Bab 6

2107 Words
Bruk! Biantara meletakkan buku tebal itu di atas meja depan Kania. Gerakannya cukup kasar, membuat suara hantaman terdengar jelas di ruang makan. Tatapannya datar, dingin, seperti menahan sesuatu yang tak ingin ia tunjukkan. Sementara itu, map di tangan ia serahkan pada Hans. “Semua file-nya sudah saya cetak. Bang Hans tinggal tanda tangan saja.” Hans menatap isi map itu sekilas, kemudian mengangguk beberapa kali. Perusahaannya memang menjalin kerja sama dengan perusahaan milik adiknya, jadi ia tak banyak bertanya. “Oke. Nanti saya bereskan semuanya,” jawabnya singkat sebelum beranjak ke ruang kerja untuk menyimpannya terlebih dahulu. Suara Yasmin memecah ketegangan kecil yang sempat menggantung. “Mas Bian ikut sarapan, ya. Mumpung ada menu kesukaan Mas Bian yang dimasak Mama.” Biantara menoleh, menatap meja makan yang penuh dengan hidangan hangat. Aroma masakan rumahan memenuhi udara. “Boleh. Makasih, Mbak,” ujarnya singkat, suaranya terdengar datar, namun sopan. "Sama-sama, Mas Bian." Ranti menarik kursi di sampingnya, memberi isyarat pada Biantara untuk duduk. Ia bahkan langsung mengambilkan makanan untuk putra tengahnya itu—yang kini sudah tak lagi serumah dengannya sejak beberapa bulan lalu. Biantara duduk berseberangan dengan Kania. Tatapannya semula tenang, kini bergeser pada gadis yang terlihat murung dan terus menunduk. “Buku kamu ketinggalan.” Ucapannya pelan, tapi tegas. Kania sempat melirik sekilas, dan benar saja—buku yang ia kira hilang sejak bulan lalu kini ada di tangan Biantara. “Ma—makasih, Om,” jawabnya gugup. Pria itu tidak menanggapi. Ia hanya menunduk, menekuri piring di depannya. Namun, sesekali matanya kembali menatap ke arah Kania, memperhatikan setiap detail dengan saksama. Mata yang sembab, wajah pucat, tangan penuh luka kecil, dan sudut bibir yang tampak lecet. Biantara tersenyum samar, senyum yang tak terbaca. Ia tahu persis siapa yang menyebabkan semua itu. Hans, jelas itu ulahnya. Dan ia sama sekali tidak berempati, sebab bahkan dari gadis itu hadir di tengah-tengah keluarga, ia juga sangat membencinya. “Bia, Kania ke kamar dulu,” ucap Kania akhirnya, mencoba menghindari suasana. “Oke,” jawab Yasmin lembut. Kania berdiri, mendorong kursinya perlahan sebelum melangkah pergi. Cara jalannya tak luput dari perhatian semua orang di ruangan itu. Kali ini, Kania mengenakan dress—sesuatu yang jarang sekali ia pakai di rumah. Biasanya, ia selalu memilih celana panjang. Langkahnya pun tampak berat, sedikit pincang. Saat menaiki tangga, ia harus berpegangan kuat pada railing agar tidak kehilangan keseimbangan. “Lain kali jangan terlalu memanjakan anak itu, Yasmin! Dengan cara jalannya seperti itu, apa nggak cukup bukti kalau dia itu gadis nakal?!” Teguran Ranti memecah suasana. Yasmin berhenti mengunyah, menelan sisa makanan dengan bantuan air putih yang ia teguk perlahan. Ia menatap ibu mertuanya, suaranya lembut, namun tegas. “Belum jelas sebab Kania seperti itu, Ma. Nanti Yas coba tanya dulu.” Hening menyelimuti meja makan. Hanya denting sendok yang sesekali terdengar, menggantikan percakapan yang terputus. “Elang masih sakit, Mbak?” tanya Biantara tiba-tiba. Yasmin menoleh. “Masih, tapi alhamdulillah udah mendingan setelah dikasih bubur kacang ijo jahe merah buatan Mama.” “Oke. Nanti saya temui dia.” ** Dua minggu kemudian... Kania duduk di dalam kelas, menatap papan tulis tanpa benar-benar fokus. Luka-luka di jarinya sudah kering, bibirnya pun tampak pulih tanpa bekas. Dari luar, ia terlihat jauh lebih baik. Tapi, di dalam dirinya, ada sesuatu yang tidak sama. Akhir-akhir ini tubuhnya sering lemas. Makanan yang biasanya ia suka kini terasa hambar. Bahkan, beberapa kali ketika hendak menyendok nasi, rasa mual datang tanpa peringatan. “Kania! Lo mikir apa, sih? Dari tadi ngelamun terus!” Suara cempreng Nala membuatnya tersentak. Kania menoleh cepat, lalu menggeleng singkat, mencoba tersenyum walau wajahnya tampak pucat. Nala menyipitkan mata, menatap sahabatnya lebih saksama. “Lo kenapa? Muka lo pucet banget. Lo lemes, ya?” katanya khawatir. Ia mencondongkan tubuh sedikit, lalu menepuk pundak Kania pelan. “Kita ke UKS aja, yuk? Atau mau gue temenin ke klinik sekolah?” Kania menggeleng pelan. “Nggak, Nal. Nggak apa-apa. Aku baik-baik aja, kok.” Nala masih menatapnya dengan dahi berkerut. Ia memperhatikan setiap gerak kecil sahabatnya—cara Kania memegang perut, napasnya yang berat, sampai senyum yang tampak dipaksakan. Ada sesuatu yang tidak beres, ia yakin itu. “Kita ke kantin, yuk!” ajaknya akhirnya, mencoba mencairkan suasana. Kania kembali menggeleng lemah. “Kamu aja. Aku lagi nggak pengen makan apa-apa.” Nala menghela napas. Semakin lama, ia semakin bingung dengan sikap Kania yang berubah drastis akhir-akhir ini. Belum sempat ia bertanya lagi, gadis di sampingnya itu sudah berdiri dengan langkah lesu. “Ih, mau ke mana?” “Kamar mandi,” jawab Kania singkat, tanpa menoleh. “Gue ikut!” Nala langsung bangkit dan mengejar, khawatir jika Kania benar-benar pingsan di jalan. Begitu sampai di kamar mandi, suara mual terdengar dari salah satu bilik. Nala menegang. Ia mengetuk pintu cepat-cepat. “Kania! Lo nggak apa-apa, ‘kan?” serunya panik, lalu masuk, membantu ketika sahabatnya keluar dengan wajah pucat. Kania menggeleng pelan. Satu tangannya terangkat, memberi tanda agar Nala tidak panik. “Duh, ini pasti gara-gara lo kebanyakan begadang, ya?! Makanya masuk angin begini!” gerutu Nala sambil memijat tengkuk sahabatnya. “I–iya, mungkin, Nal,” sahut Kania pelan. Ia bersandar di wastafel, mencoba menenangkan diri. Tangannya tanpa sadar mengusap perutnya yang terasa kram. “Akhir-akhir ini aku sering begadang ngerjain soal latihan olimpiade.” Tubuh lemah Kania dirangkul oleh Nala. Ia dudukkan sahabatnya di kursi yang ada di dekat kamar mandi. "Tuh, kan. Kalo udah sakit gini gimana coba? Untung hari ini lo nggak ada latihan. Kita ke UKS aja, ya? Mumpung jam pelajaran juga kosong." “Boleh. Perut aku kram banget soalnya.” Akhirnya, Nala membawa Kania ke UKS. Ia membantu sahabatnya berbaring di ranjang dan mengambil minyak angin untuk mengoleskan ke perut Kania. “Gue ke kantin dulu, ya. Lo belum sarapan, ‘kan?” Kania menggeleng lemah. “Belum, tapi nggak usah, Nal.” Namun, Nala tetap bersikeras. “Gue balik bentar aja, sumpah,” katanya sebelum bergegas keluar. Kania mendesah pelan, menatap langit-langit ruangan. Ia merasa beruntung masih punya sahabat seperti Nala—seseorang yang selalu perhatian meski tak tahu beban sebenarnya yang ia simpan. Perlahan, Kania menarik selimut, menutupi setengah tubuhnya. Rasa sakit di perutnya makin terasa, tapi tubuhnya mulai lelah, matanya berat. Ia hampir tertidur ketika suara langkah berat terdengar mendekat. Kania membuka mata pelan. Jantungnya berdegup kencang saat suara dehaman pelan memecah kesunyian. Ia menoleh, dan napasnya tercekat. Di ambang pintu, berdiri seorang pria—sosok yang tak asing, tapi justru ingin sekali ia lupakan. “Kamu…” bisiknya, suaranya bergetar. "I miss you so bad, Kania," ucapnya menyeringai. Ia berjalan mendekat, lalu berdiri di samping ranjang Kania. "Are you okay, hm?" Lelaki itu dengan berani membelai wajah Kania. Merasa tidak nyaman, Kania menepis tangan itu kasar. Davin, lelaki yang bahkan tidak pernah berhenti untuk mengganggunya selama ini. "Jangan kurang ajar kamu, Dav!" Nada ketus itu keluar dari mulut Kania. "Oh, calm down, Babe. Gue ke sini cuman mau mastiin calon istri gue baik-baik aja, kok." Kembali, tangan Davin terulur untuk menyentuh wajah Kania. Kali ini gadis itu memberi tindakan tegas dengan mendorong tubuh Davin sekuat mungkin. "Kenapa? Lo nggak inget malam itu kita hampir--" "Stop! Nggak usah ngarang kamu, Dav! Aku nggak pernah sedikit pun mau disentuh sama kamu!" "Ayolah, Kania. Apa susahnya buka hati buat gue? Gue jamin lo bakal bahagia di tangan gue!" Muak. Kania benar-benar muak ketika harus berhadapan dengan Davin yang sangat keras kepala untuk terus mendapatkan hatinya. "Nggak ada yang bisa jamin kebahagiaan seseorang, Dav. Kamu bukan Tuhan." Kalimat itu tanpa sadar membangkitkan emosi Davin. Gadis di depannya ini terlalu angkuh. Banyak cara yang sudah dilakukan, tapi hasilnya nihil. Kania tidak pernah sedikit pun membuka hati untuk Davin. Kecewa? Jangan ditanya lagi. Bahkan, lelaki tersebut merasa sakit hati karena ditolak berkali-kali. "Apa kurangnya gue, Kania? Selama ini gue yang selalu ada buat lo!" "Aku nggak pernah minta, Davin," ucap Kania mantap. Matanya menatap tajam ke arah Davin. "Kamu sendiri yang dateng dan deketin aku terus-terusan." Hening. Ruang yang cukup luas dengan beberapa tempat tidur dan tirai menggantung untuk sekat itu terasa kosong. Davin berdiri kaku. Ia memaku tatapannya terhadap gadis yang kini acuh tak acuh dengan kehadirannya di sini. Sesaat kemudian, ia condongkan tubuhnya untuk menghapus jarak dengan Kania. Kedua tangannya bertumpu pada sisi tempat tidur. "Ingat, Kania. Dua minggu lalu kita udah berbuat hal di luar batas. Cepat atau lambat, lo bakal minta tanggung jawab gue." Kania menoleh. Dahinya mengernyit. Ia tidak paham dengan ucapan Davin. Memang, apa yang sudah dilakukan? Gadis tersebut merasa tidak pernah sekali pun memberi kesempatan padanya untuk melakukan hal tidak senonoh. Selama ini, Kania cukup bisa menjaga diri, meskipun Davin sering kali melakukan berbagai cara untuk menjebaknya. "Bullshit! Aku nggak percaya sama kamu, Dav!" "Lo boleh nggak percaya, Kania. Lo nggak akan inget karena pengaruh obat. Lo yang mohon-mohon minta tolong sama gue buat dilayani!" Ucapan Davin makin lama membuat Kania makin ragu dengan diri sendiri. Ia jelas-jelas ingat jika malam itu melakukannya dengan Biantara. Pamannya itu yang memberi penawar dari sensasi aneh yang bereaksi ke tubuhnya. Dan Kania yakin bahwa pandangannya tidak mungkin salah. "Kenapa diem? Lo nggak bisa nyangkal, Kania. Lo udah jadi milik gue sepenuhnya." Gadis itu menggeleng kuat. “Nggak! Kamu bohong, Dav! Kita nggak pernah ngelakuin apa pun!” Di tengah suasana yang tidak lagi kondusif, Nala datang sambil membawa dua porsi nasi goreng dan teh manis hangat. Nampan itu ia letakkan di atas meja. “Heh! Ngapain lo di sini?!” Teguran dengan nada sarkas itu diberikan Nala. Ia mendorong tubuh Davin supaya menjauh. “Tanya sahabat lo! Dia butuh tanggung jawab gue!” Nala menatap bingung ke arah Davin, lalu Kania. Tanggung jawab? Ia tidak paham dengan maksud ucapan lelaki tersebut. “Inget itu baik-baik, Kania!” Davin memberi peringatan, sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi dari sana. Kepergian Davin menyisakan tanda tanya besar di kepala Nala. Ia lantas menaruh atensi pada Kania yang tampak cemas. “Kamu ... nggak habis aneh-aneh sama Davin, kan?” Ia menunjukkan raut curiganya pada Kania. Apalagi tadi di kantin pun cukup antre hingga memakan waktu cukup lama untuk menunggu pesanan. “Nggak, Nal. Aku nggak aneh-aneh, kok. Cuma dianya aja yang resek.” Kania berusaha tersenyum, tapi suaranya terdengar lemah. Nala menatapnya lama, masih diliputi rasa ragu, namun akhirnya memilih percaya. “Oke, deh. Kalau gitu, lo makan dulu.” Ia menyodorkan piring berisi nasi goreng ke hadapan Kania. Tapi, baru saja aroma makanan itu tercium, wajah Kania mendadak berubah. Perutnya bergejolak, mual hebat menyerang tanpa peringatan. Kania menutup mulut, menahan napas, lalu mendorong piring itu menjauh. Seketika, ia turun dari ranjang dan berlari ke kamar mandi UKS. Di wastafel, tubuhnya membungkuk lemah. Ia memuntahkan cairan bening yang terasa pahit di tenggorokan. Rasa perih di perut semakin menjadi, membuat tubuhnya gemetar. Nala yang berdiri di dekat bilik hanya bisa menatap khawatir. Ia menunggu sampai Kania membasuh mulut dan mengelap wajahnya dengan tisu, lalu perlahan mendekat. Tanpa banyak bicara, Nala mengeluarkan sesuatu dari saku rok seragamnya—sebuah alat kecil dalam bungkus plastik. Ia menyodorkannya ke depan Kania. Kania menatap benda itu, matanya melebar kaget. “Maksudnya apa, Nal?” tanyanya pelan, suaranya bergetar. “Udah, deh. Lo udah beberapa hari mual, pucet, dan lemes. Lo nurut sama gue,” ucap Nala. Tegas, tapi lembut. “Coba sekarang lo tes. Biar kita tahu.” Menggeleng, Kania menolak. Ia tidak mungkin hamil. Sekali lagi, mustahil. Ia hanya melakukannya sekali, dan tidak mungkin ia hamil secepat ini. "Aku ... aku nggak mau, Nal. Aku nggak pernah ngelakuin itu. Mana ada orang nggak ngelakuin bisa hamil.” Kania tertawa sumbang, berusaha menutupi rasa gugupnya. “Kalau emang nggak ngelakuin, lo nggak usah takut gitu, dong. Ayo, cek.” Nala tetap kekeuh meminta sahabatnya melakukan itu. Alat tes tersebut kini ia taruh di telapak tangan Kania yang masih diam. “Cepetan. Gue tunggu. Mumpung nggak ada orang.” Kania menatap benda di tangannya lama sekali. Ia ragu, takut, dan bingung. Rasanya seperti ada jarak tak terlihat antara dirinya dan kenyataan yang menunggu di depan mata. Namun, akhirnya ia melangkah pelan ke bilik kecil di sudut UKS. Beberapa menit terasa seperti berjam-jam. Saat menunggu hasil itu, tubuh Kania bergetar. Tangannya mencengkeram sisi meja, napasnya naik turun cepat. Ia mencoba meyakinkan diri, berbisik lirih pada bayangan di cermin. “Nggak. Kamu nggak mungkin hamil, Kania. Nggak mungkin. Nggak mungkin kamu hamil anak pamanmu sendiri.” Ia menunduk, menatap alat di tangannya. Perlahan, warna pada garis itu mulai muncul—pertama samar, lalu jelas. Dua garis. Dunia seolah berhenti berputar. Kania terpaku, tubuhnya kehilangan tenaga. Bibirnya bergetar, tapi tak ada suara keluar. Air mata jatuh begitu saja, menandai awal dari kenyataan yang tak pernah ia bayangkan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD