Bab 8

1818 Words
Kania menggeleng. Ia berusaha menetralkan kondisi tubuhnya yang tidak baik-baik saja. Gadis tersebut menyembunyikan wajahnya yang lemas. “Nggak, Om. Maaf, kania masih masuk angin.” Biantara tidak menanggapi. Ia kembali fokus pada layar di sampingnya. “Jadi, jelas kamu kurang teliti dalam membuat laporan, Kania.” Gadis itu mengangguk. Memang saat mengerjakan laporan itu, ia menahan rasa sakit di jarinya sekaligus pusing di kepala. “Saya akan lebih hati-hati dan teliti lagi, Om.” Hanya kalimat tersebut yang lagi-lagi mampu diucapkan oleh Kania. “Permintaan maaf tidak berarti apa-apa kalau tidak disertai kebiasaan.” Suara Biantara tenang, tapi keras saat menimpali. “Kamu tahu alasan saya tidak memuji hasil eksperimenmu yang lain?” Gadis itu menggeleng polos. Ia masih belum berani menatap mata Biantara. Di tengah kondisi tubuhnya yang tidak baik-baik saja, Kania bahkan harus bisa mengendalikan fokusnya. “Karena kamu belum disiplin. Ilmu tanpa ketelitian itu cuma hoki.” Jawaban Biantara terdengar tajam. Namun, fakta pahit itu harus ditelan dalam untuk menjadikan dirinya lebih baik dalam mengerjakan tugas. Ini baru permulaan. Esok atau lusa, bisa saja Biantara memberinya tugas lebih banyak dan berat. Gadis itu bisa menduga cara kerja Biantara untuk mendobrak kemampuannya juga Elang. Biantara kini berjalan pelan ke meja kerja. Tangannya membuka satu file lain, lalu menampilkan grafik hasil analisis. “Look at this. Kurva hasil eksperimen kamu melengkung naik terlalu cepat di fase kedua. Kamu menulis di catatan bahwa itu sebab suhu ruang tidak stabil. True?” Kania mengangguk, mengakui. Ia menulis berdasarkan hasil pemahamannya. “Iya, Om. Termostat lab di sekolah kami memang agak sensitif.” Dua manik mata hitam Biantara menatap tajam ke arah Kania. Tatapan itu sulit diartikan. Tidak terlalu mengancam, tapi tidak pula memberi gadis itu rasa aman. “Kenapa kamu tidak mengontrol variabel itu? Kenapa tidak uji ulang sebelum laporan dikirim?” Biantara selalu tidak puas dengan satu pertanyaan. Ia mencecar gadis itu dengan pertanyaan lain yang memberi asumsi kuat tentang apa yang dipelajarinya saat ini. Pria itu memakai metode ada jawaban, ada penjelasan. Begitu pula tiap ada kesalahan, Kania harus memberi sebuah alasan logis. “Karena waktunya, Om. Deadline yang Om kasih mepet.” “Deadline bukan alasan untuk kamu menjawab tanpa dasar.” Kembali, dari mulut guru pembimbingnya itu keluar kalimat pedas yang membuat Kania meneguk ludahnya kasar. “Olimpiade tingkat internasional hanya untuk siswa yang berani bertanggung jawab dan bersikap profesional!" Biantara berucap tegas. “Kalau mental lemah dan manajemen waktu saja tidak bisa kamu atur, lebih baik mundur.” Kania benar-benar dibuat bisu oleh ucapan pedas Biantara. Pamannya itu tidak segan untuk menamparnya dengan sindiran-sindiran menohok. “Bukan begitu maksud Kania, Om.” Kania mengangkat kepalanya. Ia ingin memberi pembelaan karena merasa punya hak atas itu. “Kania beneran lagi sakit saat itu. Kania nggak bisa fokus.” “Saya tidak mau tahu. Yang saya tahu, kamu sudah mengambil tanggung jawab itu, artinya kamu siap menanggung konsekuensi.” Nada suaranya masih rendah, tapi dingin. Tiap kata yang keluar menembus langsung pertahanan gadis tersebut. “Saya jadi ragu dengan kredibilitas kamu sebagai murid jenius.” Biantara menampilkan seringai tipisnya yang khas. “Asal kamu tahu, Kania. Internasional tidak peduli alasan. Mereka hanya peduli hasil dan konsistensi.” Kania menggigit bibir, gelisah. Ia seperti tengah dihadapkan oleh ujian dan diawasi langsung petugas yang killer. “Kania paham, Om.” “Tidak, kamu belum mengerti.” Biantara menatap lurus ke arahnya. Wajah gadis itu terlihat gelisah, tapi pasrah. Jawaban yang ia dengar seperti bukan untuk sebuah kepahaman. “Kalau kamu mengerti, kamu tidak akan mengulangi kesalahan sama di dua bagian laporan berikutnya.” Brak! Laporan itu dilempar tepat di hadapan Kania. Pria itu melakukannya dalam satu kali gerakan. Kasar, menuntut, dan penuh kecewa. Bahkan, pipi Kania kini terluka akibat terkena sisi kertas itu. Luka seperti sayatan tipis mengeluarkan darah yang mengalir di pipi. Kania kembali menggigit bibir bawahnya lalu meringis. Ia menahan sakitnya di sana. Jarinya menyentuh pipi itu. “Kita lanjutkan lagi.” Hati Biantara mati. Ia bahkan bersikap acuh tidak acuh dengan Kania yang kini mulai takut untuk sekadar menatapnya. Pria itu kembali ke layar. Ia memperhatikannya cukup lama, seolah mencari sebuah kesalahan yang bisa ia koreksi lebih banyak. “Lihat ini!” perintah Biantara terdengar tajam dan penuh penekanan. Gadis itu menatap kembali menatap layar. Tubuhnya gemetar. Dua baris data yang ia tulis tampak mencolok merah—anotasi revisi dari Biantara sendiri. “Om, Kania—“ Ucapan Kania tidak selesai. Ia seolah tidak diberi kesempatan untuk bicara saat sang paman kembali memotong ucapannya. “Lihat data mentahnya. Kamu ambil tiga kali pengukuran. Dua nilainya sama, satu jomplang sangat jauh. Tapi kamu tetap mengambil tindakan untuk rata-rata. Kenapa?” Kania diam beberapa detik. Ia kembali berpikir. Jangan sampai jawaban yang hendak diucap kembali menjadi bahan cercaan pamannya. “Kania pikir mungkin alatnya error, Om.” Biantara melangkah mendekat, jarak hanya dua langkah dari tempat duduk Kania. Ia mencubit dagu gadis itu untuk diarahkan kepadanya. Dalam waktu singkat, pandangan keduanya saling bertemu. Mata bulat itu menatapnya dengan tatapan menusuk dan penuh perhitungan. Entah kenapa, saat jarak wajah keduanya hanya berjarak sejengkal jari, Kania merasa seperti dijebak dalam suasana malam itu. Dan, tanpa sadar mata itu memejam. Namun, hal itu tidak berlangsung lama saat wajahnya terasa dihempas begitu kasar. “Ck! Murahan!” Kalimat itu terdengar jelas dan membuat mata Kania sontak terbuka. Ia tersinggung dengan sebutan itu. Rasanya, gadis tersebut seperti dihina secara terang-terangan. Jantung Kania seperti dihantam sebuah benda besar. Hancur sekali ketika dicap sebagai gadis murahan oleh orang yang bahkan dengan tega menghancurkannya terang-terangan. “Jangan kamu pikir bisa menggoda saya, Kania! Menjijikkan!” Ingin rasanya Kania berdiri dan berlalu begitu saja dari sana. Namun, ia sadar ... ia butuh semua ini. Gadis tersebut harus menelan sepahit apa pun kenyataan yang membuatnya harus tetap di sini. “Next. Saya tidak mau membuang waktu saya untuk gadis macam kamu.” Kania tidak bersuara. Ia memilih mengikuti saja apa kata Biantara. Sebab, percuma ia bicara. Sebenar apa pun ucapannya, tetap akan salah di mata pria tersebut. “Kalau kamu pikir alat itu error, kamu harusnya periksa alatnya. Jangan ubah data supaya terlihat rapi, tapi hanya berdasarkan perkiraan. Data tidak harus indah. Data harus berdasarkan fakta. Data bukan bahan untuk kamu buat asal-asalan.” Kemampuan Kania bicara di sini benar-benar dibungkam. Ia tidak punya hak untuk sekedar memberi alasan untuk membela diri. Sikap gadis itu membuat Biantara menatapnya lama. “Salah bukan masalah. Tapi, yang jadi masalah kalau kamu menutupi kesalahan dengan asumsi, itu kebiasaan buruk dan penuh resiko.” Dan, lagi ... Kania hanya bisa berdiam diri. Jari-jemarinya saling menggenggam gelisah. Sesaat kemudian, ia meremas rok seragamnya. Biantara lantas berjalan ke layar lain. Jarinya menekan panel. Diagram baru tidak lama muncul, menampilkan hasil revisi yang sudah ia koreksi sendiri. “Ini versi yang benar. Lihat perbandingan hasilnya.” Merasa mendapat instruksi, Kania membawa pandangannya ke sana. Perubahan kecil di bagian suhu dan waktu reaksi menghasilkan grafik yang berbeda jauh. Biantara memang tidak pernah meleset memberi jawaban. Pria itu kini kembali membuka suara dengan nada tetap datar. “Kamu punya bakat, tapi sayangnya bakat itu kamu tutup dengan sikap lalai. Orang berbakat yang ceroboh lebih berisiko daripada orang biasa, tapi memiliki sikap teliti.” Kania mengangguk pelan di tengah kondisi putus asanya. “Kania akan usaha lebih baik, Om.” Biantara menatapnya sekilas, muak. namun, tatapan itu berlangsung lama tanpa kata. Mulutnya diam, tapi hatinya begitu berisik. Luka di pipi gadis itu bahkan masih mengeluarkan darah. Dan, lagi-lagi rasa tidak tega itu muncul begitu saja. Biantara merasa jika apa yang dirasakan oleh hatinya adalah hal yang tidak wajar. “Saya butuh hasil yang nyata dan kompleks.” Sunyi kembali melanda ruang itu. Hanya ada detak jam di bagian salah satu sudut yang terdengar. Biantara menutup layar, kemudian berjalan ke meja sebelah. “Ambil alat itu. Kita ulang eksperimen tahap awal.” Tidak menunggu waktu, Kania segera bergerak. Ia mengambil tabung katalis dan wadah reaksi. Tangannya sedikit gemetar, tapi ia berusaha menyembunyikannya dari Biantara. “Langkah pertama?” Kania menjawab pelan. “Persiapan larutan prekursor.” “Komposisinya?” “Dua mililiter larutan A, satu mililiter larutan B, dan—“ “Berapa konsentrasi larutan B?” “0,5 molar.” “Yakin?” Kania terdiam. Ia membuka catatan di tablet yang tergeletak di sampingnya. “Maaf, Om. 0,4 molar.” Biantara menatapnya lama, mempertimbangkan sekaligus mengawasi. Matanya menatap penuh selidik ke arah Kania. Sedetik kemudian, ia menggeleng tidak habis pikir. “Kamu lupa apa kata saya tadi? Masih mau ragu?!” “0,4 molar, Om.” Kania mengulangi dengan suara lebih tegas. “Oke. Lanjut.” Kania mengaduk larutan dengan hati-hati. Tatapannya berusaha fokus. Tangan yang gemetar itu berusaha stabil. Namun, tiap kali ia bergerak, rasanya tatapan Biantara ada di setiap detiknya. Hal tersebut jelas membuat Kania makin gugup. Belum lagi perutnya juga merasa kram dan mual. Menahan itu, sungguh membuatnya seperti menelan dalam-dalam rasa tersiksanya. Setelah beberapa menit, ia menatap hasil reaksi yang mulai terbentuk di tabung kaca. Warna cairan mulai bergeser perlahan, sesuai prediksi. “Waktu reaksi?” Biantara kembali memberi pertanyaan setelah melakukan observasi. “Empat menit.” “Mulai hitung.” Kania menyalakan timer di tablet. Suara detik berjalan pelan. Ruangan terasa makin sunyi dan mengimpit. Setelah menunggu, empat menit berlalu. Ia mengamati perubahan warna, kemudian mematikan reaksi. Biantara menatap hasilnya dan mengangguk tipis. “Hasil cukup stabil. Ya, minimal kamu masih ingat prosedur.” Ada sedikit kelegaan di d.a.da Kania. Namun, hal itu tidak lama setelah Biantara bicara lagi. “Kalau kamu bekerja seperti ini setiap hari, mungkin kamu bisa mencapai standar. Tapi satu kelalaian kecil yang kamu buat bisa merusak semuanya. Dan di dunia riset, tidak ada yang peduli berapa kali kamu benar. Mereka hanya menghitung berapa kali kamu gagal.” Kania tidak berani menjawab. Tiap kata itu terdengar menekan, meskipun nyata. Pria tersebut lantas menatap jam di dinding. Lima tiga puluh dua. Tidak terasa, beberapa jam telah dilalui. Biantara menatap hasil reaksi di meja sekali lagi. “Berhenti dulu. Bersihkan meja. Kita bahas laporan baru besok.” “Iya, Om.” Kania mulai bergerak cepat. Tangannya kaku merapikan alat. Ia menatap Biantara yang kembali menulis sesuatu di tabletnya. Ekspresi wajah itu tetap tenang, nyaris tanpa emosi. Dan satu hal yang membuat Kania sadar, Biantara tidak marah dengan suara keras. Namun, tiap kalimatnya menekan lebih dalam daripada teriakan dengan intonasi tinggi. Di tengah suasana hening itu, seorang pria datang dengan buru-buru. Wajahnya tampak gugup. Di tangannya ada sebuah benda yang dibungkus amplop. “Oh, Kania. Kamu masih di sini rupanya.” “Mr. Adrian? Ada apa?” Kania bertanya dengan nada herannya. Belum sampai menjawab, Biantara sudah menghampiri Mr. Adrian. “Ada apa, Adrian?” “Bian. Ini soal yayasan kamu. Saya menemukan ini di sekolah kita.” Mr. Adrian memberikan amplop itu. Barang tersebut dibuka oleh Adrian. Sebuah tespek yang hasilnya positif kini berada di tangan Biantara. Kania yang melihatnya pun mendadak sesak napas. Jangan-jangan tespek itu .... ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD