Dua

2271 Words
Senin (12.25), 08 Juni 2020 ------------------- “Apa aku perlu memanggil pelayan untuk membantumu mengganti pakaian?” tanya Vero. “Tidak, aku bisa melakukannya.” Sahut Xavier datar. “Tinggalkan aku sendiri.” Vero mengangguk lalu segera keluar kamar sesuai permintaan Xavier. Pandangan Xavier terpaku ke arah kegelapan di luar sana. Baru sepuluh menit yang lalu dia telah resmi menjadi suami Dea Sintha Patreshea. Kini dia bertekad akan membuat pernikahan ini menjadi neraka untuk wanita itu. Tanpa melepas pakaian pengantinnya, Xavier menggerakkan kursi roda menuju meja kerja. Di meja besar itu memang tidak disediakan kursi karena Xavier tidak bisa menggunakannya. Dia tetap akan bekerja. Tidak peduli walau malam ini adalah malam pertamanya. Bahkan dia langsung kembali ke kamar begitu dirinya dan Sintha dinyatakan sah menjadi suami istri. Lagipula tidak ada yang bisa dinikmati dari pesta itu. Yang diundang hanya teman dekat keluarga tirinya. Orang tua Sintha juga tidak bisa hadir karena masih di luar negeri. Hanya kedua kakak lelaki Sintha serta beberapa teman dekat wanita itu. Karena itu untuk apa Xavier tetap bertahan di sana. Dia memang mempelai pria, namun tidak satupun tamu undangan yang dikenalnya. Keluarga tirinya telah sukses membuat Xavier merasa asing di pestanya sendiri. KLEK. Xavier tidak mau repot-repot mendongak untuk melihat siapa orang yang masuk ke kamarnya tanpa mengetuk. Siapa lagi kalau bukan wanita ular yang baru saja ia nikahi. “Xavier, kenapa kau buru-buru meninggalkan pesta?” Sintha bertanya dengan nada lembut. “Kau bahkan belum makan apapun.” Sintha meletakkan nampan berisi makanan dan segelas s*su di atas meja nakas. Dia juga masih mengenakan gaun pengantinnya yang menyapu lantai. Tadi dia kaget ketika Xavier pergi begitu saja. Bahkan kakak dan teman-temannya langsung menatap Sintha dengan pandangan bertanya. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa pernikahan ini memiliki maksud tertentu. Beruntung orang tuanya tidak bisa hadir. Kalau tidak, papanya yang berpendirian keras pasti akan langsung menyeret Sintha pulang dan membatalkan pernikahan. Namun karena yang ia hadapi hanya kakak dan teman-temannya, dengan mudah Sintha mengatakan bahwa kondisi suaminya memang sedang tidak sehat. Pernyataan itu juga semakin meyakinkan karena keluarga suaminya juga mengiyakan. Akhirnya Sintha harus pamit menyusul Xavier ke kamar agar orang-orang tidak semakin merasa aneh. Melihat Xavier tidak juga mengalihkan perhatian dari berkas yang dibacanya, akhirnya Sintha mendekat dan berdiri di depan meja kerja Xavier. “Apa kau ingin aku menyuapimu?” tanya Sintha dengan nada malu-malu. Kegiatan Xavier membaca langsung terhenti ketika mendengar pertanyaan Sintha. Dia mendongak secara perlahan. Pandangan tajamnya menusuk Sintha. “Tidak perlu bersikap menjijikkan seperti itu di hadapanku.” Ujar Xavier dengan nada dingin. Sintha terdiam selama beberapa saat. Kemudian perlahan, sikap malu-malu Sintha berubah. Dia menyeringai lebar. “Suamiku, tidak bisakah kau berpura-pura manis? Setidaknya untuk malam ini saja.” Sintha menggoda dengan mengedipkan sebelah matanya. “Akhirnya wujud aslimu keluar juga.” Sintha terkekeh mendengar kalimat Xavier yang menurutnya lucu. “Memangnya aku siluman hingga bisa berubah wujud?” “Kau lebih rendah dari siluman. Kau hanya ular pesuruh.” Kekehan Sintha berubah menjadi tawa. Xavier geram. Dia sangat tidak suka ketika ucapannya dianggap sebagai lelucon. Jemarinya mengepal kuat. Sintha beruntung karena Xavier tidak bisa berdiri. Kalau tidak, pasti wanita itu sudah terkapar dengan wajah berlumur darah. Xavier tidak akan peduli walau Sintha seorang wanita. “Kau pintar melawak, Sayang.” Puji Sintha setelah tawanya reda. Sintha melangkah semakin dekat ke meja kerja Xavier lalu meletakkan kedua telapak tangannya di permukaan meja yang dingin. Tubuhnya membungkuk hingga matanya sejajar dengan mata Xavier. Mereka saling berpandangan dengan tajam. Xavier dengan tatapan dinginnya sedangkan Sintha dengan mata berkilat geli. “Semakin kau berkata pedas, di mataku kau semakin menggairahkan, Xavier.” Lalu tanpa peringatan Sintha melahap bibir bawah Xavier singkat. Xavier begitu terkejut dengan aksi Sintha hingga tidak mampu bergerak. Dia bahkan masih mematung di tempatnya walau Sintha sudah menjauhkan diri dengan senyum lebar lalu menghilang di balik pintu kamar mandi. Begitu berhasil menguasai diri kembali, jemari Xavier bergerak ke dadanya. Jantungnya berdegup kencang. Pasti ini efek karena dia sudah lama tidak berdekatan dengan lawan jenis selain keluarga yang dibencinya. Mata Xavier menutup. Dia menyandarkan punggung di kursi rodanya. Jantungnya baru mulai melambat ketika pintu kamar mandi kembali terbuka diiringi suara Sintha. “Sayang, aku tidak bisa membuka ritsleting gaunku.” Ujar Sintha dengan nada manja. “Panggil saja pelayan!” Xavier menegakkan tubuh lalu kembali membaca berkasnya. “Aku tidak butuh pelayan jika ada suami tampanku di sini. Lagipula aku hanya akan memperlihatkan tubuhku pada suamiku.” “Jangan membuatku geli karena bualanmu. Melihat sikap jalangmu padaku, pasti sudah tidak terhitung banyaknya lelaki yang telah menjamah tubuhmu.” Jika Xavier mengatakan itu pada wanita lain, wanita itu pasti akan langsung pergi dengan air mata berderai dan hati terluka. Tapi tidak dengan Sintha. Dia malah menyusurkan lidahnya di bibir bagian atas seperti ketika menghadapi makanan yang lezat. “Sayang, kau membuatku ingin menciummu lagi.” Sintha kembali membungkuk dengan wajah mendekat namun kali ini Xavier menjauhkan wajahnya. “Jangan lakukan itu lagi jika kau tidak mau wajahmu terluka karenaku.” “Itu namanya kekerasan dalam rumah tangga. Bagaimana aku menjelaskan hal ini jika orang-orang bertanya? Apa aku harus bilang bahwa suamiku memukulku karena aku hendak menciumnya?” Tinggal satu inchi lagi bagi Sintha untuk mencapai bibir Xavier. Tapi melihat raut ngeri di wajah Xavier, Sintha menjauhkan diri dengan tawa meledak. “Sayang, kau terlihat seperti aku akan memperkosamu.” Sintha berkata di antara tawanya. “Sudahlah, aku ingin membersihkan diri. Cepat bantu aku menurunkan ritsleting gaunku. Setelah itu aku akan segera menyingkir dan membiarkanmu kembali bekerja.” Sintha berjalan memutar lalu berlutut di samping kursi Xavier, memunggungi lelaki itu. Dia  sudah menyingkirkan rambut panjangnya dari punggung agar Xavier bisa lebih mudah menurunkan ritsleting gaunnya. Xavier sendiri menatap punggung Sintha dengan mata berkilat marah. Dia geram dan merasa sedikit kalah. Tadinya dia pikir sangat mudah menciptakan neraka untuk Sintha. Tapi ternyata tidak segampang itu. “Aku sanggup berlutut sepanjang malam.” Gumam Sintha karena Xavier tidak kunjung bergerak. Xavier mulai paham bahwa Sintha adalah wanita yang keras kepala. Karena itu dia memilih mengalah agar bisa mendapat ketenangannya kembali, walau mungkin hanya untuk beberapa saat. Dengan kasar Xavier menurunkan ritsleting gaun Sintha lalu segera mengalihkan perhatian kembali ke berkas di mejanya. Walau berusaha keras, mata Xavier tetap menangkap pemandangan punggung putih mulus milik Sintha. “Terima kasih, suamiku.” Dengan nakal Sintha bangkit seraya mengecup pipi Xavier. Ketika Xavier mendongak dan hendak melayangkan pelototan ke arah Sintha, wanita itu sudah bergegas ke kamar mandi diiringi kekehan gelinya. Kesal, Xavier menutup map di hadapannya lalu menyingkirkan map itu ke samping. Dia benar-benar tidak bisa konsentrasi. Kali ini Kelis telah mengirim ular yang benar-benar cerdik dan licik. Baru beberapa menit berduaan dengan Sintha, Xavier sudah kehilangan kendali diri. Sepertinya Xavier harus berhati-hati. Jika tidak, dia yang akan menjadi pecundang karena kalah. Tak lama kemudian, Sintha keluar dengan mengenakan gaun tidur. Dengan santai dia melenggang menuju meja rias