Tiga

2582 Words
Rabu (09.00), 10 Juni 2020 ---------------------- Xavier lapar. Dia bergerak-gerak gelisah karena perutnya terus berbunyi. Semalam Xavier tidak makan malam. Siangnya juga ia melewatkan makan siang karena sama sekali tidak berselera. Dan sekarang, tepatnya jam satu lewat empat puluh lima menit, Xavier kelaparan. Seandainya kakinya bisa digerakkan secara normal, Xavier ingin sekali berbaring miring sambil memeluk kedua lutut. Dia melirik Sintha yang masih tertidur pulas. Sempat terpikir untuk membangunkan wanita itu. Tapi urung karena Xavier tidak mau dianggap butuh terhadap wanita ular di sebelahnya. Lagipula bukan sekali dua kali Xavier berada dalam situasi ini. Bukan hanya karena lapar saat larut malam, Xavier juga pernah ingin buang air di jam seperti sekarang. Karena dirinya tidak bisa pindah sendiri dan tidak ada orang yang bisa ia pintai bantuan, akhirnya Xavier mati-matian menahan keinginannya lalu mencoba tidur. Keesokan harinya, perut Xavier sampai terasa sakit karena terlalu lama menahan keinginan untuk buang air. Dan seperti biasa, rasa sakit itu Xavier pendam sendiri. Dan kali ini pun, Xavier akan menahan rasa laparnya. Dia tidak akan mati hanya karena menahan lapar selama beberapa jam. Setelah menarik nafas, Xavier mencoba memejamkan mata. Sepertinya baru beberapa detik berlalu sejak Xavier memejamkan mata, mendadak lengan Sintha melingkari perutnya. Mata Xavier kembali terbuka. Dia melayangkan tatapan kesal ke arah wanita yang masih tampak lelap dalam tidur. Xavier mendesah ketika perutnya kembali berbunyi. Segera dia menyingkirkan lengan Sintha lalu berusaha kembali tidur. “Kau lapar?” Lagi-lagi Xavier terpaksa membuka matanya. Dia menoleh ke arah Sintha dengan tatapan dinginnya. “Kalau kau tidak berniat mengambilkanku makanan, sebaiknya tutup mulut.” Terpaksa Xavier mengatakan itu. Walau dia tetap menggunakan nada dingin, jelas ada permohonan dalam kalimatnya. Kali ini Xavier bersiap untuk mendengar cemooh Sintha atas permintaan tersiratnya. “Kenapa tidak segera membangunkanku?” tanya Sintha seraya mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sama sekali tidak ada nada cemooh maupun ejekan dalam kalimatnya. Xavier akui, dia tertegun karena pertanyaan Sintha yang seolah menyiratkan bahwa wanita itu tidak keberatan Xavier mengganggunya di tengah malam seperti ini. Tapi, tunggu. Bisa jadi ini memang rencana si wanita ular. Dia sengaja membuat Xavier mengira wanita itu baik untuk membuat dirinya lengah. Sayang sekali Sintha harus kecewa karena Xavier tidak akan segampang itu luluh hanya karena sebuah kebaikan kecil. Sementara Xavier bangkit dari posisi tidurnya, Sintha sudah keluar setelah mengenakan jubah kamar. Saat tidak ada orang seperti ini, Xavier tidak lagi menutup-nutupi rasa sakit yang menerpa ketika berusaha menyeret kedua kakinya. Padahal Xavier hanya ingin bersandar di kepala ranjang. Tapi rasa sakitnya begitu menyengat. Ketika berhasil menyandarkan punggung, keringat sudah membasahi punggungnya. Beberapa tetes juga mengalir di pelipis. Bibirnya terbuka karena nafasnya terengah. Entah sampai kapan penderitaan ini akan terus ia tanggung. Tubuh dan hatinya sakit. Kedua tangan Xavier terangkat. Dia mengusap wajah dengan kasar. Seandainya Xavier berhenti mempertahankan semua harta ini dan menyerahkan pada keluarga tirinya, tentu sakit yang harus ia tanggung hanya sakit di tubuhnya. Hatinya akan tenang karena dia tidak perlu lagi berhadapan dengan keluarga yang berpura-pura manis di depannya padahal sudah jelas Xavier mengetahui kebusukan mereka. Tapi tidak. Xavier akan terus mempertahankan warisan dari Papa yang sangat disayanginya. Sebesar apapun Xavier membenci Papanya karena telah mengkhianati sang Mama hingga wanita lemah lembut itu memilih bunuh diri, rasa sayangnya terhadap sang Papa tetap tidak bisa luntur. Sampai kapanpun Xavier akan terus menjalankan wasiat Papanya. Bahkan dia tidak khawatir jika maut datang mendahului. Papanya juga sudah menuliskan itu di surat wasiatnya. Jika Xavier meninggal sebelum membuat surat wasiat, maka seluruh harta kekayaan Abraham akan disumbangkan dan hanya menyisakan beberapa aset untuk keluarga tirinya. Lamunan Xavier terputus ketika Sintha kembali ke kamar dengan nampan di tangan. “Menunya masih sama seperti semalam. Apa kau mau memakannya?” tanya Sintha. Xavier memperhatikan wajah Sintha dan berusaha membaca apa ada nada mengejek di sana. Tapi yang ditemukannya hanya keraguan dari wanita itu. Seperti dia tidak yakin apa Xavier bersedia memakan makanan yang dibawanya atau tidak.   “Bagaimana? Atau kau ingin menu yang lain? Tapi pasti akan memakan banyak waktu karena aku masih harus memasaknya.” Sintha kembali bertanya karena Xavier tak kunjung menjawab. “Kemarikan saja makanan itu!” perintah Xavier. Tanpa membantah Sintha membawa makanan itu ke meja nakas. Dia langsung mengiris-iris steak seperti semalam sebelum menyerahkan piringnya ke tangan Xavier. Xavier menerima piring itu dengan tangan kiri sedang tangan kanannya langsung menyambar garpu lalu mulai melahap makanannya. “Hati-hati makannya. Nanti kau tersedak.” Sintha menasihati. Xavier berdehem. Dia merasa tidak nyaman dengan sikap Sintha sekarang. Wanita itu tampak lebih berbahaya daripada sikap malu-malu maupun sikap jalangnya. Xavier harus lebih berhati-hati agar tidak terkecoh. Begitu makanan di piring Xavier tandas, Sintha menyerahkan segelas susu lalu mengambil piring Xavier. Setelah segelas susu juga habis, tanpa kata Sintha membawa keluar peratalan bekas makan itu. Kini perut Xavier sudah tenang. Tanpa menunggu Sintha, dia menggeser tubuhnya agar bisa kembali merebahkan diri. Ketika Sintha kembali memasuki kamar, Xavier sudah memejamkan mata walau belum sepenuhnya terlelap. Sintha mengunci pintu kamar lalu melepas jubah kamarnya. Dia melangkah ke ranjang di sebelah Xavier namun tidak langsung berbaring. Dia masih duduk menatap wajah Xavier yang ia kira sudah terlelap. Dengan lembut, jemari Sintha membelai helaian rambut di kening Xavier. “Jangan khawatirkan apapun lagi. Ada aku yang akan menjadi kaki dan tanganmu di sini.” Bisik Sintha lalu mengecup kening Xavier. *** Jangan khawatirkan apapun lagi. Ada aku yang akan menjadi kaki dan tanganmu di sini. Xavier masih mengingat dengan jelas kalimat yang Sintha ucapkan semalam. Atau lebih tepatnya, dini hari tadi. Kalimat itu membuat Xavier kebingungan. Dia yakin sekali ketika Sintha mengatakannya, wanita itu mengira dirinya sudah tidur. Itu artinya apa yang Sintha ucapkan bukanlah suatu kebohongan dan tulus dari dasar hatinya. Kalimat itu sangat tidak sesuai dengan kenyataan bahwa Sintha adalah pesuruh keluarga tirinya. Seharusnya mereka berdua musuh. Tapi kalimat itu, membuat Xavier berpikir bahwa Sintha ada di pihaknya. “Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” Xavier baru tersadar bahwa dirinya sekarang sedang duduk di taman bersama Vero untuk membicarakan masalah bisnis. Tadi ketika Vero memintanya membaca sebuah dokumen, pikiran Xavier malah melayang kembali ke kalimat Sintha semalam. Sesaat Xavier berpikir untuk menceritakan apa yang mengganggu pikirannya pada Vero. Toh selama ini Xavier memang tidak pernah menyembunyikan apapun dari Vero. Tapi mendadak dirinya ragu. “Tidak ada apa-apa.” Akhirnya Xavier memiilh berbohong. Dia akan melihat dulu sejauh mana kelakuan Sintha sebelum menceritakan semua ini pada Vero. “Apa terjadi sesuatu pada malam pertamamu hingga kau tidak bisa berkonsentrasi bekerja?” tebak Vero dengan senyum tertahan. Xavier tahu Vero tidak akan percaya begitu saja dengan kalimat ‘tidak ada apa-apa’. Dia ingin tersenyum ke arah Vero tapi rasanya wajah Xavier akan retak jika ia melakukan hal itu. “Aku merasa terganggu akan sikapnya. Sesaat dia bersikap malu-malu. Tapi saat berikutnya dia bersikap seperti jalang dan dengan tidak tahu malunya mengenakan gaun tidur yang begitu tipis di hadapanku.” Xavier sama sekali tidak berbohong karena memang itu salah satu yang mengganggu dari malam pertamanya. Tapi dia tidak tertarik untuk menceritakan tentang Sintha yang mencuri ciuman baik di bibir maupun di pipi dan keningnya. “Tetap berhati-hati padanya. Jangan sampai kau jatuh cinta lalu bersedia melakukan apapun untuk wanita itu.” Vero memberi nasihat. Xavier mengangguk paham namun tidak melanjutkan pembahasan. Dia menunduk kembali ke arah dokumen yang baru ia baca setengah. Setelahnya kedua lelaki itu mulai tenggelam dalam pembahasan bisnis. Setengah jam kemudian, mereka sudah selesai. Sambil berbenah, Vero berkata, “Sekali lagi maaf sudah mengganggumu sepagi ini.” Vero meminta maaf lagi karena telah meminta Xavier memeriksa dokumen pada pukul lima lebih tiga puluh pagi. Orang yang akan melakukan meeting bersama Vero hanya memiliki waktu jam tujuh pagi. Kemarin Vero tidak mau mengganggu hari pernikahan Xavier dengan pekerjaan. Tapi dia butuh Xavier untuk melakukan pemeriksaan akhir karena semua keputusan tetap di tangan Xavier walau sudah satu tahun terakhir Xavier nyaris tidak pernah datang ke perusahaan. Kondisi kaki Xavier yang semakin buruk membuatnya harus terkurung di rumah. Dia hanya hadir ke perusahaan ketika ada hal penting yang tidak bisa diwakilkan. Tentu saja tidak ada yang tahu bahwa kondisi kaki Xavier semakin parah. Bahkan Vero pun tidak. Ketika ditanya, Xavier hanya beralasan bahwa dirinya tidak nyaman pergi keluar dengan kursi roda. Selain Xavier, yang mengetahui tentang kondisi kaki Xavier hanya dokter yang seminggu sekali rutin memeriksanya. Dokter itu adalah sahabat papanya yang sudah Xavier anggap sebagai paman sendiri. Menurut Dokter, rasa sakit yang Xavier rasakan merupakan efek lanjutan dari kerusakan saraf pada kakinya. Jika suatu saat rasa sakit itu semakin buruk, maka terpaksa kaki Xavier harus diamputasi. Sejak saat itu, Xavier tahu bahwa tidak ada lagi harapan untuk sembuh. Setelahnya Xavier menolak kedatangan dokter lagi. Namun karena paksaan dari Vero, akhirnya Xavier bersedia secara rutin mengkonsumsi obat. “Sudah waktunya sarapan. Aku akan mengantarmu ke ruang makan.” Jelas Vero seraya mendorong kursi roda Xavier. “Kau tidak ikut sarapan?” tanya Xavier. Walau ekspresi wajahnya tetap dingin dan datar, namun kepedulian tersirat jelas dalam suaranya. “Aku sekalian sarapan ketika meeting nanti.” Jelas Vero. Xavier mengangguk. Mereka terdiam hingga sampai di ruang makan. Di sana, sudah ada Sintha serta Kelis dan Ruby. Xavier berdecak dalam hati. Benar-benar trio ular. Sebenarnya selain Ruby, Kelis dan papa Xavier masih memiliki dua anak lain. Anak kedua seorang lelaki bernama Mario yang sekarang sudah berusia dua puluh tiga tahun. Dia ini yang paling sering terlibat masalah dengan Xavier karena sifatnya yang tidak bisa menahan emosi. Dia sering kali secara terang-terangan menunjukkan kebencian terhadap Xavier terutama ketika papa mereka menunjukkan kasih sayangnya kepada Xavier. Sebenarnya Xavier curiga bahwa Mario adalah penyebab kecelakaan yang dirinya alami. Alasannya karena sebelum kejadian mereka bertengkar hebat hanya karena masalah wanita. Setelah Xavier kecelakaan, Mario menghilang. Kelis memberi alasan bahwa Mario melanjutkan studi sekaligus mengurus salah satu perusahaan yang ada di luar kota sampai sekarang. Xavier tahu atas laporan Vero bahwa sesekali Mario pulang. Tapi sepertinya adik tirinya itu sengaja menghindari Xavier. Anak Kelis dan papa Xavier yang bungsu adalah seorang gadis berusia dua puluh tahun. Namanya Hany. Dia tidak sama seperti keluarganya yang lain. Dia selalu membela Xavier dan sangat senang berada di dekat Xavier. Tapi parahnya, gadis itu pernah secara terang-terangan mengatakan bahwa dirinya mencintai Xavier. Dia bahkan tidak peduli bahwa Xavier adalah kakak yang memiliki darah yang sama dengannya. Walau Kelis itu siluman ular yang jahat, dia masih cukup waras untuk tidak membiarkan putri bungsunya melanjutkan kegilaannya. Karena itu Kelis sengaja mengirim Hany ke luar Negeri begitu ia lulus SMA. Di antara ketiga anak Kelis, Ruby yang sudah menikah di usianya yang baru memasuki dua puluh empat tahun. Kira-kira pernikahannya sudah mencapai satu tahun namun ia belum dikaruniai anak. Suami Ruby adalah salah satu direktur di Abraham Group. Dengan sifatnya yang sama-sama tamak, Ruby dan Mahesa—suaminya—terlihat sangat serasi. Kini anggota keluarga sudah bertambah. Namun Xavier belum bisa memutuskan dia ini lawan apa kawan. Mengingat kedatangan dan tingkah lakunya, Sintha pantas disebut lawan. Tapi semalam, dia berhasil membuat Xavier ragu. Ah, atau mungkin wanita itu tahu bahwa Xavier belum tidur. Dia pasti sengaja mengucapkan kalimat itu untuk membuat Xavier bingung. Pemikiran itu membuat kebingungan Xavier perlahan sirna. Wanita itu sungguh tidak bisa diremehkan. Lengah sedikit saja, dia bisa mencuci otak Xavier dan membuat Xavier berpikir sebaliknya. “Xavier, aku pergi sekarang.” Pamit Vero setelah Xavier menempati sisi meja makan bagian kepala keluarga yang dulu ditempati papanya. Sejak Xavier kecelakaan, sisi meja bagian situ dibiarkan kosong tanpa kursi karena Xavier akan duduk di kursi rodanya. “Iya, hati-hati di jalan.” Xavier berpesan. Begitu Vero keluar, Mahesa dan keluarga Sintha yang masih menginap memasuki ruang makan. Sikap Sintha kembali malu-malu di hadapan Xavier dan seluruh keluarga mereka. Ingin sekali Xavier menepis tangan yang sedang menyendokkan nasi dan lauk ke atas piringnya. Tapi dia memilih diam ketika melihat raut wajah keluarga Sintha. Pastilah mereka tidak tahu bahwa pernikahan ini hanya permainan dengan hadiah setumpuk harta. Bisa saja Xavier menunjukkan kelakuan Sintha sebenarnya pada keluarganya. Namun Xavier masih penasaran sejauh mana wanita ular satu ini akan bertindak. “Xavier, kudengar semalam kau tidak sehat. Apa sekarang kau sudah merasa lebih baik?” salah satu keluarga Sintha bertanya. Xavier sama sekali tidak tahu siapa namanya dan dia tidak ingin tahu. Karena itu Xavier mengabaikan pertanyaan orang itu dan memilih menyibukkan diri dengan makanan di piringnya. Melihat sikap diam Xavier, seluruh keluarga Sintha menatap tajam ke arah Sintha. Terutama kakak tertuanya yang tadi melontarkan pertanyaan. Akhirnya yang bisa Sintha lakukan hanya menunduk sambil menggigit bibir. *** “Kakak tidak akan bertanya ada apa dengan suamimu hingga dia bersikap seperti itu. Yang Kakak ingin tahu, apakah kau bahagia bersamanya?” Romy, kakak tertua Sintha bertanya ketika keluarganya hendak pamit pulang. “Sintha bahagia, Kak.” Sahut Sintha. “Dia tidak bersikap buruk padamu, kan?” Tidak perlu ditanyakan ‘dia’ siapa maksud kakaknya. Sintha sudah tahu karena itu dia langsung mengangguk. Sebagai seorang kakak, tentu Romy mengkhawatirkan adiknya. Karenanya dia menanyakan semua itu. Tapi melihat kesungguhan di mata sang adik, tidak ada yang bisa Romy lakukan selain menghela nafas lalu menarik tubuh adiknya ke dalam pelukan. “Kakak tidak peduli bagaimana pun sikapnya terhadap kami. Asalkan dia baik padamu dan bisa membuatmu bahagia, itu sudah cukup.” Ujar Romy sambil membelai rambut panjang adiknya. “Tapi kau tahu kan sifat papa? Kalau suamimu bersikap seperti itu di hadapan papa, dia pasti akan langsung memaksa kalian bercerai.” “Iya, Sintha tahu.” Mendengar nada sedih dalam suara Sintha, Romy melepaskan pelukan mereka lalu memandang wajah sang adik dengan penuh kasih sayang. “Jangan terlalu dipikirkan. Kalau dia memang mencintaimu, dia pasti bersedia mengubah sikapnya di hadapan mama dan papa demi bisa mempertahankanmu.” Sintha tersenyum lalu mengecup pipi kakaknya. “Kakak juga jangan khawatir. Kami pasti baik-baik saja.” “Bagus sekali.” Setelah itu, keluarga Sintha pergi meninggalkan kediaman keluarga Abraham. Sintha kembali ke dalam rumah lalu menghampiri Kelis dan Ruby yang sedang duduk di ruang tamu. Mahesa sudah berangkat ke kantor dan Kelis juga sudah siap berangkat. Memang selain Mahesa dan Mario, Kelis juga terlibat secara langsung di perusahaan. Jabatannya juga direktur. Sedangkan Xavier adalah direktur utama dan Vero adalah asisten Xavier. “Apa kakakmu marah?” tanya Ruby begitu Sintha duduk di hadapan mereka. “Aku tidak terlalu mengkhawatirkan kakakku. Yang kukhawatirkan adalah papa.” Sahut Sintha lesu. “Sudah kubilang jangan beritahu keluargamu tentang pernikahan ini.” Ruby berkata lagi. “Aku pasti akan dikurung di menara yang tinggi jika mereka mengetahui aku menikah tanpa mereka.” “Seandainya kau memberitahu alasan sebenarnya pernikahan ini, pasti keluargamu tidak akan marah. Malah mereka pasti merasa bersalah karena kau harus mengorbankan diri demi mereka.” Kelis berkata. “Kau tidak tahu keluargaku. Mereka tidak akan suka dengan alasan itu.” “Baiklah, terserah kau saja.” Ujar Kelis seraya berdiri. “Aku harus berangkat sekarang. Dan kau, Sintha. Jangan lupakan tugas utamamu. Karena itu kau harus lebih sering bersama Xavier daripada bersama kami.” Shinta mengangguk paham. Setelahnya Kelis pergi meninggalkan Ruby dan Sintha berdua. “Kau lihat Xavier pergi kemana?” tanya Sintha karena tadi dia langsung mengantar keluarganya keluar hingga tidak mengetahui kemana Xavier pergi. “Biasanya jam segini dia ada di perpustakaan.” Jawab Ruby. Ketika dia melihat Sintha hendak bangkit, Ruby menahannya. “Tunggu, Sin. Aku ingin tahu apa yang terjadi semalam.” “Semalam?” tanya Sintha yang membatalkan niat untuk mendatangi Xavier dan memilih duduk kembali. “Iya, semalam. Kau melakukan itu dengan Xavier?” tanya Ruby dengan mata berkilat geli. Yah, Ruby memang penasaran apakah si cacat itu bisa berhubungan intim. Sintha mendengus. “Yang benar saja. Kau pikir aku mau disentuh olehnya?” Ruby terkekeh karena sudah mengira bahwa Sintha akan mengatakan hal ini. Jika Ruby ada di posisi Sintha, dia juga tidak akan bersedia disentuh orang cacat seperti Xavier, setampan atau sekaya apapun Xavier. Hanya Hany yang terlalu aneh hingga mencintai Xavier. Tapi jika dengan menyentuh Xavier bisa memperlancar rencana mereka, kenapa tidak? “Lalu apa yang kau lakukan semalam untuk menghindar?” “Aku tidak perlu melakukan apa-apa karena kau juga tahu sendiri dia membenciku. Jadi yah, tidak ada yang terjadi. Aku bersikap malu-malu seperti biasa dan dia menganggapku tidak ada. Selesai.” Setelah mengatakan itu Sintha menoleh karena merasa ada yang memperhatikan. Dia kaget selama beberapa detik tapi berusaha menyembunyikan itu dari Ruby. Rupanya beberapa meter di belakang Ruby, Xavier sedang memperhatikan mereka. Sintha bisa melihatnya karena dirinya duduk berhadapan dengan Ruby. “Semalam kau beruntung bisa menghindar. Bagaimana dengan nanti malam atau malam-malam berikutnya?” “Mungkin aku butuh obat tidur.” Ujar Sintha sambil menahan senyum. Dia tahu Xavier bisa mendengar dengan jelas. Ruby terkikik geli seraya menunduk untuk meraih secangkir teh di atas meja. Saat itulah Sintha menatap terang-terangan ke arah Xavier diiringi senyum nakal dan sebuah kedipan mata.    ----------------------- ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD