Part 2

916 Words
"Kevin Brave?" ucap Ema terkejut. "Halo." "Apa yang kau lakukan padaku!" Kevin mengeluarkan pisaunya dari balik saku jasnya. Ia memperlihatkannya kepada Ema. Sebuah pisau dengan ujung siku yang sangat tajam mampu membuat nyali Ema seketika menciut saat menyaksikannya. Tanpa Kevin jelaskan sendiri, Ema sudah mengetahui motif yang dimiliki pria tersebut. "Aku tidak punya salah denganmu! Kenapa kau lakukan ini padaku?!" kata Ema. Kevin tertawa jahat, "Kau memang tidak punya salah padaku. Tapi, hasratku memintaku untuk membunuhmu. Pisauku gatal ingin mencongkel bola matamu." "K-kau gila?!" "Bukan gila, lebih tepatnya psychopath." ralat Kevin santai. "Aku tidak menyangka denganmu. Ternyata kau adalah manusia yang pandai berekspresi! Di kampus kau terkenal dengan keramahanmu, sedangkan di luar kampus sifatmu melebihi iblis!" "Baiklah Nona Ema, aku akan membunuhmu secara perlahan." Kevin memperhatikan Ema, ia bingung harus menyiksa apa dulu, "hm, kurasa aku akan memotong jarimu terlebih dulu. Baru sehabis itu, mencongkel matamu. Ah, aku sudah tak sabar bermain dengan pisauku ini!" "KAU MANUSIA GILA! SINGKIRKAN BENDA TAJAM ITU DARIKU! AKU AKAN BERTERIAK SEKERAS MUNGKIN!" teriak Ema ketakutan. "Teriaklah. Aku tidak akan melarangnya." Ema berteriak meminta tolong, bahkan suaranya sampai serak karena tingginya nada yang ia hasilkan. Kevin tidak takut, ia malah tersenyum meremehkan. Ya, kamar apartemennya ini sudah dipasang alat peredam suara. Jadi, sekeras apapun suara di dalam kamar tidak akan bisa terdengar sampai luar. Jantung Ema berdegup kencang. Matanya berusaha mencari benda yang dapat menolongnya. Tetapi sepertinya tidak bisa, dengan kedua tangan terikat seperti ini mana mungkin Ema bisa melawan Kevin. Sebuah ide terlintas di benak Ema. Cara satu-satunya adalah kakinya. Ema akan menendang Kevin jika Kevin sudah mendekat. Kevin berjalan mendekat kepada Ema. Bahkan tidak menyisakan jarak sedikitpun. Ia memperhatikan jemari Ema. "Akan kupotong ibu jarimu terlebih dulu." ucapnya terlihat bahagia. Belum saja Kevin memotong jemari Ema. Ema langsung menendang perut Kevin dengan keras membuat Kevin tersungkur. "Wah, berani sekali kau melakukan ini padaku?" "Akan kubalas kau!" Sretttt.... Kevin berhasil membuat ibu jari Ema mengucurkan darah segar. "Ah, perih!" ringis Ema, "hentikan aku mohon!" "Tidak semudah itu, Nona Ema." Sretttt.... Kevin kembali menusuk jemari Ema membuat jarinya terbelah dan mengeluarkan darah yang lebih deras dari sebelumnya. "Sakit, tolong hentikan! Apa kau tidak tahu aku selalu merawat jemariku dengan melakukan manicure? Mengapa kau melukainya?!" protes Ema. Ia berusaha menahan rasa sakitnya. "Oh, kau suka melakukan manicure di salon? Baiklah, kau akan merasakan rasanya dilayani manicure oleh seorang psychopath." Ema mengutuk ucapannya. Yang benar saja Kevin akan melukai kuku-kuku indahnya yang telah dirawatnya dengan waktu yang cukup lama. Kevin menyeringai senang, ia mencongkel kuku indah Ema dengan pisau tajamnya. Kuku ibu jari Ema akhirnya terkelupas. Mengeluarkan cairan berwarna merah pekat. Bahkan kulit arinya sampai terlihat. "Ahhh," ringis Ema. Sudut matanya mengeluarkan cairan bening karena tak tahan dengan siksaan yang diterimannya. Tak lama kemudian, penglihatan Ema mulai memburam. Ema pingsan! *** Ema membuka matanya perlahan. Ia melihat tubuhnya sudah terbaring di sebuah sofa empuk. "Apakah ini surga?" ucapnya tanpa sadar. Tetapi, kalau ia berada di surga mengapa ia tidak melihat kedua orangtuanya? Dan, bukannya surga itu terdapat sebuah mata air dan pepohonan yang menyejukkan hati? Mengapa ini malah sebuah kamar? Lebih tepatnya kamar apartemen. Tidak mungkin jika Ema masih hidup! Kevin pasti sudah membunuh dan menyiksanya. Pria itu adalah seorang psychopath, mana mungkin ia membiarkan korbannya hidup. Ema menepuk-nepuk pipinya. Ternyata kulitnya masih bisa merasakan sentuhannya. Berarti ini bukan surga ataupun mimpi, bukan? Kevin mendekati Ema, ia memberikan segelas teh hangat. "Minumlah." Ema terkejut dan menatap Kevin dengan bingung, "Kenapa kau berada di sini? Alamku dan alammu sudah berbeda! Aku sudah di surga!" "Kau bicara apa? Alam surga? Kau berada di apartemenku bukan di surga." jelas Kevin. "Apa? Aku masih hidup?" ucap Ema tak percaya, "mengapa kau tidak membunuhku?" "Kau mau kubunuh?" tanya Kevin. Aneh, baru kali ini ia mendapatkan korban yang meminta untuk dibunuh. "T-tidak. Aku masih ingin menikmati hidup." setelahnya, Ema melihat ketiga jemarinya yang diperban. Ia menatap Kevin seperti meminta penjelasan. "Itu hanya sedikit permainan kecil. Tidak ada apa-apanya."  ujar Kevin seperti tak ada rasa bersalah. "Kau benar-benar sudah tidak waras. Sepertinya kau harus pergi ke rumah sakit jiwa." "Sepertinya kau menyindirku?" "Baguslah jika kau merasa tersindir." Ema terlihat mencari-cari tas kuliahnya. "Kau mencari tasmu?" "Kenapa kau tahu?" "Tasmu ada di meja makan. Sementara ponselmu sudahku buang. Polisi tidak akan bisa membantumu." "Kau membuang ponselku? Yang benar saja! Itu adalah ponsel yang kubeli dengan uang tabunganku sejak SMA. Kenapa kau membuangnya?!" "Aku tahu jika nanti kau akan menghubungi polisi makanya aku buang." "Oh Tuhan. Bagaimana aku bisa berkomunikasi?" "Sangat Mudah." "Apa maksudmu?" "Kau hanya perlu menjadi partner-ku dan akan kuberikan kau ponsel." Ema mengernyit bingung mendengar kata "partner". "Partner?" "Maksudku teman pembunuh. Tugasmu hanya satu, jika aku meneleponmu kau harus segera ikut denganku untuk membunuh seseorang." "Tid—" "Jangan bilang tidak! Atau aku akan mencongkel bola matamu itu!" potong Kevin cepat, "kalau sampai kau memberitahu kasus ini kepada polisi ataupun yang lainnya. Siap-siap saja, nyawamu akan hilang dengan pisauku." tegas Kevin memperlihatkan pisaunya. "Apa kau setuju?" "Baiklah. Aku setuju." Tidak, Ema sebeneranya tidak setuju. Ia adalah manusia waras. Ia tidak mau membunuh orang yang tak mempunyai salah kepadanya. Persetujuan ini hanya mainan semata. Tenang saja, suatu saat nanti Ema akan melaporkan kasus ini kepada polisi. Yang terpenting sekarang adalah ponselnya, bagaimana ia bisa hidup jika tak ada alat komunikasi? "Aku akan pegang janjimu." Kevin pun mengeluarkan ponsel Ema dari saku jasnya dan memberikannya kepada Ema. "Tadi kau bilang ponselku sudah kau buang?" protes Ema. "Aku hanya bergurau. Daripada dibuang lebih baik dijual." "Selain psychopath ternyata kau juga pandai berdagang ya." "Hm, mungkin saja." "Kau sangat pintar bersembunyi dibalik topengmu. Aku tidak menyangka manusia seramahmu bisa melakukan perbuatan sekeji ini." "Siapa yang menyuruh mereka untuk percaya kepadaku? Manusia hanya menilai seseorang dari luar namun tidak dari dalam. Padahal di dalam hati manusia banyak tersimpan bangkai busuk yang ia simpan rapat-rapat." "Kau menyindir dirimu sendiri?" "Kenapa kau senang sekali meledekku? Kau mau mati ditangan bosmu ini?" Kevin menunjuk mata Ema dengan sebilah pisau yang tajam. "Hentikan. Kau benar-benar pria gila!"

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD