Balas dendam tidak harus dilaksanakan dengan cepat. Adakalanya memulainya dengan perlahan, bisa dinikmati untuk suatu hiburan.
~~**~~
10 menit berselancar dengan computer, Robert sudah mendapatkan informasi terperinci mengenai Gauri. Gadis yang sudah menjadi kemarahan Dev pada dirinya.
“Jadi dia juga ada di sana semalam?”
Robert menunjukkan seulas senyum dengan perasaan lega, ketika melihat penampilan Gauri di acara Briyan semalam.
“Jadi ini alasan Tuan Muda mengatakan bahwa pernah mendengar nama itu sebelumnya,” gumam Robert mulai paham.
Robert menutup computer setelah sebelumnya menyalin beberapa informasi, serta salinan penampilan Gauri pada acara semalam. Tidak lupa, untuk memperkuat bukti, Robert juga telah mengambil rekaman CCTV ketika kemarin Gauri berkunjung kemari.
Robert senang, setidaknya itu bukanlah kesalahan saat ia tidak bisa mengenali Gauri. Itu karena dia tidak mengikuti penampilan keseluruhan model semalam.
Pantas saja Tuan Muda mengoleksi namanya. Aku jadi penasaran, sejak kapan Tuan dingin itu menyukai seorang model.
Robert terus menerka dalam hatinya seraya berjalan menuju ruangan Dev. Kenyataan yang sudah membuatnya hampir kehilangan kepercayaan, lantaran satu kesalahan yang matanya lewatkan. Penampilan Gauri.
“Selamat siang, Tuan.” Robert menyapa dengan raut yang segar seperti biasa.
Dev yang melihat sempat merasa heran dengan wajah Robert. Padahal baru beberapa menit yang lalu wajah Robert dipenuhi dengan ketegangan karena kemarahannya.
“Ada apa?” tanya Dev melemparkan pandangannya pada berkas yang dibawa Robert.
“Saya membawa laporan penting untuk anda, Tuan.” Robert langsung menyerahkan bawaannya.
“Apa ini?”
“Sesuatu yang sedang anda cari, Tuan.”
"Sesuatu yang aku cari?" Dev mengambil lalu mulai membuka isinya. Hal utama adalah membaca nama yang tertera di bagian paling atas.
GAURI HASNA
Nama tersebut tercetak dengan huruf tebal. Setebal Dev mencetak di hatinya sebagai suatu kepentingan teratas.
Dev memeriksa dengan seksama, membaca semua rincian tanpa meninggalkan satu kata pun.
“Anda juga bisa melihat ini, Tuan.” Robert menyerahkan ponselnya ketika melihat Dev sudah selesai membaca lembaran terakhir.
Dev mulai menonton dua rekaman yang berdampingan sekaligus. Di sebelah kiri ada penampilan Gauri saat memperagakan model semalam. Sedangkan di sebelah kanan adalah rekaman kunjungan Gauri ke perusahaannya kemarin.
Tiba-tiba Dev meningat, “Namanya, Gauri Hasna. Dia gadis berbakat yang aku sewa.” Dev ingat ketika nama itu didengarnya dari Briyan.
Kau datang sendiri membawa diri padaku, Gauri. Maka lihatlah, apa ganjaran atas perbuatanmu padaku.
Dev menyunggingkan seringai licik yang menakutkan.
“Robert, atur pertemuan dengan, Haris Sanjaya. Secepatnya!” titah Dev tidak sabar. Tidak sabar untuk mulai membalas dendam pada Gauri.
“Baik. Tuan. Saya permisi.”
Robert segera keluar, melaksanakan apa yang telah Dev perintahkan tanpa pertanyaan.
Tidak perlu membuang terlalu banyak waktu, hanya dalam sekali panggilan, Pak Haris akan secepat kilat muncul di hadapan Dev.
Benar saja, tidak memakan waktu sampai 20 menit, Pak Haris sudah tiba di perusahaan Dev.
Pihak resepsionis yang memang sudah diberitahukan akan kunjungan Pak Haris, langsung bisa mengenali pria itu melalui gambar yang dikirimkan Robert.
“Pak Haris, mari ikut saya menemui, Mr. Dev.” Gadis dengan riasan wajah natural itu menemui Pak Haris.
“Baik. Terima kasih.”
Pak Haris berjalan dengan penuh percaya diri. Tidak pernah ia duga sebelumnya, bahwa akan menerima panggilan secepat ini. Pak Haris yakin jika kedatangannya bukanlah karena bentuk suatu kesalahan, melainkan untuk kepentingan yang membawa keuntungan.
Sudah menghafal bagaimana cara kerja Dev yang sebenarnya. Pria itu kerab melakukan kekerasan dengan mengirimkan orang-orangnya bila suatu hal buruk dilakukan oleh rekan bisnisnya. Bahkan Dev bisa saja mengambil nyawa orang tersebut sebagai bentuk ancaman untuk yang lainnya.
“Kita sudah tiba, Pak.”
Pak Haris yang sedang melambung dengan pikirannya, tersentak ketika mendengar suara wanita di sampingnya. Dia benar-benar tidak sadar, jika kini sudah berada di lantai teratas. Begitu senang rasanya hingga melupakan di mana kakinya sedang berpijak sekarang. Yang tak lain adalah menuju ambang kematian.
“Maaf.” Pak Haris tanpa rasa malu keluar dari lift.
Gadis itu kembali berjalan di depan, membawa Pak Haris ke ruang tunggu.
“Mr. Dev. Pak Haris, sudah di sini.” Gadis itu menyampaikan pada Dev yang ternyata sudah berada dalam ruangan tersebut.
“Suruh masuk.”
“Baik, Mr.”
Gadis itu menoleh pada Pak Haris yang memasang senyum semringah. Bertemu dengan orang besar seperti Dev memang harus memasang tampang bahagia. Karena sedang menuju ke gudang uang. Pikir Pak Haris.
Dasar mata duitan.
“Silakan, Pak. Mr. Dev, sudah menunggu anda.”
“Baik. Terima kasih.”
Pak Haris langsung memasuki ruangan yang dituju. Saat melewati Robert, bulu kuduknya terasa merinding. Bukan karena tampang Robert yang menyeramkan, tapi karena sebuah benda tajam mematikan yang tersedia di belakang Robert.
“Haris Sanjaya.” Dev memanggil nama pria itu saat melihat ketakutan di matanya.
Baru melihat alatnya saja dia sudah begitu ketakutan. Bagaimana jika deberi sedikit bonus untuk merasakan nikmatnya hujaman senjata tersebut.
“Anda bisa duduk, Pak Haris.”
Robert ikut berbicara ketika melihat Pak Haris yang sepertinya tidak mendengar panggilan dari Dev.
Pak Haris tersentak. “I – iya, Tuan. Maaf.”
Dengan gugup, Pak Haris menduduki sofa. Duduk berhadapan dengan Dev sudah menghilangkan kenyamanan di hatinya. Kini dia sedang mengalami goncangan jiwa yang berat. Rasa takut yang begitu mengerikan.
“Haris Sanjaya?” Dev mengulang nama itu.
“I – iya, Mr,” sahut Pak Haris dengan wajah tertunduk.
“Tatap aku jika aku sedang berbicara.” Dev mengingatkan hal yang paling ia benci. Yaitu mengalihkan pandangan ketika seseorang berbicara dengannya. Karena tidak tidak bisa menemukan fakta melalui mata yang berkeliaran.
Pak Haris mengangkat wajahnya perlahan. Deg. Keringat langsung membanjiri pelipisnya yang dingin.
Percuma saja senyum semringah bila akhirnya kalah dengan tampang Dev yang lebih mengerikan dari senjata di belakang Robert.
“Kau tahu mengapa dipanggil kemari?”
Pertanyaan dengan suara dingin Dev semakin menenggelamkan rasa percaya diri Pak Haris. Mulutnya hampir tidak bisa terbuka dengan baik. Ketika sudah memikirkan kebahagiaan atas panggilan Dev, apakah kini dia masih pantas merasakan senang setelah bertatapan langsung dengan wajah yang mengerikan itu.
Tidak. Jangan berkhayal terlalu tinggi Pak Haris. Tatapan Dev belum dikatakan apa-apa.
Dev mengangkat tangannya. Robert langsung mengambil cambuk dan menempatkan dalam telapak tangan Dev yang luas.
Pak Haris menelan ludah. Dia hampir kencing di celana, jika tidak mengingat di mana ia sedang berada sekarang.
“Ngomong-ngomong, aku tidak suka bertanya untuk kedua kalinya.” Suara Dev bagai Guntur di siang hari.
“Ma – maaf, Mr. saya tidak mengetahui tujuan panggilan anda.” Pak Haris berkata dengan suara yang bergetar.
Dev mengelus cambuk raksasa dengan jemarinya.
“Kalau begitu kau akan segara tahu.”
Bruk. Pak Haris langsung menjatuhkan diri dari sofa. Terjatuh tepatnya. Kata-kata Dev seperti sesuatu arahan baginya yang harus segera bersujud.
“Ampun, Mr. Jangan hukum saya.” Pak Haris mengatupkan dua telapak tangannya seraya memohon dengan suara mengiba.
Dev tersenyum. Senyuman mematikan.
“Kenapa kau terlihat takut. Padahal aku belum memulai apapun.”
Pak Haris langsung sadar, jika kedatangannya adalah bukan untuk keuntungan, tetapi keberuntungan jika nyawa masih bisa ia bawa pulang.
Beberapa detik kemudian, terdengar pekikan diringi suara cambuk dari dalam ruangan.
Sangat miris.
~~
Cerita ini hanya tersedia di Innovel/Dreame. Jika anda menemukannya di pf lain, itu merupakan plagiat. Pencurian. Dan saya tidak mengikhlaskannya.