selalu berbelok ke arah lain. Misalnya ketika Tiana curhat mengatakan jika ada pria yang mengajaknya untuk berkencan, Tiana langsung menolaknya tegas. Maka di saat itu Silvi akan bertanya alasan mengapa Tiana menolak ajakan kencan tersebut. Jawaban simpel dari Tiana, hanya mengatakan jika pria itu sepertinya pria belok. Silvi selalu mengajarkan Tiana untuk jangan terlalu suudzon dengan orang lain. "Gimana nggak mau suuzon, tampang-tampangnya memang tampang belok, kok." Tiana menuturkan kalimat tersebut dengan santai dan acuh seolah yang dibicarakannya bukan pria tampan yang mengajaknya untuk berkencan. Meskipun mereka berpisah jarak dan waktu, pada kenyataan hubungan keduanya sangat akrab. Silvi yang selalu membiasakan diri dengan Tian yang selalu berbicara, dan Silvi yang akan selalu menasehatinya. Keduanya bersahabat dengan karakter yang tentunya bertolak belakang. "Kapan-kapan nanti gue bakalan balik buat jenguk makam Mama gue. Sebenarnya mau aja 'sih gue pindahin makam mama gue ke tempat lo, tapi gimana, makam mama gue 'kan kristen." Tiana berkata santai. Kedua orang tuanya memang menikah berbeda agama. Papanya Islam dan Mamanya Kristen. Tiana sendiri lahir dan dibesarkan dalam menganut agama kristen dan memutuskan untuk menjadi mualaf ketika ia berniat untuk menjalin hubungan serius dengan seorang pria yang berjanji akan menikahinya. Pada akhirnya pria itu menghianatinya dan Tiana tetap teguh dengan pendiriannya untuk pindah agama pada usia 22 tahun. Tidak jadi menikah dengan laki-laki Itu mungkin menurut Tiana adalah jalan terbaik yang diberikan Tuhan padanya. Maka dari itu ia menjomblo sampai sekarang dan tidak ada niat untuk menikah sama sekali. Sayangnya Silvi menggagalkan rencana dan niatnya. "Pokoknya, lo baik-baik di surga sana. Nanti gue bakalan nyusul lo dan kita di surga bareng-bareng." Tiana mengerut keningnya kemudian segera menghembuskan napasnya. "Kayaknya gue juga nggak bakalan masuk surga. Soalnya gue banyak dosanya," ujarnya, meralat ucapannya sendiri. Tiana hampir 30 menit berada di sana sebelum akhirnya ia memutuskan untuk pulang. "Gue balik dulu, Silvi. Awas aja kalau lo sampai datang ke mimpi gue lagi, gue bakal acak-acak kuburan lo. Tolong, ya? Lo tahu 'kan kalau gue ini sebenarnya penakut? Nah, dengan lo datang ke mimpi gue, lo bukannya melatih mental gue jadi kuat, tapi justru bikin gue makin takut sama lo. Gue janji bakalan jaga anak-anak lo dengan baik. Tapi, gue nggak janji bisa jadi Mama yang baik untuk mereka. Lo tahu sendiri kalau hidup gue ini serampangan, Sil. Gue masih napas sampai sekarang aja gue harus bersyukur." Tiana berdiri dari posisi berjongkok seraya menatap pada gundukan tanah di mana sahabatnya bersemayam. "Gue yang dari dulu pengen banget mati tapi nggak mati-mati. Tapi, lo yang dikasih kehidupan sempurna, malah lebih disayang dan dipanggil Tuhan duluan." "Kalau lo masuk surga, gue minta tolong sama lo buat bilang sama Allah, tolong sisain gue sedikit tempat. Masa iya di dunia gue udah menderita, matipun juga bakalan menderita." Tiana menggelengkan kepalanya kemudian segera berbalik pergi menuju area luar pemakaman. Tujuannya tentu saja untuk pulang ke rumah. Namun, dia nyaris bertabrakan dengan seorang pria yang juga sepertinya akan masuk ke area pemakaman. Tiana menurunkan sedikit kacamata yang dikenakan, menatap pria itu dari ujung kaki sampai ujung kepala. "Kalau jalan jangan melamun. Saya malas terlibat drama tabrakan," ucapnya tenang. Baru kemudian Tiana mengembalikan kacamatanya dan melangkah melewati pria yang kini tertegun melihat kehadirannya. Wanita itu tidak peduli dengan pria itu dan justru melangkah masuk ke dalam mobil. Tak berapa lama, mobil yang dikendarai Tiana melaju pergi membelah jalanan kota. Teleponnya berdering. Dilihatnya ada panggilan masuk dari Hadi membuat wanita itu merasa aneh. "Kenapa nih laki nelpon? Tumben-tumbennya." Tiana hanya menatap sekilas kemudian membiarkannya begitu saja. Tiana memang sudah bertukar nomor telepon dengan Hadi sejak 1 minggu yang lalu dan anehnya baru kali ini pria itu menghubunginya. Beberapa detik kemudian telepon kembali berdering membuat wanita itu memutar bola matanya. "Apa?" sergah wanita itu lebih dulu, menatap tajam pada jalanan. Sungguh mengesalkan dihubungi terus-menerus seperti ini. "Bisa bicaranya agak pelan sedikit? Kamu nggak lupa kalau kamu sedang bicara dengan suami kamu?" "Enggak. Habis ngapain nelpon-nelpon saya?" Tiana bertanya dengan judes. "Elle masih ada di sekolah sementara sopir yang biasa antar jemput dia mobilnya mogok di jalan. Kamu jemput Elle dan alamatnya akan saya kirim ke kamu segera mungkin. Ingat, Elle nggak akan bisa pulang sebelum kamu menjemputnya." "s**t!" Tiana tercengang saat akan membalas ucapan pria di seberang telepon tapi langsung dimatikan begitu saja. Tak lama kemudian sebuah notifikasi alamat sekolah Elle terlihat di layar. Tiana sengaja menepikan mobilnya lebih dulu. Wanita itu mengambil foto dengan mengacungkan jari tengahnya. Background kaca depan mobil dan pemandangan jalan di depan tidak dipedulikan oleh Tiana. "s**t!" Tidak lupa wanita itu mengetik kalimat tersebut dengan diakhiri tanda seru sebelum mengirimkannya pada Hadi. Tidak peduli jika saat ini ia dikatai sebagai wanita tidak punya sopan santun tapi Tiana paling tidak menyukai seseorang yang dengan seenaknya saja menyuruhnya tanpa meminta tolong. Meski begitu, Tiana tetap melajukan kendaraan roda empatnya membelah jalanan kota menuju sekolah tempat di mana Elle, anak itu menuntut ilmu. Elle bisa dikatakan anak yang baik meskipun terkadang ia harus merasakan panas telinganya ketika mendengar tangisan anak itu mencari mamanya. Tiana yang tidak tahu cara menenangkan anak kecil memilih untuk menyembunyikan dirinya sambil mengintip keluar melihat keadaan Elle apakah sudah tenang atau belum. Tiana pengecut? Tentu dirinya tidak akan mengelakkan fakta itu. _
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD