Sheya mengangguk sambil menyapa beberapa perawat yang sudah dikenalnya di panti sosial itu.
“Mbak Sheya, sudah lama ya tidak ke sini? Biasanya setiap minggu ke sini ya? Sedang sibuk dengan pekerjaan ya, Mbak?” Itu sapaan dari salah satu perawat yang mengenalnya.
Benar, tiga minggu ini Sheya absen dan hanya menjenguk Ayahnya melalui video call dengan perawat pribadi yang merawat ayahnya di panti sosial tersebut.
Minggu pertama karena dia menikah dengan Juna, minggu kedua dan ketiga karena tidak ada yang menjaga Sera, dan dia juga tidak ingin menitipkan Sera di rumah mertuanya. Sehingga, baru minggu ini Sheya memiliki kesempatan untuk menjenguk Ayahnya.
Bibirnya melengkung membentuk senyum manis saat semakin mendekati kamar ayahnya. Dia mengetuk pintu kamar tersebut dua kali dan terdengar sahutan dari suara yang sudah dia kenali.
“Mas Ihsan, Assalamualaikum.” Sapa Sheya dengan senyum lembutnya.
“Waalaikumsalam, Mbak Sheya. Kebetulan sekali Bapak baru selesai saya mandikan, ini mau sarapan. Saya ambilkan makanannya dulu, ya? Silahkan masuk, Mbak.”
“Oh, kalau begitu saya bawa keluar saja sekalian berjemur dan makan di area taman saja, Mas.”
“Boleh, silahkan, Mbak.”
Ihsan lalu keluar dari sana, dan seperti biasa, jika Sheya datang, dia akan membiarkan Sheya memiliki waktu dengan Pak Chandra.
“Assalamulaikum Ayah, Sheya datang, maaf ya, Sheya baru bisa datang sekarang."
Sheya meletakkan barang bawaannya di atas nakas, lalu menyongsong ke arah Ayahnya dan meraih tangan Ayahnya, menciumnya dengan khidmat sambil berlutut di depan kursi roda sang ayah.
"She...ya ...Nduk." Panggil Chandra yang matanya langsung berembun, tangannya dengan susah payah berusaha untuk meraih puncak kepala Sheya, namun gagal, tangan yang baru sedikit terangkat itu kembali jatuh di atas pahanya.
Sheya yang melihat itu langsung tersenyum, dia meraih tangan sang ayah, mengecupnya lama lalu meletakkan tangan ayahnya di atas puncak kepalanya, dan menggerakannya dengan gerakan mengusap-usap kepala Sheya.
"A...ngen..." Bisik Ayahnya lagi dengan susah payah.
"Sheya juga kangen Ayah." Bisik Sheya yang kini memeluk tubuh ringkih itu dalam pelukannya dengan air mata yang sudah jatuh.
Dia menghirup dalam-dalam aroma kerinduan yang membuat dadanya sesak seketika memikirkan keadaan sang ayah dan bagaimana ayahnya bisa berakhir tidak berdaya seperti ini.
Ayahnya yang dulu begitu gagah dan sekuat baja menghadapi berbagai cobaan kehidupan yang menerpa mereka berdua karena ulah ayah tirinya pada akhirnya kalah juga, tumbang hingga di kondisi yang pernah bertarung dengan kematian.
Setiap rasa sakit yang ayahnya rasakan, Sheya bisa mengingat dan tidak akan pernah melupakan rasa sakitnya, ini semua karena ulah ayah tirinya, yang terus mengusik hidup Sheya dengan ayahnya setelah Sheya berhasil kabur dari keluarga Ibu barunya yang biadab itu.
"Kita makan di taman, ya, Ayah? Mas Ihsan sedang mengambilkan sarapan Ayah." Bisik Sheya yang lalu beranjak dan mendorong kursi roda ayahnya.
Ayahnya mengalami stroke sejak satu tahun yang lalu, dirinya yang harus bekerja membuat Sheya tidak memiliki pilihan lain selain memutuskan untuk memasukkan ayahnya ke panti sosial, supaya mendapatkan perawatan yang optimal oleh profesional.
Walau awalnya terasa berat bagi Sheya karena harus hidup terpisah dengan Ayahnya, Sheya harus memaksa dirinya untuk terbiasa. Dia harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan uang lebih banyak karena ada biaya lain yang kini harus ditanggungnya.
"Mbak, ini sarapan Pak Chandra. Silahkan, saya tinggal dulu, ya?"
"Terima kasih ya, Mas." Sheya mengangguk dan tersenyum sopan, kini dia sudah duduk di bangku taman yang memang terletak di depan kamar ayahnya persis.
Sheya meletakkan tray makan pemberian Ihsan di samping duduknya, dia membuka botol air mineral itu, mengambil sedotan lalu membantu ayahnya minum.
"Ih...san ...ba ...ik." Ucap Chandra lagi dengan nada yang terbata-bata.
Sheya yang baru saja akan menyuapi ayahnya hanya bisa mengulum senyumnya dan mengangguk.
"Alhamudlillah kalau Mas Ihsan, baik. Ayah nyaman kan dengan beliau?" Tanya Sheya membuat Ayahnya mengangguk dengan senyum kecil.
"Ka..mu ... ni...kah ...de...ngannya." Ucap Chandra lagi yang membuat Sheya langsung menghentikan gerakannya saat dia baru saja akan kembali menyuapi ayahnya.
Sheya sampai menahan napasnya, memang dia merahasiakan pernikahannya dari sang ayah. Dia melakukannya juga demi kebaikan sang ayah.
Ayah mana yang tidak terluka dan sakit hati saat mengetahui putrinya menjadi istri kedua, apalagi pernikahannya hanya sebatas akad? Ditambah lagi, setelah menikah dia langsung memiliki anak dan menjadi ibu asuh, pasti hancur hati ayahnya.
Belum kemarin saat setelah akad dia melihat suaminya itu langsung memeluk istri pertamanya, apa jadinya jika dia memberi tahu perihal pernikahannya dan ayahnya ada di sana saat itu?
Sama saja dia menjatuhkan mental ayahnya dan mungkin keadaan ayahnya justru menjadi drop. Sehingga, dengan segala pertimbangan itu Sheya memilih untuk merahasiakan pernikahannya.
Pun karena kondisi ayahnya tersebut, Sheya jadi lebih mudah menyembunyikan perihal pernikahannya.
Dalam hukum Islam, wali pernikahan diharuskan memiliki kemampuan fisik dan mental untuk menjalankan peran tersebut.
Jika ayah dalam keadaan lumpuh atau stroke dan tidak dapat secara langsung melaksanakan tugasnya sebagai wali, misalnya, tidak bisa berbicara atau bertindak secara sadar, maka ayah tidak bisa bertindak sebagai wali pernikahan secara sah.
Dalam kondisi ini, jika ayah tidak bisa menjalankan peran wali, maka wali bisa digantikan oleh wali hakim, wali yang ditunjuk oleh pengadilan atau pihak yang berwenang.
Itulah penjelasan petugas KUA saat Sheya mendaftarkan perihal pernikahannya bersama Juna dan menanyakan tentang masalah wali hakim setelah menjelaskan keadaan ayahnya.
Sheya kembali menatap Ayahnya, lalu dia mengulum senyum bahkan terkekeh sebelum menanggapi ucapan ayahnya.
"Ayah bicara apa? Sheya hanya ingin memastikan Ayah sembuh dulu, kita bisa hidup sama-sama lagi, baru kita pikirkan yang lain, ya, Yah?" Pinta Sheya yang kembali memberikan suapannya.
"Ka..mu ...ba...ha...gia ...kan ... N...duk?" Tanya Chandra yang mata tuanya kini sudah berembun.
Sheya menggigit kuat bibir dalamnya dan menahan desakan air mata yang ingin keluar.
"Tentu saja Sheya baik-baik saja dan bahagia, Ayah. Selama Ayah sehat dan baik-baik saja di sini, begitu pun dengan Sheya, jangan terlalu banyak memikirkan hal berat ya, Ayah. Nanti Ayah sakit."
Sheya mengusap air mata yang sudah jatuh membasahi wajah tua ayahnya, dia tetap mengulum senyumnya dan kembali memberikan suapannya pada sang ayah.
Ingatannya justru terlempar pada sebuah pertemuan dengan seseorang, yang mengaku sebagai Om dari Anasera. Lebih tepatnya kakak sepupu suaminya, yang memperkenalkan dirinya sebagai Arash Pradana.
Hari itu Sheya tiba-tiba mendapat pesan dari nomor tidak dikenal, biasanya dia selalu mengabaikan, namun pesan itu menarik perhatiannya, karena membawa-bawa nama Sera. Sehingga, Sheya sepakat untuk bertemu.
Ternyata dia menemui seorang pria perlente yang ketampanannya membuat para kaum hawa langsung menganga dengan liur menetes.
"Bunda Sheya, kan? Bundanya Anasera di sekolah, ya?"
Nyatanya, ketampanan pria itu juga bertambah berkali-kali lipat saat pria itu menunjukkan keramah-tamahannya.
"Benar, dengan siapanya, Sera, ya, Pak?" Tanya Sheya membalasnya tak kalah sopan.
"Saya Arash, biasa dipanggil Ayah Arash oleh Sera, Kakak sepupu dari Ayah Arjuna."
"Baik, ada yang bisa saya bantu, Ayah?" Tanya Sheya yang memang terbiasa memanggil orang tua murid dengan panggilan seperti itu.
"Mungkin Bunda Sheya sudah mendengar tentang kekerasan yang dialami oleh Anas karena susternya dari sekolah, ya? Karena yang saya tahu, justru kami mengetahui kekerasan yang dialami Anas setelah pihak sekolah melaporkan."
Sheya sampai menahan napasnya, dia sudah lebih dulu bertemu dengan Bi Rumi, dan dia mengambil kesimpulan jika kenyataannya, dari semua keluarga Sera sendiri justru tidak ada yang mengetahui kebenarannya, apalagi Bi Rumi mengatakan tidak adanya bukti.
"Iya, benar. Saya sudah mendengarnya dan saya merasa prihatin atas apa yang menimpa Anasera." Bisik Sheya dengan tarikan napas yang panjang untuk mengurai sesak yang kembali hadir.
Bayangan tentang wajah sedih Sera dan bagaimana anak itu selalu murung, lalu saat menatapnya dengan penuh harap dan semakin sering memanggilnya Ibu saat mereka hanya berdua membuat hati Sheya semakin berdenyut ngilu.
Bagaimana mungkin anak sekecil itu harus mengalami kekerasan yang pasti menimbulkan trauma dan ketakutan dalam hidupnya, belum lagi akibat dari hal tersebut juga akan membentuk kepribadian yang penuh rasa takut, tidak berani mengutarakan pendapat dan merasa tidak pernah aman. Sheya tidak bisa membayangkan jika Sera akan terus mendapatkan luka yang berlanjut seperti itu dari Bunda tirinya itu.
"Apa Ayah Arash atau keluarga yang lain sudah pernah mencoba mengajak Sera berbicara? Apa yang dia rasakan dan ketakutan apa yang dia alami?" Tanya Sheya mencoba menggali informasi.
"Tidak, Bunda. Anak itu menjadi sangat pendiam, tidak mau berbicara sama sekali, bahkan saat Ayah dan Bundanya membawa mereka ke psikolog untuk menjalani terapi, tidak ada perubahan yang terjadi." Ucap Arash lagi, dan Sheya bisa melihat jika tatapan pria yang hanya berstatus sebagai Paman itu juga terlihat prihatin.
"Ayah dan Bundanya yang membawa dia ke psikolog, ya, Ayah? Maksudnya Ayah Arjuna dan istrinya, kan, ya?" Tanya Sheya mencoba menelaah dan mengaitkan alasan Sera yang bahkan tetap tidak sembuh setelah dibawa ke psikolog.
"Benar, Bunda."
Sheya mengepalkan kedua tangannya di bawah meja. Kali ini menemukan jawabannya kenapa Sera bahkan tidak membaik setelah dibawa ke psikolog.
Anak itu masih ketakutan, karena psikolog itu dikenalkan oleh Ayah dan Bunda Giska, sehingga Sera memiliki pemikiran, jika dia bercerita kepada psikolog itu, psikolog itu pasti akan bercerita kepada Bunda Giskanya dan dia akan kembali dipukuli karena sudah mengadu.
Sehingga, alih-alih membaik ke psikolog, Sera merasa jika psikolog itu sama saja seperti orang-orang di rumah, di mana dia harus tetap bungkam supaya tidak lagi dipukuli oleh Bundanya.
Sehingga, anak yang membutuhkan pertolongan dan kasih sayang dalam bentuk perlindungan dari orang dewasa itu mencari sosok yang dia inginkan melalui caranya sendiri.
Dia memilih Sheya, karena sejak awal pun mereka mudah sekali dekat, lebih tepatnya Sera lah yang terus mendekatinya dan meminta ini dan itu, hingga anak itu merasa nyaman, merasa aman dan terlindungi, dia menemukan orang dewasa yang tidak dikenal oleh siapa pun di keluarganya, di mana dia bisa menceritakan segala ketakutannya tanpa takut harus ketahuan oleh bundanya itu.
Dia berlari ke arah Sheya yang juga menyambutnya dengan hangat, hingga anak itu akhirnya benar-benar memiliki harapan besar, jika Sheya lah yang menjadi Ibunya dan bisa menemaninya di mana pun dan kapan pun, termasuk menjauhkannya dari Bunda Giska.
"Ya Allah". Sheya bahkan mengerang pilu dalam hati saat menyambungkan semua itu.
Hati Sheya luluh lantak, memikirkan anak yang belum genap lima tahun itu harus berpikir begitu keras untuk mendapatkan perlindungan di tengah ketakutannya.
"Jadi maksud Ayah Arash meminta bertemu dengan saya apa, ya, Ayah?" Tanya Sheya lagi setelah berhasil mengendalikan sesak yang membelenggu.
"Saya ingin meminta bantuan, dan mungkin Bunda akan menolaknya mentah-mentah, maka dari itu saya datang untuk memberikan penawaran." Ucap Arash lagi yang kini wajahnya berubah jadi serius dari yang awalnya prihatin dengan kondisi keponakannya.
"Penawaran?" Tanya Sheya yang entah kenapa jantungnya terus berdegup keras.
"Saya tahu Ayah Anda selama ini menghadapi ancaman dan serangan dari ayah tiri Anda, kan, Brata Atmaja? Beliau mengalami beberapa kali penyerangan hingga saat ini kondisinya dalam keadaan stroke dan berada di panti sosial."
Sheya sampai menahan napasnya mendengar penuturan dari Arash, apakah semudah itu bagi orang-orang kaya seperti mereka untuk mendapatkan informasi tentang kehidupan seseorang?
"Saya juga tau, sekali pun Ayah anda sudah dalam kondisi tidak berdaya, Brata tetap menginginkan nyawanya, kan? Saya bisa membantu Anda membuat Brata Atmaja berhenti mengusik kehidupan Ayah Anda dan Anda sendiri tentunya. Bukankah keselamatan Ayah Anda menjadi yang paling penting saat ini?"
Kenapa saat ini nada suara Arash terdengar seperti mengancam? Mengintimidasinya sampai di titik Sheya benar-benar terpojok dan tidak memiliki pilihan lain selain menerima tawarannya.
"Bisa katakan apa tujuan Anda mengatakan semua ini?"
"Jadilah Ibu Asuh untuk Anas. Saya mengetahui bagaimana dia begitu ceria dan bahagia saat bersama Anda, tolonglah kami, jadilah Ibu Asuh untuk anak kecil yang kehilangan senyumnya itu, Bunda. Apa pun, apa pun yang Bunda inginkan, kami akan mengabulkannya."
Ucapan Arash selanjutnya membuat Sheya menahan napasnya sambil membulatkan matanya tidak percaya.
"Dia sudah memiliki Bunda, apa maksud Anda dengan Ibu Asuh?" Sheya kembali mempertanyakan dengan lebih jelas maksud pria di depannya itu.
"Ya. Jadilah istri kedua dan Ibu Asuh untuk Anasera. Saya bisa menjamin kehidupan Anda dan Ayah Anda tenang selamanya dari Brata Atmaja, bahkan jika pada akhirnya Anda nanti berpisah dengan Arjuna, setelah Anas dewasa, saya akan tetap menjamin Brata Atmaja tidak akan pernah lagi mengusik bahkan mencelakai Ayah Anda dan Anda sendiri, Bunda Sheya."
Sheya kembali menahan napasnya dengan hati yang bergejolak mendengar permintaan itu.
"Keluarga kami juga akan menanggung biaya perawatan Ayah Anda di panti sosial itu seumur hidup. Setelah Anda menjadi istri kedua dari Arjuna, seluruh tagihan Ayah Anda akan masuk ke dalam bagian pengeluaran bulanan keluarga Wiratama. Tolong dipertimbangkan, Bunda Sheya, demi Anasera dan Ayah Anda sendiri."
Arash menatapnya dengan tatapan yang menghujam, seolah tidak memberikan ruang gerak bagi Sheya untuk menolak permintaannya.
"Brata Atmaja, bukanlah lawan yang bisa Anda hadapi sendirian, Bunda. Dan apa yang dia lakukan selama ini pada Anda dan hidup Ayah Anda hanyalah gertakan kecil, sebelum dia memulai permainan intinya, dan saat itulah Anda membutuhkan bantuan kami." Ucapnya lagi dan membuat Sheya menahan napasnya dengan perut yang semakin bergejolak mendengar nama pria bejatt yang pernah memperkosanya.
Pun hatinya yang teriris memikirkan tentang Sera dan bagaimana anak itu selalu menatapnya dengan tatapan yang mendamba dengan gumaman yang menyayat hati Sheya.
'Andai Bunda menjadi Ibu Sera. Sera pasti tidak akan takut apa pun lagi di dunia ini. Kenapa Allah belum mengabulkan doa Sera, ya? Supaya Bunda Sheya bisa menjadi Ibu saja untuk Sera, bukan hanya Bunda saat di sekolah. Berapa lama lagi, si, Sera harus menunggu, Ya Allah?'
Saat mendengar ucapan polos dari bibir anak itu yang sedang meminta kepada Sang Pencipta, air mata Sheya langsung tumpah, hingga dengan gerakan implusif Sheya langsung membawa Sera dalam pelukannya, dan meneteskan air mata di balik punggung kecil yang terasa begitu rapuh dalam dekapannya.
Doa yang polos, dari seorang anak kecil yang tidak tahu apa pun, memohon dengan bersungguh-sungguh kepada Tuhan-nya, membuat hati Sheya kian lemah pada anak bernama Anasera itu.
'Ya Allah, kenapa nasib anak yang belum memiliki dosa ini sudah begitu berat? Apa yang bisa dia lakukan untuk membantunya?'
Dan rasanya, Sheya mendapatkan jawaban dari doanya melalui pertemuannya dengan Arash, dengan menggadaikan segala harga diri dan ketenangan dalam hidupnya, dia memilih mengambil langkah itu, demi anak kecil yang berhasil menyentuh hatinya dan memporak-porandakan perasaannya, juga demi kehidupan Ayahnya yang terjamin.
"N...d..u...k." Panggilan itu menyentak Sheya dari lamunannya akan pertemuannya dengan saudara sepupu suaminya.
"Hehehe Ayah ... Sheya sedang mengenang kenangan kita saat dulu Sheya masih kuliah, dan Ayah sering jemput Sheya naik motor, soalnya Sheya pulang lebih malam dari Ayah. Sudah lama ternyata, ya, Ayah?" Sheya mengulum senyum dan menyusut air matanya.
Rasanya waktu berlalu sangat cepat, dulu dia melihat Ayahnya masih sehat dan gagah, Ayahnya lah yang akan menjadi orang pertama yang memasang badan untuknya, melindunginya dari segala apa pun yang akan melukainya.
Kini, tubuh Ayahnya telah lemah, tua dan renta, dan tentu saja, dalam keadaan sekarang, Sheya lah yang akan pasang badan untuk melindungi Ayahnya, dari segala jenis serangan maupun luka, memastikan Ayahnya hidup dengan nyaman dan terjamin tanpa harus mengkhawatirkan apa pun lagi.
Sehingga, keputusan dari segala jenis pertimbangan itu membuatnya mengambil langkah yang saat ini telah dijalaninya. Dan sungguh, Sheya tidak pernah menyesal dengan keputusan yang diambilnya.
Saat hari di mana dia telah mengambil keputusan itu, tujuan hidupnya hanya tentang kebahagiaan Sera dan Ayahnya, karena saat mereka bahagia, Sheya pun akan merasa bahagia.
Sehingga, dia pikir-pikir lagi, sesungguhnya pernikahannya, sekali pun harus menjadi istri kedua, tidak sepenuhnya membawanya pada kemelut luka, namun mengantarkannya pada bahagia menurut versinya.
Walau dia juga tau, dalam keputusannya itu dia menyakiti seorang wanita, namun mengetahui jika wanita itu tidak lebih dari titisan iblis yang dengan tega menganiaya seorang anak tak berdosa, perasaan bersalah Sheya sedikit menguar, namun dia tetap menghargai istri pertama suaminya itu dengan tidak ingin menyakiti hatinya sebagai sesama perempuan.
Dia membebaskan, sangat membebaskan, bahkan mengharapkan jika suaminya tidak pernah menginap di rumah, cukup datang saat pulang kerja dan pulang di malam itu juga setelah Sera lelap. Itu dia lakukan untuk menjaga dirinya juga menjaga perasaan Giska.
Namun, dia tidak memiliki kuasa untuk mengusir Juna jika nyatanya pria itu menginginkan untuk tinggal dan menginap di rumahnya sendiri demi putrinya.