Bab 7

1105 Words
Tidak mudah memutuskan sebuah hubungan, apalagi tanpa alasan dalam keadaan yang baik-baik saja. Berkorban sedikit tidak mengapa, asalkan tidak memutuskan. ~~**~~ “Menikah?” Gauri langsung bangkit dari sofa, membelalakkan mata mendengar penuturan ayahnya. “Iya, ini sudah menjadi keputusan, Ayah,” sahut pria yang kini membelakanginya, berdiri menghadap jendela. “Tapi aku dan Denis belum siap, Ayah.” Gauri yang selama ini tidak memikirkan pernikahan, begitu syok dengan permintaan ayahnya. Bukannya tidak ingin menikah, hanya saja dia belum ingin melangkah ke arah sana. Terlalu dini rasanya jika menikah sekarang, apalagi dia baru saja menikmati masa-masanya menjadi seorang model muda yang terkenal. “Kamu tidak akan menikah dengannya,” kata Pak Haris yang membuat Gauri semakin syok. Gauri mengernyit tidak mengerti. “Apa maksud, Ayah?” Pak Haris memasukkan tangan ke saku celana. Menarik nafas dan menghembusnya dengan berat. Seberat keputusan yang sudah dibuatnya dengan terpaksa. “Kamu akan menikah dengan orang lain. Rekan bisnis, Ayah.” Gauri merasa kepalanya hampir saja pecah, ditindih dengan batu paling besar. Mungkin sebagian orang akan mengalami hal serupa, atau bahkan lebih parah dari ini. “Jadi Ayah menukarku dengan uang?” Pertanyaan yang tidak ingin Gauri utarakan, akhirnya lolos begitu saja. Karena ia menjadi tidak tahan, juga tidak mengerti dengan ayahnya yang rela melakukan hal tersebut. “Kamu tahu bahwa Ayah tidak ingin perusahaan itu bangkrut, bukan?” Masih dengan posisi membelakangi putrinya, Pak Haris mengungkap alasan tersebut. Jadi inilah alasannya. Menjadikan Gauri bagian dari bisnis. Yang lebih parahnya, Gauri harus menikah dengan orang yang sama sekali bukan pilihan hatinya. Sebenarnya perjanjian apa yang ayahnya lakukan dengan oarng-orang itu. Gauri ingat, saat beberapa hari yang lalu ayahnya sempat mengalami kerugian perusahaan dalam jumlah yang besar. Perusahaan keluargnya yang diambang kehancuran, yang sewaktu-waktu bisa saja bangkrut. Dan kemarin, Gauri juga mendengar, bahwa kini perusahaan telah kembali normal seperti biasa. Itu pun berkat dirinya yang dengan suka rela sudah bersedia untuk menandatangani kontrak kerja sama dengan perusahaan lain. Yang sama sekali Gauri tidak tahu, adalah bahwa ternyata ada sesuatu dibalik semua kenormalan itu. Sesuatu yang tidak bisa ia terima dengan alasan apapun. Gauri menatap wanita disebelahnya yang hanya berdiam diri. Wanita yang tak lain adalah ibunya sendiri, Bu Rani. Lalu kembali menatap punggung ayahnya yang selama ini sudah menjadi benteng perlindungan dirinya. Hari ini, untuk pertama kali, Gauri merasa kesedihan yang diberikan terlalu sulit untuk mengubahnya menjadi kebahagiaan. “Tapi kenapa, Ayah? Kenapa harus aku? Bukankah Ayah tahu jika aku sudah memiliki kekasih?” Gauri bersikeras menolak, dia tidak terima dengan rencana sang ayah. Apalagi semua orang tahu, bahwa dia sudah berpacaran dengan Denis sejak 5 tahun yang lalu. Pak Haris berbalik dengan tatapan mata yang nyalang. “Lalu apa harus ibumu yang menggantikan posisi itu?!” teriaknya marah. Bu Rani yang sejak tadi duduk, sempat bergetar mendengar teriakan suaminya yang menggema. Begitu juga dengan Gauri. Baru kali ini dia dibentak sekejam itu. Seperti yang sedang berdiri di hadapannya kini bukanlah ayahnya sendiri. “Lalu bagaimana dengan, Sella? Bukankah dia juga putri, Ayah?” Gauri merasa tidak adil jika hanya namanya yang disebut. Padahal keluarga ini memiliki dua putri. “Jangan bawa-bawa nama, Sella, Gauri.” Akhrinya suara Bu Rani terdengar ketika Gauri menyinggung nama putri kesayangannya. “Kenapa? Kenapa aku tidak boleh membawa namannya. Dia juga merupakan putri, Ibu.” Gauri melawan kata-kata Bu Rani sebagai bentuk bantahan yang nyata. “Tapi kamu lebih tua darinya. Tidak mungkin Sella mendahuluimu menikah. Apa kata orang-oranga nanti.” Lagi. Alasan anak tertua sepertinya telah menjadi jurus andalan untuk memojokkan dirinya kali ini. Setelah kemarin meminta bantuan padanya dengan alasan anak tertua, dan hari ini juga meminta dengan alasan yang sama. Hanya saja permasalahan dan bentuk perimtaan kali ini berbeda. Jika hanya sekadar urusan perusahaan, Gauri masih bersedia. Namun, kali ini urusan masa depan. Gauri menjadi tidak rela. “Tapi aku sudah memiliki, Denis. Bukankah kalian juga tahu itu?” Gauri masih mempertahankan hubungan yang tidak ingin diputuskannya itu. “Kamu bisa putus dengannya,” kata Bu Rani dengan garang. “Putus?” Gauri hampir gila dibuatnya. “Dia hanya menjadi kekasihmu, Gauri. Bukan suami. Lalu apa salahnya jika kalian memutuskan hubungan. Hal itu sama sekali tidak merugikan pihak mana pun.” Pak Haris menambahkan dengan sesuatu yang tidak bisa Gauri terima. Ayahnya semakin berkata-kata diluar nalar. “Tidak merugikan?” Gauri maju mendekati ayahnya. “Lalu bagaimana dengan perasaanku, Ayah? Apa Ayah peduli? Bagaimana jika yang dirugikan adalah anakmu sendiri?” Bertahun-tahun menjalin hubungan dengan Denis, telah banyak kenangan yang Gauri ukir dengan pria itu. Bagaimana bisa hubungan mereka harus berakhir begitu saja. Apalagi dengan alasan yang bukan datang dari keduanya. “Apapun yang kamu katakan, itu tidak akan merubah apapun, Gauri!” tegas Pak Haris tetap pada pendirian. Karena memang Pak Haris tidak memiliki pilihan lain. “Ayah ….” Gauri terdiam dengan mata yang mulai menganak sungai. Rasa sakit, kecewa, marah, semua bercampur menjadi suatu kelemahan. Gauri tidak kuasa menentang pria yang sangat dihormatinya itu. Namun, dia juga tidak ingin menerimanya begitu saja. “Kenapa Ayah tega melakukan ini padaku?” lirih Gauri dengan suara yang serak. Sebagai anak, Gauri ingin ayahnya mengerti tentang apa yang dia inginkan dan tidak dia inginkan. Sebagai anak, Gauri juga ingin suaranya didengar. Bukan untuk menentang, tetapi sebagai bentuk persetujuan. Namun, hal itu tidaklah mampu mencairkan suasana hati Pak Haris. Juga tidak mampu untuk mengubah atas apa yang sudah menjadi keputusannya. Pak Haris yang memang sangat tegas, tidak pernah ingin kata-katanya dibantah. Apalagi oleh keluarganya sendiri. “Kamu adalah satu-satunya harapan, Ayah. Jika kamu merasa peduli, maka ikuti saja.” Sesudah berkata seperti itu, Pak Haris berlalu ke kamar. Semakin dia berdebat, semakin rasa bersalah dan rasa iba menjalar dalam hatinya. Hanya saja, Pak Haris tidak menunjukkan dengan nyata. Gauri ikut berlari ke kamar, membanting pintu dengan keras. Lalu berbaring di ranjang dengan menelengkupkan wajahnya ke bantal. Dia terisak. Bahunya terguncang hebat. Menangis. Nyatanya tidak juga cukup untuk mengubah suasana hatinya yang sedang dilanda amarah. Gauri tetap tidak bisa membuang perkataan ayahnya yang mencemaskan. Dalam tangisan yang tidak terdengar, Gauri mendengar getaran yang berasal di atas nakas. Dia bangun, mengusap matanya yang dipenuhi air, lalu meraih benda pipih tersebut yang tidak hentinya mengeluarkan getaran. Saat melihat nama di layar, hati Gauri semakin hancur. Dia bimbang, haruskah berbicara dengan Denis disaat-saat seperti ini. Akhirnya Gauri memilih melemparkan ponselnya kembali ke atas nakas, mengabaikan panggilan Denis yang entah sudah panggilan ke berapa. Dia kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk, membiarkan kepalanya bersandar pada bantal yang sudah basah karena air matanya. Entah sudah berapa lama Gauri menangis, hingga tanpa sadar ia tertidur. Sudah menjadi kebiasaannya, jika selepas menangis, Gauri tertidur karena matanya terlalu lelah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD