Setelah memarahi Sheya yang menyiram tanaman pagi-pagi buta di halaman belakang, Juna pun kembali masuk ke kamarnya sambil menunggu subuh, lalu kembali berbaring di samping Anas sambil memeluk putrinya itu.
Niatnya hanya rebahan sambil menunggu Anas bangun, namun lama-lama Juna merasakan kantuk, walau dia juga tidak benar-benar lelap, hanya tidur-tidur ayam, barulah saat dia mendengar panggilan dari putri kecilnya, Juna membuka matanya.
“Ayah …” Panggil Anas dengan senyum yang secerah mentari pagi. Juna yang melihat itu ikut mengulum senyumnya.
“Cantiknya Ayah sudah bangun?” Tanya Juna seraya memberikan kecupan di pipi Anas, membuat bocah itu langsung terkikik dan mengeratkan pelukannya kepada sang Ayah.
“Ibu mana, Ayah? Pasti Ibu di dapur.” Ucap Anas yang mengajukan pertanyaan namun langsung dijawab oleh dirinya sendiri. Sepertinya anak itu sudah paham akan kebiasaan ibu barunya itu.
“Iya, itu Anas tau.” Ucap Juna sambil membelai-belai pipi chubby Anas.
“Tau dong, Ayah. Ibu kan setiap pagi selalu sibukkk sekalii di dapur." Ucap Anas dengan memanjangkan kata-katanya, Juna jadi gemas sendiri.
"Ibu sibuk buat sarapan untuk Anas, Ayah. Anas suka masakan Ibu, Ayah. Enak-enak. Ayah suka juga tidak?” Tanya Anas yang terlihat berbinar walau wajahnya masih sayu khas orang bangun tidur.
Sedang Juna mendesah diam-diam. Ini serius? Baru bangun tidur putrinya sudah mengajaknya membicarakan tentang wanita yang membuatnya sakit kepala sejak semalam?
“Iya, masakan Ibu enak. Anas kenapa kok bisa sayang sekali sama Ibu?” Tanya Juna tetap menanggapi sang putri yang masih ingin membahas ibunya itu.
Jika dipikir-pikir, Juna juga baru makan masakan Sheya tiga kali, kemarin itu, empat kali dengan nanti saat sarapan. Memang masakannya enak dan tidak buruk.
Wanita itu memang sepertinya sangat menikmati dan mampu menjalankan perannya dengan baik sebagai seorang ibu rumah tangga.
“Ibu itu seperti Ibu peri yang membuat hati Anas senang sekali, Ayah. Setiap bersama Ibu, Anas selalu suka sekaliii, hati Anas seperti bunga yang bermekaran bahagia, jantung Anas berdetak keras karena senang ada Ibu di dekat Anas.”
Lihatlah putri kecilnya itu, yang mengekspresikan perasaannya dengan gamblang seberapa besar dia jatuh cinta pada sosok ibu barunya itu.
“Bagaimana dengan Bunda Giska, sayang?” Tanya Juna yang membuat ekspresi Anas seketika berubah keruh.
Anak itu langsung merangsek dalam pelukan Juna dan menyembunyikan wajahnya di d**a Juna.
Juna seketika tertegun, dia memang tau jika saat dirinya menikah dengan Giska, Anas tidak terlalu dekat dengan Giska, walau Giska selalu berusaha untuk mendekati anak itu.
Namun, sepertinya Anas dari awal kurang menyukai Giska.
Pernah suatu hari Juna mengajak Anas untuk jalan-jalan dengannya dan Giska, niatnya ingin mendekatkan ibu dan anak itu, yang ada Anas justru terus menempel begitu lengket padanya, bahkan tidak mau digendong atau digandeng oleh Giska.
Kini, saat keceriaan di wajah Anas kembali, Juna ingin menyinggung sedikit tentang perasaan Anas pada istrinya itu, namun respon yang didapatkannya itu justru membuatnya mengernyit bingung.
“Ibu mengajari apa saja pada Anas selama Ayah tidak bisa menemani Anas, sayang?” Tanya Juna lagi langsung mengalihkan pertanyaannya tentang Giska dan kembali kepada Sheya.
Benar saja, Anas langsung kembali mengurai pelukannya dengan Juna, dan kini menatap Juna dengan wajah yang kembali berbinar saat Juna menanyakan hal yang berkaitan dengan Sheya.
