“b******k! Apa lagi yang ada di dalam otak orang ini,” umpat Siena dalam hati sambil menatap Axel penuh curiga.
“Apa syaratnya?” tanya Siena ingin tahu.
Axel kembali menyeringai. Dia sedikit menggerakkan kursinya yang otomatis membuat badannya bergerak ke kanan dan ke kiri.
“Aku akan masuk ke perusahaan, asal kamu jadi sekretarisku,” ucap Axel santai.
“Apa? Sekretarismu?!” Mendengar permintaan Axel itu, Siena semakin kesal.
“Aku bakalan siapkan sekretaris buat kamu. Aku gak mau!” tolak Siena tegas.
“Kalo gak mau ya udah. Aku gak akan mau kerja. Aku bakalan balik ke—“
“Jangan!” pekik Siena.
Tentu saja Siena tidak mau kehilangan Axel lagi. Kalau Axel kembali ke Amerika, dia harus kerja keras lagi membujuk pria itu. Dan itu berarti kehidupannya di neraka keluarga Wijaya akan semakin lama.
Axel menyeringai. Ini berarti keinginannya akan pasti akan dipenuhi oleh Siena.
Keinginannya menyiksa wanita yang pernah mencampakkannya itu dan kini tiba-tiba menjadi ibu tirinya sepertinya akan berhasil.
“Sekretaris. Apa ada pilihan lain?” tanya Siena.
“Maksud kamu?”
“Iya. Aku gak mungkin jadi sekretaris kamu. Papamu gak akan setuju,” ucap Siena mencari alasan.
“Aku gak mau tau! Kalo kamu gak mau jadi sekretarisku, maka aku gak akan mau kerja!” ancam Axel.
“Axel! Jangan anak kecil lah!” bentak Siena.
“Anak kecil? Kamu liat aku kayak anak kecil?” ucap Axel yang mulai kesal dengan ucapan ibu tirinya itu.
“Kalo bukan anak kecil trus apa? Kamu yang bilang sendiri kalo kamu gak mau aku nguasai harta papamu. Tapi kenapa kamu malah minta aneh-aneh kayak gini. Childish!”
Mendengar bantahan Siena, membuat emosi Axel kian naik. Dia kini berdiri dan berjalan mendekat ke arah Siena.
Tatapan lurus dan tajam Axel membuat Siena merasa tidak nyaman. Dia yang tidak sempat berdiri dari kursinya, berusaha menghindar sebisanya, karena kini tubuh Axel kian mendekat kepadanya.
Axel memutar kursi Siena agar menghadapnya. Dia meletakkan kedua tangannya di tatakan tangan kursi yang ditempati Siena.
“Ngomong apa kamu barusan? Ulangi lagi!” tegas Axel pelan tapi penuh penekanan.
“Childish! Kamu kayak anak kecil,” ucap Siena sambil menyembunyikan rasa takutnya.
“Childish? Apa kamu lupa kalo aku pernah bikin kamu mengerang di bawahku, Nyonya Siena?”
“Axel!” bentak Siena yang kemudian segera mendorong tubuh Axel menjauh darinya.
Siena segera berdiri. Dia membuang muka dari Axel yang baru saja mengingatkannya kembali pada kenangan kebersamaan mereka dulu.
Melihat Siena gugup, membuat Axel menarik sudut bibir kanannya ke atas. Dia yakin, Siena masih ingat kenangan mereka dulu, bahkan mungkin saja tubuh wanita itu masih mengingatnya.
“Kenapa? Apa itu yang kamu maksudkan dengan childish?” tanya Axel dengan nada meledek.
Siena kembali menatap Axel. Dia tidak ingin terlihat lemah apalagi kalah di depan pria yang dia benci itu.
“Axel, aku ini ibu kamu. Apa kata klien kita kalo nanti mereka liat aku malah jadi sekretaris kamu? Gak pantes tau gak!” Siena berusaha menolak dengan cara lain.
“Apa peduliku!”
“Harus peduli lah. Perusahaan ini juga hidup dari klien. Selama ini aku udah menahan semua omongan orang karena aku menikahi papamu. Sekarang apa harus ditambah dengan jadi sekretaris kamu juga?”
“Kan emang itu nilai kamu. Perempuan murahan yang ngejer uang!”
“Axel! Aku gak serendah itu. Jaga mulut kamu!” bentak Siena kesal dengan semua hinaan Axel selama ini kepadanya.
Axel terdiam sejenak. Dia menatap Siena yang terlihat sangat kesal kepadanya.
“Ok. Kalo gak jadi sekretaris, lalu kamu mau jadi apa?” tanya Axel sedikit mengalah, karena dia tidak mau Siena pergi. Kalau Siena pergi, maka aksi balas dendam itu berhasil.
“Aku? Aku berencana tinggal di rumah aja kalo kamu udah masuk ke perusahaan.” Siena ingin segera mengakhiri drama ini dan pergi dari neraka keluarga ini.
“Enak aja. Kamu mau ngabisin duit papa tanpa kerja? Trus apa bedanya kamu sama Chelsea. Kamu harus tetap kerja dan kamu akan terus ada di samping aku!” ucap Axel.
“Aku akan siapkan asisten buat kamu. Dia akan mengurus kamu dengan baik.”
“Tapi aku tetap mau kamu. Di sini yang aku kenal cuma kamu. Dan cuma kamu yang aku percaya. Dan aku yakin, kamu bisa memberitahuku tentang perusahaan, lebih baik dari asisten pribadi.”
Siena menarik napas dalam sambil cemberut. “Orang gak tau diri! Ok, aku akan bertahan sebentar lagi,” umpat Siena dalam hati.
“Ok! Aku akan tetap di posisiku sekarang, sampe kamu siap pimpin perusahaan sendirian,” jawab Siena yang akhirnya mengalah.
Senyum kemenangan merekah di bibir Axel. Senyum yang membuat Siena semakin kesal pada anak tirinya itu.
“Ok! Trus, sekarang apa yang harus aku lakukan?” tanya Axel sambil tersenyum cerah.
“Tunggu sini. Aku akan kenalkan asistenmu dan sekretarismu.”
Siena segera keluar dari ruangan kerja Axel. Napasnya terasa sesak setiap kali dia bersama dengan pria itu.
Ternyata, di depan ruangan Axel, Leo masih setia menunggu Siena. Saat melihat Siena keluar, Leo segera mendatangi Siena.
“Siena, gimana di dalam? Dia beneran mau masuk kantor?” tanya Leo.
Siena melepaskan napasnya kasar sambil menutup matanya. Tentu saja dia berusaha menetralisasi emosi yang menyesakkan dadanya sejak tadi.
Siena mengangguk. “Iya, dia mau. Sekarang kita masuk. Oh iya, mana Dewi?” tanya Siena saat melihat meja sekretaris kosong.
“Bentar, kupanggilin. Tadi dia ku suruh fotokopi.”
Leo segera pergi untuk menyusul Dewi, sekretaris pimpinan yang selama ini menjadi sekretaris Siena. Dia segera mengajak Dewi menemui Siena yang masih menunggu di depan ruang kerja Axel.
Siena segera mengajak Leo dan Dewi masuk ke dalam ruang kerja Axel. Pria muda menyebalkan itu tengah duduk santai di singgasananya, menanti kedatangan Siena kembali.
Axel menatap ke arah Leo dan Dewi yang tadi sempat bertemu dengannya saat dia datang. Dia kemudian menatap Siena, seolah menyuruh Siena bicara.
“Axel, ini Leo. Dia yang akan jadi asisten pri—“
“Aku gak mau. Cari orang lain!” tolak Axel langsung.
“Tapi Leo dulu asisten papamu. Jadi dia pasti tau semua yang kamu butuhkan.”
“Termasuk laporan ke papa. Gak mau, cari orang lain. Kalo gak, aku bakalan cari sendiri!” Axel kekeh dengan ucapannya.
Siena menoleh ke arah Leo sejenak sebelum dia kembali melihat ke arah Axel. “Ya udah, nanti aku carikan yang lain.”
“Yang ini Dewi. Dia sekretaris di sini.”
“Dewi, ini Pak Axel. Dia akan jadi presdir, menggantikan Pak Irwan,” ucap Siena memperkenalkan Axel ke Dewi.
“Selamat datang, Pak Axel. Saya akan membantu Bapak,” jawab Dewi sambil tersenyum.
Axel mengangguk mendengar salam dari Dewi. Matanya menatap Dewi yang bertubuh sintal lengkap dengan sepatu hak tinggi dan rok mininya itu.
“Dasar m***m,” cemooh Siena dalam hati, saat melihat Axel tersenyum m***m ketika melihat Dewi.
“Kalo gitu, aku pergi dulu. Dewi akan bawa berkas yang harus kamu periksa hari ini ke sini,” ucap Siena berpamitan, karena sudah mau muntah melihat wajah Axel.
“Kamu kerja di sini hari ini. Temani aku,” titah Axel sambil mengangkat pandangannya ke arah Siena.