Ceklek!
Pintu itu terbuka. Nala masuk begitu saja lalu langsung memeluk Kania yang saat ini terduduk di lantai sambil menggenggam hasil tesnya. Tubuh gadis itu bergetar hebat, wajahnya pucat, dan matanya kosong.
Dengan hati-hati, Nala menuntunnya untuk berdiri. Tangannya terulur, mengambil alat kecil itu dari genggaman Kania.
“Lo... beneran hamil, Kania....”
Ucapan Nala menggantung di udara. Suaranya pelan, tercekat di tenggorokan. Ia bahkan tak sanggup melanjutkan kata-katanya lagi.
Dua garis pada alat itu terasa menampar kesadarannya. Dadanya sesak. Kania—gadis yang selama ini ia kenal pendiam, tertutup, dan berhati-hati—kini menghadapi kenyataan yang tak pernah ia bayangkan.
“Kania? Jawab gue! Lo ngelakuin ini sama siapa?!”
Nala mulai mendesak. Ia tidak lagi peduli dengan kondisi Kania yang kini tampak seperti orang linglung.
Mata Kania menatap kosong. Air matanya berderai tanpa henti. Sementara tangan yang masih digenggam oleh Nala bergetar hebat, dingin seperti es.
Sesaat kemudian, Kania menunduk. Ia melepaskan genggaman itu perlahan, lalu duduk di tepian tempat tidur. Isaknya terdengar semakin jelas, memecah keheningan ruangan.
“Kania, jawab! Lo kenapa bisa kayak gini, sih? Lo dipaksa atau gimana? Cerita sama gue, tolong,” desak Nala lagi.
Namun, setelah cukup lama menunggu, tak ada satu pun jawaban yang keluar. Hanya suara tangis lirih yang makin lama makin sesenggukan.
Kania tak sanggup berkata apa-apa. Nafasnya tersengal, berusaha ia atur berulang kali agar bisa tenang—tapi sia-sia. Rasa gugup, takut, dan panik membuat tubuhnya kaku. Tatapannya terus tertuju pada alat di tangan Nala yang kini terasa seperti vonis.
Pikirannya kacau bukan main.
“Oke,” ucap Nala akhirnya, menurunkan suaranya agar lebih lembut. “Kalau lo belum siap cerita sekarang, nggak apa-apa. Tenangin diri lo dulu.”
Nala akhirnya memilih mengalah. Ia tidak mau terus mendesak Kania yang bahkan tampak seperti kehilangan arah.
Dengan hati-hati, gadis itu mengambil segelas teh manis yang mulai dingin di meja, lalu meminumkannya perlahan kepada Kania.
Satu tangannya bergerak lembut, mengusap punggung sahabatnya berulang kali. Dari dekat, Nala bisa melihat betapa hancurnya Kania—dari wajah pucatnya, bibir yang bergetar, hingga mata yang sembap penuh sesal.
“Masa depan aku hancur, Nal. Aku harus gimana?” suara Kania pecah di sela isaknya. Ia bersandar di bahu Nala yang kini mendekapnya, membiarkan air matanya jatuh membasahi seragam sahabatnya itu.
“Lo tenang dulu,” ucap Nala lembut, berusaha menahan suaranya agar tetap stabil. “Kita cari jalan keluarnya, ya. Kamu nggak boleh nyerah kayak gini. Tenang... gue bakal bantu dan ada buat lo.”
“Aku takut, Nal....”
Tangis Kania pecah lagi, kali ini lebih keras dan terdengar menyayat. Nala hanya bisa memeluknya lebih erat, menyalurkan ketenangan semampunya.
“I feel you, Kania,” bisiknya pelan. “Kita pikirin nanti bareng-bareng, gimana jalan keluarnya. Sekarang lo makan dikit aja, ya. Kalo badan lo masih lemes, gue anter pulang.”
Kania menggeleng, menolak masukan sahabatnya. Jam keempat ada ulangan Bahasa Jerman. Tidak mungkin ia melewatkannya begitu saja. 
“Nggak. Aku udah enakan, Nal. Setelah ini ada ulangan. Aku nggak mau nilai kurang karena ikut susulan.”
Nala menatap lekat wajah sahabatnya, berusaha mencari keyakinan di sana. Meski warna wajah Kania masih sedikit pucat, setidaknya tenaga gadis itu tak selemah sebelumnya.
“Oke, tapi lo makan dulu,” ucap Nala akhirnya, lembut tapi tegas.
Kania menurut. Dengan perlahan, ia menelan makanan yang disuapkan Nala sedikit demi sedikit. Setiap suapan terasa berat, tapi ia berusaha menuntaskannya.
“Cukup, Nal. Kamu makan dulu. Masih ada waktu lima belas menit sebelum jam keempat,” katanya pelan, berusaha menampilkan senyum tipis meski matanya masih sembap.
**
Tidak terasa, jam pulang sekolah telah tiba. Bel tanda akhir pelajaran bergema di seluruh penjuru gedung. Suara kursi bergeser, tawa siswa, dan langkah kaki berhamburan ke luar kelas memenuhi udara sore yang mulai redup.
Di tengah keramaian itu, Elang berjalan santai menuju area parkir. Seragamnya sudah sedikit kusut karena seharian belajar, namun raut wajahnya tetap tenang seperti biasa. Ia membuka pintu mobil, duduk di kursi kemudi, lalu menyalakan mesin untuk menyalakan pendingin udara.
Ia menunggu Kania yang belum juga keluar dari kelasnya. Sambil menunggu, tangannya sibuk dengan ponsel. Di layar, pesan dari pamannya—Biantara—muncul singkat, meminta jadwal bimbingan dimajukan lebih awal. Elang membalas seperlunya, menyebutkan bahwa ia masih menunggu Kania pulang.
Beberapa menit berlalu. Suasana di halaman sekolah mulai sepi, hanya beberapa siswa yang tersisa. Hingga akhirnya, Kania muncul dari koridor. Langkahnya gontai, wajahnya pucat, dan tubuhnya tampak kehilangan tenaga. Rambutnya yang biasanya rapi kini sedikit berantakan tertiup angin sore.
Gadis itu membuka pintu mobil dengan gerakan lambat, lalu duduk di kursi penumpang. Begitu pintu tertutup, napasnya terdengar berat—seolah tenaga terakhirnya terkuras habis oleh rasa mual yang terus datang sejak pagi.
“Saya anter Kak Kania ke mansion Om Bian dulu. Saya nggak bisa bimbingan hari ini.”
Nada suara Elang datar, tapi jelas ada kekhawatiran tersirat di sana. Ia melirik sekilas ke arah kakaknya yang duduk lemah di samping.
Kania menoleh pelan, alisnya berkerut tipis. “Lho, kenapa? Masa Kakak bimbingan sendiri? Nanti kalau ....”
Ucapan itu terputus. Ia menunduk, kehilangan tenaga, lalu mengembuskan napas panjang yang terdengar berat. Matanya terpejam sebentar, berusaha menahan pusing yang menyerang.
“Ya, udah, nggak apa-apa.”
Nada suaranya lirih, nyaris tenggelam di antara dengung mesin mobil. Elang menatap ke depan, tangannya sudah memindahkan tuas ke posisi jalan.
“Nanti pulangnya saya jemput.”
“Oke.”
Jawaban singkat itu keluar begitu saja, disertai anggukan lemah. Kania menyandarkan kepala ke jendela, menatap jalanan yang mulai padat di luar sana. Di sisi lain, Elang tetap fokus mengemudi—sementara sore berganti dengan langit oranye yang perlahan memudar.
Mobil itu maju dengan kecepatan tinggi. Elang terlihat buru-buru, tapi pandangannya tetap fokus ke jalanan yang lengang. 
Pukul tiga tepat, keduanya sampai di mansion megah milik Biantara. Bangunan yang memiliki laboratorium luas di bawah tanah itu menjadi tempat bimbingan mereka yang baru. 
“Saya pergi dulu, Kak. Kakak masuk aja, mumpung belum telat.”
Kania mengangguk. Tangannya memeluk buku tebal. Jaket jeans milik Nala tersampir di bahunya. Meskipun dalam kondisi tidak baik, tapi ia harus tetap melakukan bimbingan.
“Hati-hati, Lang. Jangan kebut-kebutan!” Kania berseru saat mobil Elang mulai putar balik. 
Gadis itu kini memutar tumitnya. Mansion dengan penjagaan ketat itu didominasi oleh warna hitam dan gold. Tamannya luas, dengan lampu dan pepohonan besar di sekeliling. 
Mansion tersebut juga berada di tempat yang cukup sepi karena lokasinya yang ada di pinggiran. Ini kali pertamanya ia datang setelah insiden malam itu. 
Dan, tentu saja perasaan gelisah mulai hinggap. Ia terbayang dengan sosok Biantara yang merenggut kegadisannya. 
Jari-jarinya menggenggam bukunya makin erat. Berat, ia langkahkan kakinya masuk ke gerbang yang terbuka otomatis. 
Beberapa penjaga di sana menatapnya awas, penuh intimidasi. Hal itu membuat Kania langsung menunduk dan mempercepat langkah itu.
Sebuah pintu ruang bawah tanah yang dijaga oleh dua orang berbadan kekar itu masih tertutup. Ia mendekat, menunjukkan kartu akses pada salah satunya. 
Sensor di sisi kanan memindai kartu akses yang baru saja ditempelkan oleh penjaga itu. Sedetik kemudian, pintu terbuka halus. 
“Terima kasih.” Kania berucap formal lalu mengambil kartu itu untuk disimpan di sekat tasnya. 
Kaki Kania kini melangkah masuk. Aroma antiseptik dan suara mesin yang berdengung lembut menambah suasana tegang.
Sejenak, gadis itu berdiri kaku. Matanya menjelajah tiap sisi dari ruang luas yang berlapis panel logam abu. Cahaya putih bersih terpantul dari lampu yang ada di langit-langit ruang. 
Di sepanjang tembok, layar digital menampilkan beberapa angka dan tulisan yang menakjubkan. Grafik suhu, tekanan udara, dan diagram kimia bergerak terus-menerus, mengubah tampilan secara berangsur dan teratur. 
Meja-meja yang terbuat dari stainless berderet rapi. Tumpukan kertas pun ditaruh pada tempat paling ujung dan tertata. 
Gadis itu menarik napas dalam. Jaket lab warna putih itu diraih lalu memakainya serapi mungkin. Rambutnya diikat dengan karet kuncir yang ada di pergelangan tangan.
Kania melangkah lagi hingga menemukan seorang pria yang berdiri membelakangi di ujung ruangan. Tubuh tegap, posturnya lurus. 
Rambut hitamnya tersisir rapi ke belakang. Jas yang sama dengan Kania membingkai sosoknya dengan presisi dan sempurna.
Biantara. Siapa yang menyangka jika pria yang selalu ia takuti selama ini menjadi penghancur masa depannya. Mengingat malam itu, ia benci. 
Tarikan napas dalam ia lakukan, kemudian mengeluarkannya pelan dari mulut. Gadis tersebut memberanikan diri untuk membuka suara. 
"S-sore, Om ...."
Gadis tersebut tergagap. Dua patah kata itu diucap dengan putus-putus. 
Biantara tidak menjawab. Ia berjalan ke meja tengah. Layar besar yang ada di sana dinyalakan dan menampilkan file digital—laporan hasil eksperimen simulasi yang kemarin Kania kirim.
“Ini laporan kamu?”
Tatapan Kania mengarah pada layar itu. “Iya, Om.”
Pria itu menunjuk ke salah satu bagian tabel. “Kamu menuliskan hasil pengamatan fase katalik pada suhu dua ratus delapan puluh derajat.”
Kania diam. Entah kenapa, pandangannya kosong. Suara tegas itu ... tidak sebanding dengan suara malam itu, di mana Biantara jelas memakinya menggunakan kalimat kasar.
“Lebih baik pulang. Saya benci dengan orang yang tidak bisa fokus!”
Sindiran keras itu membuat Kania terenyak. Ia gelagapan. “I-iya, Om?” Ia berharap Biantara mengulangi ucapannya tadi. 
Akan tetapi, terlambat. Biantara tidak pernah mau melakukan pengulangan atas ucapannya. Pria itu kembali menatap layar, kemudian berbalik dan menaruh atensi terhadapnya. 
“Data mentah yang kamu kirim mencatat suhu dua ratus tujuh puluh lima.”
Kania sempat terdiam,. Tatapannya turun. Bola matanya bergerak gelisah, seolah mencari jawaban. “Mungkin, ada—”
“Mungkin?” potong Biantara datar lalu terkekeh, meremehkan. “Dalam riset, ‘mungkin’ tidak punya arti.”
Kania buru-buru mengangguk dan meneguk ludahnya kasar. “Baik, Om. Saya akan periksa ulang.”
Pria itu menatapnya tanpa ekspresi. “Tidak perlu. Saya sudah periksa. Kamu membulatkan angka tanpa keterangan. Lima derajat mungkin kecil di menurut kamu, tapi di reaksi katalitik itu bisa berarti hasil gagal.”
Embusan napas Kania terdengar. Ia mengangguk, mengakui kekalahan. “Saya paham, Om. Maaf atas kelalaian saya. 
Dia. Suasana hening. Biantara mengamati gadis yang kini menunduk dalam. Pandangannya bergeser pada jari-jari gadis tersebut.
Lebam dan bekas luka itu masih terlihat sedikit. Terakhir kali, ia melihatnya di rumah sang kakak. Tangan Kania masih dibalut kain kasa. 
Tidak mau peduli, Biantara membuang jauh rasa penasaran itu. Ia melipat tangan di depan d.a.danya yang bidang. 
“Kamu sadar setelah ditegur? Kenapa harus tunggu setelah laporan dikirim?”
Kania membisu. Bibirnya tidak bisa membuka suara. Lidah itu kaku. Tenggorokannya tercekat. Ia tetap diam di tempatnya.
“Dua minggu ini juga kamu menghilang. Mau lari dari tanggung jawab?”
Biantara terus mencecar gadis itu dengan berbagai tuduhan. Ia menyadari ada gerak-gerik aneh pada sosok di depannya. 
Sering kali, ia melempar jauh-jauh rasa peduli itu. Namun, melihat Kania entah kenapa ia merasa ada sesuatu yang bergejolak di dalam dadanya.
Hening berlalu selama beberapa detik. Mesin pendingin di sudut ruang berdengung pelan. Helai rambut gadis itu menutupi wajahnya. 
“Kania ... Kania sa—“
“Alasan klise. Saya tau kamu mau menjawab sakit sebagai penyebab kamu absen datang ke sini untuk bimbingan.”
Kania mendongak. Netra nanarnya berusaha menatap mata tajam Biantara yang tengah memburunya. Ia tidak bohong. Akibat malam itu, membawanya pada rasa sakit selama berhari-hari.
Tubuhnya remuk redam. Seluruh tulang seperti dilucuti. Belum lagi, tangannya yang terluka membuat jari-jarinya tidak bisa menulis. Setidaknya, satu minggu ia terbaring di atas tempat tidur. 
“Dan, tepat hari Jumat malam, dua minggu lalu, kamu ke mana? Bukankah saya meminta kamu datang ke sini untuk bimbingan?”
Gadis itu sontak mendongak. Ia tidak bisa berucap sepatah kata pun kali ini. Bukankah malam itu ia ke sini dan berakhir dihabisi di atas tempat tidur pria itu?
“Om, Kania ke sini, tapi Om ....”
Kania tidak melanjutkan bicaranya saat rasa mual kembali menyerang. Gelombang itu datang tiba-tiba, menghantam perut hingga ke tenggorokan. Wajahnya memucat, napasnya tercekat. 
“Kenapa kamu?!”
***