Baiklah, Juna akan mengesampingkan pembahasan tentang Giska jika itu membuat hati putri kecilnya tidak senang, kini dia lebih ingin mendengar apa saja yang dilakukan Anas dan Sheya selama dirinya tidak ada.
“Banyak Ayah. Anas bermain dan belajar dengan Ibu, selalu bersenang-senang dengan Ibu.”
Kini, wajah ceria dan penuh binar bahagia itu kembali hadir di wajah Anas, dan itu membuat Juna diam-diam menahan napasnya.
Kenapa perbedaannya terasa besar sekali setelah dia perhatikan? Tentang perasaan Anas kepada Sheya dan Giska.
“Oh, iya? Apa saja contohnya, sayang?” Tanya Juna sambil merapikan anak-anak rambut Anas ke belakang terlinga.
“Ibu membantu Anas menyusun banyak bricks dan puzzle, Ayah. Anas suka sekali jika menyusun puzzle dengan Ibu.”
“Lebih suka menyusun puzzle dengan Ibu apa Ayah?” Tanya Juna mengulum senyumnya, Anas justru tampak haha-hihi menatap ayahnya.
“Suka dua-duanya, lebih suka lagi jika Ayah dan Ibu membantu Anas bersamaan. Pasti lebih cepat.”
Eh, jawaban bocah itu pintar juga. Juna jadi gemas lagi, apalagi Anas menjawabnya sambil ketawa-ketiwi.
“Terus main apa lagi sama Ibu?”
“Main lompat tali, Ayah. Terus, main princess-princessan, Ayah. Ibu jadi nenek sihirnya, Anas jadi putrinya, Anas makan apel dari Ibu, lalu pingsan, eh Ibu berubah jadi pangeran yang mencium Anas, jadi Anas bangun lagi deh. Setelah bangun, Ibu gendong Anas dan Anas diajak berputar-putar, seruuuu sekali Ayah.”
Lagi, Anas tertawa riang saat menceritakan itu, dan setiap mendengar tawa Anas, hati Juna juga menghangat ikut bahagia.
"Ibu juga mengajari Anas menggambar dan mewarnai Ayah. Nanti Ayah lihat hasil gambar Anas, ya, Ayah. Ibu juga beli buku mewarnai untuk Anas. Jika Ibu sedang masak, Anas mewarnai di ruang tamu, Ayah."
Putrinya itu, benar-benar telah menemukan sosok Ibu yang menyayangi dan mengasihinya sepenuh hati, kan?
Ketukan pintu itu menghentikan obrolan ringan yang penuh kehangatan di antara ayah dan anak.
Anas bahkan langsung loncat dari ranjang lebih cepat daripada Juna, membuat Juna menggeleng tidak percaya dengan kelakuan putrinya itu.
“Ibuuuu.”
Belum juga pintu dibuka, suara teriakan Anas sudah sangat nyaring menyambut Sheya yang sudah berdiri di depan pintu.
Juna ikut bangkit dan melihat Anas langsung memeluk Sheya begitu pintunya terbuka. Pun Sheya yang langsung menggendong Anas dan mengecupi kedua pipi anak itu.
Sekali lagi, Juna hanya menjadi pengamat ibu dan anak yang semakin hari semakin lengket itu.
“Ibu kira Kakak belum bangun.” Ucap Sheya yang membuat Anas langsung haha-hihi.
Anak perempuan itu dengan manja mengalungkan tangannya di leher Sheya dan mengecup pipi Sheya dengan tatapan penuh cinta.
Oh, bahkan Juna saja merasakan perasaan cinta Anas untuk ibu barunya itu.
“Sera sudah bangun kok, Ibu. Tapi Sera bangunnya siang-siang ya, Ibu?” Tanya Sera membuat Sheya langsung menggeleng.
Memang Sera bangun lebih siang dari biasanya, namun berhubung ini weekend, jadi Sheya membiarkannya.
“Minum dulu, yuk, Kak? Hari ini mau main apa sama Ayah?” Tanya Sheya yang membawa Sera menjauh dari kamar Juna.
Juna yang masih berdiri di tempatnya menggigit bibir, sekali lagi, dia dianggap seperti makhluk tak kasat mata oleh Sheya, kan?
Dilirik saja tidak, apalagi disapa. Wanita itu hanya membawa Anas menjauh darinya. Apa-apaan, si? Kenapa juga Juna selalu kesal dengan tindak-tanduk wanita itu.
Namun, satu yang dia sadari, Sheya selalu mengajak Anas untuk minum air putih setiap bangun tidur. Kini dia semakin yakin, jika Sheya memang sedang membiasakan Anas untuk hidup sehat sejak dini.
Begitu Juna ikut menyusul ke meja makan, sudah tersedia sarapan yang menggugah selera, wanita itu membuat bubur ayam, lengkap dengan toppingnya termasuk sate telur puyuh yang kini sedang dinikmati oleh Anas.
“Mas mau aku buatkan kopi?”
“Ya.” Juna menjawabnya singkat, dan tanpa dipersilahkan dia juga duduk di sana, mencomot satu tusuk sate telur puyuh dan menikmatinya bersama Anas.
“Hari ini Mas masih di sini untuk menemani Sera, kan?” Tanya Sheya sambil membawa secangkir kopi untuk Juna.
“Kenapa?” Tanya Juna dengan kedua alis yang saling bertaut.
“Aku, mau minta ijin, mau menjenguk Ayah.” Ucap Sheya merasa gugup, pasalnya baru kali ini dia meminta ijin kepada suaminya itu.
“Pulang jam berapa?”
“Aku usahakan sebelum makan siang.”
“Pamit sana pada Anas.”
Sheya menatap suaminya itu dengan pikiran yang menebak-nebak, artinya Juna mengijinkan dan tidak keberatan, kan? Makanya Sheya disuruh pamitan pada Sera.
“Hari ini, Mas mau ke mana dengan Sera? Apa mau ke rumah orang tua Mas? Atau bermain di rumah saja?” Tanya Sheya lagi, dia rada ngeri-ngeri sedap jika membiarkan Sera datang ke rumah orang tua suaminya itu tanpa dirinya.
Sekali pun Giska dalam keadaan lumpuh, namun siapa yang tau, jika mulut iblis wanita itu bisa saja menjatuhkan mental putrinya? Sheya tidak ingin itu terjadi.
Bukannya meminta ijin pada Anas seperti titahnya, Sheya justru melempar pertanyaan balik dan itu membuat Juna kembali menatap sanksi pada istrinya tersebut.
Jika diingat-ingat, sudah beberapa kali ini Sheya mengabaikan perintahnya, kan? Bahkan di malam pertama saat status mereka telah resmi sebagai suami istri, ingat? Saat Juna menyuruhnya tidur di kamar tamu, wanita itu justru membangkang dengan memilih tidur di kamar Anas.
Sheya yang ditatap seperti itu jadi ketar-ketir, akhirnya dia beralih pada Sera yang baru saja menghabiskan satu tusuk sate telur puyuhnya.
“Kakak … hari ini Kak Sera main dengan Ayah dulu, ya? Ibu ada keperluan.”
Sera yang mendengar itu langsung menghentikan makannya.
“Ibu mau ke mana? Memang Sera tidak boleh ikut?” Tanya Sera dengan nada yang terdengar sedikit keberatan.
Juna sampai menahan napasnya, kenapa putrinya itu justru terlihat semakin menempel pada Sheya dan tidak ingin ditinggal? Padahal jelas-jelas tadi Sheya mengatakan jika Anas bisa bermain dengannya hari ini. Tapi, kok, Juna merasa tidak di-notice sebagai sosok yang akan bermain bersama putrinya itu oleh sang putri sendiri.
“Iya, anak kecil tidak baik pergi ke sana. Ibu cuma sebentar, kok, sebelum makan siang, Ibu sudah pulang. Kak Sera mau dimasakkan apa untuk makan siang?” Tanya Sheya membuat Sera akhirnya mengangguk patuh.
“Baiklah, Ibu. Sera tunggu di rumah dengan Ayah, ya. Ibu jangan lama-lama perginya, nanti Sera kangen banyak-banyak dengan Ibu, jadinya Sera sedih. Kemarin kan Sera sudah tidak main-main bersama Ibu karena Sera pergi seharian dengan Ayah. Ya, Bu, ya? Janji ya pulangnya sebelum makan siang?”
Sheya yang mendengar itu mengulum senyum lebar, rasanya dia ingin merengkuh tubuh mungil itu dan mengecupi seluruh wajahnya. Permintaannya begitu menggemaskan, namun menunjukkan betapa Sera selalu ingin berada di dekatnya.
“Siyap, Kak. Nanti Ibu pulang sebelum makan siang.” Ucap Sheya.
“Ayah, kita hari ini main-main di rumah saja ya, Ayah. Takutnya jika kita main-main di luar seperti kemarin, nanti saat Ibu sudah pulang, Anas dan Ayah yang belum pulang, kan, makin lama Sera bertemu dengan Ibu.” Kini tatapan polos itu mengerjap-ngerjap kepada sang Ayah.
Ah, Sheya semakin gemas saja dengan ucapan Sera, untunglah anak itu yang mengambil inisiatif untuk bermain di rumah saja. Jika begini, Sheya tenang meninggalkan Sera.
Juna semakin menggigit pipi bagian dalamnya, perasaan semenjak Anas tinggal bersama Sheya, waktu dirinya bersama Anas berkurang sangat banyak, dan Anas selalu bersama Sheya setiap hari, tapi kenapa anaknya itu tetap saja keberatan ditinggal barang sebentar oleh sang ibu? Benar-benar!
Kenapa anaknya ini justru terlihat semakin lucu saat meminta padanya tentang suatu hal yang berhubungan dengan Sheya, si?
Memang serindu itu ya baru ditinggalkan sebentar? Rasanya keadaan saat ini yang bisa Juna simpulkan adalah, Anas lebih berat berpisah dengan Sheya dari pada dengan dirinya, buktinya saja, dia absen selama dua minggu di hari Sabtu dan Minggu, Anas tidak menangis dan mencari-carinya.
Hanya raut wajahnya yang menunjukkan kegembiraan saat akhirnya Juna bisa menemaninya bermain, seolah Anas mengatakan, bermain bersama ayahnya dia bahagia, tapi jika tidak ada juga tidak masalah, yang terpenting ada ibu yang selalu menemaninya. Begitu, kan?
“Iya, sayang. Hari ini Anas main di rumah dengan Ayah, ya?”
“Okayy Ayah. Ibu hati-hati ya, Ibu. Sera sayang Ibu, cepat-cepat ya pulangnya, nanti Sera kangen banyak-banyak kalau Ibu pergi lama-lama.”
Kan, Anas mengungkapkannya sekali lagi, rasanya sudah tiga kali Juna mendengar rasa keberatan Anas ditinggalkan oleh Sheya. Apa si yang dilakukan wanita itu sampai membuat anaknya begitu bergantung pada kehadiran Sheya?
Yang ditatap oleh Juna justru sedang terkekeh mendengar celotehan putrinya, dan rasanya itu kali pertama Juna melihat Sheya tertawa.
“Iya, Kak. Ibu cepat-cepat, kok, pulangnya. Tunggu Ibu, ya?”
“Siyap, Ibu. Sera pasti akan selalu menunggu Ibu.”
Kini, Sheya mengambil mangkuk dan menuangkan bubur beserta topping-nya lalu meletakkannya di depan Sera.
“Sarapan dulu ya, Kak. Dihabiskan, okay?”
“Siyap, Ibu. Masakan Ibu enak-enak, Sera jadi selalu habis makannya loh, Ayah.” Kini anak perempuan itu kembali mengadu kepada sang Ayah.
“Anak pintar.” Ucap Juna mengacak-acak rambut Anas yang mulai menikmati sarapannya.
“Aku ambilkan sekalian, Mas?” Tawar Sheya yang sudah mengangkat mangkuk kosong yang baru.
“Heumm.” Juna menjawabnya dengan gumaman.
Sesungguhnya Sheya mendecak dalam hati, ditanya apa jawabannya apa, tidak jelas dan membuat orang bingung saja, namun Sheya hanya bisa menggerutu dalam hati.
Dia tetap melayani Juna sebagaimana dia melakukannya untuk Sera.
“Biasanya jam sepuluh Sera mencari camilan, Mas. Aku sudah membuat puding buah di kulkas, nanti bisa Mas berikan itu pada Sera, ya.”
“Heum.”
Juna kembali menggumam, pria itu kini mulai mengaduk bubur racikan istrinya.
Sheya sampai menarik napasnya mendengar Juna yang lagi-lagi hanya menggumam menjawab pertanyaannya. Dasar pria itu, dua hari menetap sukses mengacaukan ketenangan hidupnya bersama putri kecilnya!
***
Dalam perjalanannya menuju ke panti sosial, ingatannya justru kembali terlempar pada pertemuan pertamanya dengan Bi Rumi malam itu, mereka bertemu di minimarket dekat rumah Sheya.
Malam itu, Bi Rumi meminta waktu Sheya untuk mengobrol di depan minimarket, mereka duduk di kursi besi, sambil menikmati sekaleng soda sebagai pelengkap teman ngobrol.
Ternyata itu menjadi obrolan panjang, yang justru membuat Sheya semakin mengenal kehidupan gadis kecil malang bernama
Anasera.
“Bunda Sheya … Saya Rumi, ART nya Non Anas, boleh mengobrol sebentar? Saya beberapa kali melihat Non Anas selalu tertawa lepas saat bersama Bunda, sampai saya mengabadikan momen tersebut, di beberapa kesempatan juga Non Anas memilih bertahan lebih lama di sekolah, ya, Bunda.”
Mendengar intro dari obrolan mereka membuat Sheya mengangguk kecil.
Benar, hampir semua orang memanggil Anasera dengan panggilan Anas, mungkin hanya dirinya yang memanggilnya dengan panggilan Sera.
“Hari ini, Non Anas mengatakan sesuatu kepada saya, saya terharu, karena sesungguhnya dia sangat pendiam sejak mengalami kekerasan, Bunda, dan apa yang dia katakan pada saya, itu berhubungan dengan Bunda.” Ucap Bi Rumi yang kini terlihat lebih serius.
Kini, tatapan Sheya bukan lagi menatap pada lalu lalang jalan, namun beralih pada Bi Rumi.
“Non Anas mengatakan, dia ingin sekali Bunda Sheya nya di sekolah bisa menjadi Ibunya.” Ucap Bi Rumi yang kini sudah meneteskan air mata.
Dia juga sudah mendengar keinginan anak kecil itu yang seminggu lalu memanggilnya dengan panggilan Ibu.
“Kenapa Bibi menangis?” Sheya menyodorkan tisu yang ada di tasnya.
Niatnya yang hanya ingin mampir ke minimarket untuk membeli beberapa kebutuhan dan langsung pulang, kini justru tertahan lebih lama dengan obrolan yang cukup emosional.
“Non Anas itu … Sedih sekali nasibnya, Bunda. Orang tua kandungnya kecelakaan dan meninggal di tempat, tepatnya satu tahun yang lalu. Kemudian, hak asuh langsung diambil alih oleh Tuan Arjun, karena beliau adalah satu-satunya adik dari almarhum Papa Non Anas.”
Sheya masih diam. Bibirnya ingin berteriak dengan lantang jika itu bukan urusannya, dan dia tidak perlu mengetahuinya. Namun, sang hati melarang, bibirnya justru terkunci rapat seolah mempersilahkan Bi Rumi untuk menceritakan kehidupan Sera yang mengaku dipukuli oleh si Bunda Giska itu.
“Tuan Arjun sangat menyayangi Non Anas … Bahkan semenjak lahir, dia tidak mau dipanggil Om, lebih memilih dipanggil Ayah, mereka sangat lengket dan saling menyayangi. Non Anas tumbuh dalam keluarga bahagia sebelum akhirnya semua itu berubah total di usianya yang ke tiga tahun.”
Oh, malangnya gadis kecil itu, keceriaan seketika terenggut dari hidupnya. Hati Sheya diam-diam merepih pilu.
“Sampai semuanya berubah menjadi buruk saat Tuan Arjun memutuskan untuk menikah dengan Nyonya Giska. Tidak ada yang tau jika Nyonya Giska kerap main tangan pada Non Anas. Malang sekali gadis kecil itu, hidup ketakutan dalam pengasuhan ibu tiri yang jahat.”
Bi Rumi kembali menyusut air matanya.
“Kenapa tidak dilaporkan kepada Ayahnya atau Kakek-Neneknya, Bi?”
“Belum sempat saya dan susternya membuat laporan, Tuan Arjun sudah mendapat laporan lebih dulu dari pihak sekolah, mungkin Bunda Sheya juga sudah tau mengenai ini?”
Sheya sampai memejamkan matanya, kini semua puzzle itu mulai tersusun sempurna.
Tepat setelah Sera mengatakan dia dipukuli oleh Bundanya di rumah, hari itu juga Sheya langsung menemui kepala PAUD.
Ternyata masalah itu sudah terselesaikan dua minggu sebelum Sera bercerita padanya secara langsung di hari itu.
“Nyonya Giska melempar kesalahan pada Suster Non Anas, namanya Sisil, sebelum itu, Nyonya Giska sudah mengancam Sisil lewat adiknya yang sedang sakit. Sehingga, mau tidak mau Sisil mengakui kesalahan yang tidak diperbuatnya, dia dipecat, juga dipenjara. Sungguh malang nasibnya.”
Sheya semakin menahan napas mendengar fakta yang seperti itu.
“Non Anas menjadi pendiam, sangat pendiam, dan sering ketakutan, Non Anas sempat dibawa terapi, namun keadaannya tidak membaik, karena sumber dari ketakutannya masih ada di dalam rumah, dan tidak ada yang menaruh curiga pada Nyonya Giska.”
“Ya Allah … Kok bisa, si, Bi? Kasihan sekali anak itu.”
Sheya merasa jantungnya berdebar kencang membayangkan anak sekecil itu sudah mengalami hidup yang pelik.
“Sulit, Bunda, menghadapi rubah betina seperti dia. Orang kecil seperti Bibi pun tidak punya kekuatan, Bibi masih cinta keluarga Bibi dan butuh uang. Jadi, Bibi hanya diam menjadi penonton, padahal hati Bibi juga berdarah-darah melihat anak kecil yang tidak berdosa itu sering dicubit dan dipukul. Bibi merasa berdosa, Bunda."
Kini, bukan hanya air mata yang jatuh namun Bi Rumi sudah terisak-isak.
"Apalagi, ancaman Nyonya Giska tidak main-main, korbannya sudah ada di depan mata Bibi, Suster Sisil yang bekerja dengan sepenuh hati menjadi kambing hitam kebiadabannya, tau-tau dia mendekam di penjara. Bibi semakin takut.”
“Apakah Sera juga diancam oleh bunda tirinya, itu?” Tanya Sheya seolah mengonfirmasi apa yang dia dapatkan dari cerita Sera.
“Iya, boneka kesayangan Non Anas, hadiah dari mamanya, dicabik-cabik dengan gunting hingga isinya berhamburan, dia menunjukkannya pada Non Anas tanpa perasaan. Itu kejadian sebelum ada laporan dari pihak sekolah, sehingga semua kesalahan benar-benar dilimpahkan pada Suster Sisil.”
Sumpah! Sheya bahkan tidak sanggup membayangkan bagaimana ekspresi Sera saat disodorkan boneka rusak itu.
Bagaimana bisa ada wanita biadab yang melakukan hal gila pada anak selucu Sera?
“Tapi, ya memang Gusti Allah mboten sare, ya, Bunda. Maksud Bibi, Allah tidak tidur. Kejahatan Nyonya Giska seolah langsung mendapat karma instannya. Seperti dibayar tunai oleh Allah. Ya bagaimana tidak dibayar instan, dia mendzalimi seorang anak yatim piatu, loh, Bunda. Bibi saja sampai heran, kok, ada manusia berwajah cantik namun berhati iblis seperti itu. Tau-tau, dia mengalami kecelakaan beberapa bulan yang lalu, divonis lumpuh hampir sembilan puluh persen, dan hanya bisa menggerakkan jari-jemarinya juga mulutnya saja yang masih berfungsi.”
"Kenapa Bibi tidak melaporkan kejadian yang sebenarnya setelah Bunda Giska mengalami kelumpuhan, seharusnya wanita itu tidak memiliki kekuatan lagi, kan?"
"Sudah akan Bibi laporkan, tau-tau Bibi mendapat telepon dari kampung, anak bibi kecelakaan, lalu ada sebuah panggilan dari nomor asing, dia mengatakan. 'Jika kamu macam-macam dan mengadukan apa yang terjadi pada Anas, maka nyawa anak kamu lah yang menjadi taruhannya. Kecelakaan yang terjadi pada anakmu adalah peringatan. Paham?' Bibi menggigil ketakutan saat mendapat telepon itu, Bunda."
Sheya sampai speechless mendengarnya, mungkinkah, Giska tidak bekerja sendiri? Dan ada sesuatu yang lebih besar yang diincarnya?
"Sejak saat itu, Bibi benar-benar diam dan ketakutan, tidak ada lagi keinginan untuk mengungkapkan apa yang dilakukan Nyonya Giska. Apalagi Bibi tidak memiliki bukti apa pun, bisa jadi malah Bibi yang dituntut balik atas pencemaran nama baik, bagaimana pun orang yang berkuasa mudah memelintir fakta, kan, Bunda? Jadi, Bibi benar-benar mundur untuk menyelamatkan Non Anas. Hanya ini yang bisa Bibi bagi pada Bunda."
Itu adalah tabir lain yang terbuka untuk Sheya, tentang kehidupan anak kecil yang nasibnya begitu malang di tangan ibu tirinya yang gila, satu dari hal-hal yang akhirnya mendorongnya pada keputusannya saat ini.