Wang membuka pintu besar di kamarku dan di depan pintu berdiri seorang pelayan yang sedang memegang telepon rumah wireless. Wang menerima terlepon itu lalu berbicara cepat dan tegas. Aku tidak mengerti sedikitpun tentang apa yang dibicarkannya. Aku tetap berdiri menunggunya selesai berbicara. Sepertinya telepon itu sangat penting. Tidak beberapa lama kemudian, Wang menutup teleponnya lalu berjalan menghampiriku. Aku tersenyum memandang dirinya yang sangat gagah dan hatiku terus berdebar. Apakah Wang ingin mengulang ciumannya. Wang semakin mendekatiku. Hatiku semakin berdebar tak menentu. Ternyata Wang hanya menuntunku untuk duduk dan berkata padaku. “ Tadi itu telepon dari perdana mentri. Kata Perdana Mentri, para pemberontak ingin berunding tapi bukan di Bhutan. Mereka ingin melibatka