yang memang disediakan untuknya di kamar itu. Agar tidak disangka mengamati Sintha, Xavier mengambil salah satu buku bisnisnya lalu berusaha konsentrasi untuk membaca. Namun itu sangat sulit. Mungkin karena Xavier belum terbiasa dengan adanya orang lain di kamarnya. Terutama jika orang itu adalah musuh yang harus ia waspadai. Sintha sudah selesai membersihkan make-up dan mengoleskan cream malam di wajahnya. Ketika berdiri, pandangannya tertuju ke arah nampan yang isinya masih utuh. “Sayang, kau belum menyentuh makan malammu.” Ujar Sintha seraya mengambil nampan lalu membawanya ke meja kerja Xavier. “Berhenti memanggilku dengan kata-kata menjijikkan itu.” tegas Xavier dingin. Sintha pura-pura tidak mendengar kalimat Xavier. Tanpa duduk dia mengiris-iris steak menjadi potongan kecil lalu menusuknya dengan garpu. “Ayo, buka mulutmu.” Pinta Sintha seraya mengarahkan garpu ke bibir Xavier. Kemarahan Xavier sudah mencapai puncaknya. Dengan geram dia mengibaskan tangan hingga garpu dalam genggaman Sintha terlempar. “Kau sudah melewati batasanmu. Kita sama-sama tahu ini bukan pernikahan yang sebenarnya. Bersikaplah baik dan jaga jarak dariku, maka aku tidak akan melukaimu.” Sintha tersenyum. Dia tidak mempedulikan kemarahan Xavier dan malah menjepit irisan steak dengan telunjuk dan ibu jarinya. “Kalau kau sudah tahu, seharusnya kau tidak menerima pernikahan ini. Sekarang sudah terlambat untukmu mengatakan padaku agar menjaga jarak karena aku tidak akan pernah menjaga jarak dari suamiku.” Sintha memasukkan irisan daging lezat itu ke dalam mulutnya lalu menjilat jemarinya. “Tidak baik membuang makanan, Sayang.” Kemudian Sintha mengambil garpu di lantai lalu membersihkan lantai yang kotor akibat steak dengan tissue. Setelahnya dia mengenakan jubah kamar lalu keluar sambil membawa nampan. Sepeninggal Sintha, Xavier menggosok wajahnya dengan frustasi. Sekarang dirinya diliputi penyesalan. Dia menyesal karena tidak menolak pernikahan ini sesuai saran Vero. Namun karena semua sudah terlanjur terjadi, yang bisa Xavier lakukan hanya berusaha mengabaikan keberadaan Sintha dan mencari celah untuk membuat Sintha menyesali pernikahan ini. Xavier menggerakkan kursi rodanya ke tengah kamar. Biasanya pelayan akan datang dan menyiapkan Xavier untuk istirahat. Dia memiliki pelayan lelaki yang selalu membantunya ke kamar mandi atau berganti pakaian. Walau kadang Xavier berusaha untuk melakukannya sendiri, namun tetap ia akui tubuhnya tidak sekuat dulu. Rasa sakit di kedua betisnya kadang begitu menyengat ketika Xavier menggerakkan bagian perut ke bawah. Kini Xavier kebingungan. Pastilah si pelayan mengira istrinya yang akan menyiapkan semua kebutuhannya. Atau mungkin karena tadi ia melarang Vero memanggil pelayan. Pokoknya besok dia akan menemui pelayan itu lalu menegaskan bahwa tugas si pelayan tidak berubah walau Xavier sudah menikah. Xavier menoleh ketika pintu terbuka dan berharap itu pelayannya. Tapi ternyata yang masuk adalah Sintha. Dia langsung memalingkan wajah lalu menggerakkan kursi roda ke sebelah ranjang. “Suamiku, kau tidak mau berganti pakaian atau ke kamar mandi?” tanya Sintha seraya mendekati Xavier. Wanita itu benar-benar mengabaikan peringatan Xavier sebelumnya. Xavier mengabaikan Sintha. Dia menatap ranjang dan berpikir bagaimana cara memindahkan tubuhnya ke sana. Dulu sebelum rasa sakit mulai menyerang, Xavier masih sanggup memindahkan tubuhnya sendiri tanpa bantuan. Tapi kini dia tidak bisa lagi melakukannya. Mungkin malam ini Xavier harus tidur di atas kursi rodanya. Melihat tatapan Xavier, Sintha paham apa yang dipikirkan lelaki itu. Tanpa kata dia mendekat lalu berlutut di hadapan Xavier. “Apa yang kau lakukan?” tanya Xavier ketika jemari Sintha bergerak ke kancing baju pengantinnya. “Untuk kali ini, hentikan ocehanmu!” sekarang tidak ada nada geli maupun menggoda dalam suara Sintha. Akhirnya Xavier diam. Kalau Shinta bermaksud membantunya, itu bagus. Tapi sikap diam Xavier bukan berarti dirinya sudah menyerah. Dengan lembut Sintha melepas pakaian atas Xavier. Setelahnya dia berdiri tegak dengan kedua tangan di pinggang. “Bagaimana caraku membantumu pindah ke ranjang? Jelas aku tidak akan sanggup membopongmu.” Xavier berdecak. Tadi wanita itu sok sanggup membantunya. Tapi sekarang dia malah kebingungan sendiri. “Angkat aku dari belakang!” perintah Xavier. “Angkat? Yang benar saja. Kau pasti berat.” Xavier melotot ke arah Sintha. “Kalau begitu pergi saja! Kau tidak berguna.” “Baiklah, baiklah.” Sintha bergerak ke belakang Xavier sambil meregangkan otot-otonya seperti orang yang melakukan pemanasan sebelum berolahraga. Tanpa bisa dicegah, bibir Xavier mengerucut menahan senyum. Ketika menyadari apa yang telah dilakukannya, Xavier segera mengembalikan raut wajahnya menjadi datar. “Tegakkan tubuhmu. Kalau kau bersandar seperti itu, bagaimana aku melakukannya?” ujar Sintha dari belakang. Xavier menurut untuk menegakkan tubuh. Lalu tanpa peringatan, lengan Sintha menelusup di bawah lengan Xavier, memeluk lelaki itu dari belakang. “Aku pasti bisa!” Sintha menyemangati dirinya sendiri. Dengan sekuat tenaga, Sintha mengangkat tubuh Xavier. Beruntung Xavier meringankan beban tubuhnya dengan bertumpu di kedua lengan kursi. Namun tetap saja, Sintha sampai terengah ketika b*kong Xavier sudah berhasil menyentuh ranjang. “Aku bisa menggeser tubuhku sendiri. Sekarang menyingkirlah!” perintah Xavier. Bukannya menyingkir, Sintha tetap merangkul Xavier dari belakang. Dia malah meletakkan pipinya di punggung telanjang Xavier seraya mengatur nafas. “Heh, kau tidak pingsan, kan? Cepat menyingkir!” “Astaga, Xavier bodoh! Badanmu berat! Aku masih mengatur nafasku!” seruan Sintha sempat membuat Xavier tertegun. Tidak ada orang yang pernah berbicara padanya dengan nada tinggi seperti itu. Orang tua kandungnya tidak pernah karena begitu menyayanginya. Keluarga tirinya juga tidak pernah untuk menjaga kesan baik di hadapannya. Selain keluarganya juga tidak pernah karena nama besar ‘Abraham’ yang Xavier sandang. Namun sekarang dengan tanpa rasa bersalah Sintha berani menaikkan nada bicaranya. “Kau membentakku?” geram Xavier. Sintha tidak menjawab. Perlahan dia melepas pelukan dari tubuh Xavier lalu mengangkat kaki Xavier ke ranjang. Setelahnya ia membawa kursi roda ke pinggir agar tidak menghalangi jalan kemudian melangkah ke lemari untuk mengambil piama Xavier. “Mau aku bantu membuka celana?” nada menggoda Sintha kembali terdengar. Xavier mengambil dengan kasar piama di tangan Sintha lalu menggeser tubuhnya agar bisa bersandar di kepala ranjang. Setelah itu dia mendongak untuk melayangkan tatapan tajamnya ke arah Sintha. “Balikkan tubuhmu!” “Kalau tidak?” tantang Sintha “Akan kucongkel matamu.” Geram Xavier. Sintha terkikik. “Suamiku seperti perawan yang malu-malu.” Tapi dia segera membalikkan tubuh agar Xavier tidak semakin marah. Selama beberapa saat, hanya suara gemerisik kain yang terdengar. Kemudian celana yang sebelumnya Xavier kenakan dilempar di dekat kaki Sintha. Dengan nada yang seperti berbicara dengan seorang budak, Xavier memberi perintah, “Letakkan pakaian itu di kamar mandi!” Tanpa merasa tersinggung, Sintha membungkuk lalu memungut pakaian Xavier. Setelah dia memenuhi perintah Xavier, dia membuka jubah tidurnya lalu naik ke ranjang di sebelah Xavier yang sudah rebah. “Kenapa tidak memakai bajumu?” tanya Sintha karena Xavier hanya mengenakan celana piama panjangnya. “Kau bawel sekali.” Xavier berkomentar kemudian mencoba tidur. Sintha hanya tersenyum kecil karena jawaban Xavier. Tadinya dia masih berniat mengganggu Xavier. Tapi sepertinya sudah cukup untuk hari ini. Sintha masih memiliki hari esok untuk melakukannya. Lagipula dia cukup beruntung karena Xavier tidak menyuruhnya tidur di lantai.    ------------------- ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD